Suara.com - Mereka kerap menulis artikel yang mendukung pemerintah. Mereka juga menyerang narasi-narasi yang berseberangan. Sebagian orang mencibir sebagai buzzer. Tapi bagi mereka, penamaan buzzer adalah penghinaan.
LELAKI ITU SUDAH lebih dulu datang dan asyik duduk sendirian di sebuah bangku dalam kafe kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis sore, 10 September, pekan lalu.
Bajunya khas Jokowi ketika bertarung pada Pilkada DKI Jakarta 2012: kemeja bermotif kotak-kotak merah, putih, dan hitam.
“Mas Kajitow?” tanya saya.
“Iya, Mas Yasir ya?” jawabnya.
“Iya, mas betul. Wah kemejanya Jokowi banget ini,” kelakar saya.
“Ha-ha-ha bukan, cuma mirip saja. Mau minum apa?” ia menawari saya minuman.
“Kopi latte.”
Kojitow Elkayeni, begitu nama lengkap lelaki berusia 40 tahun tersebut. Ia adalah salah satu penulis produktif di laman daring opini bernama Seword.
Semua tulisan Jito di Seword maupun akun media sosial pribadinya, bernada pro-pemerintah dan mendukung Presiden Jokowi. Namun, dia menolak dinamakan sebagai buzzer politik.
“Istilah buzzer itu sudah menyimpang dari makna aslinya,” kata Jito, memulai perbincangan.
“Menyimpang seperti apa maksudnya?”
Ia menuding istilah buzzer politik kali pertama dipakai redaksi Tempo untuk orang-orang seperti dirinya. Jito, akhir-akhir ini memang giat menulis opini yang menyerang majalah maupun media daring grup Tempo.
“Awalnya dimunculkan oleh Tempo, karena mereka merasa didesak oleh para influencer media sosial, ketika ada persoalan revisi UU KPK. Mereka merasa terdesak dan terancam, terutama oleh influencer kayak Denny Siregar,” tuding Jito.
Jito mengungkap empat lapisan kelompok para pendukung Jokowi yang melakukan aktivitas di media sosial.
Lapisan pertama adalah warganet, yang merupakan relawan-relawan biasa. Kedua, influencer yang loyalis Jokowi dan memunyai banyak pengikut di media sosial.
Ketiga, buzzer yang dikontrak dan dibayar untuk mengiklankan sesuatu. Keempat, Jito menyebutnya sebagai cyber troops.
“Cyber troops ini yang memang direkrut untuk menyerang. Memang ada kontrak-kontrak tertentu untuk kelompok seperti ini, dan itu enggak banyak sebenarnya dan kontraknya sangat mahal,” ungkap Jito.
Belakangan, Jito mengeluhkan semua lapisan itu ditotal jenderal menjadi buzzer yang artinya menerima duit atas segala aktivitas politiknya di media sosial.
“Sebenarnya buzzer itu netral, seseorang yang mengiklankan produk dan dibayar. Kemudian oleh Tempo, semua dianggap buzzer. Mereka yang pro-revisi UU KPK dan semua penolak perppu, terutama influencer, semua disebut buzzer.”
Jito mengakui total jenderal seperti itu membuat banyak pendukung Jokowi seperti dirinya di media sosial marah.
“Mereka menolak disebut buzzer karena itu nadanya menghina dan sengaja dibentuk demikian untuk mendiskreditkan,” kata Jito.
“Kalau influencer di media sosial seperti anda memang tidak mendapat bayaran? Menulis juga tanpa orderan?” tanya saya.
“Kalau influncer murni, enggak ada. Mereka hanya tokoh yang ingin berpendapat, ada yang penulis, vloger dan lain sebagainya,” ungkap Jito.
“Influencer murni? Apa artinya ada juga influencer yang merangkap sebagai buzzer?” tanya saya.
“Iya sih ada influencer ori, ada yang buzzer juga,” katanya.
Jito lantas bercerita, pada era Pilpres 2019, ada sejumlah influencer yang dikelola orang-orang berkepentingan untuk memenangkan Jokowi.
“Tapi bagi saya mereka itu tetap influencer lah, bukan buzzer,” tegasnya.
Jito mengakui, kekinian sulit membedakan antara influencer dan buzzer. Hanya, bukan berarti influencer tersebut dapat digeneralisasi sebagai buzzer. Apalagi disebut sebagai buzzer istana atau dikelola oleh pemerintah.
“Ada istilah buzzer istana, ini kan sudah menyimpang jauh banget. Istana itu enggak ada apa-apanya. Kalaupun ada, ya waktu pilpres, mungkin,” ketus Jito.
Wahyu Dhyatmika, Pemimpin Redaksi Tempo.co, membantah tudingan Jito. Opini dalam majalah Tempo tentang buzzer yang juga menjadi topik dalam artikel-artikel Tempo.co, tidak berdasarkan spekulasi pukul rata.
“Opini majalah Tempo hanya mempersoalkan buzzer yang diorganisir untuk menyebarkan disinformasi, demi mendengungkan narasi yang tidak faktual. Jadi bukan semua buzzer pro-Istana. tidak ada generalisasi macam itu,” tegas Wahyu.
Awalnya Lawan Obor Rakyat
LELAKI BERKUMIS TEBAL itu meminta saya datang ke kantor kalau ingin mewawancarainya, persisnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dia adalah Rudi S Kamri, loyalis Jokowi yang getol menuliskan narasi-narasi dukungan terhadap kebijakan pemerintah melalui akun media sosial dan sejumlah media daring.
Rudi juga kerap menulis artikel untuk melawan atau menyerang narasi yang dinilainya memojokkan Jokowi atau pemerintah.
“Mas Rudi, sebenarnya Anda ini apa bisa disebut sebagai buzzer?” tanya saya.
“Kalau saya dikatakan buzzer, saya mengakui sebagai buzzer. Tapi buzzer siapa? Saya buzzer kebenaran saya sendiri,” jawab Rudi.
“Apa dibayar untuk itu?” saya kembali bertanya kepadanya.
“Sampai detik ini, saya belum pernah dibayar. Saya sendiri tidak mencari uang dari tulisan,” klaim Rudi.
Rudi lantas mengajukan argumentasi, bahwa di negara mana pun dalam era tekonologis seperti kekinian, tidak ada yang tak menggunakan jasa buzzer, khususnya dalam dunia politik.
“Orang selalu menuduh buzzer ini konotasinya negatif. Padahal enggak, bisa juga buzzer itu positif. Apa salahnya kami mendengungkan suatu peristiwa yang positif buat rakyat, boleh kan?” kata dia.
“Tapi kenapa Mas Rudi lebih sering menuliskan hal positif terhadap pemerintah dan Jokowi?” tanya saya.
“Kalau itu akhirnya dianggap memihak sesuatu, kan pilihan saya. Kalau saya, pada saat ini, dalam posisi mendukung Pak Jokowi,” tegasnya.
Sebagai lulusan S1 dan S2 dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Rudi mengaku sejatinya tidak memiliki kemampuan menulis secara profesional.
Semua bermula pada tahun 2014. Persisnya menjelang pilpres, Rudi mulai menyebar tulisan mendukung Jokowi melalui Facebook.
Rudi menuliskan pendapatnya untuk melawan narasi negatif tentang Jokowi dalam tabloid Obor Rakyat.
“Apa ada yang meminta supaya anda menulis narasi melawan Obor Rakyat?” tanya saya.
“Saya mencari nafkah bukan dari menulis. Saya menulis bukan untuk mencari nafkah. Karena saya punya pekerjaan lain. Semata-mata murni panggilan saya untuk menulis,” jawab Rudi.
“Saya merasa bukan sepeti ini loh demokrasi. Kompetisi boleh saja, tapi tidak harus dengan cara yang sesat dan ini korbannya masyarakat,” sambungnya.
***
SEJAK 2014 ITULAH Rudi semakin keranjingan menulis. Tapi ia menegaskan, tidak pernah memiliki niat untuk menjadi influencer ataupun buzzer.
Hanya, seiring dengan kebiasaannya menulis, Rudi mengakui semakin banyak warganet yang menjadi pengikut akunnya di media-media sosial.
“Bagaimana cara Mas Rudi menyebarluaskan tulisan?” tanya saya.
“Saya tidak punya orientasi apa-apa. Saya hanya menulis di Facebook. Itu juga saya menulisnya di ponsel, saat pulang kerja, malam hari.”
“Apa ada tim khusus yang memang bertugas untuk menyebarluaskan tulisan Mas Rudi?”
“Ya timnya teman-teman sendiri he-he-he. Artinya, bukan tim sih, tapi mereka minta tulisan saya untuk dishare di WhatsApp, ya silakan, begitu saja,” jawabnya.
“Tapi beberapa tulisan Mas Rudi, saya lihat juga ada yang ditayangkan di beberapa media online?” saya kembali bertanya.
“Teman-teman media minta mengutip tulisan saya itu. Saya bilang silakan saja, kalau itu dianggap layak ya silakan.”
Loyalitas Rudi dalam menuliskan pendapat bernada pro-pemerintah dan Jokowi menuai undangan terhadap dirinya untuk datang ke istana.
Pada 30 September 2019, Rudi mengakui mendapat kesempatan bertemu dengan Jokowi.
“Baru-baru ini saya ketemu Pak jokowi. Artinya, saya sudah menulis sekian tahun, baru dipanggil beliau, mengajak berbicara. Beliau juga mengaku beberapa kali membaca tulisan saya,” kata Rudi.
“Ada banyak yang diundang ketika itu?” tanya saya.
“Kebetulan saya influencer sendiri, dapat kesempatan bicara langsung dengan beliau,” ungkapnya.
“Saya objektif lho, kalau Pak Jokowi salah pun saya selalu kritik,” imbuhnya.
“Apa yang Mas Rudi kritik soal Jokowi?” tanya saya.
“Saya waktu itu mengkritik anak-anaknya Pak Pokowi dan menantunya mau jadi wali kota atau calon wali kota. Bagi saya tidak fair,” ungkapnya.
“Bagaimana respons Jokowi waktu itu?”
“Senyum saja. Artinya saya bebas (mengkritik) juga,” jawab Rudi.
“Tapi istana belakang minta buzzer-buzzer baik pro pemerintah ataupun yang kontra untuk ditertibkan, karena kontra produktif, bagaimana?” tanya saya.
“Saya sedikit menyesalkan pernyataan itu, bahwa buzzer-buzzer Jokowi ditertibkan. Ini kan kesannya Pak Jokowi punya buzzer,” sesalnya.
Begitu memberikan pernyataan tersebut, Rudi meminta sesi wawancara selesai.
“Oke begitu ya. Kalau ada nomor rekening, kasih ke saya ya,” kata Rudi.
“Hah, apa pak?” kata saya, terkejut.
kekalahan Andika-Hendi menjadi sejarah sebab untuk pertama kalinya paslon PDIP kalah di Jawa Tengah.
keterlibatan aparat penegak hukum di lingkaran pertambangan ilegal bukan hal baru
Di tengah melemahnya daya beli, pengguna pay later mengalami peningkatan karena menjadi alternatif masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk bisa menggambarkan kondisi hidup layak di masyarakat, BPS semestinya melakukan penghitungan dengan merujuk pada harga-harga bahan pokok, tanah, listrik hingga air.
"Karena kan perspektif yang masih mendiskriminasi perempuan itu rata-rata dimiliki oleh laki-laki," ujar Kurnia.
DPR memilih lima dari sepuluh capim yang akan memimpin KPK periode 2024-2029, Kamis, 21 November 2024.
Dukungan Anies terhadap Pramono-Rano jauh lebih berpengaruh jika dibandingkan dukungan Jokowi kepada RK-Suswono.