Senin, 01 Jan 2024
Pilkada Seharga Nyawa? Pemilihan saat Pandemi di Indonesia dan Myanmar Home > Detail

Pilkada Seharga Nyawa? Pemilihan saat Pandemi di Indonesia dan Myanmar

Reza Gunadha

Jum'at, 11 Desember 2020 | 14:44 WIB

Suara.com - Ada kesamaan antara Indonesia dan Myanmar ketika menghadapi pandemi virus covid-19, yakni pagebluk tak bisa menghalangi kontestasi politik. Tetap digelar meski diprotes, apakah pemilu seharga nyawa?

"MEMBATALKAN pemilihan umum (di beberapa daerah) sama saja dengan membunuh etnis kami secara politis,” keluh Soe Thein, kandidat dari Rakhine State yang maju dalam pemilu Myanmar 2020, menggunakan bendera Arakan League For Democracy (ALD).

Pembatalan pemilu di negara bagian Rakhine lantaran konflik bersenjata yang tak kunjung selesai, dianggap sebagai kerugian besar bagi ALD.

Sebab, partai yang sempat dinyatakan terlarang oleh pemerintah Myanmar ini mendulang suara mayoritas di negara bagian Rakhine pada pemilu 1990.

Selain membatalkan pemilu di 15 kota kecil di Negara Bagian Rakhine, Union Election Commission (UEC) Myanmar juga menunda pemilu di Negara Bagian Syah serta 41 wilayah bagian kota kecil lain.

Keputusan ini dinilai kontroversial, lantaran diputuskan tanpa pertimbangan partai di wilayah tersebut. Selain itu, 1,2 juta pemilih juga kehilangan hak pilih.

Persoalan keamanan bukan satu-satunya alasan bagi UEC untuk memberlakukan pelbagai aturan baru dalam pemilu.

Badan pengatur pemilihan umum ini juga menjadikan pandemi Covid-19 sebagai dasar bagi aturan berkampanye.

Pada sejumlah daerah yang dianggap sebagai zona rawan penularan virus corona, kampanye tatap muka hanya boleh dihadiri maksimal 50 orang peserta.

Itupun dengan berbagai aturan mengenai protokol kesehatan, seperti jarak minimal antarpeserta sepanjang 1,8 meter, dan ventilasi yang cukup di ruangan tempat pertemuan.

Aturan tersebut dirilis oleh Ministry of Health and Sports (MoHS) Myanmar pada 7 September 2020, atau sehari sebelum pelaksanaan kampanye.

Namun, pengaturan tidak hanya dilakukan di daerah yang dianggap rawan penularan Covid-19. Kampanye secara umum, turut terdampak.

“Kami hanya diizinkan untuk bertemu 10.000 orang sebulan. Seharusnya kami diizinkan untuk bertemu lebih dari 10.000 pendukung sebulan. Kami juga tidak bisa berkampanye di kamp pengungsi yang ditutup lantaran pembatasan COVID-19,” ujar Seng Nu Pan, kandidat dari Kachin State People’s Party (KSP).

Dengan masa kampanye yang hanya dilakukan selama 60 hari, aturan tersebut dinilai membuat para kandidat kesulitan untuk meraih pendukung.

Terlebih bagi partai yang baru berdiri. Naw Ohn Hla, kandidat dari United Nationalities Democratic Party (UNDP) mengatakan tidak dapat bertemu pendukungnya di beberapa daerah karena pembatasan terkait pandemi yang diberlakukan oleh otoritas pemerintah.

“Saya tidak dapat mengunjungi beberapa kota di pinggiran Yangon. Beberapa pendukung mengundang saya, tetapi saya tidak bisa hadir. Pihak berwenang juga memberi tahu bahwa saya tidak dapat bergabung dengan pendukung saya dalam kampanye pemilu, "katanya.

Di tengah pembatasan berkerumun, pada sore hari setelah pencoblosan selesai, ratusan pendukung National League for Democracy (NLD) justru berkumpul di kantor pusat mereka di Yangon untuk merayakan kemenangan.

Direktur The People’s Alliance for Credible Elections (PACE) Sai Ye Kyaw Swar Myint menyebut, pembatasan kampanye membuat banyak partai tak punya kesempatan untuk memperkenalkan diri mereka di tengah berbagai pembatasan kampanye.

Di lain sisi, mengutip riset yang dipublikasikan PACE, ia menyebut hanya sedikit partai yang dikenal luas di Myanmar.

“Popularitas masih menjadi hal penting. Saya pikir popularitas NLD masih menjadi faktor kunci dalam pemilu ini,” ujarnya.

Kematian politikus

SEGENDANG sepenarian, elite politik Indonesia juga memunyai penilaian yang sama seperti politikus Myanmar.

Menkopolhukam Mahfud MD misalnya, jauh sebelum pemungutan suara pilkada serentak dilakukan, sudah menegaskan pandemi covid-19 tidak erat terkait politik kontestasi tersebut.

"Di DKI yang tidak ada pilkada, justru angka infeksinya tinggi, selalu menjadi juara satu tertinggi penularannya," kata Mahfud MD dalam jumpa pers 'Rapat Analisa dan Evaluasi Pilkada Serentak Tahun 2020', Jumat (2/10).

Tak hanya di Myanmar, pembatasan kampanye lantaran covid-19 juga terjadi di Indonesia. Serupa dengan Myanmar, jumlah peserta kampanye tatap muka untuk pemilihan kepala daerah 2020 di Indonesia, dibatasi maksimal 50 orang.

Namun, alih-alih mengeluh lantaran tak bisa menemui pendukungnya, banyak politisi Indonesia lebih memilih menerabas aturan.

Hanya dalam 10 hari pertama masa kampanye, berdasarkan catatan Badan Pengawas Pemilu, sudah terjadi 237 kasus pelanggaran protokol kesehatan. Sebanyak 28 di antaranya ditindak dengan pembubaran.

Pada 10 hari kedua dan ketiga, jumlah tersebut bukannya menyusut. Pada kedua periode tersebut jumlah kasus pelanggaran protokol kesehatan masing-masing mencapai 375 kasus dan 306 kasus.

Pada periode kedua, dilakukan 35 kali pembubaran dan pada periode 10 hari ketiga dilakukan 25 tindakan pembubaran.

"Ada 178.039 orang yang terkena sanksi teguran karena melanggar protokol kesehatan selama tahapan pilkada di 32 provinsi yang meliputi 309 kabupaten/kota," kata Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito, sehari setelah pemungutan suara pilkada, Kamis (10/12).

Komisi Pemilihan Umum, September lalu, sudah merilis 63 orang bakal pasangan calon yang bertarung di pilkada, dinyatakan positif terinfeksi virus corona.

Dari estimasi itu, empat kandidat meninggal dunia setelah dinyatakan positif covid-19, sebelum hari pencoblosan Rabu 9 Desember.

Calon Bupati Kabupaten Berau Muharram meninggal pada Selasa, 22 September. Dia dinyatakan positif corona, Rabu (9/9).

Selanjutnya, Calon Wali Kota Bontang Adi Darma meninggal dunia hari Kamis 1 Oktober. Dia dinyatakan positif corona per 24 September.

Bupati Bangka Tengah petahana Ibnu Soleh meninggal dunia hari Minggu 4 Oktober, serelah dirawat di rumah sakit karena positif corona sejak Minggu (27/9).

Terakhir, Calon Wali Kota Dumai Eko Suharjo meninggal dunia Rabu, 25 November, setelah dinyatakan positif covid-19.

2,4 juta orang OTG

PELANGGARAN protokol kesehatan juga terjadi selepas pencoblosan. Berdasarkan pemberitaan media, di beberapa daerah pendukung salah satu pasangan calon merayakan kemenangan versi hitung cepat dengan melakukan konvoi dan melanggar prosedur kesehatan. Kegiatan tersebut segera direspons aparat dengan pembubaran.

Meski demikian, pemerintah mengklaim bahwa tingkat kepatuhan pemilih yang berpartisipasi dalam Pilkada serentak Tahun 2020 terhadap protokol kesehatan, terbilang cukup tinggi.

"Dari hasil pemantauan sistem monitoring BLC Perubahan Perilaku, dari 32 provinsi yang melingkupi 309 kabupaten/kota, sebanyak 178.039 orang mendapat sanksi berupa teguran. Selain itu, rata-rata kepatuhan individu memakai masker di area TPS sebesar 95,96%. Sedangkan rata-rata kepatuhan menjaga jarak dan menjauhi kerumunan sebesar 90,71%," ujar Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito saat memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 di Kantor Presiden, Kamis, 10 Desember 2020.

Di lain sisi, kepatuhan institusi dan kesediaan fasilitas penunjang saat pemungutan suara justru terbilang rendah.

Beberapa protokol kesehatan seperti penyediaan tempat cuci tangan dan cairan disinfektan, serta ketaatan petugas pengawas penerapan protokol kesehatan kerap diabaikan.

Berdasarkan pantauan Jaring.id dan Suara.com, petugas pemungutan suara juga tampak abai atau kebingungan saat melakukan penjemputan suara pasien Covid-19.

Petugas beralasan bahwa prosedur proses ini tak diatur jelas dalam peraturan. Pun simulasi proses ini tak pernah dilakukan saat pembekalan petugas pemungutan suara.

Meski pemerintah mengklaim Pilkada serentak 2020 berjalan aman dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19, epidemiolog menyebut ada 2,4 juta orang terinfeksi virus corona tapi tanpa gejala.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, kepada Suara.com, mengatakan diperkirakan ada jutaan orang tanpa gejala atau OTG yang tidak terdeteksi dalam proses pilkada.

"Diperkirakan ada setidaknya 2,4 juta OTG tidak terdeteksi terlibat dalam proses pilkada ini," kata Dicky, Rabu (9/12).

Selain itu, Dicky juga mengkritik minimnya program tes terkait corona dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Menurutnya, testing itu bisa dilakukan minimal sehari sebelum hari pencoblosan.

Lalu, Dicky juga sempat memantau pula pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah yang disiarkan melalui media. Ia menilai kurangnya pencegahan dan mitigasi seperti interaksi manusia, kontaminasi serta paparan di TPS.

"Potensi lonjakan kasus dan dampaknya umumnya terlihat jelas sebulan kemudian. Itu terjadi untuk setiap mobilisasi massa yang besar," ujarnya.

Catatan Redaksi: Sebagian dari tulisan ini pertama kali muncul dalam Asia Democracy Chronicles, publikasi daring yang dilakukan oleh Asia Democracy Network (ADN) dan fokus pada kebebasan sipil serta kondisi demokrasi di Asia di masa pandemi Covid-19. Digunakan ulang dalam tulisan ini dengan izin ADN. Bagian lainnya merupakan kerja sama antara Jaring.id dengan Suara.com.

Terbaru
Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?
polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji? polemik

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji?

Jum'at, 13 September 2024 | 09:54 WIB

Pada prosesnya nanti, KPK harus mengusut pihak yang memberikan dan memastikan maksud pemberian dugaan gratifikasi itu.

Babak Baru Seteru PKB-PBNU: Cak Imin dan Gus Yahya Semakin Jauh dari Titik Temu polemik

Babak Baru Seteru PKB-PBNU: Cak Imin dan Gus Yahya Semakin Jauh dari Titik Temu

Kamis, 12 September 2024 | 17:32 WIB

Dinamika ini mengundang pertanyaan besar: benarkah tidak ada konflik di balik layar?