Kejanggalan di Balik Putusan Hakim Kembali Bebaskan Gazalba Saleh Dari Jeratan Korupsi

Kejanggalan di Balik Putusan Hakim Kembali Bebaskan Gazalba Saleh Dari Jeratan Korupsi


Suara.com - Res Judicata Pro Veritate Habetur, artinya apapun keputusan hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. Namun, putusan pengadilan Tipikor membebaskan hakim Gazalba patut dikritisi karena ngawaur.

***

HAKIM Agung nonaktif Gazalba Saleh kembali mengalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setelah nota keberatannya dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pidana pencucian uang atau TPPU Rp62,8 miliar dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada sidang putusan sela, pada Senin 27 Mei 2024. Atas putusan itu Gazalba dibebaskan lagi dari tuntutan hukum. 

Meski ada adagium 'apapun keputusan hakim harus dijalankan', tapi putusan majelis hakim yang dipimpin oleh Fahzal Hendri dengan hakim anggota Rianto Adam Pontoh dan Sukartono menuai kritikan tajam. 

"Namun putusan tersebut tak bisa serta merta didiamkan begitu saja. Publik berhak mengkritisi, karena telah diputuskan sehingga menjadi konsumsi umum," kata Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi atau Pukat UGM Zaenur Rohman saat dihubungi Suara.com, Rabu (29/5/2024).  

Pertimbangan hakim Tipikor memutus bebas Gazalba yakni masalah kewenangan Jaksa KPK dalam melakukan penuntutan. Hakim mempersoalkan KPK tidak pernah meyerahkan surat pendelegasian kewenangan penuntutan dari Kejaksaan Agung untuk Jaksa KPK pada kasus Gazalba.

"Namun, Jaksa yang ditugaskan di Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam hal ini Direktur Penuntutan KPK tidak pernah mendapatkan pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi sesuai dengan asas Single Prosecution System,” kata Hakim Fahzal dalam pertimbangannya. 

Atas putusan itu, untuk ketiga kalinya Gazalba lolos dari jeratan hukum. Sebelumnya pada kasus suap pengurusan kasasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di Mahkamah Agung, Gazalba dibebaskan majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung karena dinilai tidak terbukti. Tak terima dengan putusan hakim, KPK mengajukan kasasi ke MA, dan Gazalba kembali bebas. 

Rekam jejak kasus Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh. [Suara.com/Iqbal]
Rekam jejak kasus Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh. [Suara.com/Iqbal]

Kewenangan KPK melakukan penuntutan bukan berasal dari Kejaksaan Agung melainkan dari Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. KPK memiliki kewenangan melakukan penuntutan, selaian penyelidikan dan penyidikan yang diatur dalam Pasal 6 huruf e UU KPK. 

"Jadi KPK memperoleh kewenangan itu (penuntutan) dari Undang-Undang. Tidak ada satupun kewajiban atau pasal yang menjadi dasar hukum untuk mengharuskan Jaksa KPK menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung ketika melakukan penuntutan di depan persidangan," tegas Zaenur. 

Dia lantas menilai putusan dan pertimbangan hakim mencetak sejarah dalam proses peradilan korupsi. 

"Itu tidak berdasar hukum, mengada-ngada. Dan ini baru pertama kali kami dengar karena dari zaman dulu, dari awal KPK berdiri, sesuai dengan UU Nomor 32 tahun 2002 sampai sekarang. KPK itu kewenangannya berasal dari Undang-Undang KPK, bukan dari penegak hukum lain," katanya. 

Zaenur menjalaskan, justru KPK memiliki kewenangan lebih dari Kejaksaan dan Polri. KPK bisa mengambil alih perkara korupsi dari dua institusi penegak hukum tersebut. Hal itu tertuang dalam Pasal 10 A Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

"Jadi jangankan izin, enggak perlu. KPK bahkan bisa mengambil alih perkara di Kejaksaan Agung. Jadi tidak benar alasan dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta ketika menerima esepsi Gazalba Saleh," terangnya. 

"Dari zaman dulu KPK sudah menuntut ratusan kasus. Ratusan perkara itu tidak ada kewajiban Jaksa KPK untuk meminta pelimpahan kewenangan," sambungnya. 

Lembaga Independen

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya juga mengamini kesalahan pada putusan hakim. KPK merupakan lembaga independen dan harus bebas dari pengaruh kekuasaan, sehingga tidak memerlukan izin saat melakukan penuntutan. 

"KPK dibentuk dengan konsep satu atap untuk pemberantasan korupsi. Maka dari itu, penegakan hukum termasuk di dalamnya kerja-kerja penuntut umum tidak memerlukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung," terang Diky.

Ketua IM57+ Institute yang juga mantan penyidik KPK, M. Praswad Nugraha menilai putusan hakim tersebut upaya melemahkan indepedensi fungsi penindakan KPK. Menurutnya, tujuan awal pendirian KPK untuk mengakselarasi pemberantasan korupsi ketika lembaga lain tidak optimal menjalankan fungsinya. 

"Itulah mengapa design kekhususan tercermin didalam UU KPK sebagai lex specialis dari UU lainnya. Apabila ini diterapkan maka independensi KPK akan hilang, karena setiap proses penuntutan harus mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung melalui delegasi. Artinya otoritas penuntutan KPK berada dibawah Jaksa Agung," terangnya. 

Selain itu, putusan hakim itu dikhawatirkan menjadi contoh bagi terdakwa yang dituntut KPK untuk bebas dari jeratan hukum. 

"Karena terdakwa KPK menggunakan pendekatan yang sama. Pada akhirnya akan terjadi banjir upaya eksepsi dengan menggunakan dasar yang sama, sehingga pada akhirnya upaya penuntutan KPK menjadi sia-sia," tuturnya.

Pengawasan KY 

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mempertanyakan konsistensi ketiga hakim yang menyidangkan kasus Gazalba. Mengingat di antara mereka juga menyidangkan kasus korupsi yang diusut KPK. 

Seperti Fahzal Hendri yang menjadi hakim di sidang kasus korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Kemudian Rianto Adam Pontoh juga hakim di kasus korupsi mantan Gubernur Papua Lukas Enembe. 

"Artinya pada dua kasus sebelumnya beliau memutus atas dugaan perkara tindak pidana korupsi yang diajukan oleh Jaksa KPK. Dan kasus-kasus tersebut oleh beliau diperiksa dan diputus, tidak dipermasalahkan kompetensi atau kewenangan dari jaksa penuntut umum dari KPK," kata Ghufron. 

Ghufron lantas menilai terjadi inkonsistensi dari para hakim yang menyidangkan Gazalba. 

"Jadi kalau saat ini kemudian hakim yang bersangkutan mengatakan bahwa JPU dari KPK tidak berwenang, maka ada tidak konsisten terhadap putusan-putusan terdahulu yang beliau periksa dan beliau putus sendiri," ucapnya.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengungkap, lembaga antikorupsi resmi melakukan perlawanan lewat banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. 

"Penandatanganan akta permintaan perlawanan dilakukan melalui Panmud Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Argumentasi hukum untuk upaya hukum ini segera akan disusun dan disiapkan tim Jaksa dalam memorinya lalu dikirim ke Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Ali. 

Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) menyoroti putusan hakim yang mengabulkan esepsi Gazalba. Meskipun KY tak memiliki wewenang untuk menilai pertimbangan hakim. 

"Meskipun KY tidak bisa menilai suatu putusan, tetapi putusan dapat menjadi pintu masuk bagi KY untuk menelusuri adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)," kata juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata.

KY akan menurunkan tim untuk melakukan investigasi guna mengungkap kejanggalan dan dugaan pelanggaran etik hakim.

"Kami melakukan penelusuran terhadap berbagai informasi dan keterangan yang mengarah terhadap dugaan adanya pelanggaran etik dan perilaku hakim pada kasus tersebut dengan menurunkan tim investigasi. KY mengajak semua pihak untuk memastikan mengawal kasus ini," tutur Mukti.