Munir dalam Ingatan Tukang Bubur, Jejak Sang Martir di Rumah Tak Berpenghuni

Munir dalam Ingatan Tukang Bubur, Jejak Sang Martir di Rumah Tak Berpenghuni


Suara.com - Sudah tujuh belas tahun Munir padam hayat akibat diracun, selama itu pula dalang rajapati di dalam pesawat belum terungkap. Dia mati dalam sunyi udara, tapi orang-orang tidak pernah lupa. Ingatan tentang sang martir pejuang HAM lekat pada sebuah rumah tak berpenghuni di Jatinegara, hingga tukang bubur ayam.

LEKAS-LEKAS saya membuka ponsel setelah mendengar suara berdering, Kamis 9 September 2021, pukul 08.18 WIB. Pesan singkat dari Suciwati: “Pagi juga, Arga. Maaf saya sedang sakit.“

Satu setengah jam sebelumnya, saya mengirimkan pesan singkat ke nomor ponsel Suciwati, “Selamat pagi mbak. Boleh saya tahu alamat rumah mbak dan Cak Munir sewaktu tinggal di Jakarta? Mau liputan.”

Pesan kedua yang dikirimkan Suciwati barulah berisikan jawaban atas pertanyaan saya, "Di Jakarta kami tinggal di rumah milik YLBHI, di belakang Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, itu tahun 1996 sampai 2001.”

Saya langsung tancap gas sepeda motor menuju lokasi itu. Tiba di sekitar kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, saya sempat singgah di sebuah warung kopi.

Setelah memesan minuman, saya langsung bertanya lokasi persis rumah yang pernah dihuni Munir di daerah itu. Emak, demikian pedagang kopi itu akrab di sapa.

"Oh Gang Buntu, itu enggak jauh dari sini. Emang cari rumah siapa?"

"Saya cari kontrakan almarhum Munir, Mak," jawab saya.

"Oh, Munir pengacara yang sudah meninggal? Dulu sering lewat sini, naik motor," lanjut Emak.

Pernyataan yang terlontar dari mulut Emak membikin saya memutuskan untuk terus mengajaknya berbincang soal Munir, sembari menghabiskan kopi tentunya.

Emak memang sudah lama dan berjualan kopi di depan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, lokasi yang tidak jauh dari rumah Munir.

Hanya, dia tidak pernah secara langsung bersinggungan dengan Munir, ingatannya sayup-sayup. Cuma Honda Astrea Grand tunggangan Munir yang masih segar dalam ingatan Emak.

"Kalau saya sih enggak pernah ketemu langsung. Cuma tahu kalau dia (Munir) pernah tinggal di sana. Saya ingatnya dia sering lewat sini naik motor bebek tua gitu."

Setelah sigaret terakhir habis terbakar, saya segera berpamitan. Tidak lupa, lima ribu perak untuk segelas kopi juga saya berikan. Kontak sepeda motor berada pada tulisan on, "Assalamualaikum, Mak."

Rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Rumah tak Berpenghuni

TIDAK besar ukuran rumah yang tak lagi terawat dan berpenghuni di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur itu.  

Beberapa genting atap sudah terlepas, kayu-kayu penyangga rumah juga tampak sudah lapuk. Sejumlah tanaman yang menjulang tinggi, tumbuh bebas persis di depan pintu rumah.

Saya celingak-celinguk, mencoba mengintip lewat kaca. Gelap, tidak ada barang-barang yang tersisa di dalam rumah. Tiba-tiba seorang lelaki yang berada di depan rumah bekas kontrakan Munir menyapa.

"Cari siapa, Mas?"

"Cari rumah yang pernah ditempati Munir, Mas," kata saya.

Namanya Arifin, lahir di Bumiayu, Jawa Tengah, 37 tahun silam. Sehari-hari, Arifin bekerja sebagai pedagang bubur ayam keliling.

Sudah satu tahun ke belakang Arifin dan rekan-rekannya dalam skena bubur ayam, tinggal di sana, sebuah kontrakan percis depan rumah tak berpenghuni yang pernah ditempati Munir dan Suciwati.

"Saya dan teman-teman baru satu tahun di sini, sebelumnya ngontrak di Prumpang."

Meski belum lama tinggal di daerah itu, dia sudah mengetahui rumah tak berpenghuni tersebut pernah ditempati Munir dan Suciwati, juga Sultan Alief Allende—anak pertama mereka.

Arifin mengakui, sewaktu pertama kali pindah, sempat heran terhadap rumah tak berpenghuni tersebut. Barulah ketika bertanya ke warga yang sudah lama tinggal di daerah itu, dia mengetahui riwayat orang yang menempati kediaman tersebut.

"Jebule, omah kie, kantore Munir,” kata Arifin dalam bahasa ngapak—Ternyata rumah itu kantornya Munir.

Barang sedikit, Arifin mengetahui kasus pembunuhan Munir. Tragedi itu terjadi tahun 2004, saat Arifin kali pertama merantau ke Jakarta. Arifin datang dari Bumiayu ke ibu kota untuk bekerja, berjualan bubur ayam.

"Aku cuma tahu Munir meninggal pas lagi di pesawat. Selebihnya aku tidak tahu. Hanya lihat sepintas saja berita di TV.”

Arifin lantas merogoh saku celananya. Dia meraih ponsel genggam dan memilih aplikasi YouTube. Pada papan klip, dia mengetik: Kasus Munir.

Seketika, banyak pilihan video pemberitaan soal kasus kematian Munir memenuhi layar ponsel genggam Arifin.

Salah satu video yang dipilihnya berjudul “Konfrensi Pers 17 Tahun Kematian Munir” yang tayang di kanal Jakartanicius, 7 September 2021—kebetulan, saya ikut meliput diskusi daring tersebut.

Mahasiswa mengikuti aksi refleksi 17 tahun kematian Munir di depan Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/9/2021).  ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Mahasiswa mengikuti aksi refleksi 17 tahun kematian Munir di depan Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/9/2021). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

"Hari ini, saya kira, kita perlu menegaskan, bahwa kasus kematian Munir adalah sebuah kejahatan politik, pembunuhan politik," kata usman Hamid, aktivis Amnesty International Indonesia dalam video tersebut.

Setelahnya, Arifin antusias berbicara lebih lanjut. Satu kata yang keluar dari mulutnya cukup menyentil, "Kalau Munir saja bisa dibunuh, apalagi kita, orang biasa."

Arifin mengakui sempat penasaran dan akhirnya suatu ketika masuk ke rumah yang dulu sempat dihuni Munir.

Waktu itu dia berharap ada buku Munir yang tersisa di dalam. Namun harapannya pupus, sama sekali tidak ada barang di dalam rumah, apalagi buku.

"Sapa ngerti ana buku, jebule langka (Siapa tahu ada buku, ternyata tidak ada). Sepemahamanku, Munir kan aktivis, pasti bukunya banyak," kata Arifin seraya tertawa.

"Ana pirang kamar, Kang? (Ada berapa kamar, Kang?)," tanya saya.

"Ana telu nek ora salah. Nang njero wis langka apa-apa (Ada tiga kamar kalau tidak salah, di dalam sudah tidak ada apa-apa).”

Sependek pengetahuannya, Arifin menilai kasus kematian Munir begitu mengerikan. Dia berharap, aktor intelektual pembunuhan keji itu dapat segera terungkap.

"Kalau aku sih berharap kasus kematian Munir bisa terungkap secara jelas. Ini aku baru tahu lho, ternyata Munir dibunuh dengan cara yang seram, sistematis banget," kata Arifin.

Arifin tidak bisa berlama-lama menemani saya, karena masih ada tanggung jawab yang harus diselesaikan, yakni berjualan bubur.

Saya kemudian berpamitan dan beranjak mencari warga yang pernah bersinggungan dengan Munir.

Setelah sempat berkeliling, saya tidak menjumpai warga yang pernah memunyai cerita pribadi dengan Munir.

Kebanyakan dari mereka—dengan ingatan yang sayup-sayup—hanya mengetahui Munir pernah tinggal di sana. Selebihnya, tidak.

Kenangan rumah

DUH, gak terawat ya,” kata Suciwati melalui pesan singkat, setelah saya kirimkan potret rumah yang dulu ia tempati bersama Munir.

Selang satu jam, ponsel saya berdering. Suciwati menelepon. Akhirnya kami berbicara panjang lebar tentang Munir.

Tahun 1996, sekitar bulan Januari, Munir Said Thalib tinggal di rumah tersebut, sedangkan Suciwati menyusul enam bulan kemudian.

Saat itu keduanya belum menikah, Munir sudah bekerja untuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI yang berkantor di Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 74, Menteng, Jakarta Pusat.

"Iya, Cak Munir pindah duluan karena dia sudah direkrut ke YLBHI awal-awal, sebelum aku menikah sama dia," kata Suciwati.

Jatinegara menghadirkan memorabilia bagi Suciwati. Banyak kenangan yang tidak bisa dituturkan satu demi satu. Meski tidak lama, kurang lebih lima tahun, rumah tersebut adalah adalah bagian dari kerja-kerja kemanusiaan Munir.

Rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Foto rumah yang saya kirimkan, menyeret ingatan Suciwati kepada sejumlah nama: dari Bu Hadi hingga Rahmat; dari ikan arwana hingga tempat singgah bagi mereka yang sempat dihilangkan oleh negara.

Suciwati bercerita, awalnya rumah tersebut juga ditempati sejumlah rekan Munir di YLBHI. Bahkan, rumah itu juga dijadikan tempat singgah bagi mereka yang sempat diculik rezim Soeharto.

Pada 1998, Munir mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, organisasi advokasi hak asasi nanusia.

"Awalnya, rumah itu ditempati orang-orang bagian kliping. Orang-orang dari luar kota juga tidur di situ, termasuk kawan-kawan korban penculikan, begitu dibebaskan, disembunyikan di situ. Istilahnya rumah singgah atau tempat aman," kata dia.

Seingat Suciwati, ada empat kamar dalam rumah itu. Dia bersama Munir menempati satu kamar di bagian depan. Tiga kamar lainnya ada di bagian belakang, yang kerap dipakai kawan-kawan mereka.

"Sekitar itu pokoknya, cukup luas kamarnya.”

Di kawasan Jatinegara pula, Munir dan Suciwati mendapat karunia lahirnya buah hati pertama, Alif.

Alif lahir di Rumah Sakit Umum Persahabatan, Jakarta Timur medio 1998. Sedangkan Diva Suki Larasati, putri kedua mereka, lahir di Batu, Jawa Timur, 2002 setelah pindah dari rumah tersebut.

Dilindungi tetangga

AKTIVITAS Munir sebagai pejuang HAM dan pengacara publik bagi kaum miskin, tentu memunyai banyak risiko. Salah satunya, rumah di Jatinegara tempat mereka berdiam, sering disambangi orang-orang misterius berambut cepak yang diduga intel.

Intel-intel tersebut kerap bertanya kepada tetangga Munir dan Suciwati yang bernama Bu Hadi.  Warga sekitar rumah mengenal Munir sebagai aktivis. Terlebih, wajah Munir sering tampil di layar kaca dan berbicara soal HAM.

Karena sudah mengetahui siapa Munir, terlebih tahu soal kerja-kerja kemanusiaannya, tetangga sudah mafhum.

Jika ada intel datang dan bertanya kepada mereka, terutama Bu Hadi, akan menjawab seadanya, bahkan lebih sering memberikan perlindungan kepada Munir.

 "Jadi tetangga itu sudah mengerti, seringkali jawabnya ya suka-suka, karena kan mereka tahu kami, kenal kami juga. Jadi tetangga itu kebanyakan melindungi kami. Setelah intel pergi, mereka menginformasikan kepada kami,” kenang Suciwati.

Rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Munir, bukankah maut tidak menakutkan?

MENGENDARAI sepeda motor bebek Honda Astrea Grand, Munir hampir setiap hari bolak balik Menteng - Jatinegara. Suatu ketika, sepulang dari kantor YLBHI, Munir diikuti orang misterus.

Suciwati menduga orang yang mengikuti suaminya dari kawasan Salemba kala itu adalah tentara. Tepat di belokan menuju Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, tingkah si penguntit semakin menjadi-jadi.

Hentakan klakson secara berulang yang dilakukan orang tersebut membikin darah Munir mendidih. Tepat di lampu merah, Munir menepi, memarkirkan sepeda motornya, dan seketika menantang orang tersebut.

"Katanya ada tentara juga yang melerai. Tapi kayaknya dia diikuti. Itulah ceritanya. Kami ketawa-ketawa saja sih," kata Suciwati.

Dulu, Munir sempat berdiskusi dengan Suciwati untuk pindah rumah ke kawasan Cijantung, Jakarta Timur, karena harganya terbilang murah. Tapi, keinginan Munir ditolak Suciwati dengan alasan keamanan.

"Aku mikir, bilang ke Cak Munir, kalau cari rumah di situ tuh, kalau kamu pulang malam dan sebagainya. Apalagi di Cijantung. Enggak deh aku bilang. Kamu tahu kan? He-he, jangan deh," ucap dia.

Arwana dan burung kenari

MUNIR hobi memelihara hewan. Saat tinggal di Jatinegara, terdapat dua akuarium, satu di ruang tamu berisikan ikan arwana dan lainnya di halaman rumah tempat ikan hias berukuran lebih kecil.

Suciwati mengatakan, hobi sang suami memelihara hewan itu untuk melepas stres selepas bekerja. Tidak jarang Munir kerap mampir ke pasar hewan dekat Stasiun Jatinegara untuk membeli ikan hias.

"Cak Munir suka melihara hewan, itu bagian dari cara dia melepas stres. Dia sering membeli ikan peliharaan juga dekat Stasiun Jatinegara.”

Suciwati juga mengenang sosok Rahmat, anak Bu Hadi yang merupakan tetangganya di Jatinegara. Jika Munir dan Suciwati pulang kampung ke Jawa Timur, Rahmat yang kerap merawat hewan peliharaan tersebut.

"Dia (Rahmat) juga sering banget, kalau kami pulang ke Malang, pulang kampung, kami minta tolong untuk jaga rumah. Cak Munir lebih dulu mengajari Rahmat soal memelihara ikan."

Juli 2001, Suciwati pindah dari rumah kontrakan milik YLBHI di Jatinegara ke Batu, Jatim. Sedangkan Munir pindah ke kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Waktu itu, Munir bersama aktivis YLBHI sempat mendirikan stasiun radio Voice of Human Right (VHR). Kantornya ya di kontrakan Munir itu pula.

Setelah Diva lahir tahun 2002, Suciwati bersama Munir pindah ke rumah kontrakan Perumahan Jaka Permai, Bekasi, Jawa Barat. Mereka tinggal di sana hingga 2004.

Suciwati mengatakan, sebenarnya dia bersama Munir mengontrak rumah itu hingga tahun 2005.

Namun, karena Munir dibunuh dalam penerbangan GA-974 dengan tujuan Jakarta - Amsterdam, Suciwati menyudahi kontrak di rumah tersebut.

"Pemilik rumahnya baik, jadi dikembalikan uang sisa kontrakannya.”

Selama tinggal di Bekasi, teror juga kerap menyasar Munir dan keluarga. Suatu ketika, mercon berukuran besar diledakkan di depan rumah.

Munir saat itu sedang tidak berada di rumah, melainkan di Bangkok, Thailand, menghadiri sebuah acara. Suciwati hanya bersama Alif dan Diva.

"Mercon besar, sampai pecah semua kaca rumah. Alif sampai trauma.”

Stiker di pintu rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Stiker di pintu rumah yang sempat dikontrak almarhum Munir dan Suciwati di Jalan Bekasi Timur IV, Gang Buntu, Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Dipotret Kamis (9/9/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Harapan masih membara

TUJUH September, tujuh belas tahun silam, Munir Said Thalib dibunuh. Namun hingga kekinian, dalang di balik rajapati dalam penerbangan itu tak kunjung terungkap.

Kepolisian, dalam kasus ini, menetapkan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi tersangka pembunuhan pada 18 Maret 2005, serta menyeret nama mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR.

 Pengadilan kemudian memutuskan Pollycarpus bersalah dan dihukum penjara selama 14 tahun. Dirinya bebas bersyarat pada 28 November 2014, lalu bebas murni pada 29 Agustus 2018.

Ada hal yang cukup memprihatinkan dalam upaya mencari keadilan bagi Munir. Dokumen TPF kasus Munir dikabarkan lenyap. Merujuk pada keterangan Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretaris, Dadang Wildan, pihaknya mengklaim hingga kini tidak memunyai dokumen tersebut.

Dadang mengakui, setelah menerima dokumen dari TPF kasus Munir, Kemensesneg langsung melaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diserahkan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti.

"Sesneg juga tidak memiliki dan menguasai, tidak mengetahui keberadaan informasi dari hal tersebut, dari dokumen itu (TPF)," ujar Dadang dalam diskusi webinar, Jumat 11 Desember 2020.

Pada 23 November 2004, Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat menjabat presiden sempat mengeluarkan Perpres Nomor 111 Tahun 2004 tentang Tim Pencari Fakta kasus Munir.

Dokumen TPF kemudian diserahkan kepada SBY pada 24 Juni 2005. Namun, tiba-tiba, dokumen hasil penyelidikan yang belum pernah diungkap ke publik itu hilang, persisnya pada Februari 2016.

Usman Hamid, yang juga tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas untuk Munir atau KASUM, dua hari lalu dalam diskusi daring menyatakan, sebenarnya kepastian soal laporan TPF dalam bentuk dokumen itu telah diterima oleh negara, lebih khusus lagi kantor presiden, telah dikonfirmasi oleh jajaran pemerintah pada masa kepresidenan SBY.

Masih segar dalam ingatan Usman, bahkan masyarakat luas, polemik dokumen TPF ini mengemuka di media massa, mantan menteri-menteri di era pemerintahan SBY berkumpul di Cikeas. Usman menyebutkan, mereka semua mengonfirmasi dokumen TPF Munir telah diserahkan dan diterima Presiden SBY dalam sebuah pertemuan resmi.

Dalam pertemuan itu, juga terdapat para petinggi pemerintah mulai dari Kepala Badan Intelijen Negara, Menkopolhukam, Menkumham, hingga Sekretaris Negara, dan Sekretaris Kabinet.

Tak hanya itu, eks Jaksa Agung Abdurahman Saleh yang juga ada dalam pertemuan, mengonfirmasi pernah menerima dokumen TPF  saat masih menjabat sebagai orang nomor satu di Korps Adhyaksa.

Abdurahman Saleh juga pernah menegaskan dokumen yang sama telah digunakan dalam mengajukan atau mendorong tuntutan terhadap beberapa orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan Munir, yakni mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwopranjono dan mantan Direktur Utama PT Garuda, Indra Setiawan.

Dalam laporan itu,  ada perihal proses kerja pencarian fakta yang dilakukan oleh TPF. Mulai dari tempat kejadian perkara (TKP), yaitu di dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia, sampai orang-orang yang diduga terkait, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN).

Hal itu disebut Usman menjadi obyek pencarian fakta, yang kemudian menghasilkan sejumlah temuan. Temuan tersebut berisi tentang bagaimana pandangan atau kesimpulan dari TPF terhadap keseriusan kepolisian dalam memproses hukum kasus kematian Munir.

Dalam konteks ini, laporan tersebut juga memuat soal ketidakmauan BIN untuk sepenuhnya membuka akses pada dokumen yang relevan, keterlibatan orang-orang BIN, hingga BIN untuk menghadirkan mantan para petingginya di hadapan TPF.

Menurut Usman, keseluruhan proses yang tidak sempurna itu semakin menunjukkan ada hal yang tidak beres dalam lembaga negara, dalam hal ini PT Garuda Indonesia dan BIN.

Dia melanjutkan, TPF turut membeberkan sejumlah kejanggalan fakta, seperti hubungan antara orang-orang di TKP; orang-orang yang berada di lingkungan PT Garuda Indonesia; hingga, orang-orang di lingkungan BIN.

Jalinan semacam itu, kata Usman, bisa terlihat dari proses surat menyurat yang janggal; sambungan telepon; hingga, kesaksian-kesaksian yang belakangan diperoleh dari pengakuan beberapa orang kunci di PT Garuda Indonesia.

 "Termasuk Indra Setiawan, yang percakapannya ketika itu terekam bahkan terekpose dalam persidangan, dan menunjukkan penempatan orang-orang yang terlibat di dalam pembunuhan Munir di tempat kejadian perkara, merupakan kepanjangan tangan dari Badan Intelijen Negara," sebut Usman.

Dia juga menyayangkan rekomendasi dari TPF yang baru ditindaklanjuti sebagian oleh aparat penegak hukum. Misalnya rekomendasi tentang kasus Muchdi PR, dan untuk memeriksa Kepala BIN saat itu, AM Hendropriyono.

"Pada titik itulah saya kira usaha untuk mendorong kembali proses hukum. Misalnya mengajukan peninjauan kembali atau PK atas dibebaskannya Muchdi Purwopranjono menjadi keharusan sebenarnya oleh pemerintah," tegas Usman.

Suciwati berpendapat, selama tidak ada keadilan bagi Munir, tidak ada istilah kedaluarsa dalam kasus kematian sang suami.

Secara tegas, Suciwati menilai kasus kematian Munir adalah pelanggaran HAM berat. Sebab, pembunuhan Munir melibatkan instrumen negara.

"Buat aku tidak ada istilah kedaluarsa selama keadilan itu tidak ada," ungkap Suciwati.

***

HAMPIR dua puluh menit saya dan Suciwati berbicara melalui sambungan telepon. Setelahnya, saya kembali mengirimkan foto kepada Suciwati.

Objek foto itu adalah stiker yang tertempel pada pintu di rumah yang sempat menjadi tempat tinggal Suciwati dan Munir di Jatinegara.

Suciwati mengakui terkejut karena mengenali stiker tersebut.

"Ha-ha-ha yang nempel aku itu.”

"Masih paten mbak, ndak terkelupas," balas saya.

"Mantap!! 23 tahun sudah, seumuran Alif," kata Suciwati.

Stiker yang saya potret itu bergambar pita putih dan memuat tulisan: Stop kekerasan, titik.