Suara.com - WACANA duet Budisatrio Djiwandono keponakan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan artis Raffi Ahmad di Pemilihan Kepala Daerah Khusus Jakarta 2024 mencuat. Mengenakan stelan jas keduanya bersanding dalam bingkai foto yang diunggah di akun Instagram Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
Dasco mengklaim hanya sekadar testing the water alias tes ombak. Beberapa hari setelah itu Dasco kembali mengunggah foto Budisatrio disandingkan dengan Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam foto berlatar Monumen Nasional atau Monas itu tertulis keterangan 'Calon Gubernur DKI Jakarta dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta.'
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengakui partainya tengah mematangkan Budisatrio untuk bisa memimpin Jakarta. Berpengalaman sebagai anggota DPR RI dua periode, klaim memiliki relasi bagus dan visi ekonomi yang matang diyakininya menjadi modal kuat dimiliki Budisatrio.
"Kriteria itu sepertinya memenuhi syarat Budi Djiwandono," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Dongkrak Popularitas
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS), Agung Baskoro menilai tes ombak yang dilakukan Dasco secara bergantian menyandingkan Budisatrio dengan Raffi dan Kaesang ialah upaya untuk mendongkrak popularitas. Sebab masih banyak masyarakat Jakarta yang mungkin belum mengenal sosok Budisatrio.
"Karena popularitas pintu masuk sebelum diterima publik atau elit (akseptabilitas) dan berikutnya dipilih (elektabilitas). Sehingga wajar Budisatrio diperkenalkan intensif bersama sosok-sosok populer bergantian," tutur Agung kepada Suara.com, Rabu (29/5/2024).
Namun Agung memberikan catatan bahwa popularitas tidak cukup dijadikan modal untuk menjadi cagub atau cawagub di Pilkada Jakarta. Terlebih karakteristik pemilihnya yang mayoritas rasional, terdidik, dan ekonominya kelas menengah.
"Orang Jakarta tidak serta merta silau dengan popularitas," katanya.
Belum lagi, lanjut Agung, kemungkinan lawan yang akan dihadapi di Pilkada Jakarta cukup berat. Ada Anies Baswedan mantan Gubernur DKI Jakarta yang kemungkinan akan diusung PKS, NasDem dan PKB. Kemudian mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dari Golkar. Dua nama ini menjadi kandidat kuat yang digadang-gadang sebagai bakal cagub di Pilkada Jakarta.
Kedua nama itu, lanjut Agung, setidaknya juga telah memiliki rekam jejak dan modal elektabilitas. Meskipun selain elektabilitas ada faktor utama lainnya, yakni akseptabilitas partai politik sebagai pemberi tiket untuk maju dalam kontestasi.
Agung menilai Gerindra juga sulit jika ingin benar-benar berkeinginan mengusung duet Budisatrio dan Raffi di Pilkada Jakarta. Pasalnya perolehan kursi Gerindra di Pileg DPRD Jakarta 2024 hanya sekitar 14 kursi sehingga mengharuskan berkoalisi dengan partai politik lain yang mungkin juga telah memiliki kandidat sendiri.
"Kita tahu bahwa syarat minimal untuk bisa mencalonkan kepala daerah di DKI Jakarta itu kan minimal 20 persen atau sekitar 21 kursi. Jadi Gerindra butuh koalisi yang bisa memastikan Budisatrio ini mendapatkan tiket," ungkapnya.
Sementara soal menduetkan Budisatrio dan Kaesang, Agung menilai hal ini mungkin saja bisa terjadi. Mengingat gabungan perolehan kursi Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin Kaesang cukup untuk memperoleh tiket maju sebagai pasangan cagub dan cawagub. Namun hal ini dianggap beresiko kembali menyeret nama Jokowi.
"Kalau tak hati-hati, ini malah bisa jadi bumerang politik bukan saja bagi Kaesang, namun juga istana secara keseluruhan," jelasnya.
Islam konservatif
Karakteristik pemilih di Jakarta yang sebagian besar memiliki pemahaman islam konservatif menurut Agung juga penting diperhatikan bagi para kandidat. Sebab hal ini terafirmasi dengan kemenangan PKS di Pileg DPRD Jakarta 2024.
Selain memiliki rekam jejak yang jelas, program, visi dan misi, Agung menilai perlu juga modal pemahaman agama yang baik untuk memenangkan kontestasi Pilkada Jakarta.
"Karena hal-hal semacam itu penting ternyata, dan itu yang menjelaskan kenapa Anies Baswedan bisa menang di Pilkada DKI Jakarta pada 2017," beber Agung. "Tanda-tanda itu kembali mengulang ketika PKS malah bertambah kursinya. Jadi saya melihat ini hal yang perlu diperhatikan oleh siapapun yang maju di DKI ketika nanti akan kemungkinan besar berhadapan dengan Anies Baswedan."
Atas dasar itu, Agung berpendapat berdasar hitungan-hitungan di atas kertas jika Budisatrio berhadapan dengan Anies akan sulit meraih kemenangan. Meskipun segala kemungkinan dalam politik bisa saja terjadi.
"Jadi kalau saya melihat perlu dicari alternatif nama lain, misalkan Ridwan Kamil-Budisatrio karena sama-sama punya rekam jejak. Tapi kalau Budisatrio yang jadi cagubnya saya juga masih ragu," tuturnya.
Faktor Dorongan Penguasa Jadi Penentu?
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin memberikan pandangan berbeda. Dia meyakini faktor dorongan kekuasaan bisa jadi modal utama kemenangan Budisatrio dan Raffi.
Sebab bagi Ujang kontestasi politik bukan sekadar bicara soal petahana, tapi juga dukungan kekuasaan. Dibandingkan dengan Kaesang, Ujang juga berpendapat Raffi lebih unggul secara popularitas untuk bisa membantu kemenangan Budisatrio.
"Sedangkan Kaesang ini kan nggak pernah punya investasi, tidak pernah punya sumbangsih juga di Jakarta kan itu persoalannya," ujarnya. "Apakah nanti betul-betul terealisasi atau tidak kita lihat saja dinamikanya ke depan. Semuanya masih cari, dinamis, dan harus diuji dengan respons dari masyarakat."
Tanggung Jawab Moral Partai
Peneliti utama politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro mengungkap adanya kencenderungan cara berpikir partai politik atau parpol yang merujuk lembaga survei kerap kali menjadi dasar memilih seorang calon kepala daerah serta merta berdasar popularitas dan elektabilas demi meraih kemenangan. Padahal di balik itu parpol semestinya memiliki kesadaran akan tanggung jawab moral dalam menentukan atau mencalonkan seorang pemimpin.
Jika merujuk cara pandang akademisi misalnya, kata Siti Zuhro, intergritas dan kompetensi calon pemimpin ialah poin penting yang semestinya menjadi dasar pertimbangan.
“Mumpuni tidak yang bersangkutan untuk menjadi eksekutif tertinggi di daerah,” kata Siti Zuhro. “Ini yang tidak ditekankan tentunya oleh lembaga survei. Nah partai politik sangat mengikuti cara berpikir lembaga survei seperti itu.”
Menurut Siti Zuhro jika parpol hanya sekadar mengedepankan popularitas dan elektabilitas dalam mencalonkan seorang pemimpin daerah maka masyarakat tidak akan bisa menyaksikan inovasi-inovasi pembangunan yang dilakukan di daerah-daerahnya. Sebab kontestasi politik ini sebatas menghasilakan penguasa bukan pemimpin.
“Kalau pemimpin itu sudah pasti penguasa, tapi penguasa belum tentu pemimpin. Pemimpin itu punya dedikasi,” pungkasnya.
Jumlah kelas menengah tersebut menurun drastis bila dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.
Setelah dua bulan 'melenggang bebas', anak pemilik toko roti di Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur itu akhirnya ditangkap atas kasus penganiayaan.
Tak berhenti sampai cerita penganiayaan, netizen pun mengorek latar belakang Lady Aurellia.
Pilkada yang dipilih lewat DPRD, menurut Hamzah merupakan langkah mundur demokrasi.
"Kalau pengadilan tidak bisa memberikan efek jera terhadap para pemilik lembaga pendidikan itu, saya khawatir ini akan terus berulang terjadi," ujar Lia.
Ketika Prabowo menjabat Menhan, beberapa prajurit TNI eks Tim Mawar mendapat posisi strategis
Ide ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.