Menyisir Jejak Leluhur dan Jati Diri di Hindu Mangir

Menyisir Jejak Leluhur dan Jati Diri di Hindu Mangir


Suara.com - Namanya Kusuma Ayu, dia terlahir sebagai anak laki-laki bernama Kusriyadi 40 tahun lalu.

Ayu-nama sapaanya kini-lebih nyaman dipanggil 'mbak', dia seorang transpuan.

Saat kecil, Ayu mengikuti agama orangtuanya namun ia merasa tak menemukan kenyamanan dalam mengimani agama tersebut.

"Dan saya memutuskan untuk tidak beragama," ujar Ayu.

Mengenal Ajaran Dharma, Hindu Jawa

Ayu yang merasa tak nyaman dengan agamanya saat lahir memang sempat tak memegang teguh satupun agama.

Dia mencari-cari, sebuah pegangan hidup yang bisa membuatnya nyaman dan merasa diterima sebagai manusia seutuhnya.

"Pada akhirnya saya memiliki kekaguman pada ajaran Dharma," ujar Ayu.

"Ajaran Dharma itu ajaran yang tidak mengkotak-kotakan manusia, yang saling menghormati sesama manusia dan ciptaaanya, seluruh isi alam semesta, di dalam ajaran itu tidak ada laki-laki dan perempuan tapi manusia," imbuhnya. 

Ayu pertama kali mengenal ajaran Dharma bermula dari tontonan-tontonan di televisi hingga pemberitaan. Kemudian dia mendatangi Dusun Mangir, sebuah dusun di salah satu Kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Tahunya Mangir itu, ketika Mangir ada penyerangan," ujar Ayu.

Di Dusun Mangir, Ayu mengikuti ajaran Hindu Jawa. Dia merasa cocok dengan ajaran tersebut karena setelah lepas dari agama orangtua, ia memegang prinsip-prinsip kejawen.

"Selain saya juga mendapatkan suatu keyakinan yang menurut saya sudah pas untuk saya selain itu saya bisa melestarikan adat orang Jawa," ungkap Ayu yang juga menjadi Ketua Waria Yogyakarta.

Sebelum bergabung di Mangir, Ayu mengaku sempat ragu karena sering kali tak diterima oleh sebuah keyakinan jika menampakkan identitas gendernya.

"Saya juga datang ke sini, tanya dulu sama Ibu, kalau saya ini transpuan, saya ingin belajar agama apakah diperkenankan, saya ingin belajar Hindu Jawa apakah diperkenankan," kenang Ayu.

Bak gayung bersambut, Ayu diterima dengan baik di Mangir. Dia diterima seutuhnya tanpa dipandang identitas gendernya yang tak mainstream.

"Tapi tanggapan ibu bagus kepada saya. [Beliau bilang] tidak papa nduk (sebutan untuk anak perempuan), di sini Tuhan itu tidak melihat hal itu, akhinya saya mantap di sini," tambahnya.

Seiring waktu bahkan Ayu dipercaya menjadi Serati Banten.

"Saya bahkan sampai dipercaya ibu menjadi Serati Banten. Itu yang memang mempersiapkan untuk upacara-upacara, sesaji-sesaji," ujar Ayu.

Bukan hanya itu, Ayu juga merasa diterima dengan baik oleh masyarakat baik dalam pekerjaan, lingkungan, hingga pertemanan.

Mangir menurut Ayu adalah tempat dengan kepercayaan yang beragam. Mereka menerima sipapun yang datang baik berkeyakinan Katolik, Islam, Buddha, dan lain sebagainya.

"Karena menurut kami tempat ibadah itu tidak untuk satu orang dan Tuhan itu ada di mana-mana hanya satu bukan milik satu agama. Kami selalu menerima," imbuhnya.

Dia juga merasa maklum jika ada yang datang ke Mangir namun berubah pikiran.

"Iya itu proses masing-masing," kata dia.

Harapan Ayu

Mengingat Hindu Jawa di Mangir belum familiar, dia berharap masyarakat bisa lebih mengenal mereka. Sebab Hindu Dharma yang selama ini dikenal hanya berada di Bali. 

"Harapan saya masyarakat tahu di Jawa pun ada yang namanya Hindu Jawa," kata Ayu.

"Kita mempunyai suatu kepercayaan, yaitu adalah Hindu Jawa yang lahir sebelum ada agama," imbuhnya.

Menurut Ayu, sebelum Indonesia dimasuki agama, kejawen sendiri sudah mengakar di masyarakat.

"Ini [kejawen] bisa masuk agama apa saja, Hindu Jawa, Kristen Jawa, Islam Jawa, dan salah satunya Hindu Jawa. Kami mengenalkan ke masyarakat, bahwa kami tuh ada," ungkap Ayu.

"Kami melestarikan budaya kepercayaan adat istiadat keberadaan Hindu Jawa yang lama terkikis karena kepercayaan-kepercayaan baru. Kami ingin memperkenalkan kembali Hindu Jawa itu ada," tambahnya.

Lebih lanjut, Ayu berharap masyarakat umum tak sekadar melihat kepercayaanya sebagai kepercayaan penyembah berhala maupun memberikan sesaji ke roh. Namun lebih kepada menghormati ciptaan Tuhan di alam semesta.

Menurut kepercayaannya, Ayu berpedoman hidup pada Tuhan bukan pada agama.

"Kalau kita berpedoman kepada Tuhan kepada sifat Tuhan maka kita akan menjadi manusia yang baik yang bisa menerima semua keadaan manusia apapun itu apapun manusianya apapun ciptannaya," kata Ayu.

Memposisikan pada dirinya, sebagai seorang transpuan dia mengamini bahwa masih banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai golongan 'menyalahi' kodrat. Namun jika sudah mengamalkan sifat Tuhan maka orang akan lebih memandang dia sebagai manusia ketimbang mempersoalkan identitas gendernya.

"Ketika sudah mengamalkan sifat Tuhan, maka kita tidak akan memandang siapa, apa dia, tapi [memandang] dialah manusia yang punya hak sama, hak untuk beragama, menentukan dirinya sendiri, karena tubuh ini adalah tubuh saya karena yang diciptakan adalah milik pribadi, yang merasakan saya," ungkap Ayu.

"Setiap orang pasti berjalan beda, bukan hanya hitam putih, siang malam, laki-laki dan perempuan, kalau mendalami masih banyak lagi ragamnya," imbuhnya lagi.

Jejak Leluhur di Mangir

Menurut Bustam, leluhurnya sempat menikahi warga dusun Mangir, peristiwa itu terjadi ratusan tahun silam
Menurut Bustam, leluhurnya sempat menikahi warga dusun Mangir, peristiwa itu terjadi ratusan tahun silam

Berbeda dengan Kusuma Ayu yang mengetahui Mangir dari pemberitaan di televisi, Bustam laki-laki asal Temanggung ini menemukan Mangir dari tirakatnya di pantai selatan, Pantai Depok, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bustam mengaku sejak usia 25 tahun, ia tidak menyukai tempat-tempat yang ramai.

"Saat itu setelah menginjak usia 25 tahun, saya lebih suka ke tempat yang sepi. Ketika anak muda yang lain suka berkunjung ke mal dan tempat keramaian yang lain, saya lebih memilih mencari ketenangan," kata Bustam.

Bak didukung oleh semesta, Bustam dipertemukan dengan pemilik indekos yang terbiasa menjalani ritual tirakat.

"Ketika kos di Yogyakarta, saya bertemu dengan bapak kos yang ternyata sudah terbiasa dengan lelaku tirakat atau nyepi," ungkap pria asal Temanggung ini.

"Memiliki kesamaan dengan saya, akhirnya bapak kos mengajak saya untuk lelaku di pantai selatan, Pantai Depok," lanjutnya bercerita.

Bustam menyadari bahwa tak selamanya dia akan menunggu ajakan bapak pemilik indekos untuk tirakat bersama di pantai selatan. Ia lalu memutuskan untuk berangkat sendirian menuju Pantai Depok yang berada di ujung selatan Yogyakarta ini.

"Setelah berkali-kali tirakat di pantai selatan bersama bapak kos, saya mulai terbiasa, dan karena bapak kos tentu memiliki kesibukan lain, jadi saya akhirnya tirakatan sendiri di pantai selatan," kata Bustam.

"Tirakatan di Pantai Depok ini sudah saya lakukan sejak 2019, yang berawal dari mencari ketenangan, menghindari kebisingan kota," ujarnya dengan penuh keyakinan.

Mulai ke Mangir

Bustam mengaku belum mengetahui eksistensi Mangir, ia pertama kali mendengar Mangir melalui bisikan saat menjalani tirakat.

"Saya sering mengalami pergumulan batin, mencari ketenangan dengan tirakat di pantai selatan. Lalu mendapat pengalaman spiritual seperti ada yang membisiki,'Ayo ke sana, ayo ke sana (Mangir)'. Seperti ada petunjuk untuk pergi ke Mangir, padahal saat itu saya belum tahu Mangir itu apa," aku Bustam.

Lelaki ini kemudian mencari tahu dan akhirnya tiba di Mangir, sebuah dusun di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sinilah, Bustam menyadari bahwa beratus-ratus tahun yang lalu jejak leluhurnya ada di Mangir.

"Setelah itu saya ke Mangir, lalu diajak ke tempuran (muara) sungai. Di situlah terungkap bahwa beratus-ratus tahun yang lalu leluhur saya yang dari China melakukan perjalanan ke sini. Meskipun tujuannya bukan ke Mangir, namun leluhur saya sempat mendarat di dermaga Mangir," ungkap Bustam.

Menurut Bustam, leluhurnya sempat menikahi warga dusun Mangir, peristiwa itu terjadi ratusan tahun silam.

"Di Mangir, leluhur saya mendapat sambutan yang baik, lalu terjadilah pernikahan dengan warga setempat," kata Bustam sembari mengingat momen perjalanan spiritualnya.

"Saat tirakat, saya mendapat pertanda bahwa ada urusan leluhur yang belum selesai di masa lalu," imbuhnya singkat.

Respons Keluarga dan Warga

Laki-laki asal Temanggung ini mengatakan bahwa ia sudah meminta izin kepada sang ibunda untuk menjadi penghayat kepercayaan.

"Sebelum ibu meninggal, saya sudah minta izin untuk menjalani apa yang saya yakini. Di rumah, saya juga menunaikan ritual peribadatan sesuai keyakinan saya sebagai seorang penghayat kepercayaan," kata Bustam.

Ia kemudian menjelaskan satu demi satu ritual sembahyang yang dilakukan saat di rumah.

"Setiap pagi saya bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, menggunakan 3 batang hio, lalu ditancapkan pada tempat yang disediakan," kata Bustam.

Tak lupa, Bustam juga mengungkap cara ibadah di Mangir.

"Di Mangir, cara peribadatannya menggunakan cara Shiwa dan Buddha. Jadi ada persembayangan Galungan dipuput oleh dua orang," katanya.

Bagi Bustam, warga di sekitarnya cukup toleran dengan ajaran yang ia imani.

"Awalnya orang-orang melihat ini apa sih, kok pakai 'beginian'? Tapi makin ke sini, warga mulai menerima, 'Oh ya sudah'. Dan tidak ada tentangan dari warga," pungkas Bustam.

Kerukunan Beragama

Andi lahir beragama Katolik, namun desanya yang jauh dari tempat ibadah membuatnya sulit mengakses pengetahuan soal agamanya sendiri.
Andi lahir beragama Katolik, namun desanya yang jauh dari tempat ibadah membuatnya sulit mengakses pengetahuan soal agamanya sendiri.

Andiyana atau biasa dipanggil Andi berasal dari Kuningan, Jawa Barat.

Dia lahir beragama Katolik, namun desanya yang jauh dari tempat ibadah membuatnya sulit mengakses pengetahuan soal agamanya sendiri.

Bahkan waktu Sekolah Dasar (SD), pelajaran agama di sekolahnya hanya agama Islam. Dengan begitu, dia mengikuti sekolah dan belajar membaca Al-Quran.

Meskipun memeluk agama Katolik, orangtua Andi memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan.

"Waktu itu orangtua lebih ke Sunda, Sunda Wiwitan kalau di Jawa itu Kejawen. Karena sekolah SD di negeri saya belajar Islam, saya baca Al-Quran," ungkap Andi.

Andi baru bisa mengenal Katolik saat dia menginjak sekolah menengah.

Kemudian saat SMA, Andi mengaku lebih mendalami Sunda Wiwitan. Dia juga mulai tertarik dengan kebudayaan seperti belajar karawitan, sulung, bermain kecapi, dan lain sebagainya.

Awal Mengenal Mangir

Pada tahun 2018, Andi diberi kesempatan SMA-nya untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta.

Hal inilah yang menjadi titik awal dia mengenal Mangir, sebuah dusun di Bantul. Kemudian tahun 2019, dia diajak ke Mangir untuk yang pertama kalinya.

"Tahun 2019 waktu itu guru saya guru pencak silat ngajak Waisakan. Waktu itu ada Romo Padwma Wira, ada budayawan-budayawan waktu itu ke Mangir, sejak itu setiap bulan purnama saya datang ke Mangir bersama romo Wira," kata Andi.

Mulanya Andi merasa bingung dengan tata cara beribadah di Mangir. Namun semakin lama dia semakin nyaman dan merasa damai.

"Jadi saya lebih tertarik lebih mendalami Hindu tapi saya tetap membawa kebudayaan Sunda, Sunda Wiwitan khususnya," imbuhnya.

Sebagai pemuda yang bisa memainkan berbagai kesenian, Andi sering kali dipercaya untuk bermain kecapi dalam acara Odolan maupun Galungan di Mangir.

Sebelum pembukaan dia juga selalu melakukan rajahan sebagai permohonan izin pada leluhur.

"Di kami rajahan ini kayak pembukaan istilahnya minta izin kepada leluluh atau kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti itu," ungkap Andi.

Menurut Andi dia merasa menemukan sisi spiritualnya sendiri dengan benih Sunda Wiwitan yang ayahnya tanamkan. Saat kecil bahkan dia merasa sering berfilsafat.

"Kayak Sangkan Paraning Dumadi, saya berpikir saya ini asalnya dari mana, tujuan hidup untuk apa, setelah hidup ada apa," kata Andi.

"Kemudian sejak SMA dan kuliah mendalami lagi dari tokoh spiritual sampai sekarang saya kenal Mangir," tambahnya.

Di Mangir, dia merasa senang karena tidak dibedakan dengan orang lain. Meski terhitung masih muda, dia merasa tidak ada sekat antara tua muda, maupun agama di Mangir.

"Kalau saya secara pribadi kalau di sini lebih kepada ada rasa kebersamaan yang belum tentu didapatkan di tempat ibadah lain," ungkap Andi. 

"Menurut saya di sini juga ada kayak pendalaman soal spiritual juga. Jadi kalau di sini lebih damai lebih tentram itu yang saya rasakan selama ini," tambahnya.

Merasa belum begitu dalam mengenal Hindu, galungan yang biasa diadakan di Mangir baginya adalah sebuah momen untuk mempererat persaudaraan di Mangir ini.

Selain itu, dalam Galungan juga memberi penghormatan kepada leluhur.

Selama di Mangir, Andi biasanya sembahyang ketika purnama, baik purnama biasa atau purnama tilem.

"Terus biasa Odalan atau Galungan kalau enggak ada halangan saya ke sini," tambahnya.

Beda Sebelum Pandemi dan Setelah Pelonggaran

Meski biasanya Andi sering ke Mangir, namun selama pandemi dia jarang datang. Hingga saat PPKM mulai longgar, Andi kembali sering ke Mangir juga biasanya malam.

"Kalau pas pandemi yang membedakan itu jadi karena mungkin sedikit juga yang datang jadi merasa lebih sepi lagi kalau sekarang kan udah ramai banyak saudara yang datang kalau pas pandemi yang datang cuma satu dua," ujar Andi.

Dengan begitu, dia berharap tak ada lagi pandemi sehingga Mangir lebih beragam lagi.

"Untuk tahun depannya sih saya berharap tidak ada lagi pandemi atau virus lain jadi kita bisa lebih bersama lagi meningkatkan keberagaman dalam persatuan terutama di Mangir," tambahnya.

"Soalnya di Mangir ini kan banyak kelompok juga bukan hanya Hindu tapi juga kelompok lain," kata Andi lagi.

Selama mendalami Hindu di Mangir, Andi juga tidak merasa ada tekanan dari kelompok lain. Hal ini disebabkan karena daerah ia tinggal orang-orang cukup toleran apalagi sudah terbiasa dengan adanya Sunda Wiwitan.

"Kan kebanyakan mayoritas muslim tapi toleransi tinggi jadi kami biasa aja sih mereka ibadah kami juga juga ibadah jadi saling menghargai. Terutama yang di Sunda Wiwitan itu lah, tetap rukun beragama," tambahnya lagi.

Artikel ini merupakan hasil liputan Eleonora PEW, Fita Noviana