Senja Berida Transpuan, Kematian dan Jalan Menuju Tuhan

Senja Berida Transpuan, Kematian dan Jalan Menuju Tuhan


Suara.com - Mereka adalah bagian dari Nusantara sejak ribuan tahun silam. Namun laju roda sejarah membuatnya sebagai paria di negeri sendiri. Terdiskriminasi hingga tua bahkan mati. Setelah mencintai sekaligus melawan takdirnya di dunia, transpuan lansia berjalan menuju Tuhan sebagai pengadil.

RUMAH SINGGAH di bilangan timur Jakarta mendadak riuh, ketika Agni yang justru dengan santainya menyulut rokok memakai api dari kompor gas. Seisi griya panik, ketakutan.

Agni bukan anak kecil. Usianya bahkan sudah melebihi 70 tahun. Tapi tingkahnya lama kelamaan semakin kekanak-kanakan.

Lain waktu, tanpa bilang-bilang, Agni keluar rumah, membuat pegawai wisma milik dinas sosial itu kelabakan setengah mati. Sebab, dia mulai pikun, ingatannya sering lamur—seperti matanya. Bila tak disusul, ia pasti lupa menemukan jalan untuk pulang.

Ia sudah lama tidak tinggal bersama keluarga. Sebelum dititipkan ke dinas sosial, Agni menempati rumah singgah lain di selatan Jakarta, yang diurus oleh sesama transpuan seperti dirinya.

Selain pikun, sakit adalah rasa yang juga sering dicecapnya. Tubuhnya kian mudah digerogoti penyakit.

Suatu ketika, entah karena apa, payudaranya terluka. Teman-teman yang mengurusnya tak punya cukup uang untuk membawa Agni berobat. Beruntung, ada pengurus gereja membantu mengobati lukanya hingga sembuh.

Menjadi tua di Indonesia adalah hal yang sulit, terutama bagi orang miskin. United Nations Population Fund—agensi kesehatan seksual dan reproduksi di bawah naungan PBB—dalam laporan ‘Indonesia on the Threshold of Population Ageing’, menyebutkan peningkatan populasi lansia di Indonesia berbanding terbalik dengan jaminan kesejahteraannya.

Menghabiskan waktu merajut di kursi goyang, mengurus tanaman di pekarangan, atau bermain bersama cucu seharian, adalah kelangkaan—bila tak mau menyebutnya sebagai sesuatu yang kian mustahil. Sebaliknya, banyak lansia hidup dalam jerat kemiskinan sehingga harus tetap bekerja demi menyambung hidup hingga kematian menjemput.

Celakanya, Indonesia tengah berada dalam fase penuaan penduduk. Persentase penduduk berusia 60 tahun ke atas terus meningkat. Di lain sisi, tingkat kelahiran terus menurun. Usia harapan hidup meningkat. Tahun 2020, menurut sensus pemerintah, proporsi warga berusia 60 tahun ke atas meningkat menjadi 9,9 persen. Satu dekade sebelumnya, angkanya hanya berkisar 7,6 persen, dan diperkirakan mencapai 19,85 persen pada 2045.

Kesengsaraan hidup lansia akan semakin berlipat-lipat bila ia adalah transpuan seperti Agni. Menggantungkan hidup kepada teman sesamanya yang masih muda pun bukan pilihan baik. Sebab, mereka juga kesulitan mendapat kerja atau hanya mendapat upah tak menentu.

Susah mencari penghidupan

HUJAN tumpah di kulon Jakarta sejak pagi, Sabtu 6 Juli 2024, membuat suasana sepi dalam salon semakin terasa meski berada persis di depan pasar. Mama Atha pemiliknya.

Salonnya berada di lantai dasar rumah dua tingkat berukuran tiga kali empat meter, yang berbahan semi permanen. Lantai atas adalah kamar yang ditempati Mama Atha dan anaknya.

“Kalau malam, kakak dan keponakan saya juga tidur di sini,” kata Mama Atha kepada saya. Dia tak lagi muda, usianya nyaris 57 tahun.

Ketika saya datang, ada Echa Waode dan Tamara di dalam salon. Mereka bukan pelanggan, tapi aktivis transgender yang kerap datang untuk bertukar kabar.

Tidak seperti dirinya, Echa atau Tamara bisa mengendarai sepeda motor. Jadi, kedua temannya itulah yang kerap berinisiatif datang untuk sekadar menanyakan kabar.

“Kalau mereka kan enak, tinggal naik motor, breng, breng.”

Echa sendiri tinggal di kawasan Tanah Abang, sedangkan Tamara tinggal di daerah Pesing, Jakarta Barat.

Semua petualangan Mama Atha hingga masa senjanya di salon berawal pada tahun 1985, ketika lulus SMP tapi memutuskan tidak melanjutkan ke SMA.

Soeharto sedang jaya-jayanya sebagai penguasa yang bertumpu pada masa ‘bonanza minyak’ dunia tahun 70an. Sampai-sampai, jumlah APBN mampu melampaui pajak. Tapi ‘efek tetesan ke bawah’ yang dijanjikan sang diktator tidak sampai ke orang-orang kecil seperti keluarga Mama Atha.

Ia tidak tega melihat ayah maupun ibu terus bersusah hati hanya untuk bertahan hidup sehari. Ayahnya penarik becak. Ibu menjual nasi di Pasar Duri.

Sempat seorang juragan menawarkan ayahnya becak baru, dengan syarat ditukar dengan Mama Atha yang masih kecil. Sang juragan menyukai dirinya dan berjanji melanjutkan sekolahnya.

Tapi ayah tidak mengiyakan tawaran juragan, begitu juga Mama Atha yang memilih tak bersekolah dan terus membantu ibu berjualan nasi rames di pasar. Mencuci piring adalah tugasnya.

Saat membantu ibu berjualan, Mama Atha berteman akrab dengan perempuan kenalannya yang biasa dipanggil Kak Dian. Satu hal yang membuatnya tertarik adalah pekerjan wanita itu: merias pengantin.

Selepas SMP, dia sempat mengikuti beberapa kursus sembari berjualan nasi, salah satunya menjahit. Tapi hatinya tidak tertambat di ayunan mesin jahit Singer. Sejak SMP dia lebih suka belajar dandan.

Maka, ia minta diajak Kak Dian kalau sedang mendapat orderan. Dia suka memerhatikan saat temannya merias. Awalnya dia tak benar-benar merias, tapi membantu memasang jepitan rambut hingga memasang bunga-bunga.

Atha semakin menemukan dunianya. Medio 90an, setelah banyak belajar merias dari Kak Dian, ia memberanikan diri melamar ke salon ternama di lantai dua Mega Mall Pluit sebagai pekerja dan diterima.

Dia sisihkan sebagian gaji bulanan untuk mengikuti kursus merias profesional. Biayanya dua juta lima ratus sebulan, terbilang mahal untuk era itu.

“Sekarang lebih gila lagi, kursus merias bisa Rp 38 juta.”

Suatu hari, Mama Atha lupa kapan pastinya, seorang perempuan datang meminta pertolongan untuk dirias. Dengan modal seadanya—beberapa alat makeup dan baju pengantin pinjaman—dia memberanikan diri merias mempelai. Hasilnya memukau, dan mulailah debutnya sebagai perias profesional.

Kabar tentang kemampuannya segera tersebar dari mulut ke mulut, hingga seorang saudara Mama Atha memberikan modal dirinya membuka salon sendiri. Dia mengajak temannya, Ayu Parabola, join untuk mengurus salon yang baru didirikan itu.

“Ayu sekarang sudah meninggal. Fotonya masih kusimpan,” kenangnya.

Dinding salonnya dikelir merah muda dan biru, mirip warna bendera transgender. Salon Aldama, namanya terinspirasi dari tokoh utama telenovela yang dulu pernah beken di Indonesia: Marimar.

Dalamnya terbilang sederhana. Ada dua kursi, masing-masing dihadapkan pada cermin, serta kursi keramas berwarna hitam yang diletakkan memanjang.

“Walaupun enggak ada tamu tetap ditungguin.”

Pendapatan Mama Atha dari salon seringkali tidak menentu. Tarif potong rambut hingga creambath yang ditawarkan hanya berkisar Rp20 ribu sampai Rp30 ribu. Harga tertinggi yang ia patok hanya tambahan untuk catok rambut, yakni Rp 50 ribu.

“Kalau untuk rias sendiri sih lumayan ya, bisa sampai tiga (Rp3 juta). Kalau untuk salon sih kadang-kadang dapat cuma untuk makan. Belum lagi untuk kasih keponakan juga.”

Laporan “Menakar Keadilan Dalam Mencari Penghidupan-Studi Situasi Ekonomi Kelompok LGBTIQ di Indonesia” oleh Humanis mengungkap, pendapatan kelompok LGBTIQ di Indonesia berkisar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Sementara, kebanyakan mereka juga kerap memiliki tanggungan selain diri sendiri.

Sulitnya akses kerja formal

PIKIRANNYA MEMBUNCAH. Mama Atha sudah tak mampu menahan amarah. Sudah lima jam bersitegang dengan juri festival teater. Sutradara ikut membelanya.

“Kan sudah dari awal kami tulis tiga aktris,” kata Atha meradang.

“Iya, supaya aman kami tulis aktor waria,” sanggah juri.

“Saya aktris, bukan aktor.”

“Ya tapi….”

Naskah drama Ruang Rias yang dibawakan Atha bersama teman-temannya di Teater Pohon, pertengahan 2013, mendapat apresiasi dewan juri. Seharusnya mereka mendapat juara satu festival. Tapi karena memprotes penulisan aktris menjadi aktor waria, Teater Pohon hanya menjadi juara dua.

“Ayo, diambil piagamnya,” pinta panitia.

“Enggak. Lu ganti dulu itu aktor jadi aktris,”  ketus Atha.

Tahun 80an, selain belajar merias, Atha juga ikut kursus menari dan teater. Ia merasa kerasan. Karena baginya, pentas drama bisa membebaskan jiwanya sebagai perempuan yang selama ini terpenjara dalam tubuh lelaki. Padahal ayahnya sempat menentangnya menari dan bermain teater.

Ngapain sih main teater. Anak-anaknya nakal, rambut gondrong, suka mabuk,” kata ayah.

Kali pertama naik pentas festival, Atha membawakan naskah Topeng karya Danarto. Ia bersama kelompok teaternya meraih juara se-Jawa Barat. Ayahnya lantas melembut.

Tapi, kekecewaannya terhadap juri bersama Teater Pohon, membuat Mama Atha sedikit enggan untuk kembali beradu akting di atas panggung festival.

Salah satu ajakan dari kelompok teater beberapa waktu lalu bahkan ia tolak mentah-mentah. Atha khawatir identitasnya sebagai waria kembali dipersoalkan.

Sambil menunjukkan beberapa foto saat ia tampil di atas panggung teater pada masa silam, Mama Atha berusaha memutar kembali pengalaman kelam. Kala itu ia berperan sebagai seorang Nyai berusia 99 tahun dalam naskah Sumur Tanpa Dasar karya sutradara Arifin C Noer.

“Jurinya bingung, kok ada cewek tinggi, bagus. Pas tahu siapa aku, akhirnya jurinya bilang ‘ah waria’. Jadi kalau dulu begitu.”

Ruang-ruang kesenian seperti teater yang selama ini dianggap lebih terbuka terhadap keragaman identitas, nyatanya juga masih belum menjadi tempat aman bagi individu queer.

Karikatur salah satu adegan Ruang Rias yang dipentaskan Teater Pohon, 2013. [Suara.com/Aldie Syaf Bhuwana]
Karikatur salah satu adegan Ruang Rias yang dipentaskan Teater Pohon, 2013. [Suara.com/Aldie Syaf Bhuwana]

Pernah juga Mama Atha melamar kerja di bidang formal, pabrik garmen. Dia sempat diterima dan bekerja sehari. Tapi keesokannya, personalia memanggil dan memintanya jangan kembali bekerja dengan alasan “Kamu seperti perempuan.”

Kerentanan ekonomi transpuan erat terkait eksklusi sosial terhadap kelompok LGBTIQ. Kondisi ini mempengaruhi akses mereka terhadap perlindungan sosial, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan formal, menurut laporan PRIDE At Work oleh International Labour Organization.

Banyak transpuan sudah merasakannya. Gaby Septiani yang biasa disapa Oma Gaby bercerita bagaimana dirinya sering melamar pekerjaan formal sejak muda—tapi, berkali-kali pula mendapat penolakan.

“Penilaian masyarakat sudah mendarah daging kali ya, kalau transpuan itu identik menjeng di jalan, kayak begitu,” kata Gaby.

Transpuan, tampak secara struktural dilemparkan ke dalam dunia pelacuran. Pekerjaan formal swasta sulit dimasuki, menjadi pegawai negara apalagi. Akses pendidikan formal dan informal terbatasi.

“Banyak yang menjadi pekerja seks, karena berpikir, ya hanya itu yang bisa dilakukan.”

Dia sendiri meyakini, bila transpuan mendapat akses yang sama untuk pendidikan maupun kesempatan kerja, kemampuannya setara dengan yang lain.

Usianya kini sudah 52 tahun. Gaby sudah merelakan hidupnya yang terus mendapat diskriminasi. Kini ia bergiat bersama kelompok Srikandi Pakuan yang mengorganisasikan transpuan di Bogor.

Sementara untuk menyambung hidup, Gaby membantu mengelola warung kelontong milik keluarga.

Pernah suatu masa, persisnya 70an, ketika konservatisme belum mempengaruhi warga, Jakarta tampil sebagai ibu yang benar-benar memeluk semua anaknya, termasuk transpuan.

Mama Atha mengingatnya sebagai masa yang santai. Gubernur Ali Sadikin memberikan ruang di sekitaran Tugu Monas sebagai tempat waria melepas penat, mencari pasangan, atau sekadar berjoget dangdut.

“Sekarang mah boro-boro begitu,” rutuknya.

Ingatan tentang Tuhan

ADZAN mengalun dari dalam celana Mama Atha, saat kami asyik mengobrol di salon. Waktu ternyata sudah Pukul 15.05 WIB.

“Maaf sebentar ya,” katanya sembari merogoh saku celana.

Adzan itu berasal dari aplikasi Alquran yang terinstal dalam telepon selularnya. Setiap waktu salat, aplikasi itu akan memutarkan adzan sebagai pengingat waktu ibadah.

Usia Atha yang berida, membuatnya semakin mengingat Tuhan. Sebisanya, dengan cara yang ia bisa, berusaha mendekatkan diri kepada Sang Khalik.

“Setiap ganti HP, aku selalu pasang aplikasi Alquran. Supaya bisa terus mengingatkan. Meskipun maaf, belum rutin salat, begitu.”

Dia juga lebih banyak bersilaturahmi dengan tetangga dan teman. Buatnya, itu adalah cara untuk tetap sehat, meredakan emosi, dan mencari jalan menuju Tuhan.

Pernah ada seorang ustaz yang rajin mengunjungi transpuan di Kampung Duri. Ustaz Sofian namanya, tapi waria di sana biasa memanggilnya sebagai Ustaz Seroja. Belajarlah mereka membaca dan mengkaji Alquran.

Selama pengajian, Ustaz Sofian tidak pernah mengatur cara berbusana murid-muridnya.  Mau pakai peci, kerudung, atau apa pun terserah, bebas.

Mama Atha sendiri memilih berkopiah dan berkain sarung seperti lelaki setiap mengaji. Ada pula waria yang memakai hijab.

“Kalau dipikir-pikir, lelaki di Arab juga pakai hijab dan berbaju gamis.”

Keyakinan bahwa Tuhan maha adil membuat Mama Atha lega. Ia akan menyerahkan jiwa dan tubuhnya, apa adanya, kepada Tuhan karena yang terpenting adalah beribadah.

“Walaupun payudara kami besar, kami salat untuk kembali ke fitrah, yakni menghadap sang Khalik.”

Dirinya dan waria lain seringnya salat di rumah. Bukannya tak mau ke masjid, tapi sadar masih sulit mereka diterima di sana walau memakai pakaian layaknya laki-laki.

“Walau berjemaah lebih besar pahalanya, kami sudah ada ketakutan sendiri bila ke masjid. Yang penting niat saja lah. Soal nilai, Allah yang bisa menilainya.”

Mama Atha, pemilik Salon Aldama, Kampung Duri, Jakarta Barat. Dia juga dikenal sebagai pelaku seni serta aktivis transpuan. [Suara.com/Bimo Aria Fundrika]
Mama Atha, pemilik Salon Aldama, Kampung Duri, Jakarta Barat. Dia juga dikenal sebagai pelaku seni serta aktivis transpuan. [Suara.com/Bimo Aria Fundrika]

Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi yang Bantu

OMA GABY bingung tak karuan. Rani semakin drop. Kawannya sesama transpuan di Bogor itu memang sudah lama sakit-sakitan.

Mau dibawa ke dokter untuk berobat, tapi tidak punya kartu identitas apa pun. Akhirnya, Rani hilang hayat.

Tapi, kegamangan Oma gaby lebih-lebih lagi. Untuk mengurus birokrasi administratif kematian dan pemakaman, dia perlu menyetorkan identitas Rani.

Terlepas dari itu, dia ingin membawa pulang jenazah Rani ke pangkuan keluarga, agar bisa menceritakan segala hal baik tentang temannya semasa hidup hingga mangkat, dan tentunya memberikan pemakaman yang layak.

Dia terus bertanya dan mencari, hingga akhirnya mendapatkan secarik kertas fotokopian yang berisi identitas kawannya itu: Rani, asal Majalengka, Jawa Barat.

Dibantu Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bogor, yang terbiasa membantu pemulangan jenazah transpuan tanpa identitas—meski bukan pengidap HIV—Oma Gaby membawa jenazah Rani ke Majalengka.

Tapi apa lacur, keluarga yang ditemuinya tak mau menerima, apalagi memakamkan jenazah Rani. Ia memutar otak, mencoba meminta bantuan Puskesmas setempat, meski ternyata juga tidak banyak menolong.

Beruntung, Oma Gaby mendapat informasi tentang keberadaan saudara jauh Rani. Ia menemuinya dan meminta pertolongan, agar bisa menengahi ke keluarga temannya itu.

“Ibu, bagaimana pun, Rani adalah anak ibu,” kata-kata Oma Gaby yang bak mantra, mampu meluluhkan hati keluarga kawannya.

Penolakan, diskriminasi, dan kesulitan biaya, sempat membuat komunitas transpuan menginisiasi agar queer lansia terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Iuran itu didapat dari dukungan publik. Saat ini, sudah ada 163 transpuan lansia yang menjadi peserta BPJS TK.

Namun, masalah terjadi saat ingin mengajukan pencairan manfaat. Komunitas transpuan sering mengalami penolakan klaim kematian dari BPJS TK. Alasannya, surat wasiat peserta tidak diakui. Peserta dinilai tidak bekerja, atau dianggap memiliki penyakit menahun.

“Padahal, ketika mereka mendaftar, BPJS TK menerimanya dan karena itu warga transgender secara aktif membayar iuran,” ujar Jaringan Komunitas Untuk BPJS TK (JKU - BPJS TK) Hartoyo.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menilai penolakan klaim jaminan kematian transpuan miskin oleh BPJS TK adalah pelanggaran HAM.

Berdasarkan analisis kasus yang diterima Komnas HAM, Anis menyebut BPJS TK diduga melanggar hak atas kesejahteraan, kesehatan, dan perlakuan diskriminatif karena menolak klaim-klaim kematian pesertanya dari kelompok transpuan.

"Kasus ini sedang ditangani Komnas HAM, terutama di bagian mediasi, karena ada dugaan pelanggaran HAM,” kata Anis.

Penolakan klaim Jaminan Kematian oleh BPJS Ketenagakerjaan membuat transpuan yang meninggal kesulitan untuk dimakamkan secara layak.

Penulis Laporan Analisa Pemetaan Jaminan Sosial Bagi Transpuan, Mia Olivia, menekankan bahwa urusan identitas dan administrasi transpuan yang meninggal seharusnya tak menjadi penghalang.

"Kalau kita mau berpegangan, katanya negara ini beragama, kita seharusnya bisa menguburkan transpuan dengan layak. Itu kan tidak manusiawi, hanya untuk menguburkan saja kita kebingungan," ujar Mia.

Situasi yang dialami sejumlah transpuan, membuat Oma Gaby sadar betapa pentingnya kelompok queer untuk berjejaring dan mendukung satu sama lain.

“Aku melihat diriku sendiri ya. Jujur, siapa lagi yang bisa membantu transpuan, kalau bukan dari teman-teman transpuan sendiri. Aku bagian dari komunitas, siapa lagi yang bisa membantu, kalau bukan dari kita.”

-----------------------------------------

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #AgamaUntukSemua bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan Koalisi #RawatHakDasarKita dan Embassy of Canada to Indonesia, in Jakarta.