Semua Bisa Kena, Kegagalan Proyek Dekolonisasi KUHP Baru

Semua Bisa Kena, Kegagalan Proyek Dekolonisasi KUHP Baru


Suara.com - Gelombang pasang protes menjalar di banyak daerah ketika KUHP hendak disahkan tahun 2019. Diwarnai ‘September razia’ yang menyasar aktivis dan jurnalis, rancangan undang-undang itu berhasil digagalkan. Selang dua tahun, KUHP benar-benar disahkan. Disebut justru membawa spirit hukum neokolonial.

BARU TIGA SENDOK nasi berlauk ayam goreng yang masuk ke mulut Dandhy Dwi Laksono, saat ia mendengar gerbang rumah digedor-gedor.

Namun, ketukan keras di pintu gerbang rumah tak membuat jurnalis sekaligus pendiri Watchdoc itu beranjak dari meja makan. Ia berpikir, biasa, mungkin ada tetangga yang datang.

Santai, Dandhy tak tergesa-gesa membukakan pintu. Lagi pula, nasi ayam goreng buatan sang istri terasa nikmat disantap sepulang bekerja.

Dandhy baru saja pulang dari kantornya sekitar pukul 22.45 WIB, Kamis 26 September 2019. Dia sempat sebentar beristirahat sebelum santap malam di meja makan.

Sang istri lantas berinisiatif membukakan pintu. Ada empat orang berdiri di depan pagar, satu mobil sudah terparkir di dekatnya.

Selain petugas keamanan kompleks perumahan, istri Dandhy tak mengenal keempat orang lainnya.

“Mas, coba lihat dulu, ada empat orang datang, saya gak kenal,” kata istri kepada Dandhy.

Dandhy menghentikan makannya. Dia bergegas mendekat ke pintu untuk melihat tamu tak diundang. Ia juga tak mengenali mereka.

“Siapkan kamera, rekam semuanya ya, buat dokumentasi, jaga-jaga,” pinta Dandhy.

Setelahnya, ia berjalan membuka pintu pagar. Keempat orang itu mengenakan tanda pengenal polisi, Dandhy tetap menanyakan maksud kedatangan mereka.

“Ada apa?”

“Kami dari tim Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.”

Orang yang mengklaim menjadi pemimpin tim itu mengaku bernama Fathur.

“Soal apa ini?”

“Boleh kami masuk ke rumah?”

Dandhy mempersilakan keempat polisi itu ke dalam rumah, termasuk dua satpam supaya ada saksi atas kedatangan mereka.

”Kami datang mau melakukan penangkapan,” kata mereka kepada Dandhy ketika meriung di ruang tamu.

Salah satu dari mereka mengajukan ponselnya untuk memperlihatkan sejumlah tulisan tentang kondisi Papua yang diunggah Dandhy ke akun Twitter pribadi.

“Iya, itu postingan saya.”

“Di-upload dari mana pak?”

”Dari ponsel atau laptop, lupa.”

“Apa masalahnya soal postingan itu?” tanya Dandhy.

“Oh, ini informasi hoaks pak.”

Mereka kemudian menunjukkan surat penangkapan. Namun, setelah dibaca Dandhy, ada ketidakcocokan antara pernyataan para polisi dengan isi surat penangkapan.

Pada surat penangkapan, Dandhy dijerat memakai pasal ujaran kebencian. Sementara keempat orang itu bilang Dandhy terlibat penyebaran informasi hoaks.

“Kok beda ini?”

Fatur maupun tiga rekannya tak bisa menjelaskan.

”Apa saya mau ditangkap jadinya?”

”Iya.”

Dandhy kembali menyoal perintah penangkapan itu, karena ia tak pernah sekali pun pernah diberi surat pemanggilan untuk dimintakan keterangan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, seseorang baru bisa dijemput paksa oleh polisi setelah tiga kali mangkir dari pemanggilan untuk memberikan keterangan.

”Tapi ada kondisi-kondisi tertentu yang dibolehkan pak,” kata para polisi, berkilah.

Dandhy akhirnya mengikuti kemauan keempat orang itu. Dia lantas masuk ke kamar untuk berganti pakaian sebelum ikut dibawa ke Polda Metro Jaya.

“Hubungi teman-teman, saya ditangkap, dibawa ke polda,” kata Dandhy kepada sang istri.

Rekan-rekan Dandhy meminta agar dia tak pergi mengikuti para polisi sebelum mereka dan kuasa hukum datang.

Namun, keempat polisi itu menawarkan agar tim kuasa hukum bisa langsung ke mapolda untuk mempersingkat waktu.

Sang istri lantas mencatat nama keempat polisi itu dan meminta nomor ponselsalah satu dari mereka.

“Coba cek, telepon, nyambung gak nomornya,” kata Dandhy.

Dandhy lalu dimasukkan ke dalam mobil Toyota Fortuner bernomor polisi D 216 CC. Sang istri sempat memotret mobil itu.

Ketika mobil mewah yang mengangkut sutradara film dokumenter Sexy Killers itu berlalu, waktu menunjukkan pukul 23.00 malam.

Pendiri Watchdoc Documentary Maker yang juga mantan jurnalis Dandhy Dwi Laksono. (Suara.com/Ummy Saleh)
Pendiri Watchdoc Documentary Maker yang juga jurnalis Dandhy Dwi Laksono. (Suara.com/Ummy Saleh)

SEJAK tiba di Mapolda Metro Jaya, sudah satu jam Dandhy berada di ruang pemeriksaan. Tapi ia menolak untuk diperiksa.

“Saya akan tunggu pengacara datang dulu,” kata Dandhy tegas-tegas.

Polisi memenuhi permintaan itu. Barulah ketika kuasa hukumnya datang, Dandhy disodorkan sejumlah pertanyaan oleh penyidik.

Ponsel Dandhy juga sempat diambil polisi. Satu jam penuh polisi mengutak-atik telepon genggamnya.

Polisi baru mengembalikan ponsel ketika baterainya hampir habis tapi tak memunyai pengisi daya yang cocok.

Empat jam Dandhy diperiksa di kantor polisi. Sekitar pukul empat subuh, Jumat 27 September, ia diperbolehkan pulang.

Namun, Dandhy pulang sebagai orang yang tak sepenuhnya bebas. Dia pulang dengan membawa serta status tersangka penyebar ujaran kebencian berbasis SARA.

Pada pagi yang sama setelah Dandhy dibolehkan pulang, persisnya pukul 04.28 WIB, aparat Polda Metro Jaya menangkap jurnalis sekaligus musikus Ananda Badudu di sebuah gedung, kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Empat penyidik dari Polda menggedor-gedor pintu kamar eks vokalis band Banda Neira itu. Pintu dibukakan teman Ananda.

Tim polisi yang dipimpin penyidik bernama Eko menunjukkan kartu identitas dan lencana Polisi.

Dia mengatakan membawa surat penangkapan Ananda, karena diduga terlibat membiayai aksi mahasiswa penolak beragam RUU bermasalah yang berujung ricuh.

Mereka lalu membawa Ananda ke kantor Resmob Polda Metro Jaya memakai mobil Toyota Avanza berwarna putih. Penangkapan disaksikan oleh seorang satpam gedung dan dua tetangga.

Belakangan diketahui, penangkapan terkait uang yang dihimpun Ananda melalui media sosial dan disalurkan untuk demonstrasi mahasiswa.

Ananda menginisasi penggalangan dana publik untuk mendukung gerakan mahasiswa melalui laman daring kitabisa.com.

Dia telah menggalang dana untuk aksi mahasiswa di depan gedung DPR sejumlah Rp 131 juta. Jumlah ini melebihi target awal yaitu Rp 50 juta.

Ananda memperpanjang penggalangan dana. Alasannya, rapat paripurna pembahasan RUU KUHP masih akan diperpanjang sampai 30 September.

Dalam deskripsi di laman Kita Bisa, Ananda menyebut donasi ini merupakan bentuk dukungan kepada mahasiswa yang memperjuangkan hak-hak rakyat.

Uang donasi rencananya dibelanjakan keperluan logistik, penyewaan mobil komando, alat kesehatan, dan transportasi para mahasiswa menuju Gedung DPR.

Sepanjang September 2019, mahasiswa, buruh, jurnalis, dan berbagai kalangan turun ke jalan untuk menolak pengesahan RKUHP.

Perjuangannya berhasil, DPR urung membubuhkan cap meloloskan RKUHP untuk dimasukkan dalam lembaran negara.

Namun, selang dua tahun, persisnya Selasa 6 Desember 2022, ketukan palu Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menandai disahkannya RKUHP.

Palu diketuk setelah mayoritas ‘wakil rakyat terhormat’ dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, seiya-sekata berteriak setuju.

Di luar gedung DPR RI, koalisi masyarakat sipil dan beberapa lembaga berteriak lain. Mereka menilai KUHP karya ‘anak bangsa’ tersebut masih banyak mengandung pasal-pasal bermasalah.

Komunitas jurnalis turut memprotes pengesahan KUHP. Sebab, ada belasan pasal yang dikhawatirkan menjadi alat untuk menekan kerja-kerja jurnalistik.

Dewan Pers terakhir mencatat ada 17 pasal dalam KUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers serta kebebasan berekspresi—dan secara tak langsung menjadi ‘alarm’ tanda bahaya bagi demokrasi serta pemberantasan korupsi.

Asmono Wikan, anggota Dewan Pers, menyatakan prihatin KUHP disahkan tanpa lebih banyak mengakomodasi permintaan ekosistem media.

“Sebenarnya, kami telah berupaya cukup intensif,” kata Asmono saat ditemui 14 Maret 2023.

Dipuji dulu, hilang kemudian

SENIN SORE 15 Agustus 2022, Wakil Ketua MPR sekaligus anggota Komisi III DPR Arsul Sani meriung bersama empat tamu di ruangannya.

Tiga dari empat orang itu adalah anggota Dewan Pers, yakni Arif Zulkifli, Yadi Hendriana, dan Atmaji Sapto Anggora. Mereka ditemani satu tenaga ahli, Arif Supriyono.

Persamuhannya tak lama. Arsul sempat membekali Arif dan rombongan dengan buku barunya berjudul ‘Relasi Islam dan Negara, Perjalanan Indonesia’.

“Saya berterima kasih. Isu 14 pasal yang direformulasi Dewan Pers ini wajib dibahas dalam rapat-rapat DPR nanti,” kata Arsul saat melepas kepergian tetamunya.

Arsul adalah orang penting dalam pembahasan RKUHP. Dia anggota panitia kerja yang dibentuk badan legislatif, khusus membahas rancangan undang-undang tersebut.

Dalam pertemuan dengan anggota Dewan Pers, Arsul berjanji, “Pokoknya, segala masalah terkait pemberitaan, nanti diselesaikan melalui UUP Pers dan mekanisme Dewan Pers.”

Salah satu pasal yang dibahas dalam pertemuan itu adalah soal penghinaan terhadap presiden.

Dewan Pers meminta kejelasan teknis apa yang dimaksud menghina presiden, karena berpotensi mengancam kemerdekaan serta kebebasan berekspresi jurnalis.

Arsul Sani lantas menjelaskan, kritik dari jurnalis tidak akan masuk dalam kategori tersebut.

“Jangan sampai ada jurnalis yang nantinya dipidana karena dianggap menghina presiden,” kata Arsul Sani.

Selain Arsul, Dewan Pers menemui dan mendiskusikan 14 daftar inventaris masalah (DIM), sekaligus reformulasi pasal-pasal RKUHP ke tiga fraksi partai di DPR.

Kepada Fraksi Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Dewan Pers menegaskan menolak pembaruan KUHP bila masih ada pasal-pasal bermasalah.

“Kami mempersoalkan 14 pasal yang berpotensi menghalangi kemerdekaan pers. Reformulasi 14 pasal ini sudah kami diskusikan dengan konstituen Dewan Pers, jaksa, hakim, dan para pakar hukum,” ungkap Arif Zulkifli.

Sepekan berlalu, Selasa, 23 Agustus 2022, Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Dewan Pers, Persatuan Doktor Hukum Indonesia (PDHI), dan Advokat Cinta Tanah Air (ACT).

Segala puji diucap  Komisi III DPR RI terhadap usulan DIM serta reformulasi pasal-pasal RKUHP yang diajukan Dewan Pers.

“Membaca reformulasi yang disampaikan Dewan Pers, kami merasa tercerahkan. Terasa ada relaksasi. Ini klir dan adem (sejuk). Terima kasih, pada dasarnya kami oke,“ kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa dalam rapat.

Politikus Partai Gerindra itu juga berjanji mengupayakan Dewan Pers bertemu tim ahli atau para pakar penyusun RKUHP untuk membahas reformulasi dan DIM tersebut.

Harapannya, DIM dan reformulasi Dewan Pers dapat diterima pemerintah, sehingga RKUHP senapas dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dalam rapat yang sama, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan, turut memuji DIM serta usulan reformulasi RKUHP dari Dewan Pers.

“Sudah selayaknya reformulasi dan DIM dari Dewan Pers ini kita perjuangkan. Dengan demikian, UU Pers nanti bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kalau ini, saya menyebutnya, masalah ‘kami’,” kata Hinca, disambut tepuk tangan peserta rapat.

Dewan Pers lantas diberikan kesempatan dalam rapat itu, untuk menjelaskan dan menyandingkan beberapa pasal RKUHP versi usulan pemerintah dengan hasil reformulasinya.

Dua di antaranya yakni Pasal 218 Ayat 2 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dan Pasal 246 tentang penghasutan melawan penguasa.

Pada Pasal 218 Ayat 2 RKUHP versi usulan pemerintah berbunyi: tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Dewan Pers mengajukan reformulasi pada Pasal 218 Ayat 2 menjadi: tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum, atau pembelaan diri.

Sedangkan dalam Pasal 246 RKUHP tentang penghasutan melawan penguasa, Dewan Pers mangajukan reformulasi menjadi: (a) mengajak publik secara terang-terangan untuk melakukan tindak pidana atau, (b) mengajak publik secara terang-terangan untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.

Sementara versi usulan pemerintah dalam Pasal 346 RKUHP itu sebelumnya berbunyi: dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan: a. menghasut orang untuk melakukan tindak pidana atau, b. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.

Sebagian besar anggota Komisi III DPR RI yang hadir dalam rapat mengapresiasi reformulasi Dewan Pers.

Bahkan, Arsul Sani yang juga hadir dalam RDPU berharap Dewan Pers bisa membantu DPR RI melakukan pembahasan dengan tim pakar atau penyusun RKUHP dari pemerintah.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (kiri) menyerahkan dokumen pandangan pemerintah terkait RKUHP kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta].
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (kiri) menyerahkan dokumen pandangan pemerintah terkait RKUHP kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta].

Namun, beragam pujian serta komitmen dalam rapat itu hilang tak berbekas pada Selasa 6 Desember 2022, saat Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meresmikan RKUHP menjadi undang-undang.

Pada KUHP yang disahkan DPR, tidak ada satu pun reformulasi pasal yang diusulkan Dewan Pers termaktub di dalamnya.

Menurut Asmono, safari yang dilakukan Dewan Pers ke fraksi-fraksi partai di DPR hingga mengikuti RDPU adalah upaya membangun kesepahaman soal pembentukan KUHP baru.

Tapi, hasil akhir yang mengecewakan tersebut adalah buah keputusan politik.

“Dewan Pers tidak terlibat dalam putusannya.”

Meski begitu, Asmono mengakui Dewan Pers mempunyai kekhawatiran saat bersafari, bahwa usulan-usulan tersebut ujung-ujungnya tidak diakomodir oleh DPR.

“Ya itu forum lobi politik. Tidak ada kekuatan yang bisa mendorong semua usulan itu ditetapkan. Anda paham soal itu,” kata Asmono.

Terpenting bagi Asmono, Dewan Pers sejak awal telah mengambil sikap tegas yang memang layak dan pantas untuk diperjuangkan demi menjaga kemerdekaan pers sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Apa hukum kita progresif? Pada akhirnya kita harus mencoba mempertanyakan itu. Khususnya dalam hal melindungi kemerdekaan pers,” ujar Asmono.

Senin, 2 Januari 2023 Presiden Jokowi mengesahkan Undang-Undang KUHP. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 itu setebal 345 halaman, berisi 37 bab dan 624 pasal.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (dua kiri) beserta anggota Dewan Pers usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/2/2023). (ANTARA/Rangga Pandu Asmara Jingga)
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (dua kiri) beserta anggota Dewan Pers usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/2/2023). (ANTARA/Rangga Pandu Asmara Jingga)

Menghadap Istana

MINGGU 5 Februari 2023, Asmono bersama Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dan Wakil Ketua Dewan Pers Muhamad Agung Dharmajaya sudah tiba di Medan, Sumatera Utara menyiapkan serangkaian acara Hari Pers Nasional (HPN).

Sekitar pukul 20.30 WIB, panggilan telepon dari Istana masuk. Presiden Jokowi meminta Dewan Pers menghadap ke Istana esok pagi.

“Bu Ketua dan Pak Waket (wakil ketua) balik lagi ke Jakarta pagi pukul 06.00 WIB,” kata Asmono.

Ketua Dewan Pers Ninik meminta Asmono tetap berada di Medan untuk memastikan persiapan acara HPN berjalan baik.

“Enggak spesifik (membahas Undang-Undang KUHP). Sebentar sekali pertemuan dengan presiden,” ungkap Asmono.

Keesokannya, pertemuan dengan Jokowi hanya berlangsung sekitar 40 menit. Salah satu yang dipesankan presiden adalah semua pihak tidak sekadar berbicara mengenai kebebasan pers—tapi juga etiket jurnalistik.

“Saya enggak ikut, tapi saya dapat cerita dari kawan-kawan dan memang presiden menyampaikan itu.”

Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi juga menyinggung soal keberlanjutan pers. Menurut Asmono, sustainability ekosistem pers itu sendiri sejatinya tidak boleh mengesampingkan aspek kemerdekaan serta bisnis.

Walaupun kemerdekaan pers dijamin undang-undang, Asmono mengakui masih banyak potensi ancaman kepada jurnalis baik melalui dunia maya maupun teror langsung.

“Kekerasan wartawan di Papua dan Surabaya dan lainnya kan itu ada secara faktual.”

Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin juga memiliki pandangan serupa. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, tidak secara khusus memuat larangan terhadap kegiatan pers atau jurnalistik.

“Tapi kan pasal-pasal yang ada itu terkait pembatasan berekspresi dan seringkali multitafsir serta berpotensi disalahgunakan untuk menyerang aktivis serta jurnalis,” kata Ade.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono sempat menyampaikan KUHP tetap menjamin kemerdekaan Pers. 

Dini merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menegaskan kerja-kerja jurnalistik tak akan berujung ‘dibuikan’.

Tapi praktiknya, menurut Ade justru rumit, “Oh ini pers, kemudian diselesaikan melalui mekanisme sengketa pers. Tak semudah itu.”

Ia menjelaskan, masih banyak media di daerah, bukan arusutama, atau pers mahasiswa, yang jurnalismenya berkualitas tapi belum berbadan hukum atau terverifikasi di Dewan Pers.

Media-media massa beserta jurnalis berkategori seperti itu, kerap menjadi korban pelaporan menggunakan ‘pasal karet’ bertajuk pencemaran nama baik.

“Tapi bukan berarti media-media arusutama yang sudah terverifikasi Dewan Pers aman. Dalam beberapa kasus, tetap dilaporkan memakai UU ITE, KUHP, dan itu terus berlanjut.”

Ahli hukum Bivitri Susanti. [Antara/Ilustrasi Suara.com]
Ahli hukum Bivitri Susanti. [Suara.com]

Kegagalan misi dekolonisasi

MASIH BANYAKNYA pasal-pasal bermasalah dalam KUHP baru, bagi Ade adalah bukti aturan pengganti milik Belanda tersebut tidak sepenuhnya berhasil membawa misi dekolonisasi serta demokratisasi seperti diklaim pemerintah.

“Dekolonisasinya belum berjalan baik. Apalagi masih bayak kasus kriminalisasi terhadap pers. Bahkan ada pasal baru tentang penghinaan presiden. Artinya, tak ada perubahan bagi ekosistem pers serta jurnalis.”

Bivitri Susanti, ahli hukum tatanegara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, juga menilai KUHP baru masih mewarisi sifat-sifat kolonial Belanda.

“Kolonialisme itu bukan sekadar era atau penjajahan fisik. Tapi juga soal cara pandang bagaimana hukum mengatur masyarakat di suatu wilayah,” kata Bivitri.

Ia menilai, KUHP baru yang diklaim pemerintah sebagai produk asli anak bangsa, justru gagal melepas cara pandang kolonialisme.

Bahkan, Bivitri mengatakan misi dekolonisasi tidak benar-benar tertuang dalam KUHP baru. Paramater keberhasilan dekolonisasi sebenarnya bisa terukur secara jelas melalui pasal-pasalnya.

Salah satu parameter utama produk hukum menghapus sifat kolonialnya adalah, tidak membungkam masyarakat, melainkan memberikan ruang kebebasan berpendapat serta menjamin hak-hak sipil lainnya.

“Bedanya di situ. Kalau hukum kolonial tak ada hak asasi manusia. Seharusnya, unsur itu kuat pada KUHP baru. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.”

Ia memisalkan, Pasal 188 KUHP baru mengatur larangan menyebar ajaran Komunisme, Marxisme dan paham lain yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Pasal itu merupakan bentuk baru ketakutan pemerintah kolonial Belanda saat masyarakat mulai mengetahui ilmu-ilmu yang dianggap tak sesuai dengan kepentingan penguasa.

“Itu saja boleh jadi bahan tertawaan,” cibir Bivitri.

Belum lagi sejumlah pasal lain dalam KUHP baru yang berpotensi mengancam kebebasan ekspresi dan pers.

Misalnya Pasal 218, Pasal 219, Pasal 220 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Lalu Pasal 240 dan Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.

Selanjutnya Pasal 263 tentang penyiaran atau penyebarluasan berita bohong, dan Pasal 264 tentang penyiaran berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau tidak lengkap.

Menurut Bivitri, pasal-pasal KUHP baru itu mengibaratkan apa pun yang disuarakan jurnalis maupun masyarakat secara umum dipastikan salah.

“Itu dampak dari KUHP yang pengaturannya masih berpola kolonial. Membuat publik tidak bebas, bahkan untuk berpikir sekali pun,” tegasnya.

Tak hanya itu, walau nantinya kasus kriminalisasi via KUHP baru tidak banyak, ancaman-ancaman dalam berbagai pasal itu bisa membuat pers melakukan swasensor. Tentunya pengungkapan kasus-kasus korupsi dan perilaku negatif pejabat akan susah diungkap ke publik.

“Sudah jadi rahasia umum bahwa pasal-pasal KUHP tidak otomatis membuat orang dipenjara, melainkan guna mengancam dulu.”

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tersebut juga menilai pembentukan Undang-Undang KUHP ini tidak semata-mata membawa kepentingan Presiden Jokowi.

Secara umum kata Bivitri, KUHP baru tersebut membawa kepentingan penguasa yang masih mempunyai perspektif kolot zaman kolonial.

Melalui KUHP seperti itu, kata dia, pihak pembuatnya belum mampu menilai bahwa dalam alam demokrasi—yang juga non-kolonial—setiap warga dibolehkan berpendapat berbeda.

“Pemerintah tidak mampu melihat cara pandang baru seperti itu.

Ancaman sehari usai disahkan

SEHARI setelah KUHP disahkan, Rabu 7 Desember 2022, Mugni Ilma—jurnalis media daring lokal ntbsatu.com—diancam dipidana memakai aturan baru tersebut oleh Direktorat Resese Kriminal Khusus Polda Nusa Tenggara Barat, yang berpangkat komisaris.

Padahal KUHP baru belum efektif diberlakukan. Sesuai ketentuan, aturan itu baru diimplementasikan tiga tahun setelah disahkan.

Ancaman dan intimidasi terhadap Mugni terjadi setelah yang bersangkutan mempublikasikan berita dugaan suap terhadap perwira tersebut terkait perkara kosmetik ilegal.

Berita yang ditulis Mugni sejatinya telah menerapkan kaidah jurnalistik tentang asas keberimbangan.

Dia bahkan menulis berita lanjutan yang memuat bantahan Direskrimsus Polda NTB Komisaris Besar Polisi Nasrun Pasaribu tentang perilaku anak buahnya.

“Jadi satu hari disahkan, KUHP baru sudah digunakan untuk mengancam jurnalis. Persoalannya ada dua. Satu di aparat penegak hukumnya, lalu memang ada pasal-pasal bermasalah,” kata Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Sasmito mengungkapkan, kalangan aparat penegak hukum juga belum akur mengenai cara tafsir pasal-pasal bermasalah dalam KUHP baru.

Hal itu tampak ketika AJI bersama Dewan Pers, Polri, Kejaksaan serta Mahakah Agung menggelar simulasi terkait pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers—misalnya tentang penghinaan kepala negara serta penyebaran berita bohong.

“Ketika itu terdapat tafsiran berbeda-beda tentang pasal-pasal itu.”

Persoalan lain yang menjadi ‘PR’ adalah profesionalitas aparat penegak hukum itu sendiri. Sebab, masalah itu kerap ditemukan dalam praktik saat ada upaya kriminalisasi terhadap jurnalis.

“Sebab, di sejumlah. Daerah, pasal-pasal bermasalah itu dimanfaatkan untuk menakut-takuti jurnalis.”

Ancaman pemidanaan dalam KUHP baru menurut Sasmito ikut menambah kemungkinan perusahaan pers akhirnya melakukan swasensor.

“Swasensor bisa terjadi karena terkait sumber pendapatan media. Kedua, karena mereka takut terkena pasal-pasal bermasalah tadi.”

AJI berencana mendorong Dewan Pers menguatkan nota kesepemahaman atau MoU dengan Polri.

Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi kriminalisasi terhadap jurnalis maupun perusahan pers, di tengah ancaman pasal korporasi dalam Undang-Undang KUHP.

“Solusi salah satunya itu, ada nota kesepahaman Dewan Pers dan Polri agar tidak ada kriminalisasi. Kan terkadang Polri selalu bicara presisi, tapi sering tidak seperti itu.”

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej. [Suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej. [Suarajogja.id/Hiskia Andika Weadcaksana]

Bantah pembungkaman

PEMERINTAH melalui Kementerian Hukum dan HAM semakin giat menggelar sosialisasi Undang-Undang KUHP.

Sosialisasi itu kali pertama dilakukan di Universitas Syiah Kuala, Aceh, Selasa 28 Februari 2023.  

Aceh menjadi yang pertama dari 16 kota yang ditargetkan pemerintah sebagai tempat sosialisasi KUHP baru tahun 2023.

Dalam acara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengklaim lahirnya KUHP menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia.

Namun, menurutnya, kehadiran produk hukum asli ‘anak bangsa’ ini mesti diiringi perubahan pola pikir. Utamanya, untuk tidak menghukum pelaku kejahatan sebagai sarana balas dendam atau keadilan retributif.

“Telah terjadi perubahan paradigma dalam hukum pidana. Pada awalnya (hukum pidana) berorientasi pada keadilan retributif, yaitu menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam,” kata Eddy, saat membuka rangkaian kegiatan Kumham Goes to Campus 2023 Aceh.

Guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan, perubahan paradigma dalam modernisasi hukum pidana merupakan satu dari lima misi yang diemban KUHP.

Sedangkan empat misi lainnya yang termaktub dalam KUHP adalah demokratisasi, dekolonisasi, sinkronisasi, serta konsolidasi.

“Tidak benar apabila dikatakan KUHP akan membungkam demokrasi, akan membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkritik,” kata dia.

Rabu 29 Maret, ketika rapat kerja, anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memprioritaskan sosialisasi KUHP kepada para penegak hukum ketimbang masyarakat.

"Ada waktu tiga tahun sebelum diberlakukan. Sosialisasi yang pas itu justru ke penegak hukum dulu. Itu untuk memberikan paradigma serta nilai-nilai baru yang ada dalam KUHP, mereka belum paham,” kata dia.

Mungkin direvisi

ARSUL SANI terus berjalan menaiki anak tangga. Ia memilih tidak menjawab pertanyaan Suara.com perihal KUHP yang masih terdapat banyak pasal dianggap karet.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan itu juga tidak mau berkomentar tentang pertemuannya dengan Dewan Pers pada 15 Agustus 2022.

Arsul hanya berkomentar singkat mengenai usulan reformulasi pasal-pasal KUHP dari Dewan Pers yang urung dimaktubkan.

"Ada yang bisa diakomodasi, ada yang tidak,” kata Arsul Sani.

Selebihnya, Arsul hanya terus berjalan menapaki tangga darurat menuju lorong ke ruangan Komisi III DPR di Gedung Nusantara II.

Menurut Arsul, persoalan KUHP telah selesai setelah rancangannya disahkan akhir tahun lalu.

"Perspektif DPR ya apa yang ada di KUHP," kata Arsul yang kemudian masuk ke ruang Komisi III.

Namun, sejumlah anggota DPR yang tak mau namanya ditulis, mengakui masih ada pasal-pasal bermasalah dalam KUHP baru.

Tapi, mereka mengatakan KUHP itu tetap harus disahkan lebih dulu agar nanti kekurangan-kekurangannya bisa ditambal melalui jalur revisi.

"Tidak tertutup kemungkinan hal itu (revisi)," kata seorang anggota DPR kepada Suara.com, 20 Maret 2023.

Hal senada disampaikan Sumber Suara.com lainnya. Dia menegaskan, semua undang-undang akan mengalami revisi bila tak sesuai perkembangan zaman maupun kondisi masyarakat.

Soal peluang kriminalisasi jurnalis melalui KUHP baru, ia mengatakan yang salah sebenarnya bukan aturannya.

"Tapi tergantung penguasa dan aparatnya, bukan karena undang-undangnya.”

-------------------------------------------

Artikel ini adalah hasil kolaborasi peliputan antara Suara.com dan Jaring.id yang mendapat dukungan dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).

Tim Kolaborasi

Penanggung Jawab: Fransisca Ria Susanti (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)

Penulis: Abdus Somad (Jaring.id); Agung Sandy Lesmana, Muhammad Yasir, dan Novian Ardiansyah (Suara.com)

Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)

Ilustrasi: Ali (Jaring.id); Suara.com