Suara.com - "Semoga takdir kebenaran ini bisa terungkap semua, amin. Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka."
***
PEGI Setiawan sumringah. Senyumnya lepas setelah tahu dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Sambil melambaikan tangan, ia menyapa keluarga dan kuasa hukum yang telah menunggu di depan ruang Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda Jawa Barat, pada Senin malam, 8 Juni 2024.
"Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada kalian semua," kata Pegi.
Pukul 21.39 WIB Pegi resmi dibebaskan dari ruang tahanan. Sudah 48 hari pria 27 tahun itu mendekam di bui karena dituduh sebagai tersangka utama pembunuhan Vina Dewi Arsita dan kekasihnya Muhammad Risky Rudiana alias Eki di Cirebon, 27 Agustus 2016 silam.
Polda Jawa Barat membebaskan Pegi setelah permohonan praperadilannya dikabulkan Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. Dalam persidangan yang digelar Senin, 8 Juli 2024, hakim tunggal Eman Sulaeman menyatakan penetapan tersangka Pegi oleh penyidik Polda Jawa Barat batal demi hukum.
Eman menilai proses penetapan tersangka Pegi tidak sesuai prosedur. Salah satunya, karena penyidik Polda Jawa Barat tidak pernah memeriksa Pegi terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Padahal ketentuan tersebut tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PWU/XII/2014 tanggal 16 Maret 2015.
Selain itu, Eman juga mempermasalahkan keputusan Polda Jawa Barat yang memasukkan nama Pegi dalam daftar pencarian orang atau DPO. Di mana penetapan DPO dilakukan tanpa didahului pemberitahuan kepada pihak keluarga Pegi.
"Semoga takdir kebenaran ini bisa terungkap semua, amin. Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka," ucap Pegi usai dibebaskan.
Sudah Diprediksi
Kuasa hukum Pegi, Marwan Iswandi sejak awal telah memprediksi permohonan praperadilan kliennya akan dikabulkan Pengadilan Negeri Bandung. Bahkan ia sudah berulang kali menyampaikan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Jawa Barat Irjen Akhmad Wiyagus agar penahanan Pegi ditangguhkan.
"Kami sudah tahu ini pasti bebas. Saya sudah tahu bangat, makanya saya minta dari awal penangguhan penahanan," kata Iswandi kepada Suara.com, Senin (8/7/2024).
Keyakinan Iswandi, karena ciri-ciri DPO atas nama Pegi alias Perong yang sempat disebar Polda Jawa Barat tidak sesuai dengan Pegi Setiawan. Kemudian keterangan saksi fakta yang dihadirkan dalam sidang praperadilan juga mengungkap Pegi pada saat peristiwa pembunuhan Vina dan Eki terjadi berada di Bandung bukan Cirebon.
"Kurang apalagi, udah jelas dan nyata. Kalau dari pihak kepolisian ini dia hanya bisa memberikan alat buktinya itu ijazah, KK, foto, apa hubungannya dengan perkara ini? Itu loh, emang sangat lucu," ujarnya.
Kesalahan prosedur Polda Jawa Barat menetapkan Pegi sebagai tersangka dinilai Iswandi sebagai bentuk pelanggaran HAM. Karena itu ia menuntut Kapolri mencopot Kapolda Jawa Barat Irjen Akhmad Wiyagus dan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Surawan dari jabatannya.
Iswandi telah merencanakan melayangkan gugatan ganti rugi baik materil dan immateril kepada Polda Jawa Barat. Upaya hukum lebih lanjut tersebut akan ditempuh setelah kondisi psikologis Pegi membaik.
"Kemenangan hari ini adalah kemenangan masyarakat Indonesia terutama kalangan bawah. Jangan sampai di negara ini untuk mentersangkakan orang karena mungkin ingin karirnya cepat atau nggak mau kerja capek, terus mentersangkakan orang kasus seperti ini cukup dengan ijazah doang, ini bahaya. Jangan sampai karena orang tidak mampu, orang nggak punya ditersangkakan," kata dia.
Runtuh Muruah Polri
Putusan praperadilan ini membuktikan adanya ketidakprofesionalan penyidik Polda Jawa Barat. Ketidakprofesionalan anggota yang terus berulang dianggap semakin menimbulkan keraguan publik terhadap kerja-kerja penyidikan kepolisian.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies atau ISESS, Bambang Rukminto mengungkap akar permasalahan ini karena tidak berjalannya fungsi pengawasan dan penyidikan atau Wassidik. Padahal pengawasan tersebut sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya abuse of power.
"Mengapa itu terjadi, pertama karena penyidik kepolisian tidak profesional dengan mengabaikan standar operasional prosedur dan scientific crime investigation. Kedua karena tidak berjalannya fungsi Wassidik internal di level atasnya," jelas Bambang kepada Suara.com.
Demi menjaga muruah Polri, Bambang menyarankan dilakukan audit investigasi terhadap proses penyidikan kasus ini sejak di tangani Polres Cirebon hingga Polda Jawa Barat. Kapolri juga harus berani memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran.
"Kalau ada obstruction of justice tentu oknum pelaku juga idealnya diseret ke ranah pidana. Meskipun realitanya selama ini nyaris semua oknum dilindungi institusi dengan cukup menjalankan sidang etik dan disiplin saja. Itu lah yang salah satunya membuat perilaku gegabah, ketidakcermatan sampai salah tangkap terulang dan terulang lagi," ungkapnya.
Bisa Jadi Tersangka Lagi
Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad menyebut Polda Jawa Barat masih bisa menetapkan kembali Pegi sebagai tersangka. Namun, proses penyelidikannya harus dimulai dari awal. Selain itu penyidik juga mesti memiliki bukti baru.
"Bukti itu jangan sekadar bicara soal jumlahnya. Tapi juga harus lihat isi dari alat bukti atau kualitas alat bukti itu," kata Suparji saat dihubungi Suara.com, Selasa (9/7).
Kekalahan Polda Jawa Barat menghadapi gugatan praperadilan Pegi menurut Suparji harus dijadikan bahan evaluasi. Penyidik dalam melakukan proses penegakan hukum sudah semestinya cermat dan teliti.
"Proses penegakan hukum tidak boleh terpengaruh oleh netizen atau terpengaruh oleh dinamika publik. Karena indikasi itu ada bahwa ini kan baru diproses lagi setelah adanya film (Vina: Sebelum 7 Hari). Mestinya itu tidak boleh. Harus hati-hati dan cermat," tuturnya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan Pengadilan Negeri Bandung yang mengabulkan permohonan praperadilan Pegi. Dia juga memastikan akan menindaklanjuti putusan tersebut.
Sedangkan Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro enggan menyimpulkan apakah ada tindakan salah tangkap di balik penetapan Pegi sebagai tersangka. Ia berdalih hal tersebut masih perlu dilakukan pendalaman.
"Saya sampaikan bahwa putusan apakah ini salah tangkap atau tidak, ini kami masih melihat. Melihat sejauh mana proses yang ada," kata Djuhandhani di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (8/7).
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.
Dengan gaji tiap bulan yang pas-pasan, para pekerja di kawasan perkantoran elite Jakarta terpaksa harus mencari penghasilan tambahan, seperti jadi driver ojol sepulang kerja.
Pengungsi Rohingya sempat terkatung-katung di atas truk, tidak bisa menginjakkan kaki ke tanah karena ditolak warga.