Liquid Life: Kala Nasib Nasarius Satpam Plaza Indonesia Ditentukan Video Viral

Liquid Life: Kala Nasib Nasarius Satpam Plaza Indonesia Ditentukan Video Viral


Suara.com - Nasarius, kehilangan pekerjaan sebagai satpam di Plaza Indonesia akibat potongan video yang merekam dirinya memukul anjing khusus pengamanan viral di media sosial. Rekaman video yang beredar menarasikan Nasarius melakukan penyiksaan terhadap hewan. Video itu pertama kali diunggah di media sosial oleh Marlene Hariman, seorang make up artist. 

Potongan video itu kemudian menyebar hingga ke kalangan selebritas, salah satunya Robby Purba. Pada postingannya 5 Juni 2024, Robby membubuhkan tulisan yang berisi kemarahannya dan meminta pihak Plaza Indonesia 'menatar' Nasarius. 

Layaknya menyiram bensin ke kobaran api, postingan Robby bersambut, nitizen turut mengecam tindakan Nasarius. Kemarahan Robby dan nitizen ditanggapi pihak Plaza Indonesia dengan memecat Nasarius sebagai satpam. 

Beberapa hari berselang, Nasarius muncul lewat video klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf. Dia menjelaskan video yang tersebar hanya berupa potongan dan tidak menunjukkan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Nasarius juga mengaku bahwa anjing penjaga bernama Fay itu  peliharaannya. 

Nasarius menyatakan tindakan pemukulan harus dilakukan, karena anjing Fay menerkam anak kucing. Penjelasannya juga dilengkapi dengan rekaman CCTV yang menunjukkan peristiwa yang sebenarnya. 

Belakangan, pemecatan Nasarius dibatalkan oleh pihak Plaza Indonesia dan menerimanya kembali sebagai satpam. Sementara Robby yang awalnya tak mau disalahkan, menyampaikan permintaan maaf kepada publik dan juga Nasarius. Kasus ini pun berujung damai. 

Peristiwa yang dialami Nasarius hampir mirip dengan film Budi Pekerti yang rilis pada 2023. Film yang berdurasi 110 menit ini, skenarionya ditulis dan disutradarai Wregas Bhanuteja. Budi Pekerti bercerita tentang dampak buruk media sosial. Adalah Bu Prani yang diperankan Sya Ine Febriyanti. Dia berprofesi sebagai guru 'BK' Bimbingan Konseling yang dihormati para siswa dan orang sekitarnya. 

Namun hidupnya harus terjun bebas ke titik terendah ketika potongan video dirinya dinarasikan menyerobot antrean kue putu di pasar. Video yang beredar menunjukkan ekspresi  kemarahannya. Padahal peristiwa sebenarnya, Bu Prani sedang menegur pembeli lainnya karena menitip antrean. Hal itu menyebabkan barisan semakin panjang dan membuat pembeli lain termasuk Bu Prani harus menunggu lebih lama. 

Dengan kecepatan arus informasi di media sosial, video Bu Prani tersebar luas. Kehidupan Bu Prani berubah drastis. Selain mendapat penghakiman di dunia maya, Bu Prani juga mendapatkan sanksi sosial di lingkungan tempat tinggalnya dan sekolah. Kariernya sebagai guru BK yang diteladani para siswanya, berbalik. Profesinya sebagai guru dianggap tidak mencerminkan perilakunya. 

Video viral juga berimbas kepda kedua anaknya, Tita yang diperankan Prilly Latuconsina dan Muklas yang dilakoni Angga Yunanda. Muklas yang merupakan konten kreator dirundung dan dicari kesalahannya oleh nitizen. Kariernya juga turut hancur, begitu juga saudarinya, Tita yang aktif sebagai anggota band. 

Mereka pun harus bertahan dengan situasi itu. Keadaan mereka juga diperparah dengan kesehatan mental Pak Didit--yang diperankan Dwi Sasono, suami Bu Prani. Pak Didit diceritakan menderita bipolar, akibat bisnisnya yang hancur karena pandemi covid-19. Karenanya, Bu Prani dan kedua anaknya harus berjuang menutupi keadaan mereka dari Pak Didit. 

Cancel Culture 

Peristiwa hidup yang dialami Nasarius dan juga Bu Prani di  film Budi Pekerti dampak dari gerakan cancel culture.  Mengutip dari jurnal berjudul 'You are Cancelled: Virtual Collective Consciousness and the Emergence of Cancel Culture as Ideological Purging,' yang ditulis oleh Joseph Ching Velasco dari De La Salle University menyatakan, cancel culture sudah menjadi bagian budaya digital. Karena gerakan ini semakin sering terdengar bersamaan dengan menjamurnya media sosial. 

Velasco (2020) memaparkan, cancel culture atau mengeluarkan seseorang dari kelompok sosial adalah gerakan sosial kolektif sporadis yang ditujukan kepada kepada individu yang dianggap melanggar norma-norma sosial. Gerakan ini dimulai spontanitas pengguna media sosial tanpa mempertimbangkan dampaknya. 

Awalnya gerakan ini ditujukan kepada publik figur seperti tokoh nasional atau selebritas. Di Indonesia, banyak publik figur yang terdampak cancel culture, salah satunya  penyanyi dangdut Saiful Jamil yang merupakan mantan terpidana kasus pelecehan seksual anak. Saat ia bebas dari penjara, September 2020, salah satu stasiun televisi menyiarkan Saiful Jamil meninggalkan Lapas Kelas 1 Cipinang, Jakarta. 

Siaran itu kemudian memicu kemarahan publik di media sosial. Nitizen menolak sang pedangdut kembali muncul di layar kaca, mengigat latar belakanganya sebagai manan terpidana. Akibanya, stasiun televisi enggan mengundang Saiful Jamil untuk mengisi acara. 

Seiring berjalannya waktu, cancel culture juga bisa menimpa kalangan masyarakat biasa yang dianggap melanggar norma sosial, seperti yang dialami oleh Nasarius. Pada kasus ini, Nasarius dianggap melanggar norma sosial karena dianggap menyiksa hewan. Akibanya, dia dikeluarkan dari kelompok sosial, berupa pemecatan dari pekerjaannya sebagai satpam, meski belakangan kebenaran terungkap. 

Liquid Life 

Sosiolog yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet berpendapat peristiwa yang dialami oleh Nasarius, khas dari era liquid life. 

"Di mana tindak tanduk dan nasib orang melekat pada lalu lintas media. Belum ada obatnya, selain hukum yang cermat dan pendidikan yang kuat yang mengajarkan orang mampu berfikir metodis," kata Robet dalam perbincangan dengan Suara.com, pada Jumat (14/5/2024). 

Robet menyebut liquid life adalah istilah sosiologi yang menjelaskan keadaan kesadaran manusia yang mengalir encer didekte oleh logika media. Akibatnya manusia bertindak tidak berdasarkan prinsip, rasionalitas atau sandaran filosofis, melainkan hanya ikut logika media dalam hal ini media sosial.

Robet menjelaskan, media sebagai the logic of news atau logika pemberitaan mendera publik dalam percepatan dan spasialitas yang tidak dapat diantisipasi. Informasi yang beredar hari ini, keesokannya akan diganti informasi baru. Karena kebaruan yang terus menerus mengakibatkan informasi awal yang tersebar berlalu begitu saja. Dampak kehilangan fondasi substansial dalam membangun kehidupan, secara pribadi maupun sosial.

Pada kasus ini, kata Robet, nasib Nasarius ditentukan informasi yang tidak lengkap menyebar secara luas dengan cepat. Hal itu kemudian bersambut dengan kondisi masyarakat di Indonesia yang gemar menjadi hakim terhadap sesamanya, tanpa menunggu fakta yang utuh. 

"Dari segi ini cancel culture menjadi hukuman sosial yang  brutal," ujarnya. 

Pendapat Rober juga selaras dengan penjelasan pengamat media sosial, Enda Nasution yang menyebut peristiwa dialami Nasarius menjadi bukti bahwa informasi viral tidak serta merta diamini sebagai kebenaran. Terlebih nitizen yang menyebarkan potongan video Nasarius, bukan jurnalis yang dapat melakukan proses verifikasi. 

Menurut Enda, kebanyakan informasi yang beredar di media sosial hanya berasal dari satu sisi. Belum lagi, informasi yang terus menerus tersebar ditambahi dengan 'bumbu-bumbu'. Peristiwa yang menimpa Nasarius merupakan satu dari banyak kasus dengan isu yang berbeda. 

"Jadi yang bisa kita pelajari dengan kenyataan seperti ini, sangat tidak bijak sebagai pengguna media sosial. Kita seketika memberikan penghakiman atau menilai sebuah peristiwa, apalagi yang sampai berakibat terhadap hilangnya mata pencaharian seseorang," kata Enda kepada Suara.com

Oleh karena itu, Endah mengimbau masyarakat bijak dalam bermedia sosial. Mencerna segala informasi yang beredar di media sosial, tidak langsung menyebarkan dan melakukan penghakiman sampai keluarnya fakta yang menjelaskan kebenaran.