Trauma Anak Buah Korban Pelecehan Seksual Si Bos di Kantor

Trauma Anak Buah Korban Pelecehan Seksual Si Bos di Kantor


Suara.com - Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan makin marak terjadi. Beberapa kasus terjadi di lingkungan pendidikan, mahasiswi mengalami pelecehan seksual oleh seorang dosen. Termutakhir seorang guru pondok pesantren di Bandung, Jawa barat memperkosa 14 santriwati hingga ada yang melahirkan.

Tak hanya di lingkungan pendidikan, di lingkungan perkantoran swasta maupun instansi pemerintahan juga banyak terjadi kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Penyintas selalu dalam posisi yang lemah. Rata-rata kasus pelecehan ini terjadi karena ada relasi kuasa.

TAK MUDAH bagi Rere mengungkapkan perasaan sakit yang dipendamnya sejak lama. Sebab, dia khawatir dan takut tak ada teman sekantor yang mau melindunginya. Ujung-ujungnya, pekerjaannya bisa terancam.

Tapi di lain sisi, jika tak bersuara, trauma yang terpendam di hati sangat mengganggu kehidupannya. Situasi yang dihadapi Rere tak mudah, ada relasi kuasa di dalamnya.

Pada akhirnya, Maret 2021, Rere memutuskan berani mengungkapkan semuanya: pelecehan yang dilakukan si bos terhadap dirinya.

"Memang sulit sekali melawan, ketika kita ada di posisi itu, susah banget untuk melawan. Apalagi pelaku lebih tinggi posisinya dibanding kita. Mungkin beda cerita kalau mengalami pelecehan di bus, aku tinggal teriak," kata Rere kepada saya.

Setahun lamanya Rene menahan diri, merasa malu dengan kenyataan pahit yang dialaminya. Merasa pelecehan seksual yang menimpa adalah aib hidup yang harus ditutupi, namun tidak pernah bisa dipendam. 

"Saya merasa itu aib, malu, tidak berani cerita ke siapa pun, ini bukan hal yang membanggakan."

Rene, bukan nama sebenarnya, berprofesi sebagai pegawai negeri sipil. Dia korban kekerasan seksual eks Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ) DKI Jakarta Blessmiyanda.

Sehari-hari, Rere berpakaian kemeja dan celana formal layaknya PNS pada umumnya. Terkadang, mengenakan batik biasa atau batik Korpri, namun tetap dilecehkan.

Suatu ketika, ia memberanikan diri mengungkapkan kronologi pelecehan seksual yang dialami lewat instastory-nya yang dibagikan kepada closefriend saja.

Dari situlah banyak teman-temannya yang mendukung dan mendorong Rene untuk berani melaporkan kasus tersebut ke Inspektorat.

"Aku atur strategi, akhirnya aku berani rekam, aku taruh handphone di kantong celana. Waktu itu dia sudah berani cium aku, sudah mulai mengarah ke dada aku. Awalnya itu memang masih rangkul, aku pikir oke sabar, terus kemudian dia mulai peluk aku, aku cuma bisa diam," ungkap Rene.

Rene diam bukan berarti menerima diperlakukan begitu. Ia diam membeku, ketakutan, dan Bless pun sadar Rene takut.  

"Lo takut ya?" ucap Bless.

"Iya pak," balas Rene gemetar.

"Lo enggak usah takut sama gue. Gue anggap lo anak gue, keponakan gue sendiri."

Kejadian itu berhasil direkam oleh Rene. Dia kemudian menyerahkan rekaman tersebut sebagai bukti kepada Inspektorat DKI Jakarta.

Blessmiyanda akhirnya diperiksa Inspektorat DKI Jakarta, dan dinyatakan bersalah oleh Gubernur Anies Baswedan.

Si bos dicopot dari jabatannya sebagai Kepala BPPBJ DKI Jakarta, serta dijatuhi sanksi dan hukuman disiplin berat. 

Sebagai penyintas, ia berharap Bless diberhentikan sebagai PNS. Sebab, tak menutup kemungkinan Gubernur berganti pelaku bisa mendapatkan jabatan sebagai pimpinan lagi.

"Karena korbannya bukan hanya aku, keputusan ini tidak memuaskanku, kenapa tidak dipecat ya? takutnya ke depannya, kita tahu politik kan berganti, takutnya dia menjabat lagi. Jadi belum puas dengan putusannya," ungkap Rene kepada saya.

Tak terima dicopot, Bless menggugat Anies dengan nomor perkara 162/G/2021/PTUN.JKT ke PTUN Jakarta pada 8 Juli 2021, dan hakim memutuskan menolak gugatan ini.

Rene merasa ini adalah risiko dari korban yang berani bersuara. Ia berharap korban-korban kekerasan seksual lain berani bersuara, karena masih banyak orang dan lembaga yang berperspektif korban.

"Jangan takut dan jangan menyalahkan diri sendiri, apa yang terjadi ini bukan salah dan aib kita. Yang harusnya malu adalah pelaku yang tidak bisa kontrol dirinya, berani cerita ke orang terdekat yang kita percaya, dan kalau bisa kita kumpulkan bukti karena pelecehan itu paling susah untuk dibuktikan," pesan Nere.

Kasus Nere masih terus berjalan di PTUN Jakarta karena pelaku sudah mengajukan banding atas putusan hakim pada 24 November 2021.

***

SORE itu, telepon pintarnya berbunyi, tanda pesan WhatsApp masuk dari bos. Santi, ia ingin dikenali dengan nama itu, disuruh segera datang ke kantor untuk evaluasi bulanan tentang kinerjanya. "Siap, saya meluncur bang," balas Santi kepada bosnya, medio 2019 silam.

Rencana untuk melepas penat di indekos setelah sepanjang hari bekerja, agak terhalang karena harus datang ke kantor menuruti panggilan bos.

Setiba di kantor, ia melepas jaket parasutnya, menaruh tas di meja ruang tengah. Mengenakan kaus hitam dan celana jeans ia langsung menemui bosnya di meja redaksi. 

Namun, siapa sangka sore itu menjadi hari kelam dalam catatan hidup Santi. Ia mengalami pelecehan seksual oleh bosnya sendiri. 

Sepanjang berbicara empat mata, tatapan Santi tak pernah berbalas oleh si bos. Sorot mata si bos justru fokus ke payudara yang membuatnya risih.

"Setahun berkerja dia mulai dari mandang fisik. Kalau ngobrol dia tidak fokus dari mata ke mata, tapi ke payudara. Dari situ aku sudah tidak nyaman," ujar Santi kepada saya.

Rasa tidak nyaman berkecamuk di hati Santi. Posisinya sebagai bawahan, membuat sulit sekali untuk berbuat banyak, ia tetap melanjutkan obrolan dengan si bos.

"Gerah banget, tapi tidak bisa marah langsung. Masih menganggap ya sudahlah, lewatin saja, tidak mau dipikirin."

Ilustrasi pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan. [Suara.com/Iqbal Asaputro]
Ilustrasi pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan. [Suara.com/Iqbal Asaputro]

Seusai pertemuan itu, tanpa bertegur sapa dengan rekan kerja di kantor, Santi langsung bergegas pulang. Sepanjang perjalanan naik ojek pulang ke indekos, hatinya bergumam, mengumpat dalam hati, tidak terima dilecehkan dengan tatapan mesum si bos.

"Kesal, kesal sekali. Ternyata kelakuannya kayak begini," katanya.

Hari berikutnya tingkah si bos menjadi-jadi, Santi makin sering dipanggil ke kantor untuk bertemu dengan dalih membicarakan pekerjaan. 

"Mampir ke kantor sebentar ya, sambil berkenalan sama teman kantor yang lain," ajak si bos melalui telepon.

Saat tiba di kantor, masih dengan setelan yang sama, pakai kaus, jeans dan sepatu kets, Santi diajak si bos untuk berkeliling kantor, katanya "Mau diajak office tour".

Berdua saja naik ke lantai dua, Santi dikenalkan dengan sejumlah orang di kantor, lalu ditunjukkan beberapa ruangan mulai dari ruangan CEO, hingga ruang dapur.

Keanehan mulai terjadi saat mereka sampai di ruangan kamar mandi. Tiba-tiba si bos berkata "Nah ini nih ada bathup-nya".

"Kan agak awkward ya, ngapain coba, aku deg-degan sih waktu itu," kenang Santi.

Selesai dari situ, pelecehan kembali terjadi secara digital. Melalui pesan WhatsApp, si bos kerap kali membicarakan sesuatu di luar konteks pekerjaan dari bahasa yang genit sampai membicarakan seksual. 

"Dia cerita soal kehidupan seks dengan istrinya, kan jijik banget mendengarnya,” keluhnya.

Sejak itu Santi tak mau lagi bertemu langsung dengan si bos. Muncul rasa traumatik di dirinya. Memang ia tidak tiap hari ke kantor, karena ia bekerja meliput di lapangan.

“Tapi ketika harus bertemu dengan dia, aku takut, aku malas, aku jijik," imbuhnya.

Butuh waktu sekitar tiga bulan bagi Santi untuk memberanikan diri mengungkapkan tindakan pelecehan ini ke rekan kerja yang lain. Akhirnya ia memberanikan diri mengadu ke atasan yang jabatannya lebih tinggi dari si pelaku.

Selama tiga bulan itu Santi mengurung diri di kamar. Mengurangi interaksi dengan orang lain, hingga tak berani bercerita bahkan kepada orang tuanya karena takut orang tua marah sehingga masalah menjadi panjang yang bisa saja mengancam karirnya. 

"Aku insecure parah. Sama atasan sendiri merasa tidak dihargai sebagai perempuan, ibaratnya aku sebagai adik dan sebagai teman itu tidak ada harganya sama sekali," tuturnya.

Santi merasa beruntung tempat kerjanya dengan tegas menentang segala macam tindak kekerasan seksual dan berpihak kepadanya.

Padahal selama tiga bulan kesehatan mentalnya terganggu, takut kalau bersuara justru menjadi bumerang ke kariernya.

Ternyata Santi bukan korban pertama dan terakhir. Kasus Santi ini menjadi pemantik korban lain untuk ikut bersuara yang memberatkan tuduhan terhadap si bos.

Aduan para korban langsung diproses hingga yang bersangkutan mendapat sanksi, meski tak sampai dipecat.

Bekas pelecehan itu masih membekas hingga kini. Santi belum bisa bisa memaafkan pelaku. Sempat waktu itu pernah bersua, dan pelaku meminta maaf.

“Aku panik. Tapi jujur enggak mau maafin dan tidak suka. Maunya dia tidak melakukan lagi. Aku juga manusiawi, dia punya keluarga, punya anak. Sebagai kepala keluarga ya harusnya introspeksi diri sama kelakuannya."

Ilustrasi pelecehan seksual. Mahasiswi Unsri disekap saat Yudisium [Suara.com/Iqbal Asaputro]
Ilustrasi pelecehan seksual. Mahasiswi Unsri disekap saat Yudisium [Suara.com/Iqbal Asaputro]

Berani bersuara

Gerakan untuk bersuara bagi korban pernah dan masih dimulai di Universitas Multimedia Nusantara.

Adalah Charlenne Kayla Roeslie, mahasiswi penyintas bersama ketiga temannya, yang mencoba mengajak korban bercerita agar kasus pelecehan maupun kekerasan seksual bisa terungkap dan diproses kampus.

Berawal dari diskusi di media sosial. hasilnya berbuah manis. Sedikitnya 14 korban pelecehan seksual berani bersuara dan aduannya diteruskan ke pihak kampus.

Awalnya, mereka enggan bersuara karena merasa kampus bukan tempat yang aman bagi penyintas. Namun karena desakan semakin kencang, pihak kampus akhirnya mengusut kasus per kasus hingga menerbitkan Kode Etik Mahasiswa UMN tentang Larangan Tindakan Pelecehan.

Charlenne ingin menyampaikan pesan, meski tidak ada aturan yang berperspektif korban dari negara maupun institusi, kasus kekerasan seksual bisa diusut meski sulit dibuktikan.

"Masih banyak orang-orang yang mau bantuin. Jangan merasa sendirian, jangan merasa it's me against the world, tapi we against the world, karena kamu gak sendirian," kata Charlenne kepada saya, November 2021.

Santi, Rene, dan Charlenne hanya sedikit dari banyak kasus kekerasan seksual yang belum terungkap. Ini adalah alarm bagi Pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan  Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS yang sudah terlunta-lunta selama 8 tahun. 

"RUU TPKS harus seperti itu agar bisa diaplikasikan di publik tidak hanya di kampus, aku berharap ini bisa cepat disahkan," tegas Charlenne.

"Akan lebih sedih kalau teman-teman takut untuk bicara, itu tuh mungkin dosa kita jika membuat korban tidak punya payung hukum lalu takut bicara tidak mempunyai lingkungan yang aman," sambungnya.

Kekinian, RUU TPKS masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebagai usul inisiatif Baleg DPR dan parlemen berkomitmen menyelesaikan pembahasan aturan tersebut pada Masa Sidang I Tahun Persidangan 2021-2022.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga menegaskan, tidak ada alasan untuk memperdebatkan RUU TPKS yang berperspektif korban.

"Harusnya 16 Desember RUU ini diketok sebagai RUU usul inisiatif DPR, namun ternyata tertahan lagi. Itu karena ada upaya dari sebagian fraksi dan individu di DPR yang mencoba menghilangkan kata 'persetujuan', seperti di Permendikbud," kata Bivitri dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Naskah RUU TPKS juga telah disepakati untuk dibahas pada tingkat selanjutnya. Kesepakatan itu setelah mayoritas fraksi menyetujui hasil Panja untuk menjadikan RUU TPKS sebagai usulan inisiatif DPR.

Ketua Badan Legislasi DPR Supratman mengatakan, ada tujuh fraksi yang mendukung hasil panja. Sementara satu fraksi, yakni fraksi Golkar meminta penundaan untuk pendalaman dan satu fraksi lainnya, PKS tegas menolak.