Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka

Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka


  •  Pulau Bangka yang luasnya sekitar 1,1 juta hektar, memiliki bentuk lahan denudasional yang didominasi bukit-bukit granit. Ratusan tahun proses ekstraksi timah serta perkebunan monokultur seperti sawit, hanya menyisakan bukit-bukit sebagai hutan tersisa.
  • Rusaknya bukit, tidak hanya akan merugikan kehidupan Suku Jerieng, di Desa Pelangas, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, di dunia, tetapi juga spiritual mereka.
  • Suku Jerieng merupakan sub Suku Melayu tua yang tersebar di 13 desa di Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, dengan luas wilayahnya sekitar 62 ribu hektar. Bukit Penyabung di Desa Pelangas, yang tingginya sekitar 300 meter merupakan wilayah tertinggi, sekaligus area sakral bagi Suku Jerieng.
  • Setiap tahun, pada bulan Muharram, Suku Jerieng melakukan ritual “taber gunung” di Bukit Peyabung. Bukit yang dianggap sakral, tidak boleh diganggu. inti dari makna ritual tersebut adalah sebagai bentuk syukur terhadap hasil alam, serta berdoa kepada Yang Maha Esa agar dijauhkan dari segala penyakit dan bencana.

Suara.com - PULAU Bangka yang luasnya sekitar 1,1 juta hektar, memiliki bentuk lahan denudasional yang didominasi bukit-bukit granit. Ratusan tahun proses ekstraksi timah serta perkebunan monokultur seperti sawit, hanya menyisakan bukit-bukit sebagai hutan tersisa, yang sejak dulu dijadikan wilayah sakral bagi sejumlah masyarakat adat di Pulau Bangka.

“Rusaknya bukit, tidak hanya akan merugikan kehidupan kami di dunia, juga spiritual kami,” kata Janum bin Lamat [58], Ketua Adat Suku Jerieng, di Desa Pelangas, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pertengahan September 2022.

Janum bin Lamat adalah keturunan ketujuh “batin gunung”. Sosok pemimpin dalam sistem adat Suku Jerieng. Batin berperan layaknya dukun kampung, yang memiliki kemampuan mengobati, serta sebagai penghubung dan penjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan makhluk lainnya.

“Tugas dukun kampung itu berat, karena tanggung jawabnya tidak hanya mengurusi manusia, juga makhluk hidup lain, baik itu hewan dan tumbuhan,” kata Janum.

Janum bin Lamat, dukun kampung Suku Jerieng di Desa Pelangas, Kabupaten Bangka.  (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)
Janum bin Lamat, dukun kampung Suku Jerieng di Desa Pelangas, Kabupaten Bangka. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)

Suku Jerieng merupakan sub Suku Melayu tua yang tersebar di 13 desa di Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, dengan luas wilayahnya sekitar 62 ribu hektar. Bukit Penyabung di Desa Pelangas, yang tingginya sekitar 300 meter merupakan wilayah tertinggi, sekaligus area sakral bagi Suku Jerieng.

“Setiap tahun, pada bulan Muharram, kami melakukan ritual “taber gunung” di Bukit Peyabung. Bukit ini dianggap sakral, tidak boleh diganggu,” ujar Janum.

Masliadi [38], Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Pelangas, menjelaskan saat ini kondisi Bukit Peyabung dengan luas sekitar 97 hektar relatif terjaga.

“Bahkan sebelum berstatus sebagai kawasan Hutan Tanaman Rakyat [HTR] pada 2017, masyarakat sudah menjaga Bukit Penyabung, karena itu lokasi ritual,” katanya.

Dijelaskan Janum, inti dari makna ritual tersebut adalah sebagai bentuk syukur terhadap hasil alam, serta berdoa kepada Yang Maha Esa agar dijauhkan dari segala penyakit dan bencana.

“Setelah ritual, masyarakat dilarang beraktivitas di kebun dan tidak boleh menyembelih hewan berdarah. Ini juga sebagai bentuk penghormatan kami terhadap makhluk hidup lainnya.”

Ritual tersebut juga menjadi ajang silaturahmi bagi semua dukun kampung di Pulau Bangka hingga Pulau Belitung.

“Hingga saat ini, ada sekitar 46 dukun yang tersebar di Pulau Bangka. Setiap kali ada ritual, mereka semua hadir, baik secara fisik [kelihatan], maupun tidak kelihatan [gaib],” kata Janum.

Namun dalam prosesnya, ritual taber gunung di Bukit Penyabung sempat vakum sekitar tahun 1991-1997, karena tidak adanya generasi dukun kampung yang sanggup memimpin ritual.

“Ritual tersebut juga terhenti bertepatan dengan masuknya perkebunan sawit [1991-1997], yang ikut menggerus hutan di sekitar Bukit Penyabung.”

Sekitar tahun 2016, ritual pernah kembali dilaksanakan oleh Lembaga Adat Melayu [LAM] Jerieng. Namun, tidak sesuai dengan adat Jerieng.

“Banyak bagian ritual berubah, seperti lokasi yang semula di bukit, dipindahkan ke rumah adat. Sehingga tidak dianggap atau diakui para dukun kampung,” lanjut Janum.

Pada Agustus tahun 2022 lalu, melalui sebuah mimpi, Janum diberi kepercayaan leluhur Suku Jerieng untuk meneruskan ritual taber gunung, sesuai tata acara yang telah ditetapkan.

“Hampir 25 tahun ritual tidak dilaksanakan, banyak bala [malapetaka] menimpa masyarakat Suku Jerieng. Seperti padi yang terserang hama, durian tidak berbuah, hasil madu berkurang, dan puncaknya terjadi kesurupan massal saat acara Pemkab [Pemerintah Kabupaten] Bangka Barat di Desa Berang beberapa waktu lalu.”

“Hilangnya ritual di bukit-bukit di Pulau Bangka, menjadi bukti kalau masyarakat kita sudah melupakan budaya leluhur,” lanjutnya.

“Lebih jauh, hilangnya ritual, berarti hubungan kita dengan alam dan sesama manusia telah pudar, sekaligus sebagai bentuk kalau kita [masyarakat Pulau Bangka], tidak bersyukur atau serakah dengan hasil alam yag kita dapat.”

Titik temu

Di Selatan Pulau Bangka, sekitar 60 kilometer dari Kota Pangkalpinang, terdapat sebuah bukit bernama Bukit Nenek, yang terletak di Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan.

Selama ratusan tahun, bukit tersebut dijadikan lokasi ritual oleh masyarakat Suku Melayu di Desa Gudang dan sekitarnya. Mirip dengan Suku Jerieng, ritual masyarakat di Bukit Nenek juga dilakukan pada bulan Muharram. Hanya, ritual tersebut bernama “Ketupat Gong”.

“Maknanya sama, intinya bersyukur terhadap hasil alam dan memohon agar terhindar dari malapetaka, bencana, maupun penyakit,” kata Makmun [52], dukun kampung di Desa Gudang, di rumahnya yang berada di kaki Bukit Nenek.

Bukit Nenek merupakan wilayah sakral sekaligus titik ritual. Tingginya sekitar 380 meter, masuk kawasan TWA [Taman Wisata Alam] Gunung Permisan yang luasnya mencapai 3.149,69 hektar. Tepat disebelah Bukit Nenek, ada Bukit Batu Kepale, kemudian Bukit Nangka, Bukit Putus, Bukit Meninjon Muda, Bukit Meninjon Tue, Bukit Mengkubung, Bukit Jering, dan Bukit Cek Antak.

Bukit-bukit di Pulau Bangka, yang dianggap sebagai wilayah sakral mulai terancam aktivitas antropogenik. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)
Bukit-bukit di Pulau Bangka, yang dianggap sebagai wilayah sakral mulai terancam aktivitas antropogenik. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)

Menurut Makmun, ritual yang diadakan sekarang sedikit berbeda. Dulu, ritual dibagi dua tahap. Tahap pertama dilakukan di Bukit Batu Kepale, kemudian menuju puncak Bukit Nenek.

“Namun, karena banyak masyarakat yang mengeluh harus mendaki dua bukit sekaligus, akhirnya kami putuskan langsung berjalan menuju puncak Bukit Nenek,” jelas Makmun.

Di Bukit Batu Kepale yang tingginya sekitar 300 meter, dianggap sebagai tempat “sidang” atau pertemuan sejumlah “penjaga” dari sejumlah gunung di Pulau Bangka, seperti dari Gunung Mangkol [Kabupaten Bangka Tengah], Gunung Maras [Kabupaten Bangka], Gunung Pelawan [Kabupaten Bangka], serta Gunung Menumbing dan Gunung Penyabung [Kabupaten Bangka Barat].

Lokasi pertemuan diadakan tepat di sekitar ceruk batu granit di puncak Bukit Batu Kepale. Di ceruk tersebut, juga diketahui terdapat gambar cadas, yang diperkirakan merupakan lukisan manusia purba [Austronesia].

“Dalam pertemuan tersebut, para penjaga diberi tugas menjaga setiap wilayah, serta memberi informasi terkait kondisi bukit mereka masing-masing. Setelah itu, barulah mereka kembali ke bukit masing-masing.”

Seusai kami mengikuti pertemuan tersebut, barulah ritual dilanjutkan menuju Bukit Nenek.

“Di Bukit Nenek, masyarakat mengadakan doa dan makan bersama, sebagai bentuk rasa syukur atas hasil alam yang didapat,” kata Makmun.

Masih adanya ritual membuat hutan di wilayah Bukit Nenek terjaga hingga saat ini. “Bahkan, sebelum penetapan kawasan konservasi TWA Gunung Permisan tahun 2016, wilayah perbukitan di sini memang tidak pernah diganggu. Masyarakat masih mengikuti adat dan ritual,” kata Makmun.

Dalam prosesnya, masyarakat di sekitar Bukit Nenek wajib mengikuti ritual yang disimbolkan dengan menyumbang seikat ketupat untuk dibawa ke puncak Bukit Nenek.

“Jika ada yang tidak menyumbang, kami selaku dukun kampung tidak pernah memaksa. Tetapi jangan salahkan dukun, kalau nanti ada bala [bencana] yang menimpa mereka, seperti gagal panen, penyakit, dan lainnya,” kata Makmun.

Ritual dimaknai sebagai bentuk rasa syukur atas hasil alam, serta sebagai upaya kolektif dalam menjaga bentang alam. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)
Ritual dimaknai sebagai bentuk rasa syukur atas hasil alam, serta sebagai upaya kolektif dalam menjaga bentang alam. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)

Dalam kepercayaan masyarakat di Kecamatan Simpang Rimba, di Bukit Nenek terdapat “kampung gaib”, yakni kampung yang tidak terlihat mata manusia. Maka, warga Desa Gudang, diwajibkan para dukun untuk hidup harmonis dengan penduduk kampung tersebut.

“Hingga saat ini warga masih memegang teguh saran para dukun kampung. Karena sudah banyak bukti bagi yang melanggar, biasanya terkena sakit, bahkan hilang di Bukit Nenek karena bersikap tidak sopan,” kata Pendi [40], pegawai di Pemerintah Desa Gudang.

Ritual tertutup

Tercatat ada sekitar 32 bukit di Pulau Bangka, yang tertinggi adalah Gunung Maras [705 meter]. Sejak tahun 2016, lanskap Gunung Maras ditetapkan sebagai satu-satunya Taman Nasional di Pulau Bangka, luasnya mencapai 16.806,91 hektar.

Bagi masyarakat adat yang tersebar dari ujung Utara hingga Selatan Pulau Bangka, sejak dulu Gunung Maras diyakini sebagai titik spiritual terkuat.

“Kami percaya, kalau Gunung Maras ini rusak, akan terjadi bencana banjir besar yang menenggelamkan seluruh daratan Pulau Bangka, bahkan setengah wilayah Sumatera,” kata Umran [74], keturunan ketujuh Suku Maras, di Desa Berbura, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.

Umran bersama Damion [51], serta tujuh orang dukun kampung, hingga saat ini masih sering melakukan ritual di puncak Gunung Maras. Sembilan orang tersebut berasal dari sejumlah dusun di sekitar Gunung Maras.

“Saat ini ritual kami lakukan tertutup. Waktu pelaksanaan tidak menentu, dalam satu bulan bisa dua hingga tiga kali. Biasanya dilaksanakan saat para tetua dukun mendapat mimpi, atau saat memasuki 13 hari bulan pada kalender Hijriah,” kata Damion.

Di bawah tahun 2000-an, di sekitar Gunung Maras sebenarnya ada ritual yang dilaksanakan secara terbuka, yakni ritual “Tolak Bala”. Prosesnya mirip dengan yang diadakan di Bukit Penyabung dan Bukit Nenek.

“Maknanya sebagai bentuk rasa syukur serta doa agar terhindar dari penyakit atau bencana,” kata Damion.

Namun, sejak banyak orang dari luar Pulau Bangka datang dan menetap di sekitar Gunung Maras, “Ritual tersebut tidak pernah lagi dilaksanakan, karena banyak yang tidak sepakat,” lanjut Damion.

Bagi Suku Mapur yang tersebar di wilayah Utara Pulau Bangka, Gunung Maras juga dijadikan sebagai arah makam leluhur mereka.

Gunung Maras juga berperan sebagai seorang “kakek” bagi semua bukit di Pulau Bangka. Layaknya seorang kakek, Gunung Maras merupakan tempat mengadu atau meminta pertolongan saat ada kesulitan.

“Para dukun biasanya mengadu atau minta tolong jika ada warga kampung yang terusik atau ada yang ingin merusak bukit mereka. Sudah tugas kami para dukun untuk saling membantu,” kata Damion.

Damion, dan delapan dukun kampung lainnya masih tetap melaksanakan ritual di puncak Gunung Maras, Kabupaten Bangka. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)
Damion, dan delapan dukun kampung lainnya masih tetap melaksanakan ritual di puncak Gunung Maras, Kabupaten Bangka. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)

Secara umum, hutan di Gunung Maras masih terjaga. Namun dalam beberapa tahun terakhir sudah sering terjadi longsor karena tegakan pohon besar di beberapa titik sudah hilang.

“Saat malam, kami sering mendengar runtuhan batu, gemuruhnya hingga permukiman,” kata Damion, yang rumahnya berada di kaki Gunung Maras.

Sementara di ujung kaki Gunung Maras [Teluk kelabat], yang didominasi ekosistem mangrove, sudah banyak ditambang para pendatang.

“Jujur, sekarang sudah sedih melihat Gunung Maras ini, kondisinya jauh berbeda. Hutan dirambah dan ditambang, sudah banyak masyarakat yang tidak menghormati pesan leluhur,” kata Damion.

“Jika hal ini terus terjadi [kerusakan hutan], bisa jadi dalam waktu dekat akan ada penyakit yang menyerang manusia, dan itu lebih parah dari COVID-19.”

Ritual yang hilang

Jika di Gunung Maras masih ada para dukun yang melakukan ritual secara tertutup, berbeda di Bukit Mangkol yang masyarakatnya sudah tidak lagi melaksanakan ritual.

Lanskap Bukit Mengkol terletak di Kabupaten Bangka Tengah. Hampir semua desa di Kabupaten Bangka Tengah terhubung dengan lanskap Bukit Mangkol. Di antaranya Desa Terak, Desa Teru, Desa Dul, Desa Air Mesu, Desa Cambai, hingga Desa Puput.

“Semua warga desa tersebut, dulunya punya “kelekak” di sekitar Bukit Mangkol,” kata Mang Kalu [40], keturunan ketujuh dukun kampung di Desa Teru.

Mang Kalu, keturunan ketujuh Gunung Mangkol yang sudah tidak pernah lagi mengadakan ritual. Foto Nopri Ismi. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)
Mang Kalu, keturunan ketujuh Gunung Mangkol yang sudah tidak pernah lagi mengadakan ritual. Foto Nopri Ismi. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)

Kelekak adalah area hutan atau sebidang tanah yang ditanami pohon khas daerah [umumnya durian, binjai, manggis]. Pemiliknya pribadi maupun bersama, sebagai warisan leluhur untuk anak cucu di kemudian hari.

“Kelekak di sini kemungkinan sudah berumur ratusan tahun, bisa dilihat dari pohon durian di sini yang ukurannya lebih dari empat pelukan orang dewasa,” kata Mang Kalu.

Kelekak tertua di Bukit Mangkol bernama “Aik Bik” karena lokasinya dekat sumber mata air utama Bukit Mangkol, yang mengalir menuju Kota Pangkalpinang [Ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung] dan bermuara ke Sungai Baturusa di Pesisir Timur Pulau Bangka.

“Leluhur kami yang tinggal di sekitar kelakak ini bernama Akek Burok dan Nek Rempak. Merekalah yang mengawali ritual di Bukit Mangkol. Ritual itu misalnya menyambut musim panen buah durian,” kata Mang Kalu.

“Dulu, buah durian yang pertama kali jatuh dinamakan durian sentajau. Durian ini kemudian diletakkan di sebuah batu granit yang dinamakan “batu kelambu”.

Saat buah durian kedua jatuh, barulah warga boleh mengambilnya.

“Kata orang tua dulu, makna dari ritual tersebut adalah untuk saling berbagi hasil alam dengan makhluk lain, baik itu hewan, atau makhluk gaib. Bagi yang melanggar akan terkena penyakit, atau gagal panen,” lanjut Mang Kalu.

Sejak 1970-an, ritual tersebut tidak lagi dilaksanakan.

“Penyebabnya karena tidak ada generasi dukun kampung yang sanggup melanjutkan,” katanya.

Bukit Mangkol tingginya hanya 395 meter. Di sekitarnya terdapat sejumlah bukit, seperti Bukit Pau, Bukit Tangga, Bukit Batu Kelambu, Bukit Batu Tanyat, dan lainnya. “Semuanya sekitar 11 bukit,” lanjut Mang Kalu.

Sejak 2016, Perbukitan Mangkol berstatus sebagai Tamah Hutan Raya [Tahura], dengan luas total sekitar 6.000 hektar.

Meski demikian, wilayah perbukitan Mangkol tidak lepas dari ancaman pertambangan serta pembalakan liar. Banyak perkebunan serta aktivitas penambangan warga yang merambah hingga lereng perbukitan.

“Bahkan ada warga yang menambang timah di sekitar sumber mata air, dampaknya aliran air sering kali keruh saat masuk penghujan,” kata Riski [23], Ketua Bujang Squad, sebuah komunitas pemuda yang menjaga lanskap Bukit Mangkol.

Puncaknya, Juli 2022 lalu, Ditjen Penegakan Hukum [Gakkum] Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menangkap tersangka perambahan Tahura Bukit Mangkol.

“Hasil pendalaman investigatif yang dilakukan penyidik Gakkum KLHK, telah membuat terang dan meyakinkan bahwa kegiatan ilegal pembukaan Kawasan hutan yang dilakukan Sdr. V alias A berada dikawasan Tahura Bukit Mangkol,” tulis siaran pers KLHK pada situs resmi ppid.menlhk.go.id.

Mang Kalu berharap, sejumlah ritual dan aturan adat di Bukit Mangkol dikembalikan. “Dulu untuk masuk hutan Bukit Mangkol banyak pantangan, seperti dilarang berbuat mesum, membuka kebun tanpa seizin dukun kampung, dan sebagainya.”

Sejak ritual itu hilang, banyak yang berani merusak meski sudah menjadi kawasan konservasi.

“Tidak adanya dukun kampung, juga berakibat pada kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga hutan Bukit Mangkol,” katanya.

Hutan “riding” yang terputus

Berdasarkan dokumen SLHD [Status Lingkungan Hidup Daeah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2014, luas kawasan hutan di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 657.380 hektar. Sementara, dalam dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021, luas kawasan hutan tahun 2015 tersisa 235.585,8 hektar, atau berkurang 421.794,2 hektar setahun.

Ratusan tahun, titik ritual yang dijadikan para dukun sebagai titik ritual menjadi hutan tersisa di Pulau Bangka.  (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)
Ratusan tahun, titik ritual yang dijadikan para dukun sebagai titik ritual menjadi hutan tersisa di Pulau Bangka. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)

Luasan tersebut terus mengalami penurunan, hingga tersisa 197.255,2 hektar. Artinya, kurang waktu enam tahun [2014-2020], Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan seluas 460.000 hektar.

“Secara umum, bisa dikatakan hutan primer di Pulau Bangka hanya tersisa di sekitar perbukitan, selain di wilayah pesisir yang didominasi ekosistem hutan mangrove,” kata M. Dedi Susanto, Kepala Resort Konservasi Wilayah XVI Bangka-Balai KSDA [Konservasi Sumber Daya Alam] Sumatera Selatan.

Oleh karena itu, kawasan konservasi di Pulau Bangka banyak terdapat di wilayah perbukitan seperti; Gunung Maras [TN Nasional], Gunung Mangkol [Tahura], Gunung Permisan [TWA], dan Gunung Menumbing [Tahura].

“Sedangkan kawasan hutan lindung [HL] banyak terdapat di sepanjang pesisir Pulau Bangka, yang didominasi ekosistem hutan mangrove,” kata Dedi.

Berdasarkan informasi dari sejumlah dukun di Pulau Bangka, wilayah hutan di luar wilayah perbukitan, yang kini banyak tergerus dinamakan “hutan riding”.

Menurut Janum, dahulu semua wilayah atau kampung di Pulau Bangka terhubung sebuah kawasan hutan, yang dinamakan “riding”. Hutan riding dahulu terbentang dari ujung Utara hingga Selatan Pulau Bangka. Bentuknya memanjang dengan lebar sekitar 100 meter, hutan ini melintasi sekaligus menghubungkan setiap kampung dan bukit di Pulau Bangka.

“Hutan ini dulunya disepakati setiap dukun kampung di Pulau Bangka. Masyarakat hanya boleh mengambil hasil hutannya [tidak boleh dibuka jadi kebun], tetapi tetap minta izin dukun setempat. Hutan ini diperuntukkan khusus makhluk lain [hewan, tumbuhan, dan makhluk gaib],” kata Janum.

Selain itu, menurut Makmun, dukun kampung di Bukit Nenek, Desa Gudang, Kabupaten Bangka Selatan, hutan riding juga berfungsi sebagai “jalur penghubung” bagi makhluk lain untuk menuju bukit dan kampung yang ada di Pulau Bangka.

“Hutan riding juga berfungsi sebagai jalan bagi kita [manusia, hewan, makhluk gaib] untuk menghadiri setiap ritual yang diadakan di bukit-bukit yang dianggap sakral,” lanjutnya.

Kini hutan riding terputus, seiring deforestasi di Pulau Bangka yang hanya menyisakan hutan di bukit-bukit serta pesisir [mangrove].

Kawasan hutan riding, dianggap sebagai penghubung setiap bukit dan kampung di Pulau Bangka, namun terputus oleh lanskap sawit.  (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)
Kawasan hutan riding, dianggap sebagai penghubung setiap bukit dan kampung di Pulau Bangka, namun terputus oleh lanskap sawit. (Foto: Taufik Wijaya dan Nopri Ismi)

Dijelaskan Janum, hutan riding yang menghubungkan setiap kampung dan bukit, merupakan simbol keterikatan antarmasyarakat atau suku yang tinggal di Pulau Bangka. Jika hilang atau terputus, maka terputus pula hubungan antarwilayah dan masyarakat di Pulau Bangka.

“Jadi wajar, kalau sekarang banyak konflik antarmasyarakat yang berebut hasil alam. Karena hutan riding serta ritual perlahan hilang. Ini bukti kalau kita tidak bersyukur dengan kekayaan alam,” ujarnya.

---------------------

Artikel 1

Taufik Wijaya dan Nopri Ismi [Bangka]

Liputan ini diproduksi atas dukungan Dana Jurnalisme Hutan Hujan [Rainforest Journalism Fund] yang bekerja sama dengan Pulitzer Center