Madu Saffron dari Tersangka Teroris untuk Densus 88

Madu Saffron dari Tersangka Teroris untuk Densus 88


Suara.com - Detasemen Khusus 88 Antiteror menggelar razia, menangkapi sejumlah terduga teroris yang disebut pentolan Jamaah Islamiyah. Namun keluarga tersangka berkukuh tuduhan itu dibuat-buat.

HATI Farid Okbah bersemak, pikirannya buncah. Dia sempat mencurahkan segala kegelisahan kepada kawan separtainya, Taufik Hidayat, Minggu 14 November 2021.

“Dua hari ke belakang, ane kayak diintai orang.”

Farid tidak mau menyampaikan kerisauannya kepada keluarga karena tak ingin memicu kepanikan. Hanya kepada Taufik dia bercerita.

Dia lalu menyodorkan selembar foto sekumpulan orang kepada Taufik. Ada dirinya di antara orang-orang yang terpotret. Tapi bedanya, muka Farid diberi tanda lingkaran.

"Ane sudah ditandain."

Kawan-kawannya biasa menyebut Farid sebagai UFO, akronim Ustaz Farid Okbah. Masa mudanya ia habiskan untuk berpetualang, bahkan melanglang antarbenua, dari Asia ke Australia, sampai Eropa.

Farid sudah memasuki masa senja kehidupan, tahun ini genap limapuluh delapan usianya. Tapi tekad kala muda masih berkobar.

Dia ingin melihat ada partai Islam yang ideologis seperti Masyumi kembali hadir dan memenangkan dukungan massa saat pemilihan umum.

Demi itu pula, Farid tetap giat pergi ke daerah-daerah untuk membangun Partai Dakwah Rakyat Indonesia.

Namun, langkahnya terhenti selang dua hari kemudian. Farid ditangkap tim Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri di area rumahnya, kompleks Perumahan Bulog I, Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat.

Dia dijadikan tersangka teroris, karena diduga menjadi anggota Dewan Syuro Jamaah Islamiyah dan Ketua Dewan Syariah LAZ BM Abdurrahman Bin Auf.

Subuh yang bergegas

SELASA 16 November 2021, langit masih berwarna hitam di atas bangunan berbentuk persegi berukuran dua kali dua meter dengan atap prisma itu. Pada dinding bagian atas bangunan, terdapat tulisan huruf kapital bercat hijau: BULOG.

Dua lelaki sudah rapi jali di pos jaga yang berada di antara dua gerbang utama perumahan tersebut, meski fajar belum lagi menyingsing. Satu di antaranya berusia empat puluhan, sementara kawannya sudah aki-aki.

Keduanya sempat bertukar cakap sebelum yang lebih muda dan berbadan tegap, berpamitan. Dia adalah Mamat.

Setiap menjelang waktu salat Subuh, Mamat mendapat tugas berpatroli keliling kompleks dan berakhir di Masjid Istiqomah untuk mengawasi kendaraan jemaah salat Subuh.

Masjid Istiqomah dalam Kompleks Perumahan Bulog I, Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat. [Suara.com/Muhammad Yasir]
Masjid Istiqomah dalam Kompleks Perumahan Bulog I, Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat. [Suara.com/Muhammad Yasir]

Sepeninggal Mamat, rekannya yang lebih tua tetap berada di pos, menjaga gerbang utama. Semua rambutnya sudah memutih dan mulutnya ompong, tapi soal jaga menjaga, ia sudah sarat pengalaman.

Sebelum menjadi satpam di Kompleks Bulog I, aki-aki yang memunyai tato kecil terbuat dari tinta rapido atau rotring di lengan ini sempat bekerja sebagai penjaga di rumah Muhammad Syaugi, purnawirawan marsekal madya TNI sekaligus mantan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas.

Sekitar pukul 04.00 WIB, mobil Toyota Kijang berkelir putih tiba di depan gerbang masuk. Lelaki berpenampilan seperti ustaz lengkap dengan kopiah putih, turun menghampiri pos jaga.

“Pak, mau numpang sholat ke masjid, boleh enggak?”

“Silakan kalau mau sholat.”

Si aki-aki lantas menekan tombol hijau, portal gerbang terbuka dan mobil itu masuk.

Selang lima belas menit, satu mobil Daihatsu Luxio tiba di depan gapura yang sama. Kaca jendela oto berona hitam diturunkan.

Dari balik kaca jendela mobil yang sudah terbuka, lelaki di kursi pengemudi juga meminta izin masuk kompleks agar bisa ke Masjid Istiqomah untuk salat Subuh.

Lagi-lagi si aki memencet tombol hijau untuk membuka palang pintu otomatis, ia yang berlogat kental Betawi, mempersilakan orang itu masuk.

***

SEPI masih menyelimuti suasana sekitar rumah nomor satu di Jalan Yanetera I, kompleks Perumahan Bulog I, Selasa 16 November jelang fajar.

Rumahnya asri, karena banyak pohon palem nan rindang berukuran sedang tertanam berderet dekat dinding pagar.

Ada pula tumbuhan merambat yang terpotong rapi, tegak berjejer mengisi ruang di sela-sela palem.

Untuk memasuki halaman depan, terdapat dua gerbang terpisah, berukuran kecil dan besar. Sedangkan di pelataran, terparkir mobil Nissan Livina.

Waktu belum genap jam empat, azan Subuh belum berkumandang, tapi Jamilah sudah mengurus banyak hal di dalam rumah bertingkat itu.

Satu pekerjaan yang sudah terselesaikan adalah menyiapkan serta mengepak baju, celana, dan perkakas lain ke dalam koper.

Suami yang betul-betul ia cintai sejak muda, pagi itu, akan berangkat bersafari politik ke Cirebon, Yogyakarta, dan Solo—koper itu miliknya.

Farid Okbah baru saja merampungkan salat sunah, dan tengah bersiap-siap pergi ke luar rumah.

Dia terbiasa seperti itu selama bertahun-tahun, yakni salat sunah di rumah, dilanjutkan salat Subuh di masjid yang masih berada di dalam kompleks.

Jamilah sendiri sudah mafhum soal kebiasaan sang suami. Dia hapal, Farid akan pergi dari rumah sekitar jam empat ke Masjid Istiqomah.

Masjid Istiqomah dalam Kompleks Perumahan Bulog I, Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat. [Suara.com/Muhammad Yasir]
Masjid Istiqomah dalam Kompleks Perumahan Bulog I, Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat. [Suara.com/Muhammad Yasir]

Suaminya itu selalu berjalan kaki meski jarak antara rumah dengan masjid cukup jauh, sekitar 650 meter, persisnya di Jalan Yanatera Raya—tak jauh dari Gedung Pertemuan Graha Sativa. Pada dasarnya, Farid memang tak terlalu menyukai memakai kendaraan pribadi.

Satu lagi kebiasaan si suami yang sudah dimengerti Jamilah: Farid biasanya berada di masjid bukan hanya untuk salat Subuh, tapi berzikir hingga syuruk atau sampai matahari sudah terang bersinar.

Tapi, pagi itu, Farid menghampiri Jamilah untuk memberitahukan dirinya tak seperti biasa.

“Umi, hari ini Abi enggak akan lama-lama di masjid ya, karena mau pergi ke Cirebon.”

“Iya Abi, kopernya sudah saya siapin,” jawab Jamilah.

“Oya mi, siapin juga air minum dan kue ya.”

“Sudah juga bi, ada kue bolu.”

Jamilah tak ikut ke masjid, belum pula ia mengerti bahwa itu adalah pertemuan terakhir mereka untuk jangka waktu lama.

***

“ALLAHU Akbar… Allaahu Akbar…” persis azan Subuh baru saja berkumandang di Masjid Istiqomah, Mamat yang tengah berpatroli melihat satu mobil terparkir di tempat dan dalam kondisi tak lazim.

Daihatsu Luxio hitam yang dilihat Mamat terparkir di pinggiran Jalan Yanatera Raya. Posisinya berada di seberang masjid.

“Biasanya mobil jemaah diparkir di halaman masjid, aneh ini,” pikir Mamat.

Dia tergerak mendekati mobil. Walaupun semua lampunya dipadamkan, mesin minibus itu tetap dinyalakan.

Mamat semakin curiga, lantas mengetuk kaca jendela yang kemudian terbuka.

“Selamat pagi. Ini mau ke mana?”

“Saya lagi nunggu teman saya sholat.”

Lho, tapi kenapa parkir di sini?”

“Enak di sini.”

Mamat lalu memeriksa jok belakang mobil, ada empat orang lain. Wajah orang-orang itu masih muda. Ada yang berperawakan kecil dan besar. Satu-satunya kesamaan mereka adalah berbadan sterek.

“Ya sudah, kalau mau nunggu di sini tolong kacanya dibuka,” perintah Mamat.

“Siap.”

“Soalnya kalau ditutup begini, warga saya bisa curiga. Tolong jaga kenyamanan.”

“Siap! Siap!”

Mamat tak ambil pusing, dia segera berlalu. Dia yakin hakulyakin, rombongan dalam mobil itu bukan pencuri.

“Bahasa dan perawakan mereka justru mirip intel,” kata Mamat, membatin.

Patroli berlanjut, Mamat berputar arah menuju aula atau Gedung Pertemuan Graha Sativa, persisnya di Jalan Yanatera II. Lagi-lagi, dia menemukan mobil terparkir tapi janggal.

Mobil itu bermerek Toyota Kijang berwarna putih. Dari suara mesinnya, Mamat tahu bahan bakarnya solar. Sementara nomor polisi mobil itu bukan asli jakarta, tapi dari Lampung, BE.

Saat ditanya, seisi penumpang menjawab hal yang sama seperti orang-orang dalam mobil Luxio.

“Mau ke masjid.”

Kecurigaan mulai bergelayut dalam pikirannya. Kejanggalan semakin ia rasakan. Subuh itu, Mamat bergegas menghubungi rekannya yang berjaga di pos utama satpam gerbang depan, melapor.

“Hati-hati! Ini kayaknya bakal ada kejadian!"

***

BEGITU selesai salat Subuh, Yunasdi bergegas keluar dan berdiri menunggu di halaman parkir Masjid Istiqomah, Selasa 16 November, belum genap pukul 05.00 WIB.

Sekretaris Jenderal Partai Dakwah Rakyat Indonesia itu tak sendirian, dia ditemani tiga kawan sepuak.

Dia sebenarnya bukan warga kompleks Perumahan Bulog I, tak juga berumah di Bekasi. Kediamannya jauh, di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.

Tapi, karena sudah kadung mengikat janji dengan Ketua Umum PDRI Farid Okbah untuk salat Subuh berjemaah dan bertemu di masjid itu, ia datang untuk menyempurnakannya.

Bakda salat, menurut perjanjian, mereka akan langsung melaju memakai mobil untuk bersafari politik. Cirebon adalah kota pertama yang akan mereka sambangi. Setelahnya barulah ke Yogyakarta, kemudian lanjut ke Solo.

Yunasdi dan Farid memunyai cita-cita yang sama, ingin PDRI bisa lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum sebagai peserta kontestasi politik 2024.

Harapannya, PDRI menjadi wakil partai Islam ideologis, mengoreksi partai-partai sehaluan yang menurut mereka telah tergerus politik transaksional.

Agar bisa seperti itu, bukan pekerjaan mudah. Mereka wajib membangun kantor perwakilan daerah di 34 provinsi, 517 kota, dan minimal 3.600 kantor cabang bawah dalam waktu dua tahun ke depan. Rencana lawatan kali ini juga untuk mengupayakan mimpi tersebut.

Namun, sudah lebih dari tigapuluh menit menunggu, Yunasdi mulai gelisah karena orang yang dinanti-nantinya tak kunjung datang menghampiri.

Yunasdi memutuskan membawa rombongannya ke rumah Farid Okbah. Memakai mobil Toyota Inova Venturer putih, mereka sampai di depan rumah sang ketua pukul 05.30 WIB.

Supaya cepat berangkat, Yunasdi tetap berada di dalam mobil sembari menelepon Ibrahim, putra Farid Okbah.

“Kok Ustaz Farid ditelepon enggak bisa-bisa Im? Coba dong dicekin di rumah. Mungkin ketiduran.”

“Abi sudah pulang Mi?” Ibrahim bertanya ke Ibunya.

“Belum, masih di masjid.”

Ibrahim keluar rumah menemui Yunasdi.

“Masih di masjid Pak Sekjen."

“Ah yang bener? Perasaan tadi sudah keluar dari masjid.”

“Ini buktinya, di rumah enggak ada, Pak Sekjen. Coba aja Pak Sekjen lihat lagi ke masjid."

Yunasdi dan rombongan kembali ke masjid, tapi di sana sudah sepi, tak ada Farid. Dia kembali menghubungi Ibrahim via telepon.

“Ustaz Farid enggak ada di masjid Im.”

Ibrahim kaget sekaligus kebingungan. Begitu pula Umi Jamilah, yang sedari tadi berada di sampingnya, menguping.

“Umi, ini pasti ada yang aneh nih."

***

SEPERTI janjinya kepada sang istri, begitu selesai rakaat terakhir salat Subuh, Farid Okbah langsung berdiri berjalan menuju pintu keluar masjid. Dia tak mau berlama-lama di masjid hari itu, agar bisa segera berangkat bersama Yunasdi.

Dalam masjid sebelum salat, dirinya sempat melihat Yunasdi dan rombongan PDRI. Karena berbeda saf dan berjauhan, mereka hanya menyapa dengan melambaikan tangan.

Masjid Istiqomah memunyai tiga puntu akses. Farid berjalan keluar dari pintu pertama. Yunasdi dan rombongan keluar lewat pintu kedua.

Alhasil, keduanya tak bisa bertemu di halaman masjid. Padahal, Yunasdi hendak mengajak Farid pulang ke rumah memakai mobil agar lebih cepat jalan ke Cirebon.

Farid berjalan kaki pulang ke rumah melalui Jalan Yanatera II. Dia terbiasa pulang melalui jalur itu dari masjid kala subuh, meskipun jalanan tersebut relatif sepi dari yang lain.

Jalan Yanatera II dalam Kompleks Perumahan Bulog I, Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat, tempat terparkir mobil misterius sebelum penangkapan Farid Okbah. [Suara.com/Muhammad Yasir]
Jalan Yanatera II dalam Kompleks Perumahan Bulog I, Jatiwarna, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat, tempat terparkir mobil misterius sebelum penangkapan Farid Okbah. [Suara.com/Muhammad Yasir]

Pada jalur kepulangan Farid, ada mobil Kijang putih yang satu jam sebelumnya sudah terparkir tapi dengan mesin menyala.

Mamat, sekitar pukul 05.00 WIB, sudah kembali ke pos utama di antara pintu gerbang. Saat itu pula, dia melihat mobil Kijang putih keluar dari kompleks. Selang limabelas menit, menyusul mobil Daihatsu Luxio hitam keluar portal.

Pukul 06.00 WIB, Yunasdi dan rombongan duduk di beranda rumah Farid Okbah. Bersama Ibrahim dan Jamilah, Yunasdi berusaha mencari jejak hilangnya sang kawan.

“Ini ada yang aneh nih karena di rumah enggak ada, di masjid enggak ada, keluarga juga enggak tahu,” kata Ibrahim.

“Iya, kok kita telepon-telepon juga enggak aktif,” sambut Yunasdi.

“Abi kalau ke mana-mana pasti ngabarin,” kata Ibrahim, lagi.

Perbincangan mereka terhenti saat ketua RT dan RW setempat datang. Di belakangnya, tiga mobil menyusul, berhenti di depan gerbang rumah.

Satu di antaranya merek Daihatsu Grand Max, di kap mobil tertulis: POLISI.

Hilang Kontak di Afganistan

AWAL tahun 1990, Dee Why sudah menjadi wilayah pinggiran kota terpadat di pantai utara Sidney, Australia.

Daerah itu dikenal sebagai rumah bagi gereja-gereja dari banyak denominasi. Di sanalah kaki Farid Okbah melangkah dari Bekasi, untuk mencari pekerjaan.

Berbekal dua ijazah dari Akademi Bahasa Asing dan keterampilan teknis, Farid diterima menjadi pekerja di pabrik kabel.

Meski sudah terikat pernikahan, Jamilah tetap berada di Indonesia, tak ikut serta. Komunikasi mereka tak terputus. Saban akhir pekan, entah Sabtu atau Minggu, Farid selalu menelepon Jamilah.

Namun, setelah satu setengah tahun merantau, Farid mengungkapkan keinginannya untuk kembali kepada Jamilah via telepon.

“Abi mau pulang saja.”

“Kenapa?”

“Tidak nyaman saja di sini. Tapi sebelumnya, mau umrah dulu.”

Jamilah mengiyakan keinginan Farid, meskipun ia tahu, sang suami sebenarnya tak hanya bekerja mencari uang di sana.

Selama di Australia, sepulang bekerja, Farid biasanya tetap melancarkan dakwah Islam kepada warga setempat.

Farid juga terlibat proyek alih fungsi lahan bekas gereja menjadi Islamic Center. Di lahan itu pula didirikan masjid, dan Farid didaulat menjadi imam.

Akhir 1991, Farid akhirnya benar-benar angkat kaki dari Australia. Namun, rencananya untuk umrah kemudian sedikit tertunda.

“Abi pengin mampir ke Afganistan dulu mi, sebelum umrah.”

“Mau ngapain Abi di sana?”

“Ya mau lihat-lihat aja, pengin tahu situasi Afganistan itu seperti apa.”

Maka, berangkatlah Farid ke Afganistan. Sejak itu pula Jamilah kehilangan kontak dengan sang suami.

Jamilah baru kembali memberikan kabar melalui telepon, empat bulan kemudian. Itu juga Farid menelepon dari Mekkah, Arab Saudi.

Dia mengabarkan akan menunaikan umrah lebih dulu, lalu pulang ke Indonesia seperti janjinya.

“Kenapa Abi hilang kontak? Tak ada kabar?”

“Abi di Afganistan susah, telepon tidak ada.”

“Kan bisa kirim surat.”

“Kantor pos juga tidak ada.”

Sekembalinya ke Indonesia, Farid Okbah melakoni sejumlah pekerjaan sembari menjadi penceramah. Dia baru kembali keluar negeri awal abad milenium.

Tahun 2000, Farid diundang kembali ke Australia untuk memberikan ceramah di masjid yang dulu ia bantu upayakan pembangunannya.

Selang setahun, menara kembar World Trade Center, New York, Amerika Serikat, ambruk ditabrak pesawat komersial yang dibajak teroris Al Qaeda. Sedikitnya 2.500 orang tewas, perburuan terhadap teroris pun dimulai, termasuk anggota Jamaah Islamiyah—afiliasi Al Qaeda—di Indonesia.

Nama Farid Okbah masuk dalam daftar 100 nama yang akan ditangkap, karena dianggap terlibat jaringan Jamaah Islamiyah dan terkait aksi teror 11/9 WTC.

Tak lama, aparat kepolisian mendatangi rumah ketua rukun tetangga kediaman Farid di Bulak Tinggi, Pondok Melati, Bekasi.

“Saya yakin Pak Farid ini bukan teroris, orangnya baik,” kata ketua RT.

Pernah pula Farid dan Jamilah menerima kedatangan aparat kepolisian di rumah. Dari gelagat tetamu, Farid dan Jamilah menduga akan ada penangkapan.

Namun, penangkapan yang mereka khawatirkan tak terjadi, setelah Farid memamerkan plakat bergambar tiga bintang terbitan Mabes Polri.

“Ini saya alhamdulillah diberi kenang-kenangan plakat Indera Waspada Negara Rahardja dari Badan Intelijen Keamanan Polri, sehabis tausiah di sana.”

Tak lama, tetamu itu pamit pulang.

Plakat Indera Waspada Negara Rahardja dari Badan Intelijen Keamanan Polri yang diberikan kepada Farid Okbah. [Suara.com/Muhammad Yasir]
Plakat Indera Waspada Negara Rahardja dari Badan Intelijen Keamanan Polri yang diberikan kepada Farid Okbah. [Suara.com/Muhammad Yasir]

Setelah perburuan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat Jamaah Islamiyah mereda, Farid kembali banyak menerima undangan melawat.

Tahun 2015, ia mengikuti pertemuan ulama dunia di Mesir. Dari sana, ia masuk ke Yordania memakai kapal pesiar dan masuk ke Israel.

Terakhir, 2020, Farid melawat ke Rusia dan dilanjutkan ke Uzbekistan, sebelum akhirnya pulang ke Indonesia dan mendapat tawaran menjadi Ketua Umum PDRI.

Jadi ketua atau sales?

JANUARI 2021, Farid terlibat diskusi serius bersama istri, anak, maupun menantunya saat makan malam.

Bagi Farid, meja makan di rumah bukan sekadar tempat menikmati beragam masakan, tapi juga mimbar diskusi. Mereka terbiasa mendiskusikan banyak hal saat makan bersama.

“Abi sudah lebih 30 tahun berjuang demi Islam di level infrastruktur, baik pendidikan maupun dakwah. Sekarang ada tawaran, abi masuk ke suprastruktur, partai politik.”

“Sebaiknya abi tetap di dakwah saja, biar sahabat lain yang di partai,” pinta Ibrahim, putranya.

Sang istri dan anak-anaknya yang lain juga senada, berharap Farid tak menerima pinangan Partai Dakwah Rakyat Indonesia menjadi ketua umum.

Farid masih menimbang-nimbang, sebab dirinya juga masih memunyai pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan.

Dia tengah bekerja sama dengan pengembang Perumahan Bukit Swiss, untuk menjajakan unit-unit kaplingan. Proyek itu sudah setengah jalan, dan penghasilan Farid dari situ bukannya sedikit.

Hasil diskusi keluarga itu dibawa Farid kepada kawan-kawannya. Namun, mereka berkukuh Farid menjadi Ketua Umum PDRI.

Salah satu yang berkeras adalah Ahmad Cholil Ridwan, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia sekaligus eks Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

“Sangat-sangat kita enggak ada pilihan lain kecuali antum.”

“Coba ke Ustaz Bachtiar Nasir,” jawab Farid Okbah.

Bachtiar Nasir dan tokoh muslim lainnya menolak. Tawaran kembali datang ke Farid Okbah.

“Saya bukan politikus, jadi saya enggak bakal tahu untuk jadikan ini negara,” halus Farid menolak, meski sejatinya dia sarjana Politik Islam.

Dirinya baru luluh dan menerima tawaran itu ketika salah satu petinggi PDRI datang menemuinya.

“Kalau misalnya saya harus mencium kaki Ustaz Farid supaya mau jadi ketua umum, saya akan cium.”

Keputusan Farid  menerima tawaran menjadi Ketum PDRI berdampak terhadap proyek penjualan Perumahan Bukit Swiss. Dia diultimatum pihak pengembang.

“Mau pilih kita tetap kerja sama dengan syarat engkau harus berhenti dari politik, atau engkau pilih PDRI?”

“Ketika saya sudah jadi ketua, enggak ada kata mundur,” kata Farid, tegas.

Nasionalisme, Islamisme, Marxisme

PUKUL 06.00 WIB, Selasa 16 November 2021, sekelompok orang turun dari mobil Daihatsu Grand Max di depan rumah Farid Okbah.

“Kami dari Densus 88 mau menggeledah.”

Mereka menunjukkan surat izin penggeledahan. Surat itu disorongkan ke Jamilah.

“Ini suratnya. Kita diutus negara.”

Jamilah terburu-buru memanggil menantunya, Samih. Dia juga menghubungi Ismar Syarifuddin, kuasa hukum Farid Okbah via telepon.

Samih segera bergabung dengan Jamilah, Ibrahim, dan Yunasdi yang lebih dulu menghadapi Densus 88 di beranda.

“Kalau mau masuk silakan. Tapi tas dibuka di luar,” kata Samih.

Menantu Farid khawatir, bila tas tak lebih dulu dibuka, bisa-bisa ada barang terlarang yang sengaja diletakkan di dalam rumah.

“Baik,” jawab anggota densus.

Samih lantas meminta surat penggeledahan densus dari tangan Jamilah. Dia membaca daftar nama densus yang hari itu dikerahkan untuk melakukan penangkapan sekaligus penggeledahan. Jumlahnya 50 orang.

“Iptu Nova mana?” tanya Samih membaca daftar nama dalam surat izin penggeledahan.

“Saya!”

“Ipda Syahrun mana?”

“Saya!”

“Mana ketua kelompoknya?”

"Ketua kelompok lagi ada penangkapan di tempat lain."

Pada waktu yang bersamaan, Densus 88 juga melakukan penangkapan terhadap dua terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyyah: Ahmad Zain An-Najah dan Anung.

Tiga anggota densus masuk ke dalam rumah Farid Okbah. Sisanya berjaga di depan pintu. Mereka menunggu bersama Yunasdi dan rombongan PDRI. Hanya pihak keluarga yang diperkenankan berada di dalam rumah.

“Mulai dari kamar sini aja,” pinta Ibrahim ke anggota densus, sembari menunjuk kamar depan.

“Enggak usah langsung sini aja,” jawab anggota densus, menunjuk ruang tamu.

“Mana ATM Ustaz Farid, Bank Muamalat sama Bank Syariah Mandiri?”

Anggota densus kemudian menelepon Farid Okbah, setelah terhubung, ponsel diserahkan kepada Jamilah.

“Sudah,kasih saja BSM (Bank Syariah Mandiri) sama bukunya” kata Farid Okbah ke Jamilah.

“Yang Muamalat mana?” tanya densus.

“Enggak ada. Geledah aja sendiri nih di kamar,” jawab Jamilah.

Densus menuju kamar. Namun tiba-tiba dibatalkan. Ternyata ATM Bank Muamalat yang dicari sudah disita dari tangan Farid.

Anggota densus yang lain masih sibuk menggeledah area ruang tamu. Ibrahim merekam aktivitas mereka memakai kamera telepon genggam.

“Mas, mas minta izin dulu enggak ke saya?” tegur densus ke Ibrahim.

“Kenapa?”

“Mas minta izin dulu enggak ke saya?”

Lho ini kan rumah saya!”

“Iya walaupun ini rumah mas, saya di sini melaksanakan tugas.”

Ismar, kuasa hukum Farid Okbah tiba saat Densus 88 masih sibuk menggeledah. Total ada 11 buku yang di sita.

Beberapa buku itu ialah Muhammadyah Itu NU!; Politik Islam Hindia Belanda; Mempersiapkan Kekuatan Umat Islam; Utang Republik Pada Islam; Nasionalisme Islamisme Marxisme; dan, Demokrasi di Bawah Hukum.

Sejumlah buku dan peta yang disita Densus 88 Antiteror Polri dari rumah Farid Okbah. [dokumentasi]
Sejumlah buku dan peta yang disita Densus 88 Antiteror Polri dari rumah Farid Okbah. [dokumentasi]

Selain buku, densus turut menyita peta Perumahan Bukit Swiss.

“Lho, kok peta perumahan disita juga?” tanya Jamilah.

“Alquran aja bisa dijadikan bukti,” kata Ismar, menceletuk.

“Saya juga muslim,” sanggah satu anggota densus, marah.

“Iya muslim yang zalim,” jawab Jamilah.

Di depan rumah, Yunasdi dan rombongan PDRI masih menunggu. Salah satu anggota densus sempat berbincang dengan rombongan Yusnadi.

“Saya juga bingung sebenarnya kenapa disuruh nangkap Ustaz Farid,” kata salah satu anggota densus.

“Maksudnya?”

“Kami tahu Ustaz Farid bisa masuk pemerintahan, masuk istana, bertemu orang-orang hebat. Saya juga bingung. Tapi namanya tugas, jadi mau enggak mau, disuruh, harus nangkap.”

‘Saya bukan istri teroris’

“SAYA bukan istri teroris,” kata Jamilah, Jumat 26 November 2021. Saya melihat parasnya, tegar, tak canggung bercerita.

Kami berbicara di ruang tamu. Duduk di sebelahnya pria berewok, berkaca mata, dengan paras khas Timur Tengah, Ibrahim namanya. Putra Farid Okbah itu sejatinya masih menjadi mahasiswa di Kairo, Mesir.

“Saya biasa-biasa saja ke tetangga, tidak merasa jadi istri teroris. Ketemu orang juga tidak minder.”

Dua hari sebelum suaminya ditangkap, ibu Jamilah—mertua Farid Okbah—meninggal dunia, Ahad, 14 November. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat takziah ke rumah duka.

“Saya lagi dalam perjalanan ke sana, tunggu dulu,” pinta Anies lewat sambungan telepon ke adik Jamilah.

Almarhum sedianya hendak diberangkatkan ke pemakaman tapi ditunda, menunggu kehadiran Anies. Kala gubernur datang, jenazah langsung dibawa ke pemakaman.

“Cuma salaman doang, tidak ngomong apa-apa,” tutur Jamilah.

Anies bukan satu-satunya tokoh atau pejabat yang terabadikan bersama Farid Okbah melalui foto. Mantan penguasa Orde Baru Soeharto, Tito Karnavian, dan Ridwan Kamil, juga pernah berfoto bersama Okbah seperti yang diunggah ke akun Instagramnya.

Pun Jokowi, Farid sempat menemuinya di istana, Senin 29 Juni 2020. Dia datang bersama lima perwakilan lain, salah satunya Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia, Usamah Hisyam.

Farid diajak Usamah karena dinilai mahir berdakwah. Ada lima hal yang disampaikan Farid kepada Jokowi dalam pertemuan itu. Pertama, tegakkan salat dan kebenaran. Kedua, tegakkan keadilan. Ketiga, pilih orang yang tepat. Keempat, basmi korupsi. Kelima, pemerataan ekonomi agar tidak terjadi kesenjangan.

“Saya bicara sama Pak Presiden Jokowi jauh lho dari ajudannya. Ajudannya di sebelah sana, saya bisa bicara empat mata,” cerita Farid Okbah ke keluarga.

Lantaran pertemuan-pertemuan dengan banyak petinggi negara itulah, kelompok-kelompok puritan mengambil jarak dari Farid.

“Dia malah dituduh penjilat, cebong, atau apa,” kata Ibrahim kepada saya.

Jamilah mengimbangi pernyataan putranya, bahwa Farid sebenarnya dijauhi oleh kelompok-kelompok puritan tentang perjuangan politik Islam.

“Saya yakin dan haqulyakin, karena melihat ainul yakin, jadi ya sudah, saya enggak merasa dia teroris.”

“Kalau Abi anggota JI, densus bisa tidak membuktikan kapan dia dibaiat? Siapa yang membaiat? Jangan asal tuduh,” tambah Ibrahim.

***

SELASA, 23 November 2021, pukul 14.00 WIB, keluarga sudah meriung di ruang tengah rumah. Panggilan video yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Mabes Polri memberi kesempatan pihak keluarga bertemu Farid Okbah secara daring.

Dia terlihat sehat. Pria berjenggot itu mengenakan kaos hijau dan celana jogger.

“Abi lebih putih nih karena enggak kena matahari,” kata Farid Okbah.

“Ha-ha-ha-ha,” keluarga di rumah tertawa, tapi rona sedih tetap terpancar dari wajah-wajah mereka.

“Pokoknya Abi kalian ini bukan orang jahat, Abi orang baik. enggak usah gelisah atau sedih.”

“Abi ada Alquran di sana?” tanya Jamilah.

 “Ada. Alhamdulillah aku di sini tiga hari hatam Alquran. Terus nulis-nulis juga.”

Jauh sebelum rentetan kejadian penangkapan, Farid bercerita mengagumi Buya Hamka yang bisa menghasilkan buku Tafsir Al-Azhar dari dalam penjara.

“Insya Allah bisa bebas sebelum persidangan,” kata Farid, optimistis.

Sejak ditangkap, ini momen pertama keluarga diberi kesempatan bertemu Farid Okbah. Upaya mereka menjenguk di Mabes Polri gagal. Penyidik beralasan masih melakukan pemeriksaan intensif.

Jamilah, Ibrahim dan anggota keluarga lainnya sengaja tak banyak bertanya ke Farid Okbah. Mereka tak ingin membebankan. Sadar, Farid masih dalam pengawasan anggota densus.

Mereka hanya diberi waktu 15 menit melakukan panggilan video. Saat waktunya akan berakhir, Farid meminta Jamilah memberikan koper yang awalnya disiapkan untuk pergi ke daerah, diserahkan kepada anggota densus.

Koper berisi pakaian untuk dirinya berasafari ke daerah-daerah itu, akan ia gunakan selama mendekam di tahanan.

“Oh iya umi, nanti kalau densus ke rumah, mereka kasih madu ya, satu-satu.”

“Madu yang mana?”

“Itu madu Saffron, sekilo bisa Rp 700 ribu lah, kasih satu-satu.”

***

MESIN mobil terdengar di depan rumah Farid Okbah, Kamis 25 November 2021. Dua anggota densus masuk ke dalam pekarangan rumah. Satu kawannya menunggu di depan.

Jamilah keluar, menyerahkan koper, kurma, dan Habbatussauda atau biji jintan hitam.

Ibrahim ikut bundanya. Dia menyerahkan semua barang itu ke densus.

Setelahnya, Ibrahim menyodorkan madu Saffron. Empat kilogram madu, sesuai jumlah anggota densus yang datang.

“Ini amanah dari ustaz.”