Kematian Lebih Cepat dari Ambulans, Misi Patwal Berpacu dalam Kemacetan

Kematian Lebih Cepat dari Ambulans, Misi Patwal Berpacu dalam Kemacetan


Suara.com - Sirine ambulans lebih sering terdengar menyalak di jalanan, saat virus corona menjadi hawar. Mobil mengebut, membelah kemacetan, mengompromikan ajal. Sekelompok pengawal membendung dan membelah adimarga. Tapi terkadang, hayat padam tak sampai di penghujung jalan.

SYAHRUL bersama beberapa rekannya lekas-lekas menunggangi kuda besi masing-masing. Mereka mendapat panggilan mengawal ambulans yang membawa pasien kritis.

Memandu ambulans agar cepat sampai di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, adalah tujuan akhir mereka.

Tapi situasi jalanan hari itu tak bersahabat, macet total. Sialnya, tak ada celah sedikit pun yang bisa mereka dapatkan agar ambulans bisa merangsek maju.

Syahrul harus putar otak agar laju ambulans bisa lempeng tanpa halangan. Sebab dia tahu, pasien yang di dalam mobil sudah tak sadarkan diri, perlu segera mendapat perawatan.

Senyum kemenangan sedikit tersungging di bibir Syahrul, ketika berhasil membuka jalan untuk ambulans.

Namun, sesampainya ambulans di rumah sakit, dia mendapat kabar bahwa sang pasien sudah padam nyawa.

Senyuman Syahrul hilang. Dia memang tidak menangis, tapi parasnya sendu.

"Lu enggak bakalan menangis di rumah sakit. Tapi sewaktu sudah berkumpul dengan teman-teman, pasti terpikir ‘kok gue bisa gagal dalam tugas’. Jadi kepikiran terus,” kata Syahrul.

Situasi di jalanan ibu kota tak pernah semulus aspalnya, karena selalu ada kemacetan meski kegiatan warga sedang dibatasi. Kadangkala ada pula pengendara egois yang tak mau memberi jalan, sehingga tugas sopir ambulans bertambah berat.

Kesusahan itulah yang membuat sekelompok anak muda terpancing untuk membantu pengawalan ambulans. Syahrul Setiawan adalah satu di antara para pengawal ambulans itu.

Usianya masih muda, duapuluh dua tahun. Sudah lama dia mengawal mobil ambulans, yang baik bertujuan rumah sakit ataupun pemakaman.

Bagi Syahrul, mengawal ambulans dalam membelah kemacetan Jakarta adalah misi. Jika gagal, akan ada air mata yang keluar.

Jika berhasil dan mendapat ucapan terima kasih, seketika senyum melintas dan bahagia mengendap di lubuk hatinya yang terdalam.

Syahrul Setiawan dan Abdul Rochim Al Aziz, anggota komunitas P.A.D.E, pengawal ambulans secara cuma-cuma. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Syahrul Setiawan dan Abdul Rochim Al Aziz, anggota komunitas P.A.D.E, pengawal ambulans secara cuma-cuma. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Renovasi Motor dan Jalan Berlubang

SAYA bertemu komunitas P.A.D.E di RSU Aulia, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Senin (9/8/2021) malam.

Setelah mengirim pesan singkat, Sank Putra Rochutomo (34) Ketua Umum P.A.D.E, meminta saya datang ke lokasi pada pukul 8 malam. Kebetulan, Putra yang berprofesi sebagai sopir ambulans di RSU Aulia sedang piket malam.

Putra juga meminta sebagian anggota P.A.D.E untuk datang dan berbagi kisah tentang jasa pengawalan mobil ambulans secara sukarela.

Dua anggota yang datang di antaranya adalah Syahrul dan Abdul Rochim Al Aziz (29). Syahrul adalah pengemudi ojek online. Sementara Aziz adalah satpam yang sehari-hari bekerja di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Singkat cerita, kami bergeser menuju halaman parkir RSU Aulia. Namun, ada sesuatu yang membikin saya penasaran, yakni satu unit sepeda motor jenis Yamaha Vega R.

Tampilannya begitu kinclong. Shock depan tinggi bak motor trail, lampu strobo dan sirene terpasang di bagian depan motor.

Total ada tiga boks yang terpasang di pantat motor bikinan Jepang tersebut. Tak ketinggalan, bendera Merah Putih berkibar pada spion kiri.

Jika melihat motor itu secara langsung, para pembaca terkasih pasti menebak jika sang pemilik adalah 'anak turing'.

Motor itu adalah kepunyaan Syahrul. Kepada saya, dia mengaku memodifikasi motor yang juga ia pakai untuk kerja sehari-hari, guna bisa mengimbangi kecepatan mobil ambulans.

Motor yang semula mempunyai kapasitas 110cc, kini telah berganti menjadi 150cc. Kini, Syahrul tidak gusar.

Dia tidak khawatir lagi akan tertinggal ambulans ketika melakukan pengawalan, yang kalau dipikir-pikir, Valentino Rossi sang legenda Moto GP tidak bisa untuk menyamai kelincahan Syahrul dalam membelah kemacetan.

Sepeda motor milik anggota komunitas P.A.D.E, pengawal ambulans secara cuma-cuma. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Sepeda motor milik anggota komunitas P.A.D.E, pengawal ambulans secara cuma-cuma. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

"Sering gua ditempel sama ambulans, sejak saat itu gua mikir, motor Vega R cuma 110cc, tapi harus ngimbangin ambulans yang kecepatannya tinggi. Ya sudah, gua bor up nih mesin jadi 150cc, alhamdulilah sudah tidak kesundul ambulans," kata Syahrul.

Komunitas P.A.D.E resmi berdiri pada 14 Januari 2018. Berdirinya jasa mengawal ambulans secara cuma-cuma itu berangkat dari keresahan sekumpulan anak muda atas kondisi jalan raya.

Singkatnya, Syahrul bergabung setelah komunitas tersebut berkegiatan selama setahun. Ketertarikan Syahrul untuk menjadi relawan pengawal ambulans bermula dari sebuah peristiwa yang dirinya alami.

Sebelum wabah berkepanjangan bernama covid-19 melanda Tanah Air, Syahrul pernah berada dalam momen genting. Ambulans yang membawa salah satu keluarganya terjebak dalam kemacetan.

Dia tidak berbicara secara rinci terkait peristiwa itu. Pria 22 tahun itu cuma mengatakan, ada salah satu pemotor yang dia tidak kenal, tiba-tiba mendekat ke ambulans dan melakukan pengawalan. Alhasil, kemacetan di jalan raya bisa teratasi.

Pasien yang merupakan keluarga dari Syahrul bisa sampai di rumah sakit dan langsung mendapatkan pertolongan.

Syahrul Setiawan dan Abdul Rochim Al Aziz, anggota komunitas P.A.D.E, pengawal ambulans secara cuma-cuma. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Syahrul Setiawan dan Abdul Rochim Al Aziz, anggota komunitas P.A.D.E, pengawal ambulans secara cuma-cuma. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

"Gua pikir, ini orang baik banget, gua tawarin minum, kasih uang dan lain-lain tapi dia selalu menolak," ujarnya.

Setelah momen tersebut, niat Syahrul untuk mengawal mobil ambulans perlahan tumbuh. Apalagi, orang yang mengawal ambulans dan membantu keluarga Syahrul itu menyebut jika pekerjaan semacam itu adalah soal kemanusiaan.

Setelah mengutarakan ketertarikan, Syahrul datang ke komunitas P.A.D.E dan bergabung pada 2019.

"Terus gua ikut tes, posisi sambil jadi ojol. Itu tahun 2019," sambung Syahrul.

Syahrul bercerita, sekali peristiwa, dia pernah mengawal ambulans yang membawa pasien dengan kategori kritis. Mau tidak mau, sopir ambulans harus menginjak gas hingga kecepatan tinggi agar bisa sampai di rumah sakit.

Syahrul memang sengaja mematikan jarum penunjuk kilometer yang berada di kuda besinya. Namun, dia selalu menggunakan aplikasi spidometer di ponsel genggam.

Sepanjang ingatannya, saat itu aplikasi menunjukkan jika kecepatan sepeda motor mencapai 100 kilometer per jam.

"Gua cuma pakai spidometer di HP, itu sampai 100 kilometer per jam. Enggak tahu deh kalau ambulans, pasti lebih dari itu. Biasanya bawa pasien kekurangan darah atau yang kritis," ujarnya.

Serupa Syahrul, Aziz juga pernah berada dalam momen seperti itu. Jarum di spidometer pernah berada di angka 100 kilometer.

Ilustrasi patwal ambulans. [Suara.com/Ema Rohimah]
Ilustrasi patwal ambulans. [Suara.com/Ema Rohimah]

Bagi Aziz, menjadi seorang pengawal ambulans artinya banyak risiko dan tantangan yang harus dihadapi.

Salah satunya, harus berpacu mengimbangi kecepatan mobil ambulans. Menurut dia, sebelum turun ke jalan raya dan melakukamn pengawalan, ada pelatihan yang terlebih dahulu harus diikuti.

Kata Aziz, semisal posisi jalan raya kosong dan tidak macet, maka mobil ambulans akan dibiarkan melaju degan kencang dan para relawan akan minggir sejenak.

Jika mobil ambulans kira-kira akan berjumpa dengan kemacetan, maka relawan akan tancap gas menyusul ambulans dan mencari cara agar para pengendara lainnya bersedia berbagi jalan.

"Saya sih sudah ngalamin. Itu kondisi siang pernah, atau tidak ketika hari Sabtu dan Minggu. Tapi kalau hari biasa jarang lah hehe," ujar Aziz menambahkan.

Konsekuensi

SATUAN Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan kasus positif COVID-19 di Indonesia kembali bertambah sebanyak 20.709 orang pada Senin (9/8/2021). Sehingga total kasus positif Covid-19 hari itu menembus angka 3.686.740 orang.

Dari jumlah itu, ada tambahan 1.475 orang meninggal sehingga total menjadi 108.571 jiwa meninggal dunia.

Hari itu, Syahrul sudah dua kali mengawal dua mobil ambulans. Satu ambulans membawa jenazah non Covid-19 menuju pemakaman. Satu ambulans sisanya membawa ibu-ibu yang hendak melahirkan.

Di tengah melonjaknya kasus kematian akibat Covid-19, Syahrul mengaku bisa mengawal lima mobil ambulans dalam satu hari.

Pernah pada suatu ketika, saat kasus kematian sedang tinggi-tingginya, dirinya mengawal sampai sepuluh unit mobil ambulans menuju pemakaman dengan rute yang berbeda-beda.

"Sehari bisa empat sampai lima, kadang lebih, sehari pernah sampai sepuluh ambulans dan rutenya beda-beda," ujar dia.

Senada dengan Syahrul, dalam sehari Aziz kerap mengawal lebih dari satu unit mobil ambulans.

Biasanya, Aziz mengawal ambulans yang hendak memakamkan jenazah di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

"Sehari, kalau saya tiga sampai empat ambulans yang dikawal. Tujuannya beda-beda, ada yang ke RS sama pemakaman. Kalau TPU, saya lebih sering ke Pondok Ranggon," kata Aziz.

Putra, mewakili komunitas P.A.D.E mengungkapkan, jasa pengawalan ambulans kelompoknya adalah gratis atau tanpa biaya.

Kata dia, pihaknya tidak pernah memungut biaya sepeser pun kepada pihak keluarga atau pasien yang membutuhkan jasa pengawalan.

Sejak sebelum pandemi covid-19 berlangsung, P.A.D.E telah memberikan pengawalan teehadap ambulans secara cuma-cuma. Dalam hal ini, P.A.D.E juga memprioritaskan jasa pengawalan terhadap pasien yang sedang membutuhkan pertolongan dengan segera.

"Kami tidak pernah mematok tarif, tidak pernah meminta biaya sepeser pun untuk biaya pengawalan ambulans," ungkap dia.

Dengan fakta seperti itu, konsekuensi logis sebagai seorang relawan pengawal mobil ambulans harus dihadapi oleh Putra, Syahrul, dan Aziz.

Pengawalan cuma-cuma yang diberikan oleh P.A.D.E membikin para punggawanya harus merogoh saku lebih dalam untuk keperluan bensin dan servis sepeda motor.

Misalnya saja Syahrul. Motor Yamaha Vega R kesayanganya telah di upgrade sedemikian rupa. Artinya, konsekuensi boros bensin harus dihadapi oleh Syahrul.

Katanya, ketika mengawal mobil ambulans yang membawa pasien kritis sangat menguras bensin di kuda besi miliknya.

"Kalau buat kawal ambulans emergency ya, itu dari full tank bisa habis dua batang. Pasti dua batang, kalau kawal hantar ambulans bawa jenazah paling abis satu batang bensin lah," kata Syahrul.

Menambahkan Syahrul, Aziz menyatakan, ketika seseorang memutuskan menjadi seorang relawan pengawal ambulans, artinya harus sudah siap dengan banyak hal.

Bukan hanya urusan bensin, seorang relawan pengawal mobil ambulans juga harus siap berjumpa dengan kerumitan-kerumitan di jalan raya.

Katanya,"Jadi relawan, kalau dibilang susah ya lumayan susah, di bilang mudah ya tidak mudah."

Selain pengeluaran bensin, para pengawal mobil ambulans juga harus berhadapan dengan tantangan lainnya.

Mengawal ambulans menuju rumah sakit dan tempat pemakaman, kadang pagi, siang, dan malam. Para pengawal mobil ambulans juga harus pintar menjaga kondisi kesehatan tubuh.

Tak jarang para punggawa P.A.D.E bekerja dengan istilah 'ngalong'. Konsep semacam ini menyisakan sebagian anggota harus bersiaga dari malam hingga pagi hari.

Sebab, kematian yang membutuhkan jasa pengawalan kapan saja bisa terjadi. Pertolongan terhadap pasien yang harus segera dilarikan ke rumah sakit kapan saja juga bisa terjadi.

Ditanya soal kondisi kesehatan, Syahrul tidak menampik jika dirinya menyimpan kekhawatiran.

Suatu waktu, dia pernah mengawal mobil ambulans hingga azan subuh berkumandang. Kata dia, selepas mengawal mobil ambulans, dia cuma tidur beberapa saat dan kembali beraktivitas secara normal.

"Sampai azan subuh juga pernah. Kalau pulang subuh, gua tetap istirahat dulu, bangun tidur rapi-rapi baru keluar buat nge-Gojek. Jangan sampai nggak tidur lah pokoknya," ucap dia.

Soal lain juga dipikirkan secara matang oleh Syahrul. Sebagai orang dengan mobilitas yang tinggi, tentunya dia kerap berjumpa dengan banyak orang.

Lokasi persinggahan Syahrul sebagai seorang relawan pengawalan ambulans lebih sering terhenti di rumah sakit dan tempat pemakaman.

Syahrul sangat sadar dirinya kerap bersinggungan dengan hal-hal yang berpotensi menularkan virus Covid-19 ke tubuhnya.

Maka dari itu, untuk menjaga kondisi keluarganya, Syahrul harus memastikan kondisinya sehat sebelum masuk ke dalam rumah. Tak jarang dia harus berhadapan dengan cairan disinfektan dan kegiatan membersihkan diri sebelum bertemu orang terkasih di rumah.

"Gua pulang sampai rumah langsung semprot disinfektan. Jadi seluruh tubuh semprot, motor, gagang pintu, semua di semprot. Baru mandi bersih-bersih lalu tidur," papar Syahrul.

Sedih dan Bahagia Terkadang Sama

KOMUNITAS P.A.D.E kerap mengawal mobil ambulans menuju sejumlah TPU di DKI Jakarta dan Depok yang dijadikan tempat khusus pemakaman Covid-19.

Seiring melonjaknya kasus kematian akibat virus Corona, kerja-kerja sosial komunitas P.A.D.E tentunya semakin sibuk.

Sang Ketua Umum, Putra mengungkapkan, dalam sehari, P.A.D.E bisa mengawal tiga sampai empat ambulans menuju TPU.

Rutenya pun beragam, terkadang personel P.A.D.E kerap mengawal ambulans menuju TPU di kawasan Tapos, Depok, Jawa Barat.

Tak jarang, P.A.D.E juga turut mengawal ambulans menuju TPU khusus Covid-19 di Ibu Kota seperti TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur atau TPU Rorotan, Jakarta Utara.

"Sehari bisa tiga sampai empat rute. Paling sering ke TPU Tapos dan Cilangkap, itu di Depok. Kalau di Jakarta kami biasa ke TPU Pondok Ranggon sampai Rorotan juga," ungkap Putra.

Pada kenyataannya, sejumlah TPU tempat pemulasaran jenzah, kerap menghadirkan momen dramatik terhadap para anggota P.A.D.E. Syahrul, pada beberapa perjumpaan kerap meneteskan air mata pada saat menyaksikan proses pemakaman berlangsung.

Rasanya, pada momen seperti itu, manusia kerap terjebak dalam suasana yang subtil. Seolah-olah, perasaan manusia tidak jauh berbeda dengan mentega yang panaskan dalam loyang Teflon: mudah melumer.

Terkadang, Syahrul juga menyempatkan diri melihat nisan-nisan yang berjejer di lahan TPU. Hal yang dilihat oleh Syahrul adalah tanggal kematian yang berdekatan,

Artinya, kematian setiap hari pasti terjadi – entah karena Covid-19 maupun penyakit lainnya. “Rasanya, kematian melaju lebih cepat dari mobil ambulans,” kata saya yang langsung disambut jawaban oleh Syahrul.

Gua pernah beberapa kejadian yang bikin gua mengeluarkan air mata, saking gua menghayatinya. Entah anter jenazah covid atau yang biasa. Pasti ada rasa kayak begitu”.

Bagi segenap punggawa P.A.D.E, mengawal mobil ambulans tanpa biaya alias Cuma-Cuma bukan sekedar aktivitas gagah-gagahan di jalan.

Aktivitas semacam itu bukan sekedar menyalurkan hobi memacu sepeda motor dalam kecepatan tinggi. Mengawal ambulans adalah mengawal nasib pasien yang sedang membutuhkan pertolongan dengan segera. Karena, satu detik dalam perjalanan menuju rumah sakit adalah “waktu yang begitu berharga,” kata Syahrul.

Meski tidak mendapat bayaran dan justru mengeluarkan biaya tambahan, ada kebahagiaan dan rasa senang yang kerap melanda hati Syahrul, Aziz, dan Putra.

Gua kalau ngebantu orang mengawal ambulans itu dalam hati merasa senang, apalagi keluarga sampai bilang terimakasih sampai ucapin berkali-kali,” imbuh Syahrul.

Aziz lantas memungkasi, ”Rasa takut kadang hilang jika ada anggota keluarga pasien atau jenazah mengucapkan terima kasih ke kami, itu senang sekali rasanya. Ibaratnya, misi kami sukses. Setidaknya bisa bikin orang tersenyum”.