Jejak Sepatu di Punggung Afif Maulana: Bocah 13 Tahun Diduga Disiksa Polisi Hingga Tewas

Jejak Sepatu di Punggung Afif Maulana: Bocah 13 Tahun Diduga Disiksa Polisi Hingga Tewas


Suara.com - "Kami menduga anak saya ini ditaruh di sana setelah dianiaya. Karena saat ditemukan itu posisinya diletakkan, bukan posisi orang jatuh dari ketinggian."

***

SABTU, 8 Juni 2024, Afrinaldi tak menyangka, malam itu percakapan terakhirnya dengan sang anak, Afif Maulana

"Pah Afif ini lagi di Cengkeh," kata Afif. 

Afrinaldi masih ingat, menjelang maghrib sekitar pukul 18.00 WIB Afif menelepon memberi kabar tersebut. 

"Kok ndak bilang ke papah?" tanya Afrinaldi. 

"Tadi papah tidur," jawabnya. 

Bocah 13 tahun ini awalnya izin ke sang ayah pergi berenang bersama saudaranya pagi hari. Namun sepulang berenang dan menaruh pakaian basah di rumah, Afif kembali bermain ke daerah Cengkeh, Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. 

Rumah Afif berada di Kampung Baru Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang. Afrinaldi saat itu posisinya sedang tidur. Sehingga tak tahu ketika Afif keluar rumah kembali sepulang berenang. Tapi, dia tak sedikitpun menyimpan firasat buruk. Dalam pikirannya saat itu Afif sekadar bermain dengan teman-teman di sekitar rumah neneknya.

Pukul 22.30 WIB, Afrinaldi menghubungi Afif lewat panggil video WhatsApp. Afrinaldi posisinya sedang bekerja di Lumbuk Buaya. Ingin memastikan anaknya sudah pulang ke rumah. 

"Fif udah pulang?" tanya Afrinaldi. 

"Belum Pah, Afif masih di Cengkeh tempat kawan," ucap Afif. 

"Jam berapa pulang?" Afrinaldi kembali bertanya. 

"Jam 02.00 WIB lah Pah?" jawab Afif. 

"Ah kok lama kali?" timpal Afrinaldi. 

"Ya Pah, Afif mau nonton bola di pos ronda," jelas Afif. 

"Kalau jam 02.00 WIB nggak usah pulang, tidur di Cengkeh aja. Nanti takut begal," Afrinaldi mengingatkan. 

Setelah itu, Afif mengirim video sedang di pos ronda bersama temannya. 

"Pah nanti kalau kemalaman Afif tidur di pos sini aja," tutur Afif. 
 
"Yaudah nak nanti motornya dikunci stang," pinta Afrinaldi. 

"Iya pah" jawab Afif. 

Minggu, 9 Juni 2024, Afrinaldi tak lagi bisa menghubungi Afif. Nomor teleponnya sudah tidak aktif. 

Menjelang magrib, Afrinaldi ditelpon istrinya. Dia dikabari kalau Afif telah ditemukan tak bernyawa di kolong jembatan Sungai Batang Kuranji. 

Afrinaldi terperanjat. Dia langsung menghubungi aparat kepolisian di Polsek Kuranji.

"Anak saya di mana?" tanya Afrinaldi.

"Di RS Bhayangkara," jawab anggota Polsek Kuranji. 

Setiba di Polsek Kuranji, anggota polisi menjelaskan, Afif meninggal dunia akibat tawuran. 

"Waktu itu kami nggak terlalu merespons. Jadi langsung ke rumah sakit," kata Afrinaldi dalam perbincangan dengan Suara.com, Senin (24/6/2024).

Senin, 10 Juni 2024, anggota Polsek Kuranji dan Polresta Padang datang. Mereka menyarankan Afrinaldi membuat laporan polisi. 

"Ini mau diteruskan atau gimana? Kalau mau diteruskan autopsi dalam bagusnya," kata anggota polisi tersebut.
 
"Yaudah autopsi dalam aja," jawab Afrinaldi karena ingin penyebab kematian anaknya terungkap. 

"Yaudah bikin laporan ke Polresta," saran anggota polisi itu.

Afrinaldi langsung bergegas ke Polresta Padang membuat laporan. Sementara jasad Afif dilakukan visum. Proses visum dimulai pukul 15.00 hingga 17.00 WIB. 

"Kami minta dimandikan dan dikafani di rumah," ujar Afrinaldi. 

Setelah jasad Afif selesai dikubur, Afrinaldi kembali ke Polresta Padang untuk diambil keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan atau BAP. Dia sempat bertanya, terkait penyebab kematiannya. 

"Pak itu anak saya penyebab kematiannya apa?" tanya Afrinaldi. 

"Ini penyebab karena patah tulang rusuk 6 buah sama robek paru-paru 11 sentimeter," jelas anggota polisi.

Klaim Polisi

Kapolda Sumatera Barat Irjen Suharyono menyebut Afif diduga tewas karena melompat ke Sungai Batang Kuranji. Dugaan ini merujuk keterangan teman Afif berinisial A yang memboncenginya. 

Ketika itu Afif disebut mengajak A melompat ke sungai saat tim patroli Sabhara Polda Sumatera Barat mengejar sekelompok remaja yang konvoi sepeda motor sambil membawa senjata tajam. Mereka diduga hendak melakukan aksi tawuran. 

Suharyono menyampaikan, dari 18 remaja yang sempat diamankan Polda Sumbar tidak ada nama Afif. Sedangkan terkait penyebab pasti kematian Afif masih didalami. Sebab penyidik juga masih menunggu hasil autopsi dari dokter forensik. 

Selain itu, Bidang Propam Polda Sumbar sejauh ini telah memeriksa 30 anggota Sabhara yang patroli pada malam itu. Pemeriksaan dilakukan untuk mendalami duduk perkara secara utuh. 

"Saya sebagai Kapolda Sumbar akan bertanggung jawab, jika memang ada anggota yang terlibat dalam penyimpangan ini," kata Suharyono kepada wartawan, Minggu (23/6). 

Diduga Disiksa

Afrinaldi menyaksikan keterangan Suharyono yang menyebut Afif diduga tewas akibat melompat ke sungai. Sebab jasad anaknya tersebut posisinya ditemukan di kolong jembatan. 

Semestinya, kata Afrinaldi, jika Afif benar melompat, jasadnya ditemukan di sisi kiri jembatan sebagaimana keterangan A. Di mana A menjelaskan, tim patroli Sabhara Polda Sumbar menendang sepeda motor Honda Beat yang ditumpanginya bersama Afif hingga terjatuh ke sisi kiri jalan jembatan tersebut. 

Kalaupun terseret arus air, lanjut Afrinaldi, jasad Afif semestinya ditemukan di sisi kiri jembatan mengikuti arus air. Bukan justru mengalir ke kanan melawan arus hingga ditemukan di tengah kolong jembatan.

"Itu sungai sudah kering, yang berair itu di ujung sana, di bawah itu batu-batu," ungkap Afrinaldi. 

Selain itu, jejak luka pada jasad Afif tidak terlihat seperti korban yang jatuh dari ketinggian. Dia mengungkap luka pada tubuh Afif sebagian besar berupa memar. 

"Kalau jatuh dari ketinggian 25 meter otomatis patah-patah atau kepalanya pecah. Ini nggak ada," bebernya. 

Afrinaldi juga mengaku menemukan luka memar pada bagian punggung dan pinggang Afif seperti jejak sepatu. 

"Jadi kami menduganya ini anak saya ditaruh di sana setelah dianiaya. Karena posisinya saat ditemukan itu posisi diletakkan, bukan posisi orang jatuh dari ketinggian," tuturnya. 

Atas kejanggalan tersebut, Afrinaldi meminta Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat memberikan perhatian. Dia berharap proses hukum atas penyebab kematian anaknya ini dilakukan secara jujur dan terbuka. 

"Agar kami bisa mendapat keadilan. Kami benar-benar berharap pelakunya dapat ditangkap," katanya. 

Investigasi LBH Padang

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menemukan adanya dugaan penyiksaan yang dilakukan anggota Sabhara Polda Sumbar di balik kasus ini. Penyiksaan bukan hanya dilakukan terhadap Afif, melainkan juga anak-anak lain yang sempat ditangkap malam itu. 

Direktur LBH Padang, Indira Suryani menuturkan berdasar hasil investigasi ada lima anak di bawah umur dan dua orang dewasa yang turut disiksa. Penyiksaan tersebut berupa cambuk, pukulan rotan, setrum, hingga sundutan rokok. Selain itu korban juga ada yang dipaksa untuk berciuman dengan sesama jenis. 

Indira mengungkap awal peristiwa penyiksaan ini terjadi sekitar pukul 04.00 WIB. Ketika itu Afif bersama temannya berinisial A mengendarai sepeda motor Honda Beat melintas di jembatan Sungai Batang Kuranji. Tiba-tiba anggota Sabhara Polda Sumbar yang patroli menggunakan motor Kawasaki KLX menghampiri dan langsung menendang hingga mereka terpelanting jatuh ke sisi kiri jalan jembatan Sungai Batang Kuranji. 

Setelah itu A dibawa ke sebuah ruangan yang diduga di Polsek Kuranji. Jaraknya hanya berkisar 200 meter dari jembatan Sungai Batang Kuranji. 

A saat itu sempat melihat Afif berdiri dikelilingi anggota Sabhara yang memegang rotan. Sejak itu dia tidak lagi melihat Afif. 

Berdasar keterangan A, dia mengaku ditendang dua kali pada bagian wajahnya. Lalu disetrum dan diancam apabila melaporkan kejadian penyiksaan tersebut.

"Kami menduga kuat itu di Polsek Kuranji. Karena jembatan itu dekat dengan Polsek Kuranji, hanya sekitar 200 meter," kata Indira kepada Suara.com, Senin (24/6).

Penyiksaan ini tidak hanya terjadi di Polsek Kuranji. Korban setelah dibawa ke Polda Sumbar juga disuruh berjalan jongkok dan berguling-guling hingga muntah. 

Indira mengaku telah mendokumentasikan luka-luka korban yang diduga akibat penyiksaan tersebut. Sebagian besar dari korban yang masih di bawah umur merasa ketakutan dan trauma akibat disiksa. 

"Karena ini polisi yang melakukan tentu kami namakan penyiksaan bukan penganiayaan. Ini kejahatan HAM bukan kejahatan biasa," ujar Indira. 

"Kami mengingatkan sejak awal kepada polisi, mengatasi tawuran itu bukan dengan kekerasan dan penyiksaan. Itu tidak boleh apalagi ke anak-anak," imbuhnya. 

Infografis kasus kekerasan aparat terhadap warga sipili. [Suara.com/Ema]
Infografis kasus kekerasan aparat terhadap warga sipili. [Suara.com/Ema]

Menurut Indira pihaknya juga telah berupaya mencari identitas anggota Sabhara Polda Sumbar yang diduga melakukan penyiksaan. Salah satunya dengan menunjukkan beberapa foto anggota Sabhara yang ditemukan di media sosial ke para korban. Beberapa korban ternyata masih mengenali wajah-wajah anggota yang melakukan penyiksaan. 

"Dia menujuk begitu ya dari foto yang kami lihatkan. Tapi kan kami belum tahu namanya," jelas Indira. 

LBH Padang telah mengajukan permohonan informasi ke Polda Sumbar terkait identitas 30 anggota Sabhara yang melakukan patroli malam itu.

Indira menambahkan, selain anak-anak korban penyiksaan, orang tua mereka juga merasa ketakutan. Sebab mereka merasa berhadapan dengan anggota polisi. 

"Jujur saja kami tidak cukup percaya sebenarnya kasus ini bisa diselesaikan di tingkat kepolisian Sumatera Barat. Sehingga kami ingin Pak Kapolri mengambil alih kasus ini," katanya. 

Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Dwi Sulistyawan saat dihubungi Suara.com mengaku Bidang Propam masih mendalami terkait dugaan penyiksaan yang dilakukan anggota Sabhara. Dia memastikan hasil daripada pemeriksaan tersebut nantinya akan disampaikan ke publik. 

"Iya pasti akan disampaikan," kata Dwi kepada Suara.com, Senin (24/6).

Kultur Kekerasan Polisi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkap sejak Januari hingga Juni 2024 setidaknya ada 308 peristiwa kekerasan yang dilakukan anggota polisi. Kekerasan tersebut meliputi tindakan penyiksaan, kesewenang-wenangan kekuasaan, hingga extra judicial killing. 

Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza menyebut tingginya angka penyiksaan yang terjadi ini dilatarbelakangi beberapa faktor. Salah satunya kultur kekerasan di instansi kepolisian. 

"Masih dinormalisasinya kultur kekerasan yang pada akhirnya kultur tersebut terbawa hingga sampai ke ranah sipil," kata Yahya kepada Suara.com, Senin (24/6).

Selain itu, Yahya menilai praktik kekerasaan atau penyiksaan yang dilakukan anggota polisi ini terus berulang terjadi karena minim pengawasan. Baik pengawasan yang dilakukan internal maupun eksternal terhadap kinerja kepolisian. 

Dari sejumlah kasus tindakan kesewenang-wenangan, kekerasan hingga penyiksaan oleh polisi, pelakunya hanya mendapatkan sanksi ringan dan tidak menimbulkan efek jera. 

"Sehingga pada akhirnya justru hal tersebut melanggengkan praktik-praktik impunitas hingga saat ini," ujar Yahya.

Padahal, kata Yahya, Polri telah memiliki aturan internal. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Tapi, nilai-nilai yang menjunjung HAM tersebut terkesan hanya sebatas regulasi dan tidak diiringi implementasi menyeluruh di institusi kepolisian.

"Sehingga hingga saat ini tindakan kekerasan itu masih masif terjadi," ungkapnya. 

Senada dengan KontraS, Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mengaku prihatin atas peristiwa ini. Mereka meminta Polri mengungkap secara transparan penyebab kematian Afif. 

Komisioner KPAI, Dian Sasmita juga meminta Polri berbenah jika benar Afif nantinya terbukti meninggal dunia akibat disiksa. Sebab sekalipun anak-anak tersebut diduga melakukan pelanggaran hukum, sepatutnya diproses menggunakan kaidah dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). 

"Tidak diperkenankan melakukan kesewenang-wenangan dan bahkan menggunakan kekuatan yang berlebihan," jelas Dian dalam keterangannya, Senin (24/6).  

"Jika benar ternyata AM (Afif Maulana) meninggal karena kekerasaan oknum kepolisian, maka Polri perlu segera berbenah. Memastikan perbaikan kapasitas dan kualitas SDM Polri dalam penanganan anak. Agar dikemudian hari tidak ada lagi AM-AM berikutnya," pungkasnya.