Brutalitas 'Warga Sakit' di Balik Penganiayaan Bos Rental Mobil Burhanis

Brutalitas 'Warga Sakit' di Balik Penganiayaan Bos Rental Mobil Burhanis


Suara.com - Bos rental mobil asal Jakarta tewas diamuk massa di Desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Ia disangka maling saat mengambil paksa kendaraan yang digelapkan penyewa. Peristiwa Tragis, karena ketidakpercayaan masyarakat kepada penegak hukum. 

***

Burhanis (52) bos rental mobil asal Jakarta berinisiatif ke Desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah bersama tiga rekannya, SH (28), KB (54), dan AS (37) pada Kamis, 6 Juni 2024 lalu. Tujuannya, mencari mobil Honda Mobilio yang digelapkan salah seorang penyewa.

Berbekal sinyal pelacak lokasi pada Global Positioning System atau GPS, mereka berhasil menemukan mobil tersebut terparkir di halaman salah satu rumah warga berinisial AG (35). Burhanis lalu berupaya mengambil paksa mobil tersebut menggunakan kunci cadangan yang dibawa dari Jakarta. 

Warga sekitar yang memergoki tindakan Burhanis lalu meneriakinya maling. Burhanis, SH, KB dan AS pun diamuk massa. Tak hanya itu, warga juga membakar mobil Toyota Calya yang dipakai Burhanis bersama tiga rekannya dari Jakarta ke Pati. 

Burhanis dan tiga rekannya sempat dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kayen setelah kejadian. Namun, nyawa Burhanis tak tertolong. Dia meninggal akibat luka parah yang dialami atas tindakan brutal warga. 

Dalam perkara pengeroyokan ini Polresta Pati dan Polda Jawa Tengah telah menetapkan 10 tersangka. Mereka berinisial EN (51), BC (37), AG (35), M (37), TM (35), AK (46), SA (60), SU (63), NS (29), dan SHD (39). Para tersangka ditangkap di lokasi berada. Beberapa di antaranya ditangkap saat bersembunyi di kebun hingga hutan. 

Setelah ramai disebut jadi kampung penadah, Polda Jawa Tengah melakukan penyitaan terhadap 33 kendaraan sepeda motor dan enam mobil di Sukolilo. Puluhan kendaraan tersebut disita karena diduga bodong. 

Selain itu, terungkap fakta bahwa sebelum kejadian ternyata Burhanis telah melaporkan kasus penggelapan mobil miliknya tersebut ke Polres Metro Jakarta Timur. Laporan dilayangkan pada Februari 2024 lalu. 

Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Nicolas Ary Lilipaly mengklaim pihaknya telah menindaklanjuti laporan Burhanis dengan melakukan langkah penyelidikan. Tindakan Burhanis ke Pati bersama tiga rekannya tersebut diakuinya dilakukan tanpa sepengetahuan penyidik. 

"Almarhum tidak melakukan komunikasi, koordinasi dan kolaborasi dengan pihak penyelidik/penyidik Polres Metro Jakarta Timur untuk berangkat ke Pati," kata Nicolas kepada wartawan, Selasa (18/6/2024).

Saat awal melaporkan kasus ini, Burhanis sempat memberikan informasi kepada penyidik terkait keberadaan mobil miliknya yang terdeteksi di Banten. Nicolas sempat menerbitkan surat tugas kepada penyidik agar melakukan penyelidikan ke titik lokasi bersama Burhanis sesuai sinyal GPS tersebut. 

Namun tindakan tersebut batal dilakukan. Sebab, Burhanis menginformasikan kepada penyidik, sinyal GPS yang terpasang di mobil miliknya itu tidak lagi terdeteksi berada di Banten. Burhanis sempat berjanji akan menginformasikan kepada penyidik apabila kembali mendeteksi keberadaan mobilnya.

"Namun, sampai kejadian pengeroyokan di Pati, almarhum (pelapor) tidak memberitahukan informasi lagi terkait keberadaan mobilnya," ujar Nicolas. 

Infografis kasus penganiayaan bos rental mobil di Desa Sumbersoko, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. [Suara.com/Emma]
Infografis kasus penganiayaan bos rental mobil di Desa Sumbersoko, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. [Suara.com/Emma]

Kekinian penyidik dari Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Timur masih menyelidiki kasus ini. Empat anggota telah diperintahkan untuk melakukan penyelidikan ke Pati sejak Senin, 10 Juni lalu.

Ketidak Percayaan Pada Polisi

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman menilai peristiwa tragis yang dialami Burhanis jadi gambaran kondisi masyarakat yang kurang percaya terhadap polisi. Masyarakat dalam kondisi tersebut cenderung memilih untuk menyelesaikan permasalahan di luar hukum karena alasan lebih efektif dan efisien. 

"Dulu orang menyebut kalau lapor polisi kehilangan kambing bisa malah kehilangan sapi. Jadi ada distrust pada polisi," kata Sunyoto kepada Suara.com, Selasa (18/6).

Tindakan main hakim sendiri juga dinilai Sunyoto bagian dari akibat kurangnya rasa percaya masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Selain juga akibat massa yang mudah diprovokasi dan minim pengetahuan tentang hukum. 

Persoalan ini menurut Sunyoto sudah semestinya ditanggapi serius. Polisi sebagai aparat penegak hukum selayaknya berbenah diri. 

"Lalu lembaga peradilan juga harus baik. Ini mereka menjadi bagian penting untuk membangun keadilan," katanya. 

Senada dengan Sunyoto, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menyebut langkah inisiatif Burhanis mencari keadilan kerap diambil para pelapor kasus kejahatan akibat kelambanan penanganan dari pihak kepolisian. 

Menurut Sugeng, salah satu kelambanan polisi dalam menangani laporan masyarakat acap kali dilatarbelakangi faktor anggaran operasional. Sehingga tak jarang laporan kasus kehilangan atau penggelapan dengan nilai kerugian yang kecil berakhir mengendap di meja kantor kepolisian. 

"Termasuk kasus yang dilaporkan korban (Burhanis) ini. Sehingga dia mencari mobilnya sendiri," jelas Sugeng kepada Suara.com, Selasa (18/6).

Apa yang dilakukan Burhanis hingga berujung peristiwa main hakim sendiri warga Sukolilo, itu faktor kesadaran hukum masyarakat rendah. Selain juga adanya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di negeri ini. 

"Ini memang kondisi yang menyedihkan," kata dia.

Sugeng juga menyayangkan peran pihak kepolisian yang sebatas menjadi 'pemadam kebakaran' usai kasus ini ramai diperbincangkan. 

"Ini adalah lingkaran setan akibat adanya ketidakpastian hukum di dalam proses penegakan hukum kita. Masyarakat apatis dengan proses penegakan hukum di Indonesia," tuturnya. 

Hukum Rimba

Sementara Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai tindakan brutal terhadap Burhanis itu menandakan kondisi masyarakat yang 'sakit'. Penyakit tersebut disebut Isnur muncul akibat hukum yang tak berjalan dengan baik. 

Misalnya, banyak kasus-kasus kejahatan seperti pencurian, penggelapan, hingga penadahan yang kerap kali dipandang sebagai angka kriminalitas biasa. Padahal semestinya diselesaikan secara tuntas oleh semua stake holder terkait. 

"Bukan hanya tugas polisi. Tapi bagaimana tugas pemerintah daerah, pendidikan, camat, lurah dan lain-lainnya. Ini yang tidak pernah dibahas secara serius bagaimana menekan angka kejahatan," tutur Isnur kepada Suara.com, Selasa (18/6).

Efek dari hukum yang tak berjalan dengan baik tersebut, lanjut Isnur, akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Sehingga masyarakat berupaya mencari keadilan secara mandiri. 

"Nah ketika korban mencari keadilan sendiri yang terjadi adalah hukum rimba. Di mana kemudian masyarakat ketemu masyarakat terjadi konflik horizontal. Jadi ini adalah PR besar dalam konteks kehidupan kebangsaan kita di mana keadilan dan kemanusiaan jauh panggang dari api," pungkasnya.