Transpuan Kala Pandemi, Si Paria yang Terserak dalam 6 Babak

Transpuan Kala Pandemi, Si Paria yang Terserak dalam 6 Babak


Suara.com - Mereka sudah ada di Nusantara sejak ribuan tahun silam, tapi laju sejarah justru membuatnya menjadi paria di negeri sendiri. Lebih-lebih ketika wabah menyerang, mereka semakin terasingkan. Maka, semakin banyak lah cerita kesengsaraan transpuan.

NUKE HERAWATI semringah dan berderap hendak memasuki Stasiun Duri, Jakarta Barat. Sementara dalam benaknya, ia mulai berhitung, berapakah penghasilan yang bakal didapat hari itu sebagai pengamen.

Sejak dari kontrakan, pikirannya membuncah. Ada banyak urusan yang menunggu untuk diselesaikan, terutama soal makan dan sewa indekos.

Sudah lama dia ingin kembali merasakan nikmatnya makan tiga kali sehari, tak peduli apa pun lauknya.

Ia juga ingin tidur nyenyak malam nanti, setelah banyak berjalan menjajakan suara. Tapi sudah agak lama tidurnya terganggu, tak enak kepada induk semang, karena menunggak sewa beberapa bulan.  

Semua karena pandemi yang menyebabkan panghasilannya drastis menurun. Tapi sembari terus melangkah menuju peron stasiun, Nuke berharap semoga ini yaum adalah hari keberuntungannya, yakni bisa membawa pulang uang yang ‘lumayan’.

Sejak sebelum pandemi covid-19, Stasiun Duri selalu menjadi pilihan Nuke setiap berangkat bekerja ke wilayah Tangerang, Banten.

Tak perlu pandai matematika untuk Nuke mengetahui bahwa kereta rel listrik atau KRL, adalah angkutan paling murah untuk pengamen Jakarta ke Tangerang.

Nuke sebenarnya tinggal di Kampung Duri dan bisa saja pergi ke sudut-sudut lain kota Jakarta yang lebih ramai, sehingga semakin banyak pula receh didapat.

Tapi, Nuke dan teman-temannya sudah lama mahfum, Jakarta dipenuhi marabahaya bagi kaum seperti mereka. Karena itulah, Nuke sengaja selalu hijrah ke Tangerang kala bekerja.

Sebab Tangerang, menurut Nuke lebih ramah untuk orang-orang seperti dirinya: transpuan.

Berat di ongkos

LELAKI berseragam petugas keamanan dalam atau PKD mengadang, menghentikan langkah Nuke di depan peron.

Berjubel masalah yang tengah dipikirkannya menghilang, beralih menjadi keheranan. Dia pikir, mungkin hanya pemeriksaan biasa, tak jadi soal.

Sebab Nuke sudah menyiapkan segala tetek bengek persyaratan agar bisa menggunakan KRL saat PPKM.

“Maaf, tak boleh masuk,” kata lelaki itu.

Lho, kenapa?” sergah Nuke.

“Saya ada surat dari RT/RW. Fotokopi KTP juga ada. Surat keterangan vaksin ada kok ini.”

“Ya tetap tidak boleh masuk.”

“Sana, cari angkutan lain saja.” 

Nuke tak kuasa untuk berbantahan lagi, sebab menurutnya percuma. Dia yakin hakulyakin, yang dipersoalkan lelaki itu adalah dandanannya.

Keyakinannya itu bertambah kuat, sebab hanya selemparan batu dari tempatnya berdiri, Nuke melihat banyak perempuan yang berbusana seperti dirinya tak mendapat pengadangan serupa.

Lain hari, Indriani Jabluk—transpuan teman Nuke—juga mendapat pengalaman pahit yang sama di Stasiun Duri.

Segendang sepenarian dengan Nuke, Indriani sempat mendebat PKD karena dilarang menaiki KRL hanya karena dandanannya.

"Tidak boleh masuk,” kata PKD, ketus.

“Alasannya apa pak?”

“Cari angkutan lain saja.“

“Ya alasannya apa dong. Kan saya sama kayak yang lain, pakai surat domisili, surat vaksin, kok cuma saya doang yang enggak bisa. Apa karena penampilan saya kayak begini?“

“Pokoknya enggak bisa!“ kata PKD itu memungkasi.

Nuke, Indriani, dan transpuan pengamen lainnya yang setujuan dengan mereka, terpaksa menyewa mobil angkutan kota setiap hendak bekerja ke Tangerang.

Tentunya mereka harus mengeluarkan lebih banyak uang. Dari Kampung Duri ke Tangerang, mereka harus menyewa angkot Rp 50 ribu.

Harga sewa itu hanya untuk sampai ke titik perbatasan Jakarta – Tangerang. Selanjutnya, mereka masing-masing harus membayar Rp 7 ribu untuk menumpangi angkot dari Tangerang ke titik dimulainya mengamen.

Sebelum pandemi, dengan menggunakan KRL dari Stasiun Duri ke Tangerang, masing-masing transpuan hanya butuh biaya Rp 6 ribu.

Nuke dan Indriani sama-sama merasakan kekecewaan karena terdiskriminasi. Padahal, mereka sama seperti orang lain yang penghasilannya tergerus karena pandemi.

“Ya intinya ada diskriminasi begitu. Semua persyaratan sudah ada, apa lagi, makanya bingung,” kata Indriani, Minggu, 15 Agustus 2021.

"Tetap saja kita tidak diperbolehkan naik kereta karena penampilan seperti ini. Mereka yang ibarat kata perempuan normal, laki-laki normal, apa begitu, bisa masuk,” kata Nuke menimpali.

Transpuan yang bekerja sebagai pengamen di Tangerang. [Suara.com/Ria Rizki Nirmala Sari]
Transpuan yang bekerja sebagai pengamen di Tangerang. [Suara.com/Ria Rizki Nirmala Sari]

Rela Dipukuli demi menumpang tidur

FIFI Kimang sudah lama menghuni petak indekos di Kampung Duri. Ada banyak kesusahan maupun kesenangan yang ia lewati di kawasan itu bersama teman-temannya.

Sedikitnya ada delapan puluh transpuan, baik yang berusia muda hingga lanjut usia, bermukim di Kampung Duri.

Tak sedikit yang sendirian menempati petak indekos. Ada pula yang menyewa rumah kontrakan berukuran sempit, secara bersama-sama. Biaya sewa indekos bervariasi, mulai dari Rp 265 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan.

Bertahun-tahun mereka hidup senasib sepenanggungan sebagai waria. Di tengah keterbatasan pilihan pekerjaan, mereka berusaha tetap hidup di ibu kota.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ada yang bekerja sebagai pengamen. Sebagian lainnya berprofesi menjadi penata rias bagi pekerja klub malam.

Tak banyak uang yang dihasilkan dari dua macam pekerjaan itu. Tujuan mereka mencari nafkah sesederhana hidup mereka, yakni agar perut tidak keroncongan dan bisa tidur di ruang tertutup, sehingga keesokan hari bisa kembali bertarung dengan persoalan yang sama.

Dulu, sewaktu muda, Fifi bekerja sebagai pengamen. Tapi ketika sudah lanjut usia, dia melakukan pekerjaan apa pun yang bisa menghasilkan sedikit uang. Sering juga dia tidak bekerja.

Kehidupannya semakin runyam ketika pandemi covid-19 menerpa. Sama seperti teman-temannya yang lain, pembatasan kegiatan dan kebijakan lain pemerintah, membuat penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Sebelum pandemi, Fifi masih bisa mencari uang untuk tiga kali makan sehari dan membayar sewa bulanan indekos.

Tapi kini, jangankan membayar sewa kontrakan, agar bisa makan tiga kali sehari pun Fifi tidak mampu.

Menunggak bayaran sewa kontrakan selama satu bulan atau tiga bulan, sudah menjadi hal jamak bagi transpuan di Kampung Duri saat pandemi.

Sebagian transpuan berhasil mencicil membayar tunggakan, ada juga yang terpaksa meninggalkan kontrakan. Fifi termasuk dalam golongan yang terakhir disebut.

Ketika tak lagi menyanggupi membayar sewa, Fifi harus angkat kaki dari indekos. Terpaksa ia membawa tubuh tuanya menggelandang di sekitaran Pasar Duri.

Catatan utang makan Fifi semakin panjang di salah satu warung. Kalau malam tiba dan ingin tidur, dia terlebih dulu mencari los dagangan yang kosong di pasar tersebut.

Semangat hidupnya tetap menyala, tapi apa daya, tubuh tuanya tak lagi bisa diajak kompromi untuk hidup luntang-lantung di pasar.

Fifi Kimang, transpuan berusia lansia di Jakarta. [Suara.com/Ria Rizki Nirmala Sari]
Fifi Kimang, transpuan berusia lansia di Jakarta. [Suara.com/Ria Rizki Nirmala Sari]

Dengan membawa satu tas isi perkakasnya yang tersisa, Fifi akhirnya mendatangi Rikky Muhammad Fajar, untuk meminta pertolongan.

Rikky adalah Ketua Sanggar Seroja, semacam paguyuban seni yang mengasuh banyak transpuan.

“Dia sudah satu pekan terakhir tinggal di pasar, itu berdasarkan catatan utang di warung,“ kata Rikky.

Sanggar Seroja kerap menolong transpuan yang berkesusahan melalui tabungan darurat, termasuk Fifi. Sejauh ini, Rikky membantu Fifi dengan memberikan makan dua kali sehari.

Catatan utang Fifi Kimang, transpuan berusia lansia di Jakarta, di salah satu warung. [Suara.com/Ria Rizki Nirmala Sari]
Catatan utang Fifi Kimang, transpuan berusia lansia di Jakarta, di salah satu warung. [Suara.com/Ria Rizki Nirmala Sari]

Fifi sempat berbicara kepada Rikky, kalau sudah tak lagi sanggup hidup seperti itu, maka satu-satunya jalan adalah menumpang ke tempat sang kakak.

“Enggak apa-apa deh digebukin, asal bisa menumpang sementara,“ kata Fifi kepada Rikky.

Meninggal tak terobati

CLARISSA bergeming meski teman-temannya terus membujuk agar mau pulang ke rumah keluarga. Saking berkukuhnya, dia bahkan memilih mengurung dirinya di dalam kamar.

“Biarlah saya di sini saja, bersama kalian.”

Padahal, tulang-tulang rusuk Clarissa semakin kentara karena tubuhnya kurus kering digerogoti penyakit yang tak terobati. Daya tahan tubuhnya juga kian melemah.

Pandemi, tidak hanya menyulitkan transpuan mencari penghasilan, tapi juga akses pengobatan rutin mereka.

Transpuan di Kampung Duri kerap mendapatkan akses pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi setiap 3 bulan sekali dari dokter yang datang.

Namun, setelah pandemi dan diterapkan pembatasan kegiatan seperti PSBB dan PPKM, layanan pengobatan itu otomatis terputus.

Selain dari dokter keliling itu, transpuan sulit mendapatkan akses pengobatan. Sebab, mereka harus ke fasilitas kesehatan sesuai kartu identitas yang dimiliki demi obat.

Tentu itu bukan hal mudah bagi mereka yang rata-rata adalah pendatang dan miskin. Selain jarak yang jauh, biaya perjalanannya terbilang mahal.

Padahal, untuk kasus Clarissa, dirinya harus mendapat asupan rutin terapi antiretroviral atau ARV agar bisa bertahan dari HIV.

Karena pengobatan rutin terputus, Clarissa akhirnya tak lagi kuat dan meninggal dunia. Selain dia, satu transpuan lain yang  berpenyakit sama dan meninggal dunia adalah Ade. Keduanya meninggal pada masa awal pandemi, 2020.

Namun, kesengsaraan Clarissa tak juga putus ketika padam nyawa. Keluarga sempat menolak mengurus jenazahnya setelah mengetahui kesemua itu memerlukan biaya.

Ayah tirinya mengakui tidak sanggup membayar biaya pengurusan jenazah hingga pemakaman Clarissa.

Tapi, sang ayah juga tak mau menandatangani surat ketidaksanggupan, yang menjadi syarat agar jenazah Clarissa bisa diurus pemerintah secara gratis.

Echa Waode, pendamping hukum, akhirnya ikut menengahi dengan terus membujuk keluarga Clarissa agar menandatangani surat itu, sehingga jenazah bisa segera dimakamkan.

Belakangan, teman-temannya baru mengetahui alasan sebenarnya Clarissa enggan berurusan dengan keluarga, apalagi pulang ke rumah.

"Clarissa ternyata trauma kalau pulang ke rumah, karena akan dikurung dan diancam dibotakin oleh bapaknya," kata Rikky.

Tak ada bansos, berutang ke rentenir

PENOLAKAN pihak keluarga bukan kisah baru bagi transpuan. Tidak sedikit yang terpaksa pergi dari rumah, karena keluarga tidak bisa menerima mereka.

Itu juga yang menyebabkan banyak transpuan tumbuh besar bersama rasa ketakutan terhadap lingkungan hidupnya sendiri.

Bahkan, mereka terbiasa tidak mau mencari bantuan dari pihak lain, hanya mengandalkan solidaritas di antara transpuan sendiri.

Rikky tidak menampik ada transpuan yang ogah-ogahan mengurus bantuan sosial di tengah pandemi covid-19.

Sebab mereka sudah duluan pesimistis bakal mendapat bantuan, karena berpengalaman bertahun-tahun hidup tanpa perhatian pemerintah.

Pesimisme mereka terbukti, setelah hanya satu transpuan di Kampung Duri yang mendapatkan bantuan sosial covid-19.

Tahun lalu, pengurus RT maupun RW di Kampung Duri sudah mendata para transpuan agar bisa diajukan mendapat bantuan pemerintah.

Tapi mayoritas dari mereka tak mendapat bantuan. Satu-satunya transpuan yang mendapat bansos adalah Pandan Wangi, warga asli Kampung Duri.

Jelas para transpuan dibuat kebingungan atas mekanisme penyaluran bantuan di daerahnya itu. Menurut Rikky, kondisi seperti itu terus terjadi bahkan hingga kekinian.

Padahal, sekecil apa pun bantuan, sangat berarti bagi transpuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan hanya bisa mengantongi pemasukan sangat minim dari usahanya mengamen hingga ke Tangerang.

Untuk mendapatkan Rp 100 ribu per hari, bukan hal mudah bagi transpuan. Bahkan mereka pernah mendapatkan uang yang hanya cukup untuk ongkos pulang.

Serasa menelan pil pahit, para transpuan tidak jarang berusaha meminjam uang kepada teman hingga rentenir.

“Bukan untuk berfoya-foya, yang mereka lakukan itu demi bisa bertahan hidup di keesokan hari,” kata Rikky.

Pelecehan kala pandemi

ELSA Citata bergegas, sedikit berlari, menghindari anak-anak kecil yang terus mengejar sembari menusuk-nusukkan lidi ke tubuhnya.

Percuma Elsa memarahi anak-anak itu, yang ada malah bisa-bisa dirinya dimarahi bahkan dipukuli orang dewasa setempat.

Dia sudah tak memedulikan penghinaan seperti itu. Elsa sudah kapalan, sama halnya seperti dia menahan lapar yang nyaris setiap hari menyerang.

Satu-satunya yang membuatnya syok setengah mati adalah pelecehan seksual ketika mengamen.

Saat mengamen di satu daerah, ada sekelompok lelaki memanggilnya untuk bernyanyi. Mereka menjanjikan uang saweran.

Elsa senang, jarang-jarang ada orang banyak meminta dihibur oleh dirinya. Maka bernyanyilah dia hingga lagu terakhir, di hadapan para lelaki itu.

“Yuk neng, ikut abang dulu,” kata salah satu lelaki itu.

Elsa lantas mengikuti langkah lelaki itu ke tempat yang lebih sepi dan temaram. Elsa tak berburuk sangka, dia mengira lelaki itu hendak mengambil uang untuk membayarnya.

Namun, sesampainya di tempat sepi, Elsa dipeluk dari belakang oleh lelaki itu.

Gak usah sok ngelawan, kayak gak mau aja,” kata lelaki itu melecehkan harga diri Elsa.

Elsa berhasil melepas pelukan lelaki mesum itu dan berusaha kabur. Ia balik badan, mau berlari ke arah tempat mereka datang.

Ternyata, teman laki-laki tadi sudah mengadang jalan Elsa. Tapi, karena sudah terbiasa melarikan diri dari banyak anak-anak jahil, Elsa bisa menghindari adangan itu dan kabur sejauh-jauhnya.

Ia juga terpaksa melupakan uang bayaran dirinya berbanyi untuk para lelaki itu. Bisa selamat dari orang-orang jahat saja Elsa sudah merasa bersyukur.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengakui, pelecehan seksual disertai kekerasan terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transpuan di Indonesia masih terbilang tinggi.

Tahun 2020, Komnas Perempuan sedikitnya mendata 13 kasus pelecehan disertai kekerasan terhadap LGBT.

Laporan terbanyak berasal dari daerah Jakarta, yakni 8 kasus. Sementara Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Riau dan Jawa Timur masing-masing melaporkan 1 kasus.

Jenis kekerasannya beragam, mulai dari pelecehan seksual, kekerasan fisik, kekerasan verbal, diskriminasi, dan lainnya.

Pelaku kekerasan itu berasal dari orang tidak dikenal, tetangga, teman, saudara hingga orangtua  sendiri.

Dapur Madam Seroja

KETIKA transpuan terpinggirkan, menjadi paria sehingga luput dari perhatian maupun bantuan pemerintah, hanya solidaritas antartranspuan sendirilah yang sanggup membuat mereka tak mati saat pandemi.

Solidaritas itu bernama Sanggar Seroja, paguyuban seni transpuan yang ketika wabah covid-19 merajalela, mencari banyak cara agar bisa menghidupi anggotanya.

Salah satunya adalah berdagang. Dari berdagang itu, mereka mengantongi dana darurat guna diberikan kepada transpuan Kampung Duri yang memerlukan bantuan.

“Dagangannya kami namakan Dapur Madam Seroja. Ini adalah usaha kolektif kuliner kelompok minoritas di Jakarta yang tergabung dalam Sanggar Teater Seroja,” kata Rikky.

Beragam makanan mereka produksi untuk dijual, mulai dari Bawang Goreng Kriuk Neng Metta; Dapur Miss Wanty; Klappertaart Madam Seroja; Bolu Spesial Mama Pandan; Cumi Pedas Nona Indri; dan, Risol Teteh Uti.

Sebagai bocoran, para transpuan yang menjalani usaha itu dibantu oleh koki-koki terkenal supaya mendapatkan rasa terbaik.

Harga yang ditawarkan juga beragam sesuai jenis makanannya. Rikky berharap, masyarakat dapat berpartisipasi membeli dagangan itu, agar mereka bisa terus membantu transpuan yang sewaktu-waktu bisa kehabisan napas akibat pandemi.

Kata Rikky, masyarakat bisa melihat menu dan membeli melalui Instagram @dapur.madamseroja, Twitter @madamseroja, atau WhatsApp 081398903161/08119194808.

Berdagang bukan hanya cara untuk bertahan hidup kala pandemi, tapi juga sebagai bentuk perlawanan transpuan terhadap realitas sosial yang mendiskriminasi mereka.

Rikky mengatakan, transpuan memunyai hak yang sama dengan warga lainnya, sehingga toleransi dan menghargai keberagamaan perlu dihadirkan untuk mereka.

"Dalam skala besar, aku mendorong Kemendikbud RI memasukkan soal toleransi terhadap LGBT dalam kurikulum pelajaran tentang keberagaman.”

Rikky juga berharap masyarakat tidak 'alergi' kepada transpuan. Sikap buruk yang kerap diperlihatkan transpuan, dianggapnya sebagai konsekuensi logis sebab-akibat dari perlakuan masyarakat kepada waria.

Padahal, kalau transpuan diterima dan dianggap sama sebagaimana warga lain, maka mereka pun akan berperilaku baik.

"Transpuan juga manusia, memiliki otak, perasaan, dan bisa trauma. Kalau diterima secara baik, akan ada banyak prestasi yang mereka bisa torehkan. Akan ada banyak Oscar Lawalata, banyak menteri seperti Audrey Tang di Taiwan, atau wakil rakyat seperti di Amerika Serikat.”