Sekstorsi di Ujung Kasus Pelecehan Seksual Anak oleh Ibu Kandung

Sekstorsi di Ujung Kasus Pelecehan Seksual Anak oleh Ibu Kandung


Suara.com - Kasus pelecehan seksual seorang Ibu di Tangerang Selatan dan Bekasi kepada anak kandung tidak semata-mata dilatari motif ekonomi. Ketimpangan antara tingginya pengguna internet di tengah minimnya literasi digital dan pendidikan seksual sejak dini menjadi faktor utama di balik maraknya kejahatan sekstorsi. 

***

MINGGU, 2 Juni 2024, seorang ibu muda berinisial R (22) di Tangerang Selatan menyerahkan diri ke jajaran Subdit Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Metro Jaya usai video dirinya melakukan pelecehan seksual terhadap anak kandung yang masih berusia tiga tahun viral di media sosial. R mengaku video tersebut diproduksi satu tahun lalu atas perintah pemilik akun Facebook Icha Shakila.

Icha Shakila awalnya meminta R mengirim foto tanpa busana dengan iming-iming uang Rp15 juta. Setelah itu dia kembali meminta R untuk membuat video persetubuhan dengan anak kandungnya. Bila tak dituruti, foto R tanpa busana bakal disebarluaskan. 

Empat hari setelah itu, jajaran Subdit Jatanras Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya menangkap seorang ibu muda berinisial AK (26) di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat terkait kasus serupa. AK belakangan juga mengaku memproduksi video persetubuhan dengan anak kandungnya yang masih berusia 10 tahun atas perintah pemilik akun Facebook Icha Shakila.

Menurut pengakuan AK, pemilik akun Icha Shakila tersebut juga menggunakan modus yang sama. Menjanjikan uang lalu mengancam menyebarluaskan foto dirinya tanpa busana jika tak mengikuti permintaan melakukan persetubuhan dengan anaknya.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai kasus ini merupakan kategori sekstorsi atau kejahatan siber yang menggunakan informasi seksual korban untuk melakukan aksi pemerasan. Tujuannya bisa jadi untuk kepuasan diri atau materi alias ekonomi. 

Kasus sekstorsi berdasar data SafeNet menempati urutan ketiga yang paling banyak diadukan sepanjang 2023. Dari 1.052 aduan terkait kasus kekerasan gender berbasis online atau KGBO, 133 di antaranya merupakan sekstorsi. 

"Makin maraknya sekstorsi, terutama oleh pelaku yang tidak punya kedekatan hubungan dengan korban, memperlihatkan ada ketimpangan," kata Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet Wida Arioka kepada Suara.com, Senin (10/6/2024).

Berdasar data, SafeNet menyebut penggunaan internet di Indonesia semakin mengalami peningkatan. Namun permasalahan muncul karena tidak diimbangi dengan literasi digital untuk pengguna internet. 

Infografis sekstorsi atau kejahatan siber yang menggunakan informasi seksual korban untuk melakukan aksi pemerasan. [Suara.com/Rochmat]
Infografis sekstorsi atau kejahatan siber yang menggunakan informasi seksual korban untuk melakukan aksi pemerasan. [Suara.com/Rochmat]

Padahal pengguna internet perlu memahami ihwal karakteristik data digital yang mereka produksi. Misalnya konten yang mereka unggah bisa saja dimanfaatkan orang lain hingga dimanipulasi demi tujuan tertentu.

"Ini juga termasuk pemahaman tentang privasi di internet. Mana yang sebaiknya tidak dishare ke orang lain dan apa implikasinya jika disebarkan," jelas Wida. 

Permasalahan lainnya, menurut Wida minimnya pemahaman masyarakat tentang hukum yang berkaitan dengan KBGO. Sehingga tak jarang korban di tengah kepanikan atas ancaman, mengikuti kemauan pelaku.

"Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan untuk menghadapinya, dan akhirnya tidak jarang yang mengikuti kemauan pelaku," bebernya. 

Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai fenomena ini menjadi alarm akan pentingnya pendidikan seksual sejak dini. Sebab berdasar data, KPAI mengungkap masih banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan orang tua atau orang terdekat. 

Sepanjang tahun 2023, KPAI mencatat ada sekitar 262 atau 9,6 persen kasus kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung. Kemudian 153 atau 6,1 persen kasus kekerasan seksual yang dilakukan ibu kandung. 

"Pencegahan dapat dilakukan terhadap anak dan juga orang tua. Anak-anak harus diajari untuk mengenal bagian-bagian tubuh serta fungsinya dan mengetahui mana yang boleh dipegang orang lain dan mana yang tidak boleh," ungkap Komisioner KPAI Subklaster Anak Korban Pornografi/Cybercrime, Kawiyan kepada Suara.com.

Pendidikan seksual dan reproduksi sejak dini menurut Kawiyan menjadi sangat penting di tengah pesatnya perkembangan internet. Selain konten-konten pornografi yang kekinian dengan mudah bisa diakses. 

Pemahaman hukum bagi Kawiyan juga penting disosialisasikan kepada orang tua. Sehingga permasalahan seperti yang dialami R dan AK atas latar belakang ekonomi tidak lantas terulang kembali.

"Ini tugas negara untuk mengedukasi banyak orang tua," tuturnya. 

Senada dengan KPAI, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpendapat fenomena ini menunjukkan kompleksitas kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak karena dipicu penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah menilai R dan AK merupakan korban tipu daya dari pelaku utama. 

"Perempuan menjadi korban tipu daya yang bisa saja dilakukan oleh jaringan pedofilia, mengingat dua kasus ini pelaku meminta rekaman aktivitas seksual dengan anak dibawah lima tahun," ujar Siti.

Sebagai perempuan berkonflik dengan hukum atau PBH, Siti merekomendasikan agar R dan AK dapat dipenuhi hak-haknya. Termasuk hak mendapat bantuan hukum dan pemulihan psikologis akibat perbuatannya. 

"Untuk anak korban kami merekomendasikan agar mendapatkan layanan pemulihan yang optimal. Misalkan bekerja sama dengan UPTD PPA setempat," tuturnya. 

Buru Pelaku Utama

Polda Metro Jaya kekinian mengklaim masih memburu pelaku utama berinisial M di balik kasus ini. Sebab pemilik akun Facebook Icha Shakila belakangan diketahui juga merupakan korban kejahatan M.

Berdasar hasil pemeriksaan terhadap pemilik akun Facebook Icha Shakila, yang bersangkutan mengaku pernah dihubungi oleh seseorang di Facebook berinisial M. Ketika itu M memintanya mengirim foto tanpa busana dengan iming-iming imbalan uang.

Icha Shakila karena tergiur kemudian mengikuti permintaan M tersebut. Setelah dikirim foto tanpa busana, pelaku kembali meminta Icha Shakila mengirim video dirinya melakukan persetubuhan. Namun Icha Shakila menolak. M lantas menyebarluaskan foto Icha Shakila tanpa busana itu ke suami dan teman-temannya. 

Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Wadirkrimsus) Polda Metro Jaya, Hendri Umar menduga M menduplikasi akun Facebook milik Icha Shakila saat melakukan aksi kejahatannya terhadap R dan AK. Di mana dari hasil penyelidikan akun Icha Shakila yang dipergunakan M ini memiliki IRL yang berbeda. 

"S (pemilik akun Icha Shakila) korban dari kasus yang kami tracking. Apakah ada dugaan jaringan atau sindikat dari dugaan tindak pidana terjadi, masih kami telusuri," terang Hendri saat dikonfirmasi, Senin siang.