Terendus Aroma Korupsi di Proyek Investasi PGN: Siapkah BUMN Ini Dibersihkan?

Terendus Aroma Korupsi di Proyek Investasi PGN: Siapkah BUMN Ini Dibersihkan?


Suara.com - Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menemukan sejumlah proyek serampangan PT Perusahan Gas Negara atau PT PGN Tbk yang berpotensi bikin buntung negara. Dugaan korupsi dalam transaksi jual beli gas antara PGN dan PT Inti Alasindo Energi atau IAE yang diusut KPK, hanyalah satu dari sederat kasus lain yang direkomendasikan BPK agar ditindaklanjuti aparat penegak hukum. 

Proyek Jual Beli Gas

Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan dua orang tersangka dalam perkara rasuah jual beli gas antara PGN dengan IAE tahun 2017-2021. Kedua tersangka, yakni Danny Praditya selaku Direktur Komersial PT PGN Tbk periode 2016-2019 dan Iswan Ibrahim sebagai Direktur Utama PT Isargas 2017 sekaligus Komisaris PT IAE. Informasi penetapan kedua tersangka itu diketahui dari dokumen perkara KPK yang diterima Suara.com

Tim juru bicara KPK Budi Prasetyo tak membantah penetapan tersangka Danny dan Iswan. Hanya saja, para tersangka akan diumumkan secara resmi ketika dilakukan penahanan.

“KPK akan mengumumkan pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka pada saat nanti ada upaya paksa,” kata Budi saat dikonfirmasi baru-baru ini.

Penyidikan perkara dilakukan KPK berdasar hasil audit BPK. Dalam dokumen hasil audit BPK yang diterima tim redaksi Suara.com, dugaan korupsi ini berawal dari adanya kerja sama perjanjian jual beli gas atau PJBG antara PGN dan IAE. 

Danny selaku Direktur Komersil PT PGN Tbk ketika itu berperan menyusun dan menyetujui rencana kerja sama dan pemberian uang muka sebesar USD15 juta kepada IAE tanpa ada kajian. Sehingga berdampak tidak tertagihnya piutang sebesar USD14,194 juta. Selain Danny, dalam laporan hasil audit BPK, Direktur Utama dan Direksi PGN pada 2017 juga disebut turut menyetujui pemberian uang muka kepada IAE tanpa mempertimbangkan mitigasi risiko. 

Awal permasalahan ini muncul ketika PGN membuat Kesepakatan Bersama (KB) dengan PT Inti Alasindo, PT Isar Aryaguna, dan IAE pada 2 November 2017. KB Nomor:014901.MoU/HK.02/COD/2017 itu menghasilkan empat poin kesepakatan. 

Pertama berupa perikatan PJBG atas alokasi gas IAE yang bersumber dari Husky CNOOC Madura Ltd (HCML). IAE berstatus sebagai penjual dan PGN sebagai pembeli. Kedua, menyepakati pembayaran uang muka sebesar USD15 juta atau setara Rp202,41 miliar (kurs Rp13.494 per-dolar AS pada 2 November 2017) dengan parent guarantee dan jaminan jaringan pipa PT Banten Inti Gasindo (BIG) yang merupakan jaringan pipa milik IAE serta Aryaguna. Ketiga, rencana akuisisi Isargas Grup di mana pembayaran uang muka dapat diperhitungkan sebagai pembayaran akuisisi. Keempat, PGN menjadi penyedia gas untuk seluruh afisiliasi Isargas Grup.

Pembayaran uang muka sebesar USD15 juta ini akan dimanfaatkan IAE untuk membayar utang ke PT Pertagas Niaga atau PTGN sebesar USD8 juta, BNI USD2 juta dan Aryaguna USD5 juta. PGN lantas membayarkan uang muka atau advance payment USD15 juta tersebut kepada PT IAE pada 17 November 2017.

Tujuan PGN saat itu melakukan kerja sama dengan IAE demi meningkatkan pertumbuhan penjualan di area Jawa Timur. Selain ada kekhawatiran IAE akan diakuisisi Pertagas Niaga yang merupakan pesaing besar PGN.

Hasil pemeriksan BPK menemukan adanya beberapa masalah di balik pemberiaan uang muka sebesar USD15 juta dari PGN kepada IAE. Pertama, keputusan Direksi PGN atas pemberian uang muka tersebut tidak mengacu kajian tim internal atas mitigasi risiko dan cost benefit analysis, serta tidak didukung jaminan yang memadai. Salah satunya, jaminan fidusia jaringan pipa PT Banten Inti Gasindo (BIG) senilai Rp16,79 miliar yang jauh lebih kecil dibandingkan nilai uang muka yang diberikan.

BPK juga menemukan masalah berkaitan dengan pemberian uang muka kepada IAE yang tidak didahului analisis keuangan yang memadai dan due diligence. PGN diketahui baru melakukan due diligence rencana akuisisi pada 20 April 2018 atau setelah uang muka diberikan. Hasil gambaran kondisi perusahaan atau due diligence oleh konsultan PT Bahana pada 20 Juli 2018, menyarankan PGN tidak mengakuisisi IAE. Sebab IAE memunyai nilai pasar wajar negatif; nilai current liability lebih besar dibanding current asset, artinya jatuh tempo utang usaha yang harus dibayarkan lebih gede ketimbang nilai aset yang dapat dicairkan dalam jangka pendek.

Pemberian uang muka kepada IAE dari hasil pemeriksaan BPK juga dinilai telah melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi yang salah satunya melarang transaksi atau niaga gas bertingkat. Skema jual beli antara PGN dengan IAE berdasar hasil pengawasan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas pada 2 Desember 2020 termasuk penjualan bertingkat, karena PGN membeli gas bukan langsung dari HCML selaku produsen gas. Dirjen Migas pada 15 Januari 2021 juga telah memberikan teguran kepada PGN untuk menghentikan pembelian gas ke IAE.

Proyek Terminal LNG Teluk Lamongan 

BPK mengungkap proyek pembangunan terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur milik PGN berpotensi merugikan negara ratusan miliar. Kerugian negara timbul karena proyek senilai Rp383,2 miliar yang dimulai sejak 2019 itu mangkrak dan tidak bisa dimanfaatkan.
 
Pada 2018 PGN berinisiatif membangun proyek terminal LNG Teluk Lamong ini. Tujuannya saat itu untuk mengatasi penurunan pasokan gas di wilayah Jawa Timur. Proses studi kelayakan dan analisis keekonomian pun dilakukan demi mendukung perencanaan proyek. Salah satunya menggunakan data Neraca Gas Bumi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2018-2028 yang disusun fungsi Business Unit Gas Product atau BUGP.

Kemudian pada 2019 Direksi PGN menyetujui proyek LNG Teluk Lamong lewat keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID). Pendanaannya bekerja sama dengan PT Pelindo Energi Logistik (PEL) anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia III (Persero). 

PGN menujuk PT PGN LNG atau PT PLI salah satu anak perusahannya sebagai pemilik proyek pembangunan terminal LNG Teluk Lamong. PT PLI  lalu menunjuk PT PGAS Solution atau PGASol selaku anak perusahannya sebagai pelaksana pekerjaan terminal LNG dengan kapasitas gas 40 juta kaki kubik per hari (MMscfd) tersebut.

Dalam pelaksanaanya, proyek ini dibagi menjadi dua fase. Fase pertama berupa pekerjaan terminal regasifikasi darat atau onshore regasification unit (ORU), depo pelayanan gas skala kecil atau filling station, dan cryogenic pipeline atau pipa kriogenik. Sedangkan fase kedua meliputi pembangunan flat bottom tank atau FBT. 

Proyek ini awalnya ditargetkan beroperasi akhir 2019 dan rampung keseluruhan pada 2023. Namun hingga kekinian terminal LGN Teluk Lamong belum dapat beroperasi, karena pembangunan FBT belum terealisasi. Sementara PGASol selaku pelaksana pekerjaan tidak bisa menggarap proyek fase kedua tersebut karena Direksi PGN belum meneken perubahan keputusan investasi akhir atau re-FID. Direksi PGN beralasan masih harus mempertajam sejumlah variabel keekonomian, seperti pasokan LNG serta permintaan pelanggan.

Selain berpotensi merugikan negara Rp383,2 miliar, BPK dalam dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Pendapatan, Biaya dan Investasi Tahun 2017 sampai semester I 2022 pada PT PGN Tbk yang diterima tim redaksi Suara.com, mengungkap sejumlah dampak lain akibat proyek mangkrak ini. Salah satunya PT PLI pada tahun 2022 harus menanggung biaya pemeliharaan atas aset yang belum beroperasi tersebut senilai Rp1,1 miliar. Nilai tersebut merupakan nilai biaya pemeliharaan yang ditagih PGASol untuk periode lima bulan terhitung 14 Juni hingga 13 November 2022. Sedangkan berdasar penjelasan PNG kebutuhan biaya pertahun yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan kondisi sarana prasarana yang sudah dibangun sebesar Rp2,8 miliar pertahun.

Proyek bikin buntung negara ini menurut laporan BPK salah satunya akibat keputusan Direksi PGN tahun 2019 menyetujui investasi tanpa memitagsi risiko secara matang. Kemudian Direksi PGN tahun 2022 juga belum dapat memastikan kelanjutan pembangunan terminal LNG Teluk Lamong. Sementara BUGP sebagai sponsor proyek menyajikan data yang tidak akurat terkait Neraca Gas Bumi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2018-2028.

Atas hal itu, BPK dalam laporannya merekomendasikan agar Direksi PGN berkoordinasi dengan Direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan masalah ini ke aparat penegak hukum.

Infografis daftar proyek investasi PGN yang bermasalah berdasarkan hasil audit BPK. [Suara.com/Rochmat]
Infografis daftar proyek investasi PGN yang bermasalah berdasarkan hasil audit BPK. [Suara.com/Rochmat]

FSRU Lampung

BPK menemukan operasional terminal Floating Storage Regasification Unit Lampung milik Perusahaan Gas Negara (PGN) belum optimal pada kurun waktu 2020-2022 sehingga merugikan keuangan perusahaan senilai USD 131,27 juta.  

Floating Storage Regasification Unit  atau unit penyimpanan dan regasifikasi terapung (FSRU) merupakan kapal terapung yang khusus digunakan untuk menyimpan dan regasifikasi gas cair atau liquified natural gas (LNG). 

Kerugian keuangan perusahan tersebut berawal pada tahun 2010, ketika PT PGN menyiapkan proyek FSRU Belawan yang merupakan implementasi dari Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 2011 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional. Proyek tersebut untuk memenuhi kebutuhan energi di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. 

PGN kemudian menandatangani perjanjian Lease  Operation and Maintenance (LOM) dengan Hoegh LNG Ltd, perusahaan penyediaan kapal terapung, pada 25 Januari 2012. Perjanjian itu berupa kontrak selama 20 tahun. 

Namun pada perjalanannya, keluar Surat Menteri BUMN Nomor S-141/MBU/2012 tanggal 19 Maret 2012 yang menyatakan untuk kebutuhan energi di wilayah Aceh dan Sumatera Utara akan dipasok dari terminal LNG Arun. 

Akibatnya FSRU Belawan dipindahkan ke Lampung sesuai dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan penambahan pelanggan di daerah Jawa bagian Barat. Untuk pelaksanaannya PGN menandatangani perjanjian Amended and Restated Lease Operation and Maintenance (A&R LOM atua LOM) dengan Hoegh LNG Ltd pada 17 Oktober 2012. 

Pada 18 September 2013 LOM dinovasikan atau terjadi pembaruan utang yang disertai hapusnya perikatan yang lama dari Hoegh LNG Ltd kepada PT Hoegh Lampung. Kemudian pada 21 Februari 2014 LOM dinovasikan dari PGN ke PT PGN LNG Indonesia (PLI)--yang merupakan anak perusahaan PGN. Dengan demikian LOM terjadi antara PLI dengan PT Hoegh Lampung. 

Namun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK pada tahun 2017 sampai dengan semester I 2019 menemukan operasional FSRU tidak optimal dan, terdapat kelemahan dalam klausal LOM FSRU Lampung serta PGN belum memitigasi resikonya. 

BPK lantas memberikan rekomendasi kepada kepada direksi PGN, yakni segera menetapkan strategi atau pilihan atas restrukturisasi FSRU Lampung dan standar terkait cadangan (reserve margin) pasokan serta optimalisasi FSRU sampai dengan masa sewa berakhir. Kemudian melaporkan kepada menteri BUMN terkait strategi atau pilihan atas restrukturisasi FSRU Lampung dan penetapan standar terkait dengan cadangan (reserve margin) pasokan serta optimalisasi FSRU Lampung. 

Atas rekomedasi itu, PGN sudah melakukan upaya restrukturisasi LOM FSRU Lampung melalui upaya arbitrase di Singapore International Arbitase Center (SIAC). Namun sampai akhir 2022, proses arbitrase masih berlangsung. 

Upaya restrukturisasi FSRU Lampung tak juga menemukan hasil, operasional periode 2020-2022 masih sama seperti pada 2019, yakni belum memberikan keuntungan bagi perusahaan. 

Pada laporan monitoring kontrak pasokan dengan pihak ketiga untuk Wilayah Regional Distribusi I diketahui bahwa pasokan gas FSRU Lampung tahun 2020 dan 2021 masing-masing 21,63 BBTUD dan 0,47 BBTUD. Selanjutnya, sesuai gas sales agreement dan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan atau  RKAP diketahui harga pembelian komoditas/gas ex-LNG oleh PGN dan PLI tanpa memperhitungkan biaya operasional FSRU, menunjukkan harga rata-rata LNG tiga tahun terakhir pada kisaran USD 3,22/MMBTU. 

Sementara berdasarkan dokumen operasi FSRU Lampung dari manajemen PLI menunjukkan pada periode 2020 sampai dengan 2021 realisasi volume regasifikasi sekitar 10 persen sampai dengan 15 persen dari desain kapasitas maksimal sebesar 78.300.000  MMBTU ekuivalen 27 kargo. Rendahnya realisasi regasifikasi juga dicerminkan dari rendahnya jumlah kargo yang diorder dari pemasok, yakni tiga kargo pertahunnya.

BPK kemudian melakukan komparasi antara pendapatan PGN, pengeluaran (pembayaran ke PLI) dengan pengeluaran beban operasi PLI serta rugi operasi PGN konsolidasi yang menunjukkan pendapatan yang diperoleh FSRU Lampung masih jauh di bawa total biaya yang harus dikeluarkan. Selisih pendapat dan biaya pada tahun 2020,2021, dan 2022 sebesar USD 131,27 juta.

Atas hal itu, BPK menemukan FSRU Lampung belum teurutilitasi secara optimal yang merugikan keuangan perusahaan tahun 2020-2022 sebesar USD 131,27 juta. 

BPK menyebut hal itu disebabkan, direksi PGN belum optimal dalam memberikan pengawasan atas optimalisasi FSRU Lampung. Kemudian karena direktur utama PT PLI belum optimal dalam upaya mengupayakan restrukturisasi kontrak LOM FSRU Lampung agar dapat menguntung perusahaan.

BPK RI lantas mengeluarkan rekomendasi, yakni menyusun dan melaksanakan action plan upaya peningkatan optimasi FSRU Lampung. Kemudian menginstruksikan Direktur Utama PT PLI untuk menyusun dan melaksanakan action plan upaya restrukturisasi kontrak LOM FSRU Lampung. Lalu berkoordinasi dengan direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum.

Akuisisi 3 Wilayah Bermasalah 

PT Saka Energi Indonesia (SEI) perupakan salah satu anak perusahaan PGN. SEI bergerak dalam bidang hulu minyak dan gas bumi atau migas. Kegiatannya bisnisnya meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengembangan usaha di bidang migas, gas metana batubara dan sumber energi lainnya. 

Catatan BPK hingga 2022, SEI memiliki sejumlah etnis bisnis yang mengoperasikan dan memegang Participating Interest (PI) di beberapa blok migas di Indonesia dan Amerika Serikat. Wilayah kerja (WK) itu berjumlah 10. PI adalah hak, kepentingan, dan kewajiban kontraktor berdasarkan kontrak kerja sama di bidang minyak dan gas bumi. Namun temuan BPK, terdapat tiga WK yang tidak sesuai proses bisnis komersial, perhitungan yang lebih tinggi sebesar USD 56,6 juta dan akumulasi rugi operasi USD 347,1 juta.

Ketapang salah salah satu wilayah kerja SEI yang proses akuisisinya bermasalah. SEI mengakuisisi 20 persen PI WK Ketapang dengan Sale and Purchase Agreement (SPA) atau perjanjian jual beli pada 30 November 2012. Pada prosesnya BPK menemukan sejumlah permasalahan. Pertama, persetujuan keikutsertaan tender akusisi dari dewan komisaris mendahului kajian Due Diligence. 

Due Diligence adalah kegiatan pemeriksaan secara seksama yang dilakukan seorang konsultan hukum terhadap suatu perusahaan atau objek untuk memperoleh informasi atau fakta material guna mencari gambaran kondisi suatu perusahaan atau objek transaksi.

Temuan lainnya, nilai akuisisi atas WK Ketapang diperhitungkan lebih tinggi sebesar USD 30,5 juta. Kemudian, penentuan harga minyak yang terlalu optimis USD 100/bbI secara flat. Lalu cash flow sampai tahun 2020 masih bernilai negatif sebesar USD 123,1 juta. 

Wilayah kerja yang selanjutnya yang bermasalah berada di Fasken, Amerika Serikat. PT SEI mengakuisisi 36 persen PI WK Ketapang dengan Acquisition Agreement atau dengan perjanjian akuisisi pada 15 Mei 2014. Permasalah dalam proses akuisisi ini di antaranya, persetujuan investasi oleh para pemegang sahan mendahului kajian Due Diligence. Nilai Purchase Price atau harga pembelian atas WK Fasken diperhitungkan lebih tinggi sebesar USD 14,8 juta. Cash flow sampai tahun 2020 juga masih bernilai negatif sebesar USD 14,1 juta. 

Akuisisi ketiga yang bermasalah adalah wilayah kerja Pangkah. PT SEI mengakuisisi 26 persen PI Pangkah dengan SPA pada 24 April 2013. Kemudian pada 4 Januari 2014, kembali mengakusisi 75 persen juga dengan SPA. Masalah yang ditemukan BPK di antaranya persetujuan 25 persen PI oleh para pemegang saham juga mendahului Due Diligence. Akusisi 75 persen PI Pangkah menggunakan discount factor 5 persen yang tidak berlaku umum. Nilai Purchase Price 75 persen PI Pangkah diperhitungkan lebih tinggi sebesar USD 11,2 juta. Terakhir, akumulasi penurunan nilai aset properti migas Pangkah tahun 2021 sebesar USD 51,1 juta. 

Berdasarkan data yang diberikan manajemen kepada BPK, dari ketiga wilayah kerja itu  sampai dengan tahun 2022 masih rugi total sebesar USD 347,1 juta. Rinciannya, WK Ketapang merugi USD 54,6 juta, WK Fasken merugi USD 91,7 juta, dan WK Pangkah merugi USD 200,6 juta. 

Atas sejumlah permasalahan tersebut, BPK merekomendasi PGN agar menginstruksikan PT SEI melakukan upaya yang komprehensif agar trend profitabilitas wilayah kerja tetap positif sehingga dapat menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Kemudian berkoordinasi dengan direksi PT Pertamina dan Kementerian BUMN untuk melaporkan permasalahan ini kepada penegak hukum atas kemahalan harga akuisisi dan kerugian operasi.

Tanggapan PGN

Pj. Sekretaris Perusahaan PGN Susiyani Nurwulandari mengatakan pihaknya telah mendapatkan laporan hasil audit BPK tersebut. Menurutnya, PGN memiliki pengalaman dan rekam jejak lebih dari 59 tahun dalam membangun dan mengelola berbagai infrastruktur gas bumi untuk melayani kebutuhan energi dalam negeri. 

Dia mengklaim, PGN memiliki sistem yang sudah teruji, sesuai standar yang berlaku di perusahaan-perusahaan global dan menerapkan standar Good Corporate Goverment atau GCG. 

"Setelah KPK melakukan penyidikan atas hasil audit BPK, PGN berkomitmen selalu mendukung dan menjalankan masukan serta rekomendasi BPK untuk perbaikan ke depan," kata Susiyani kepada Suara.com pada Jumat (21/6/2024).

Menurutnya penegakkan GCG itu tidak akan menganggu kegiatan operasional maupun layanan terhadap pelanggan serta bisnis PGN ke depan. Langkah-langkah koreksi dan perbaikan terus dilakukan untuk meningkatkan layanan gas bumi nasional. 

"Mitigasi tentunya sudah dilakukan, bahkan juga penguatan dan dukungan holding dengan adanya direktorat baru yaitu Direktorat Manajemen Risiko merupakan salah satu bentuk mitigasi risiko atas bisnis dan operasi yang dilaksanakan oleh PGN," tuturnya.

Berikut ini daftar proyek investasi PGN periode 2017-2022 yang diaudit BPK dan terindikasi bermasalah:

1. Realisasi Pembangunan Terminal LNG Teluk Lamong Senilai Rp383,2 miliar Berpotensi Tidak Dapat Dimanfaaatkan. 

2. Terdapat Risiko Klaim Kegagalan Pengiriman Kontrak antara USD 26, 92 juta-USD 376,9 juta dalam Penjualan LNG PGN kepada Gunvor Selama Tahun 2024-2027 dan Berpotensi Membebani Keuangan Perusahaan Minimal Sebesar USD117,9 juta.

3. Pemberian Uang Muka kepada PT Inti Alasindo Energi Tidak Didukung Mitigasi Risiko Memadai yang Menimbulkan Potensi Tidak Tertagih Sebesar USD14,1 juta. 

4. Operasional FSRU Lampung Tahun 2020-2022 Belum Optimal Sehingga Merugikan Keuangan Perusahaan Minimal Sebesar USD131,27 juta.

5. Persetujuan Addendum Pekerjaan Revitalisasi Wisma 48 Tidak Mengacu pada Kontrak sehingga Nilai Pembayaran Addendum Tidak Dapat Diterima Sebesar Rp2,1 miliar dan Terdapat Kekurangan Volume Pekerjaan Sebesar Rp201,5 juta.

6. Terdapat Pekerjaan Reinstatement pada Proyek Pipa Minyak Rokan Tidak Dikerjakan Sebesar Rp1,19 miliar. 

7. Terdapat Pekerjaan pada Proyek Penggantian Pipa Minyak Rokan yang Tidak Dikerjakan oleh KPP Sebesar Rp6,9 miliar.

8. Terdapat Potensi Kelebihan Pembayaran sebesar Rp422 juta Pembangunan Terminal LNG Jawa Timur oleh PT PGAS Solution.

9. Akuisisi pada Tiga Wilayah Kerja Tidak Sesuai Proses Bisnis Komersial Saka, Diperhitungkan Lebih Tinggi Sebesar USD56,6 juta dan Akumulasi Rugi Operasi Sebesar USD347,1 juta. 

10. PT Pertagas Belum Mengakui Pendapatan & Piutang Ship Or Pay Tahun 2021 atas Perjanjian Pengangkutan Gas Ruas Pipa Arun - Belawan Sebesar USD45,4, juta dengan PT PLN (Persero).

11. PT PGN Belum Menyetorkan Unutilized volume Senilai USD137 juta yang Timbul atas Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu.

12. PT PGAS Solution belum menerima pembayaran dari pekerjaan Pemasangan Pipa Transmisi pada Sistem Penyediaan. Air Minum (SPAM) Umbulan minimal sebesar Rp81,2 miliar. 

13. Persetujuan Penyaluran Gas Tanpa Jaminan pada PT FNG Tidak Sesuai Ketentuan sehingga Menimbulkan Piutang Macet Sebesar Rp2,3 miliar dan USD2,4 juta. 

14. Persetujuan Nilai Jaminan pada PT Cipta Niaga Gas Tidak Sesuai Ketentuan sehingga Menimbulkan Piutang Macet Senilai USD335,9 juta.

15. Pengelolaan Jaringan Gas Bumi untuk Rumah Tangga Penugasan Pemerintah Belum Optimal.

16. Perencanaan Pembangunan Jaringan Gas GasKita Tahun 2021 Belum Memadai.

____________________________________________________

Tim Reportase: Yaumal Asri Adi Hutasuhut | Muhammad Yasir