Eks Bupati Langkat Kasus Kerangkeng Manusia Divonis Bebas, Hak Pemulihan Korban Pupus

Eks Bupati Langkat Kasus Kerangkeng Manusia Divonis Bebas, Hak Pemulihan Korban Pupus


Suara.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sitabat memutuskan mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-Angin alias Cana tidak bersalah dalam kasus tindak pidana perdagangan orang atau TPPO. Hakim menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum atau JPU yang menyebut Cana terlibat tidak terbukti. 

Oleh karena itu Cana dibebaskan dari segala tuntutan. Padahal jaksa menuntut agar mantan orang nomor satu di Kabupaten Langkat itu dijatuhi hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp500 juta, serta membayar restitusi Rp2,37 miliar kepada 11 orang korban. 

Bebasnya Cana dinilai tidak sejalan dengan komitmen pemerintah yang menyatakan 'perang' melawan perdangan orang. Selain itu, hak pemulihan para korban terdampak. Karena putusan tersebut membebaskan Cana dari kewajiban mebayar restitusi kepada para korban.  

Kasus TPPO atau yang lebih dikenal kerangkeng manusia ini awalnya terungkap saat Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan kasus korupsi di lingkungan pemerintahan kabupaten Langkat pada Januari 2022. Operasi penangkapan berlanjut dengan penggeledahan di rumah Cana yang berada di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala. 

Saat mengeledah, penyidik menemukan kerangkeng manusia di belakang rumah Cana. Temuan itu ditindaklanjuti penyidik KPK lewat berkoordinasi dengan kepolisian setempat. Pihak Cana mengklaim kerangkeng tersebut dijadikan tempat rehabilitasi bagi pengguna narkoba. 

Berdasarkan penyidikan kepolisian, penghuni kerangkeng diperkejakan di perkebunan sawit milik Cana. Mereka bekerja tanpa mendapatkan gaji, mengalami penyiksaan, bahkan dilaporkan terdapat empat nyawa melayang. 

Putusan majelis hakim yang diampu oleh Ardiansyah sebagai ketua, dan anggotanya Dicki Irvandi serta Cakra Tona Parhusip menuai kritikan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara atau KontraS Sumut mengatakan putusan hakim adalah bentuk pengangkangan hukum terhadap keadilan para korban serta mencederai nilai kemanusiaan. 

Tim Advokasi KontraS Sumut, Ady Yoga menyatakan kerangkeng manusia yang dibuat Cana adalah bentuk perbudakan modern. Menurut dia putusan hakim tidak dapat diterima, mengingat aktor lapangan dalam kasus ini telah divonisi bersalah. 

"Aktor lapangan telah divonis, sedangkan aktor intelektual sekaligus pemilik kerangkeng divonis bebas. Sungguh mengerikan dan tidak dapat diterima akal sehat," kata Ady kepada Suara.com, Kamis (11/7/2024). 

Aktor lapangan yang dimaksud adalah Dewa Perangin Angin, putra Cana, Hermanto Sitepu, dan Iskandar Sembiring. Ketiganya dinyatakan terbukti bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sitabat pada 30 November 2022. Mereka dihukum masing-masing satu tahun tujuh bulan penjara. Hukuman yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta mereka divonis tiga tahun penjara.

Infografis perjalanan sidang kerangkeng manusia eks Bupati Langkat. [Suara.com/Iqbal]
Infografis perjalanan sidang kerangkeng manusia eks Bupati Langkat. [Suara.com/Iqbal]

Ady pun menilai, vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim tak bisa dipisahkan dengan relasi kuasa Cana yang merupakan mantan Bupati Kabupaten Langkat. Dia menduga relasi tersebut memungkingkan intervensi terhadap institusi peradilan. 

"Lagi lagi kami sangat kecewa dengan putusan yang tidak menjunjung tinggi rasa keadilan dan melakukan pembiaran terhadap fakta-fakta bahwa praktik penyiksaan dan perbudakan terjadi di kerangkeng milik TRP (Cana)," ujar Ady.  

Berdasarkan hasil wawancara Suara.com dengan beberapa korban pada Maret 2022 lalu, mengungkap dugaan keterlibatan Cana. Pihak yang berhasil diwawancara Suara.com merupakan korban yang mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK. 

Sejumlah korban menyebut Cana menjadi salah satu pihak yang ditakuti anak kareng--sebutan bagi penghuni kerangkeng. Jika Cana datang ke perkebunan sawitnya, artinya mereka harus bekerja lebih panjang. 

Cana juga disebut melakukan penyiksaan. Korban mengungkapkan, Cana memiliki alat khusus, yakni selang berwarna biru sepanjang satu meter dengan gagang di ujungnya. Selang itu disimpan di bagasi sepeda motor Cana. Selang biru itulah yang dijadikan Cana untuk mencambuki anak-anak kareng.

Kesaksian para korban ini sesuai dengan tuntutan jaksa yang juga menyinggung soal dugaan penyiksaan. Dalam tuntutan yang dibacakan pada 5 Juni, menyebutkan Cana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam tindak pidana perdagangan orang. 

"Merencanakan atau melakukan permufakatan tindak pidana perdagangan orang. Yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, mengakibatkan orang tereksploitasi,” bunyi tuntutan jaksa.  

Sementara, informasi yang dihimpun Suara.com, kerangkeng manusia didirikan Cana pada 2007 dengan kapasitas awal 20 orang. Pada 2016, Cana kembali membangun kerangkeng untuk meningkatkan daya tampungnya. Meski diklaim untuk tempat rehabilitasi bagi penggunan narkoba, belakangan terungkap kerangkeng manusia tersebut tidak memiliki izin dari Badan Narkotika Nasional atau BNN. 

Pemulihan Korban Diabaikan

Di sisi lain, Ady menilai vonis bebas yang dijatuhkan kepada Cana turut berdampak kepada para korban. Hal itu karena putusan hakim bukan hanya membebaskan Cana dari hukuman penjara, tapi juga membebaskannya dari kewajiban membayar biaya restitusi. 

"Artinya bebasnya TRP (Cana) akan berdampak terhadap tidak terpenuhinya pemulihan bagi korban," ujar Ady. 

Padahal pemulihan bagi para korban, menjadi poin penting dalam perkara ini. Berdasarkan tuntutan jaksa, Cana harus membayar biaya pemulihan bagi 11 korban atau ahli warisnya. Biaya restitusi yang dituntut senilai Rp2,3 miliar. 

Biaya pemulihan itu ditujukan kepada Trinanda Ginting senilai Rp198,5 juta, Dana Ardianta Syahputra Sitepu diwakili Edi Suranta Sitepu senilai Rp228,5 juta, Heru Pratama Gurusinga senilai Rp263,6 juta, Riko Sinulingga senilai Rp124,8 juta, dan Edo Saputra Tarigan senilai Rp189,1 juta. 

Kemudian Dodi Santoso (Alm) diwakili Supriani senilai Rp25,3 juta, Suherman senilai Rp355,6 juta, Satria Sembiring Depari senilai Rp299,7 juta, Edi Kurniawan Sitepu senilai Rp200 juta, Sofhan Rafiq senilai Rp133 juta, dan Bambang Sumantri senilai Rp132 juta. 

Mengingat jaksa telah menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Aguang, Ady mendesak agar permohonan restitusi bagi para korban tetap menjadi materi utama.

Imputinas Kepada Aktor Negara

Komisi Nasional Hak Manusia atau Komnas HAM menyatakan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Sitabat tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang memerangi tindak pidana perdagangan orang. 

Sebagaimana diketagui Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Tahun 2020-2024. 

Peraturan ini mengatur tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau RAN PPTPPO. 

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menilai, bebasnya Cana berpotensi melahirkan praktik-praktik imputinas kepada aktor negara yang terlibat kasus perdagangan orang. 

"Mengakibatkan para korban mengalami penderitaan, kekerasan, penganiayaan, perlakuan yang meredakan martabat manusia," tegasnya. 

Komnas HAM pun mendukung upaya kasasi yang akan diajukan Kejaksaan Negeri Langkat.

Desak KY Turun Tangan

Mengingat putusan hakim dinilai tidak memberikan rasa keadilan bagi para korban. Komnas HAM dan KontraS Sumut sama-sama sepakat mendorong Komisi Yudisial atau KY untuk turun tangan memberikan atensi terhadap para hakim yang mengadili Cana.

Juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan akan mempelajari terlebih dahulu putusan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Sitabat kepada Cana. Hal itu mereka lakukan sebagai pintu masuk untuk melihat dugaan pelanggaran etik hakim. Tapi, kata dia, KY tidak memiliki kewenangan untuk menilai benar atau salah putusan hakim. 

Komisi Yudisial melalui penghubung KY Sumatera Utara juga telah melakukan pemantauan persidangan. 

"Tim pemantau telah melakukan dua kali pemantauan persidangan terhadap aspek perilaku hakim, proses persidangan, serta situasi dan kondisi pengadilan. Hal ini untuk memastikan hakim bersikap independen dan imparsial dalam memutus, tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun," kata Fajar kepada Suara.com