Hidup Tanpa Harapan, Rindu Rahima Pengungsi Afghanistan Akan Kampung Halaman

Hidup Tanpa Harapan, Rindu Rahima Pengungsi Afghanistan Akan Kampung Halaman


Suara.com - "Saya hidup tanpa harapan di dunia, saya lelah dan muak dengan kehidupan ini. Saya khawatir nasib ibu saya yang saya tidak ketahui. Terkadang, saya lebih suka tidak berbicara dengan ibu saya, karena dia tidak mengetahui kondisi saya di sini.” 

Begitu sepenggal catatan harian Rahima, seorang perempuan pengungsi asal Afghanistan yang merindukan sang Ibu di kampung halaman.

***

Di bangku pesawat, di atas langit Kabul, air mata Bibi Rahima Farhangdost, perlahan menetes. Perasaan mendung menggelayuti wanita 31 tahun ini.

Sebait pesan dari orang sang Ayah, Sayed Mohammad Husein dan Ibunya, Bibi Sabargul mondar-mandir dalam ingatan Rahima. "Kami hanya punya kamu. Kami tidak mau kamu juga meninggal. Kamu harus keluar dari sini."

Ingatan Rahima juga melayang pada sebuah peristiwa yang membawanya duduk di bangku pesawat bersama 30 orang lainnya. Aktivitasnya sebagai guru demi menghidupi keluarga menjadi penyebab pasukan Taliban hendak membunuhnya.

Tok...tok...tok!!

Bunyi ketukan pintu rumah pada pukul 1 dini hari itu membangunkan seisi penghuni rumah. Waktu itu tahun 2014. Kondisi keamanan di Afghanistan tengah berkecamuk. Pasukan Taliban berada di sejumlah wilayah, salah satunya di Provinsi Ghazni, kampung halaman Rahima.

Bibi Sabargul bergegas ke arah pintu. Ketika dibuka, dia mendapati beberapa pasukan Taliban dengan menenteng senapan seraya mencari anaknya. "Siapa anda?" tanya Bibi Sabargul.

"Kami memiliki urusan dengan Nona Rahima," jawab seorang dari pasukan Taliban.

Bibi Rahima Farhangdost, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sembilan tahun tinggal di Indonesia. [Suara.com/Arga]
Bibi Rahima Farhangdost, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sembilan tahun tinggal di Indonesia. [Suara.com/Arga]

Sementara itu, Rahima sudah bersiaga di pintu belakang rumah. Selepasnya, dia kabur ke rumah tetangga agar pasukan Taliban yang memburu tidak mengetahui keberadaannya. "Dia tidak di rumah," ucap Bibi Sabargul.

Mendengar jawaban itu, para pasukan Taliban tak percaya begitu saja. Salah satu dari mereka masuk ke dalam rumah untuk mencari Rahima. Namun pencarian itu tak membuahkan hasil, Rahima sudah tidak ada. 

Ancaman semacam itu bukan kali pertama dialami Rahima. Aktivitasnya sehari-hari sebagai guru dan perawat membuat pasukan Taliban berang. Sebab, di negara itu perempuan dilarang bekerja dan mengenyam pendidikan.

Rahima adalah bungsu dari empat bersaudara. Dua kakak lelakinya, Sayed Nasir dan Sayed Aiwas yang berprofesi sebagai polisi telah meninggal dibunuh Taliban pada 2013 silam. Satu tahun sebelumnya, kakak perempuan Rahima, Bibi Yasamin juga tewas dibunuh pasukan yang sama ketika hendak berangkat mengajar ke sekolah.

Rahima selamat dari peristiwa mencekam malam itu. Dari rumah tetangganya, dia kabur dari  Desa Haji Khan-e- Sarab, Distrik Jeghato, Provinsi Ghazni menuju Kabul. 

Dengan bantuan tetangganya, Rahima membuat alasan agar bisa keluar. Mereka menyewa sebuah mobil. Rahima menggenakan setelan yang berbeda dengan biasanya. Dia menggunakan kerudung yang lebih besar serta mengenakan cadar. Ketika dalam perjalanan, tetangganya beralasan kepada pasukan Taliban kalau istrinya hendak melahirkan.

Tiba di Kabul, Rahima tidak bisa langsung pergi meninggalkan negaranya. Dia harus berada di Ibu Kota Afghanistan tersebut kurang lebih 20 hari. Waktu itu dia tempuh untuk menunggu proses dokumen perjalanan ke luar negeri, salah satunya paspor. 

Setelah proses tersebut rampung, Rahima bersama 30 orang lainnya dari berbagai provinsi memulai pelarian dari masalah keamanan yang ada di Afghanistan. Pesawat membawanya menuju India. 

Dari sana, rombongan Rahima kembali terbang ke Malaysia. Dari Negeri Jiran, sebuah kapal membawanya menuju Indonesia pada 14 Agustus 2014. Seorang warga Afghanistan dan seorang warga Indonesia membawa Rahima dan 30 pengungsi lainya ke sebuah rumah yang hingga kini tak diketahui oleh Rahima. Dari tempat itu, kisah Rahima sebagai pengungsi negara asing dimulai.

Minta Pertolongan Jokowi

Siang itu matahari serasa sangat dekat dengan ubun-ubun kepala, terik. Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan begitu riuh. Bunyi klakson kendaraan terdengar seperti sebuah karnaval. Tepat di depan gedung United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Indonesia berkantor, beberapa kendaraan roda empat tersendat lantaran puluhan orang asal Afghanistan membentangkan spanduk seraya berorasi menuntut agar mereka segera dikirim ke negara ketiga.

Hari itu, Selasa, 8 Maret 2022 menjadi momen pertemuan pertama ku dengan Rahima. Aku menepi sejenak dan memarkirkan sepeda motor, lalu bergegas menuju kerumunan. Setelah menyelinap di antara para pengungsi asal Afghanistan yang telah membuat barisan, ku cari sudut dekat gerbang gedung di sebelah kanan. Aku seka saku celana, mengeluarkan ponsel, dan menjepret momen tersebut beberapa kali.

Selendang berwarna cokelat muda membalut kepala Rahima. Waktu masih menunjukkan pukul 12 siang. Di depan barisan pengungsi asal Afghanistan yang terdiri dari anak-anak, ibu-ibu, hingga pria dewasa, Rahima memimpin unjuk rasa. Tangan kanannya memegang megapon, tangan kirinya mengepal ke atas, dan mulutnya meneriakkan sebuah protes.

“UNHCR, UNHCR, wake up, wake up.”

“UNHCR, UNHCR, help us, help us.”

Bibi Rahima Farhangdost, pengungsi asal Afghanistan berunjuk rasa di depan kantor UNHCR Indonesia di Jakarta Selatan. [Suara.com/Arga]
Bibi Rahima Farhangdost, pengungsi asal Afghanistan berunjuk rasa di depan kantor UNHCR Indonesia di Jakarta Selatan. [Suara.com/Arga]

Orasi Rahima langsung disambut oleh para peserta aksi siang itu. Seorang laki-laki, mengenakan celana jeans berwarna abu-abu, namanya Hussein. Dia memegang sebuah poster bergambar telapak tangan berwarna menyerupai bendera Afghanistan dengan tulisan “10 Years Enough!” menimpali orasi Rahima.

Hussein yang sehari-hari tinggal di kawasan Bogor, Jawa Barat itu, dengan nada yang agak meninggi, meminta agar pemerintah Indonesia segera memberikan bantuan.

Bukan tanpa alasan, hampir 10 tahun, para pengungsi asal Afghanistan tidak memperoleh hak atas pendidikan, kesehatan, bahkan tidak bisa bekerja. “Kami sudah 10 tahun tinggal di sini. Tidak bisa bekerja, anak-anak tidak bisa sekolah. Nasib kami tidak jelas. Kami minta tolong kepada Presiden Jokowi, bantu kami,” ujar Hussein.

Tidak lama berselang, para pengungsi Afghanistan membubarkan diri. Pasalnya, tidak ada perwakilan UNHCR yang keluar menemui mereka. Rupanya aku telat bergabung dalam kegiatan tersebut. Rahima, Hussein dan lainnya telah memulai aksi unjuk rasa sejak pagi. “Kami mulai dari jam 10 tadi,” ucap Rahima.

“Bolehkah saya minta nomor anda?” tanya ku.

“Oh boleh,” katanya.

“Bolehkah kapan-kapan kita berbincang tentang kehidupan teman-teman pengungsi?” tanya ku lagi.

“Boleh, dengan senang hati,” balas Rahima.

Rahima adalah bagian dari 7.047 pengungsi asal Afghanistan yang berada di Indonesia. Meski belum meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, Indonesia masih menjadi tujuan bagi para pengungsi dari berbagai negara. Padahal, Indonesia hanya menjadi negara yang berfungsi sebagai tempat transit bagi para pengungsi luar negeri yang meninggalkan negaranya karena berbagai macam persoalan.

Catatan UNHCR hingga Oktober 2022, total ada 12.731 pengungsi dari berbagai macam negara yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Rahima dan para pengungsi asal Afghanistan lainnya tak cuma sekali berdiri berjam-jam, rela berpanas-panasan, hingga tak jarang basah kehujanan untuk menyuarakan kondisi sebagai pengungsi. 

Hujan deras mengguyur kawasan Kuningan, pada Selasa, 31 Mei 2022 siang. Seorang pemuda berusia 20 tahun mengenalkan dirinya dengan sebuah kalimat: "Namaku manusia, tapi tidak ada yang peduli dengan kami."

Pemuda itu berdiri di depan kantor UNHCR, bergabung dengan puluhan pengungsi asal Afghanistan lainnya untuk bertanya soal nasib mereka. Namanya adalah Kemran. Tubuhnya basah, tak ada tempat untuk berlindung dari rintik deras yang jatuh ke aspal. Cuma ada megapon dan suara yang tak pernah habis berteriak:

"We are human, we are human."

"Help us, help us."

Sejak pukul 10 pagi, Kemran dan pengungsi asal Afghanistan lainnya sudah berkumpul di bagian belakang Kantor UNHCR. Tujuan mereka masih sama seperti kesempatan sebelumnya, berunjuk rasa menuntut agar segera dikirim ke negara ketiga atau negara penerima suaka pengungsi. 

Seperti Rahima, Kemran adalah satu dari pengungsi asal Afghanistan yang tidak bosan menyambangi kantor UNHCR. Sedari pagi, Kemran sudah ambil bagian menjadi tim dokumentasi. Ketika para pengungsi yang tinggal di berbagai daerah mulai berdatangan, tangan Kemran telah menggenggam ponsel genggam -- juga menggengam harapan agar suaranya dapat didengar.

Kemran lantas meyapa ku yang sedang duduk di trotoar. Percakapan kami singkat, hanya betukar salam seperti kebanyakan orang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Kemran kemudian berlalu. Dia menyapa para pengungsi lain yang mulai berdatangan, anak-anak, ibu-ibu, hingga pria dewasa. Waktu memasuki pukul 11 siang. Para pengungsi telah berada pada posisi masing-masing. Ada yang berdiri memegang spanduk di dekat trotoar, ada yang memegang megapon, dan ada sosok Kemran yang memegang ponsel, merekam sejumlah peristiwa yang bertumpuk siang itu.

Kemran mengenakan kaos berwarna hitam dan celana jeans. Siang itu, dia hilir mudik ke berbagai sisi yang menjadi lokasi unjuk rasa. Dia merekam dan memotret para demonstran yang berdiri di sepanjang bagian belakang kantor UNHCR.

Spanduk protes dibentangkan. Tulisannnya seperti ini:

“UNHCR WAKE UP"

"10 YEARS ENOUGH"

"UNHCR & IOM! STOP KILLING REFUGEES GRADUALLY"

Tidak lama berselang, Kemran bertukar posisi. Kini, megapon berada di genggamannya. Dalam beberapa tarikan nafas, perkara hidup yang terus begini terjadi dilantangkan oleh pria 20 tahun tersebut. "Hari ini kami di sini hanya minta bantuan kepada pemerintah Indonesia. Sudah banyak pengungsi sudah bunuh diri, banyak pengungsi sudah sakit. Kenapa kami di Indonesia sudah 10 tahun tidak ada yang tangggung jawab. Masalah HAM itu yang pertama harus ditangani."

"UNHCR, UNHCR. Proses, proses," ucap Kemran dan kemudian diikuti oleh massa aksi.

"UNHCR, UNHCR, Wake up. Wake up."

Langit Kuningan mendung memasuki pukul satu siang. Serangkaian orasi tetap berkumandang. Para pengungsi silih berganti meneriakkan resah. Lima menit berselang, gerimis turun. Pihak keamanan gedung mulai menutup penuh gerbang yang sebelumnya sedikit terbuka.

Para ibu-ibu membuka payung, mengajak anak-anak untuk berlindungan dari hujan. Massa aksi lainnya kemudian menggunakan spanduk yang tak terlalu besar untuk berteduh. Namun, Kemran tidak. Dia tetap memimpin aksi dan terus berteriak.

Tapi usaha itu tidak membuahkan hasil. Tidak ada perwakilan UNHCR yang datang menemui massa aksi. Hanya pihak pengola gedung yang mendekat dan berdialog dengan para pengungsi. Kemran mendekat, dan bertanya. "Apakah pihak UNHCR bisa turun menemui kami?" tanya Kemran.

"Kami hanya pengelola gedung. Kami hanya bisa menjembatani kalian dengan pihak UNHCR," jawab pengelola gedung.

"Kami manusia, kami manusia. Sudah hampir 10 tahun nasib kami tidak ada kejelasan," sela pengungsi lain.

"Jadi seperti ini, kami hanya memfasilitasi dan hanya perwakilan saja yang bisa masuk untuk bertemu," jelas pengelola gedung.

"Masalah kami berbeda-beda. Ini pengungsi punya masalah masing-masing. Apakah kami bisa masuk semua," tambah Kemran.

"Di Indonesia, kalau aksi seperti ini, hanya beberapa perwakilan saja yang bisa masuk untuk berdialog," ucap pengelola gedung.

"Kalau begitu, apakah Bapak bisa membantu kami agar pihak UNHCR dapat turun menemui kami?" tanya Kemran.

"Tidak bisa, mereka punya prosedur sendiri. Saya hanya bisa menjembatani, bagiamana perwakilan lima orang naik ke atas?" ucap pengelola gedung memberikan penawaran.

Perbincangan antara para pengungsi dan pihak pengelola gedung tidak menemukan titik temu. Tak ada perwaklian UNHCR yang turun dan tidak ada pula perwakilan pengungsi yang masuk untuk bertemu.

Hujan perlahan reda. Para pengungsi akhirnya memilih kembali ke tempat masing-masing menjelang pukul empat sore. Begitu juga dengan Kemran, yang berlalu meninggalkan lokasi dengan kekecewaan yang sepenuhnya sama.

Associate External Relations-Public Information Officer UNHCR Indonesia, Mitra Salima mengatakan, kedatangan para pengungsi dari berbagai negara paling besar terjadi pada tahun 2013. Kala itu, jumlah pengungsi yang masuk ke Indonesia mencapai 8.300 orang. "Sebenarnya kedatangan mereka sudah sejak beberapa tahun sebelumnya. Setelah 2013 jumlahnya cenderung menurun," kata Mitra kepada Suara.com melalui sambungan telepon pada Desember 2022 lalu.

Mitra menyebut bahwa para pengungsi berharap memperoleh resettlement ke negara-negara penerima seperti Australia, Kanada, hingga Amerika Serikat.

Mitra mengatakan, penerimaan oleh negara ketiga bukan menjadi keputusan UNHCR. Pasalnya, lembaga ini hanya bekerjasama dengan negara-negara penerima untuk membantu pengungsi yang paling rentan dan mempunyai risiko perlindungan di negara suaka.

Dalam penjelasan yang turut diunggah dalam akun Instagram UNHCR Indonesia, pengungsi tidak dapat memilih negara ketiga yang akan menerima mereka. Dalam hal ini, pemerintah dari berbagai negara ketiga setiap tahunnya memberikan informasi kepada UNHCR terkait jumlah pengungsi yang akan mereka terima.

Negara-negara penerima juga menetapkan kriteria kelayakan atau kasus seperti apa yang dapat mereka terima. Selain itu, penempatan para pengungsi ke negara ketiga bukanlah sebuah hak.

Negara penerima hanya menawarkan kuota yang terbatas. Artinya, mayoritas pengungsi tidak dapat memperoleh penempatan ke negara ketiga meskipun mereka membutuhkan perlindungan dan perlu dipersatukan kembali dengan keluarganya.

UNHCR juga memprioritaskan kasus-kasus yang paling mendesak untuk direkomendasikan. Tak hanya itu, UNHCR terus berupaya mengadvokasi negara-negara penerima agar kuota penempatan ke negara ketiga meningkat setiap tahunnya, dengan tetap mengusahakan jalur-jalur lainnya termasuk sponsor pribadi apabila memungkinkan.

Seluruh rangkaian proses penempatan ke negara ketiga tergantung pada beberapa sesi wawancara, pemeriksaan, yang seringkali memakan waktu beberapa tahun lamanya."Kami selalu ingatkan kepada mereka bahwa penerimaan resettlement adalah keputusan yang dibuat oleh negara penerimanya, bukan UNHCR," ucap Mitra.

Kematian Sang Ayah

Rahima merangkai jalinan peristiwa itu secara terbata-bata saat ku jumpai di indekos tempat dia tinggal di kawasan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada 13 Desember 2022 lalu. Di beranda indekos, Rahima kembali mengingat serangkaian aksi unjuk rasa yang kerap dia ikuti bersama para pengungsi Afghanistan di depan gedung UNHCR. "Hidup kami habis di sini, tidak bisa apa-apa. Tidak bisa bekerja atau sekolah," ucap Rahima seraya mengenang setiap unjuk rasa yang dia ikuti.

Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Terik perlahan menjauh, langit berangsur agak mendung. Sesekali sepeda motor melintas ke ujung gang, suaranya seolah timpa-menimpa dengan sorot mata Rahima. Dengan sedikit menundukan kepanya, ingatan saat berada di bangku pesawat ketika meninggalkan kampung halaman seakan belum tuntas. 

Dia kenang lagi perpisahannya dengan sang ayah, Sayed Mohammad Husein yang telah meninggal dunia 2020 lalu. Hal itu begitu sangat membekas dalam benak Rahima. Berita kematian sang ayah hanya Rahima terima melalui sambungan telepon.

Kesedihan itu seakan menambah kesusahan hidup Rahima sebagai pengungsi luar negeri di Indonesia. “Bapak saya jual apa saja yang dia punya,” ucap Rahima sambil menuangkan teh untuk ku. “Tanah, rumah, barang-barang habis. Katanya, yang penting saya aman.” 

Untuk biaya hidup ketika awal-awal berada di Indonesia, Rahima kerap mendapat kiriman uang dari Afghanistan. Ayah dan pamanannya secara berkala mengirim uang 300 dolar AS setiap tiga bulan.

Lambat laun, kiriman uang semakin menipis, ketika paman Rahima meninggal dibunuh pasukan Taliban pada 2017 lalu. Tak hanya itu, Sayed juga mulai sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal.

Bibi Rahima Farhangdost, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sembilan tahun tinggal di Indonesia. [Suara.com/Arga]
Bibi Rahima Farhangdost, pengungsi asal Afghanistan yang sudah sembilan tahun tinggal di Indonesia. [Suara.com/Arga]

Kini, Rahima hanya punya Bibi Sabargul dan tiga keponakan anak dari kakak-kakaknya. "Bapak saya tidak ada uang untuk berobat ke luar negeri, di Pakistan. Karena tidak ada uang, dia meninggal. Itu berat buat saya," tutur Rahima.

Untuk bertahan hidup, Rahima bekerja paruh waktu sebagai penerjemah di sebuah organisasi bernama Jesuit Refugee Service (JRS) di kawasan Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Pekerjaan yang Rahima lakoni adalah mengantar pengungsi Afghanistan yang sakit untuk berobat ke rumah sakit. Pasalnya, banyak dari para pengungsi luar negeri itu tidak fasih berbahasa Indonesia.

Kali pertama tiba di Indonesia, Rahima sempat mendaftarkan diri ke kantor UNHCR untuk mengurus proses resettlement. Saat itu, Rahima bertemu seseorang pengungsi yang juga berasal dari Afghanistan, Mahdi.

Kepada Rahima, Mahdi memberikan informasi jika Rahima bisa datang ke kantor JRS agar mendapat bantuan. "Di daerah Cisarua ada organisasi JRS. Kamu bisa ke sana. Kamu kan bisa bahasa indonesia, kalau ada kesempatan, mungkin kamu bisa kerja sama mereka," kenang Rahima menirukan perkataan Mahdi saat itu.

Rahima merasa sedikit lebih beruntung ketimbang pengungsi lain yang tidak bisa mempunyai pekerjaan hingga harus tinggal di rumah pengungsian. Tidak adanya penghidupan layak semacam itu membikin mereka tertekan secara mental, bahkan ada yang melakukan bunuh diri. "Saya tidak kenal, namanya Ali 22 tahun, teman dari teman saya. Dia gantung diri di kamar kos di daerah Tajur. Sedih sekali," kata Rahima.

Catatan Amnesty International Indonesia pada Februari 2022, setidaknya ada 17 pengungsi asal afghanistan bunuh diri, sementara ada lebih dari seratus lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri. Banyak di antara para pengungsi mengalami stres dan tekanan mental yang luar biasa. "Mereka meminta Amnesty untuk membantu mencarikan solusi, jalan keluar, agar mereka bisa terhindar atau terlepas dari berbagai masalah tersebut," kata Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, beberapa waktu lalu.

Indonesia sejatinya mempunyai Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 yang mengatur penanganan pengungsi luar negeri. Menurut Ketua Perkumpulan Suaka, Atika Yuanita Paraswary, Perpers tersebut belum mampu menjamin pemenuhan HAM bagi para pegungsi luar negeri di Indonesia.

Perkumpulan Suaka bersama beberapa lembaga memang tengah melakukan penelitian dalam memotret kehidupan para pengungsi dalam waktu yang panjang. Hal itu dilakukan untuk mengetahui masalah apa saja yang terjadi pada para pengungsi luar negeri yang ada di Indonesia. "Apakah ada masalah mental? Lalu, bagaimana mereka menyikapi hal tersebut. Semoga hasilnya bisa keluar dan kami bawa untuk menyuarakan soal kondisi mental para pengungsi," kata Atika.

Menurut Perkumpulan Suaka, permasalahan hidup para pengungsi luar negeri yang ada di Indonesia harus menjadi isu publik. Sebab, masih banyak pengungsi luar negeri yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian, bahkan pemenuhan hak asasi manusianya belum terpenuhi. "Ini harus jadi isu publik, jangan-jangan bule yang sering kalian lihat itu bukan turis yang sedang jalan-jalan. Mereka itu refugee yang memang membutuhkan bantuan," ucap dia.

***

Mendung mulai menggelayut di langit Ciawi. Pada sebuah beranda indekos, sorot mata Rahima tertuju ke depan. Sesekali, dia merapikan poni rambutnya ke balik kerudung hitam. Perlahan, gerimis merambat.

Bersamaan dengan bunyi benturan rintik hujan yang jatuh ke asbes, ingatan perempuan 31 tahun itu melayang ke Desa Haji Khan -e- Sarab, Distrik Jeghato, Provinsi Ghazni, sekitar 149 kilometer dari jantung kota Kabul, Afghanistan. "Sembilan tahun adalah waktu yang sangat panjang. Sekalipun hanya mimpi, saya berharap masih bisa bertemu dengan mama," katanya. Seketika air matanya jatuh, berbarengan dengan hujan yang semakin deras.

Dua hari sebelumnya, Rahima baru saja berkomunikasi dengan ibunya melalui sambungan telepon. Kabar yang dia terima, sang ibu bersama tiga keponakannya telah terusir dari Ghazni.

Mereka saat ini tinggal di Kabul lantaran pasukan Taliban telah menguasai kampung halaman Rahima dan telah mendirikan rumah-rumah. “Mama saya menceritakan kondisi kesehatannya. Matanya masih sakit, kalau melihat tidak jelas. Kata mereka kondisi di sana sudah masuk musim dingin. Mereka perlu kayu untuk bikin api,” ucap Rahima.

Bibi Sabargul dan tiga orang keponakan menjadi alasan Rahima untuk tetap hidup. Kepada ku, Rahima menunjukkan catatan harian yang dia tulis selama menjalani hidup di Indonesia. Pada bagian penutup catatan harian itu, Rahima mencoba menuntaskan kerinduan pada ibunya.

"Saya hidup tanpa harapan di dunia, saya lelah dan muak dengan kehidupan ini. Saya khawatir nasib ibu saya yang saya tidak ketahui. Terkadang, saya lebih suka tidak berbicara dengan ibu saya, karena dia tidak mengetahui kondisi saya di sini.”