Kementerian Agama Sebaiknya Diganti Jadi Kementerian Berketuhanan
Home > Detail

Kementerian Agama Sebaiknya Diganti Jadi Kementerian Berketuhanan

Agung Sandy Lesmana | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Jum'at, 29 September 2023 | 08:45 WIB

Suara.com - Tanpa alasan yang kuat, aliran kepercayaan asli Indonesia dianggap bukan agama. Eksesnya, stigmatisasi terhadap kaum penghayat semakin dilanggengkan. Ada wacana kementerian agama diganti menjadi kementerian berketuhanan agar memenuhi prinsip kesetaraan.

“KAMI tidak menyembah Semar,” kata Sukamto, anggota komunitas penghayat Sapta Darma di Yogyakarta.

Seperti kebanyakan kelompok penghayat lainnya, Komunitas Sapta Darma seringkali dipersepsikan salah oleh masyarakat.

Persepsi yang salah, berpotensi berkembang menjadi stigmatisasi dan berujung pada diskriminasi maupun aksi persekusi terhadap para penghayat.

Untuk komunitas Sapta Darma sendiri, kesalahpahaman tersebut bersumber pada sistem keyakinan yang menjadikan Semar sebagai sosok sentral.

“Semar itu simbol roh suci manusia yang asalnya dari Allah yang maha kuasa.”

Semar, bagi penghayat Sapta Darma, bukan tokoh pewayangan Jawa, melainkan Semar Bagus serta memiliki makna mendalam.

Dalam perupaannya, Semar digambarkan sebagai sosok berkuncung tapi juga berpayudara, sehingga berada di luar oposisi biner jenis kelamin khas manusia, yakni perempuan maupun lelaki.

Lebih dari itu, Semar oleh komunitas Sapta Darma adalah cahaya yang merupakan roh suci manusia.

Teologi mereka berdasarkan pada keyakinan Allah atau bahasa Indonesianya adalah Tuhan, sebagai ‘yang satu’.

"Jadi, bagi kami, tidak ada sesembahan lain kecuali Allah yang maha kuasa,” kata dia.

Meskipun sudah terang benderang menjelaskan keyakinannya melalui banyak medium, sejumlah warga komunitas Sapta Darma mengakui selalu ada pihak yang tak menyukai kehadiran mereka.

“Misalnya warga kami di Rembang, beberapa tahun lalu mau mendirikan tempat ibadah atau sanggar, malah dirusak massa, sampai dibakar. Itu semua karena ada hoaks,” kata seorang warga komunitas Sapta Darma.

Diskriminasi serta persekusi terhadap penghayat juga terjadi pada pemeluk Hindu Jawa atau lebih dikenal sebagai Hindu Mangir.

Para penerus Ki Ageng Mangir yang legendaris ini, kerapkali distigmatisasi sebagai penyembah berhala,roh, bahkan setan.

Kusuma Ayu, salah satu pemeluk Hindu Mangir, mengakui kepercayaan religinya belum familiar bagi masyarakat, sehingga rentan menjadi sasaran informasi bohong alias hoaks yang bisa berujung pada persekusi maupun diskriminasi.

“Selama ini masyarakat hanya mengenal Hindu Bali. Padahal di Jawa ada yang namanya Hindu Jawa,” kata Ayu.

Menurut Ayu, Hindu Jawa sudah menjadi sistem spiritual masyarakat sebelum dikenal adanya agama di Indonesia.

“Karenanya, kejawen itu bisa masuk ke agama apa saja, Hindu Jawa, Kristen Jawa, Islam Jawa, dan salah satunya kami. Kami ingin mengenalkan ke masyarakat, bahwa kami ada,” kata Ayu.

Selain menjalankan ritual, Ayu mengatakan umat Hindu Mangir bertekad melestarikan kebudayaan, kepercayaan, maupun adat istiadat yang lama terkikis karena kepercayaan-kepercayaan baru.

Dia berharap, masyarakat tak melihat Hindu Jawa sebagai penyembah berhala atau memberikan sesaji kepada roh, tapi menghormati ciptaan Tuhan.

“Kami berpedoman hidup pada Tuhan, bukan sistem agama. Ketika kita mengamalkan sifat Tuhan, maka kita tak akan memandang siapa saja secara berbeda, tapi ada kesataraan.”

Meski secara prinsipil penghayat setara dengan agama, secara prosedural hal itu tak berlaku.

[Suara.com/Ema Rohimah]
[Suara.com/Ema Rohimah]

Terbaru, rancangan peraturan presiden tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama atau Ranperpres PKUB, tidak satu pun pasal yang mengafirmasi aliran kepercayaan.

Lembaga yang membawahi kaum penghayat pun hingga kini masih Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—lewat Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi Ditjen Kebudayaan. Sementara agama dibawahi Kementerian Agama.

Ketua Bidang Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia Yusnar Yusuf—yang ikut dalam pembahasan Ranperpres PKUB—menegaskan penghayat tak bisa dianggap sebagai agama.

Yusuf menganalogikan penghayat kepercayaan asli Nusantara setara dengan masyarakat yang secara umum menjadi penghayat Pancasila.

“Siapa bilang penghayat itu agama? Itu kepercayaan, bukan agama,” kata Yusuf meski tak bisa menjelaskan apa perbedaan signifikan antara kepercayaan dengan agama.

Ketua Presidium Majelis Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Yogyakarta Bambang Purnama, mengungkapkan kesetaraan sistem kepercayaan dengan agama masih menjadi perdebatan hangat.

Tapi menurutnya, perdebatan itu seharusnya tidak mengurangi hak-hak kaum penghayat yang justru dinisbikan dalam Ranperpres PKUB.

Penghayat Sapta Darma ini mengusulkan, untuk menyudahi perdebatan penghayat kepercayaan bukan agama, sebaiknya pemerintah mengubah nama Kementerian Agama menjadi Kementerian Berketuhanan.

“Artinya, Kementerian Berketuhanan ini akan mengurus masyarakat yang bertuhan. Jadi semua bisa masuk,” kata dia.

Tak hanya itu, Bambang juga mengusulkan agar pemerintah mengganti diksi ‘agama’ pada KTP dengan ‘berketuhanan melalui’.

Usulan berikutnya, kata ‘agama’ di KTP diganti dengan ‘berketuhanan melalui.’ Dengan begitu semuanya tetap terakomodir.

“Jadi kementerian agama tak akan dihapus, tapi kepercayaan bisa diakui.”

[Suara.com/Rochmat]
[Suara.com/Rochmat]

Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, mengakui hingga kekinian masih ada perdebatan posisi kesetaraan antara penghayat kepercayaan sebagai agama dalam pembahasan Ranperpres PKUB.

“Sependek saya tahu, memang karena judulnya ‘umat beragama’, jadi ada perdebatan soal posisi aliran kepercayaan. Ini memang problematik, karena pemisahan urusan agama di dua kementerian,” kata Alissa Wahid.

Namun dari informasi yang diterimanya, pemerintah dalam pembahasan ranperpres sedang mencarikan jalan keluar agar penghayat kepercayaan tetap diakomodasi.

“Kalau menurut kami di Gusdurian, idealnya semua aliran keimanan dikelola bersama, apakah itu agama ataupun penghayat kepercayaan,” tegasnya.

------------------------------------------------ 

Reportase ini merupakan bagian dari program fellowship oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk)


Terkait

Gelar Gebyar PAI Tingkat PAUD, Kemenag Kampanyekan Sikap Moderasi Sejak Usia Dini
Minggu, 24 September 2023 | 13:40 WIB

Gelar Gebyar PAI Tingkat PAUD, Kemenag Kampanyekan Sikap Moderasi Sejak Usia Dini

Kementerian Agama kembali menggelar Gebyar Pendidikan Agama Islam (PAI) Taman Kanak-kanak (TK). Gelaran tahun ini bertema "Moderat Sejak Usia Dini".

Putri Gus Dur Minta Pemilih Pemula Jangan Pilih Pemimpin yang Gunakan Politik Identitas
Minggu, 24 September 2023 | 00:00 WIB

Putri Gus Dur Minta Pemilih Pemula Jangan Pilih Pemimpin yang Gunakan Politik Identitas

Kalau pemilih pemula perhatikan betul calon pemimpinnya, harus yang punya gagasan untuk memajukan Indonesia."

Nama Hari Libur Nasional Isa Al Masih Diubah Jadi Yesus Kristus, Memang Keduanya Berbeda?
Selasa, 12 September 2023 | 19:43 WIB

Nama Hari Libur Nasional Isa Al Masih Diubah Jadi Yesus Kristus, Memang Keduanya Berbeda?

Penyebutan Isa Al Masih dalam nomenklatur libur nasional resmi diubah oleh pemerintah menjadi Yesus Kristus. Perubahan itu berdasarkan permintaan dari Kementerian Agama.

Putri Gus Dur Alissa Wahid Soroti Dampak Gas Air Mata Oleh Polisi ke Pelajar, Bisa Bikin Buta!
Jum'at, 08 September 2023 | 19:50 WIB

Putri Gus Dur Alissa Wahid Soroti Dampak Gas Air Mata Oleh Polisi ke Pelajar, Bisa Bikin Buta!

"Apa tidak belajar dari kanjuruhan?" tanya Alissa Wahid melalui akun X-nya yang dulu dikenal sebagai Twitter, dikutip Jumat (8/9/2023).

Terbaru
Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur
nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat! nonfiksi

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12:33 WIB

Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan nonfiksi

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan

Selasa, 30 September 2025 | 19:26 WIB

Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang

×
Zoomed