Modus Operandi Dinasti Jokowi Mengakali Putusan MA Buat Kaesang Pangarep
Home > Detail

Modus Operandi Dinasti Jokowi Mengakali Putusan MA Buat Kaesang Pangarep

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Senin, 03 Juni 2024 | 19:33 WIB

Suara.com - WAKIL Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Andy Budiman kesal dengan penilaian publik terkait putusan Mahkamah Agung memberikan 'karpet merah' bagi Kaesang Pangarep untuk maju di Pilkada 2024. 

Ia berdalih, PSI tak tahu-manahu gugatan peraturan KPU tentang batas usia minimal calon gubernur 30 tahun yang dikabulkan MA. Pasalnya yang mengajukan gugatan partai Garuda. 

Oleh karena itu, Andy meminta semua pihak supaya menghormati keputusan MA. "Kita harus menghormati keputusan hakim," kata Andy di Jakarta, Sabtu (1/6/2024).

Polemik ini berawal dari putusan Mahkamah Agung (MA) atas uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf d peraturan KPU nomor 9 Tahun 2020. Pasal ini mengatur tentang batas usia calon gubernur minimal 30 tahun serta calon bupati/wali kota minimal 25 tahun yang terhitung sejak penetapan pasangan calon atau paslon. Kemudian oleh MA diubah, batas usia calon terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Sebagaimana diketahui, putra bungsu Presiden Jokowi, Kesang Pangarep digadang-gadang bakal maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Pada saat penetapan paslon nanti Kaesang belum  memenuhi batas usia. 

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai wajar publik mengaitkan putusan MA ini dengan putra bungsu Jokowi. Apalagi adik kandung wakil presiden terpilih 2024, Gibran Rakabuming Raka itu diketahui baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.

Artinya, jika merujuk pada ketentuan sebelumnya, syarat calon gubernur dan wakil gubernur berusia 30 tahun sejak ditetapkan sebagai pasangan calon pada 22 September 2024, maka Kaesang dipastikan tidak akan lolos. Belum lagi pola yang digunakan ini menurut Bivitri sama seperti Mahkamah Konstitusi (MK) yang ketika itu dipimpin paman Kaesang, Anwar Usman meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden 2024 lewat Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023.

"Kita memang lazim melihat pola yang sudah terjadi dan pola oleh keluarga Jokowi ini. Kan sudah kelihatan waktu MK dengan bantuan paman Anwar Usman (Ketua MK) membuat pasal berubah, persis polanya, cuma beda institusinya satu MK, satu MA, pola itu sudah dilakukan dan sukses," kata Bivitri kepada Suara.com, Minggu (2/6). 

"Jadi pola itu bisa jadi salah satu alasan. Tentu saja publik boleh menduga bahwa ini adalah sebuah modus operandi."

Selain menyoroti pola-pola tersebut, Bivitri juga turut mengkritik penalaran hukum hakim MA dalam pertimbangannya mengabulkan uji materi ini. Salah satunya pertimbangan hakim MA yang merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945.

Padahal secara konstitusional tugas MA ialah menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan yang memiliki wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1944 ialah MK.

"Ini sudah keluar dari tugas konstitusional yang harusnya dilakukan oleh Mahkamah Agung," jelas Bivitri. 

Lagi pula, Bivitri menyampaikan KPU selaku pihak termohon memiliki fokus tugas terkait pelaksanaan Pemilu. Sehingga dalam PKPU yang menjadi acuan terkait persyaratan batas usai calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota, yakni pada tahap pendaftaran atau penetapan calon, bukan saat pelantikan.

"Jadi tidak wajar penalaran hukumnya," ungkapnya. 

Bivitri juga mengkritik penalaran hukum hakim MA dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwasanya membatasi usai 30 tahun calon gubernur-wakil gubernur serta 25 tahun bagi bupati-wakil bupati maupun wali kota-wakil wali kota sejak penetapan pasangan calon oleh KPU hanya akan menggambarkan pelaksanaan Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengambarkan original intent atau penafsiran tekstual untuk mengakomodasi anak muda. 

Kaesang Unggah Foto Bareng Ayah dan Kader PSI, Publik: Kakak Tertua, Ipar dan Paman Gak Diajak? [Instagram Kaesang]
Presiden Jokowi dan putra bungsunya yang juga ketua umum PSI Kaesang Pangarep. [Instagram Kaesang]

Padahal, lanjut Bivitri, perbedaan waktu antara proses penetapan calon dengan pelantikan hanya terpaut tiga bulan. 
“Apakah dengan memberikan pembedaan antara sejak penetapan paslon ke pelantikan, perbedaannya signifikan?" ungkap Bivitri. "Jadi nggak berhenti didugaan pola dan lain sebagainya, saya juga mengkritik penalaran hukum hakim MA yang menurut saya tidak wajar."

Mengakali Konstitusi

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati juga meragukan bahwa putusan MA ini semata-mata atas nama kesetaraan dan keterwakilan anak muda. Sebab putusan tersebut dalam praktiknya jelas baginya hanya akan menguntungkan kandidat yang memiliki kekerabatan, kedekatan dengan oligarki dan politik dinasti.

Sehingga wajar menurut Neni jikalau putusan MA diduga sebagai upaya memuluskan jalan bagi Kaesang. Apalagi yang bersangkutan digadang-gadang akan maju sebagai gubernur atau wakil gubernur. 

"Putusan MA ini menjadi preseden buruk dalam demokrasi dan sarat kepentingan politis. Atas nama kesetaraan dan keterwakilan anak muda memperalat dan mengakali konstitusi," tutur Neni kepada Suara.com, Minggu (2/6).

Karena itu, DEEP telah mendesak KPU untuk tidak menindaklanjuti putusan MA ini karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. DEEP juga menuntut KPU konsisten dan imparsial, sebab tahapan pendaftaran pencalonan perseorangan atau independen sudah selesai dan sedang memasuki proses verifikasi administrasi. 

"Jika KPU menindaklanjuti putusan MA, ini berarti KPU tidak inkonsisten, terjebak pada kepentingan politik pragmatis jangka pendek dan menggadaikan integritas serta mencederai demokrasi," ujarnya. 

Turunkan Maruah Ketum Parpol

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro. Agung berpendapat publik mengaitkan putusan MA dengan Kaesang karena memiliki kemiripan pola saat Gibran 'diloloskan' MK.

"Mengapa publik sampai menangkap sedemikian rupa karena pernah mengalami kejadian yang sudah, dan itu waktunya tidak terlampau jauh," jelas Agung.

Langkah pasti yang bisa diambil Kaesang untuk terlepas dari tudingan tersebut menurut Agung ialah dengan memberikan pernyataan secara tegas bahwa yang bersangkutan tidak akan maju di kontestasi Pilkada. 

"Ketika PSI ingin membantah atau Kaesang memberi perbedaan tersendiri dari realitas politik hukum tadi maka yang paling tepat dan dekat yang bisa dilakukan memutuskan secara langsung pers conference untuk tidak maju di Pilkada," ungkap Agung. 

Terlebih, sebagai ketua umum PSI, Kaesang bagi Agung lebih pantas memgincar jabatan menteri atau wakil menteri. Atau paling tidak lebih baik fokus membesarkan PSI daripada ikut dalam kontestasi Pilkada yang justru dinilai menurunkan maruah ketua umum.

"Itu dalam tanda petik menurunkan maruah ketua umum partai, dan Kaesang punya jalur sendiri jangan kemudian harus dipaksakan harus sama seperti Jokowi di Solo, Gibran di Solo. Nggak harus sama track politik kandidat, tiap orang punya jalannya masing-masing dan Kaesang bisa membuktikan caranya sendiri," pungkasnya. 


Terkait

Potret Adu Gaya Erina Gudono dan Mila Gunawan, Istri Calon Ibu Pejabat DKI
Senin, 03 Juni 2024 | 19:05 WIB

Potret Adu Gaya Erina Gudono dan Mila Gunawan, Istri Calon Ibu Pejabat DKI

Erina Gudono dan Mila Gunawan bahkan disebut-sebut cocok menjadi calon ibu pejabat.

Dilaporkan ke KY Imbas Hapus Aturan Batas Usia Kepala Daerah, Sederet Kejanggalan Putusan Kilat 3 Hakim MA
Senin, 03 Juni 2024 | 15:57 WIB

Dilaporkan ke KY Imbas Hapus Aturan Batas Usia Kepala Daerah, Sederet Kejanggalan Putusan Kilat 3 Hakim MA

"Tujuan kami ke KY adalah melaporkan tiga hakim yang kemarin membuat putusan yang sangat janggal dan mencederai masyarakat..."

Kaesang Dinilai Lebih Layak Jadi Gubernur Jakarta, Levelnya Ketum Partai dan Anak Presiden Loh
Senin, 03 Juni 2024 | 11:34 WIB

Kaesang Dinilai Lebih Layak Jadi Gubernur Jakarta, Levelnya Ketum Partai dan Anak Presiden Loh

Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep sedang ramai dibicarakan publik usai putusan MA mengeluarkan putusan penghapusan batasan usia calon wakil gubernur saat mendaftar.

Terbaru
Review Final Destination: Bloodlines, Penantian 14 Tahun yang Worth It
nonfiksi

Review Final Destination: Bloodlines, Penantian 14 Tahun yang Worth It

Sabtu, 17 Mei 2025 | 07:20 WIB

Sebagai film keenam dalam seri Final Destination, Bloodlines menempuh jalur yang cukup berani.

Sekda DKI Dilaporkan Dugaan Angkat Keluarga Jadi Pejabat, Kenapa Pasal Nepotisme Jarang Ditegakkan? polemik

Sekda DKI Dilaporkan Dugaan Angkat Keluarga Jadi Pejabat, Kenapa Pasal Nepotisme Jarang Ditegakkan?

Jum'at, 16 Mei 2025 | 15:44 WIB

Kasus nepotisme jamak ditemui di Indonesia, tapi hampir tak pernah masuk dalam proses penyidikan

Jemaah Tercecer di Tanah Suci: Masalah Baru di Balik Sistem Multisyarikah? polemik

Jemaah Tercecer di Tanah Suci: Masalah Baru di Balik Sistem Multisyarikah?

Jum'at, 16 Mei 2025 | 09:46 WIB

Salah satunya dengan melakukan identifikasi berbasis data terkait jemaah terdampak.

Solusi Ajaib Pemerintah, Anak Keracunan MBG Tapi Wacananya Malah Dibuatkan Asuransi polemik

Solusi Ajaib Pemerintah, Anak Keracunan MBG Tapi Wacananya Malah Dibuatkan Asuransi

Kamis, 15 Mei 2025 | 15:18 WIB

BGN mewacanakan asuransi bagi penerima program MBG usai kasus keracunan. Kritik bermunculan menilai asuransi penerima manfaat MBG beban anggaran.

Negara Boncos, Apakah Legalisasi Judi Kasino Bisa jadi Solusi? polemik

Negara Boncos, Apakah Legalisasi Judi Kasino Bisa jadi Solusi?

Kamis, 15 Mei 2025 | 09:04 WIB

Galih mencontohkan langkah Uni Emirat Arab yang berencana membangun kasino, meski negara tersebut berbasis Islam.

Wacana Dokter Umum Dilatih Operasi Caesar: Solusi Krisis Dokter Spesialis atau Ancaman Bahaya Baru? polemik

Wacana Dokter Umum Dilatih Operasi Caesar: Solusi Krisis Dokter Spesialis atau Ancaman Bahaya Baru?

Rabu, 14 Mei 2025 | 15:34 WIB

Menurutnya, pelatihan ini bisa menjadi solusi atas minimnya dokter spesialis kandungan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Ledakan Amunisi Milik TNI: Mengapa Kasus Terus Berulang? polemik

Ledakan Amunisi Milik TNI: Mengapa Kasus Terus Berulang?

Rabu, 14 Mei 2025 | 13:57 WIB

Sebanyak 13 orang tewas, sembilan warga sipil dan empat anggota TNI.