Senin, 01 Jan 2024
Parlemen Jalanan di Seberang DPR, yang Tersisa dari Gerakan Mahasiswa 4.0 Home > Detail

Parlemen Jalanan di Seberang DPR, yang Tersisa dari Gerakan Mahasiswa 4.0

Reza Gunadha | Muhammad Yasir

Selasa, 08 Oktober 2019 | 08:10 WIB

Suara.com - Tak ada yang meneriakkan yel-yel turunkan presiden. Tapi ketika mahasiswa ‘kinyis-kinyis’ era revolusi industri 4.0 sejenak berhenti bermain Mobile Legends atau PUBG untuk turun aksi, maka pemerintah harus koreksi diri.

IMELDA SARI sedang hamil ketika diminta kantornya melakukan reportase demonstrasi mahasiswa Universitas Trisakti di kawasan Semanggi, Jakarta, 12 Mei 1998.

Demonstrasi yang bermula damai justru berakhir rusuh ketika aparat keamanan menembaki kerumunan mahasiswa.

Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak: Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.

Kepanikan bergelayut, menjalar juga kepada Imelda. Gas air mata mengepungnya. Dia yang mengandung, juga terpaksa menghidu gas tersebut.

Setelah tragedi berdarah Trisakti, berupa-rupa bunga ditabur di sepanjang jalan kawasan Semanggi untuk mengenang keempat martir reformasi.

Yel-yel turunkan Soeharto semakin bergema sesudahnya. Tak lama, penguasa Orde baru itu turun dari puncak kekuasaan.

Sementara Imelda—dulu jurnalis SCTV yang kekinian menjadi Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat—mematri kisahnya dan para martir reformasi 98 kepada anak dalam kandungan.

”Aku lahir 23 Mei 1998. Bunda menamaiku dari nama bunga yang ditabur di Semanggi untuk menghormati para martir gerakan mahasiswa 98. Namaku Jasmine Umi Safira,” kata perempuan itu kepada saya, pekan lalu.

Jasmine kini berstatus mahasiswa semester tujuh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Ketika gelombang aksi mahasiswa menolak beragam RUU bermasalah di gedung DPR dua pekan lalu, Jasmine juga ikut serta.

”Lucu. Dulu, saat dalam kandungan, bunda yang wartawati, menghirup gas air mata bersama mahasiswa lain, sekarang  gantian anaknya. Aku menghirup gas air mata lagi, tapi sebagai mahasiswi demonstran.”

***

ROMBONGAN MAHASISWA kian bertambah banyak di depan gerbang utama DPR RI, Selasa siang, 24 September 2019.

Situasi memanas sejak pukul 14.00 WIB. Demonstran memaksa menembus pagar yang membatasi mereka, agar bisa berhadap-hadapan langsung dengan wakil rakyat terhormat pembuat beragam RUU bermasalah di dalam gedung DPR.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memberikan keterangan pers. Dia mempersilakan perwakilan mahasiswa masuk ke dalam untuk berdialog.

“Kami sediakan tempat yang pantas untuk berdialog. Kalau kami yang ke luar, tidak bakal ada dialog, cuma satu arah,” kata Bamsoet, memberi tawaran.

Tawaran Bamsoet jelas ditolak mahasiswa. Kalau dibolehkan masuk, maka semua demonstran harus dibukakan pintu.

“Jika tidak, maka mereka harus datang ke hadapan kami,” teriak orator.

Selasa sore, sekitar pukul 16.00 WIB, Bamsoet dikabarkan mengiyakan permintaan mahasiswa. Namun, hingga waktu yang dijanjikan tiba, Bamsoet tak kunjung keluar dari gedung.

Massa semakin emosi. Tanpa dikomando, demonstran melempari botol minuman ke arah Gedung DPR RI. Polisi membalas dengan tembakan gas air mata dan meriam air ke arah demonstran.

Bentrokan pecah. Sekitar pukul 16.45 WIB, Bamsoet baru keluar dari kantornya dan berjalan menuju pintu gerbang Gedung DPR RI.

Bamsoet yang sudah memakai pasta gigi di bawah mata, dikawal Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar dan sejumlah pamdal serta polisi.

Langkahnya terhenti, setelah polisi memberitahukan bahwa bentrokan sudah terjadi. Dia akhirnya dievakuasi ke pos penjagaan.

Jasmine bersama kawan-kawannya berlarian mencoba menyalamatkan diri ketika polisi menembakkan gas air mata dan meriam air, Selasa sore sekitar pukul 16.30 WIB.

Perempuan itu dan teman-temannya dari UI berada di dekat area Hotel Mulia, ketika gas air mata terlontar ke arah mereka.

“Ke GBK, ke GBK, kita ke sana, di sini gak aman,” teriak Jasmine mengarahkan kawan-kawannya yang panik.

Para demonstran banyak yang berlarian tanpa tahu arah ketika hujan gas air mata mengepung. Jasmine berpikir, situasi itu tak menguntungkan.

Massa harus diarahkan ke sejumlah titik tertentu, agar mudah dievakuasi maupun dikoordinasi untuk balik melawan.

Berlari dalam kondisi panik serta terus ditembak gas air mata, juga berpengaruh pada jumlah korban. Sebab, banyak dari mereka yang semakin sesak napas.

“Kami ditembaki. Padahal barisan kami sudah bubar,” katanya, mengenang.

Jasmine juga menepis mahasiswi yang ikut berdemonstrasi tak memunyai peran penting alias hanya menjadi penggembira.

“Perempuan banyak mengambil peran saat bentrok terjadi. Banyak dari kami yang justru menenangkan kawan-kawan. Karena banyak mahasiswa, laki-laki, yang baru kali itu ikut aksi. Saya sendiri sebelumnya sudah pernah aksi.”

Intensitas jual beli serangan antara demonstran dan polisi semakin sering terjadi, hingga Selasa malam. Korban di pihak mahasiswa berjatuhan.

Pun ketika mahasiswa kembali berdemonstrasi tanggal 30 September, berakhir dengan represi aparat. Sementara wakil rakyat terhormat, tak satu pun bersuara.

“Sangat disayangkan anggota dewan serta pemerintah seakan-akan menutup mata dan telinga terhadap jeritan masyarakat,” ujar Jasmine.

Namun, aksi mahasiswa itu mendapat simpati dari banyak kalangan rakyat. Dukungan mengalir kepada mereka hingga hal kecil-kecil, semisal memasok minum maupun makanan.

Ketika Jasmine sibuk mengatur kawan-kawannya, sang bunda membelanya. Lewat media sosial, Imelda memberi restu.

”Dear Kak Jasmine Umi Safira, stay safe. Kadang kita berdebat panjang atas argumentasi politik terkait RUU KUHP dan Revisi UU KPK. Tetapi bunda tentu akan mendukung sepenuhnya perjuangan kakak dan teman-teman menyuarakan kebenaran dan keberpihakan terhadap suara rakyat. My praying for you. I love you much.”

Melawan Thermidorian

HEGEL SANG FILSUF pernah memberikan nasihat terkait pola ceteris paribus atau faktor-faktor konstan dalam sejarah. Menurutnya, kenyataan-kenyataan yang sangat penting dalam sejarah dunia, seakan-akan terjadi dua kali.

Nasihat Hegel ini—percaya atau tidak—juga terjadi dalam sejarah anak muda Indonesia dalam pentas politik.

Setidaknya, kebenaran diktum itu bisa ditelusuri sejak pemuda terlibat dalam gerakan mahasiswa tahun 1966. Pascahuru-hara mereda, tak sedikit kaum muda yang terlibat aktif membangun rezim Orba.

Namun, periode tersebut justru disesaki segala kemalangan masyarakat. Situasi ini pula yang membuat seorang Soe Hok Gie, eksponen gerakan mahasiswa ’66, kecewa berat terhadap sohib-sohibnya yang terlibat dalam pemerintahan Soeharto.

Dalam kadar tertentu, hal yang sama juga terjadi setelah gelombang reformasi 1998 mengalami arus balik. Tak sedikit kaum muda yang terlibat reformasi memutuskan untuk tetap terjun dalam pentas politik dengan tujuan terus mengawal proses demokratisasi.

Tapi—suka tidak suka, setuju atau tidak—kiprah mereka tak lagi seheroik dulu. Bahkan, jejak langkahnya cenderung tak terlihat dalam arena pertarungan politik, persis saat demokrasi dan kepentingan masyarakat berada dalam bahaya.

Alhasil terdapat ironi, yakni ketika alumnus gerakan pemuda ‘98 banyak yang terjun ke ranah politik, praktik politik transaksional, patgulipat keuangan negara, atau aksi intoleran justru semakin tumbuh kembang di tengah masyarakat.

Persoalan ini tidak khas pemuda Indonesia. Pemuda mahasiswa Perancis eksponen gerakan tahun 1968 yang tersohor itu misalnya, juga berakhir seperti kasus Indonesia.

Sebab, tak sedikit eksponen “soixante-huitards” Perancis menjadi politikus ataupun pemikir yang kekinian justru membenarkan kebijakan neoliberal di negara tersebut.

Alain Badiou—profesor matematika et filsafat yang juga eksponen gerakan ’68—bahkan memopulerkan kembali istilah “Thermidorian” untuk merujuk perubahan sikap politik rekan-rekannya.

Thermidorian secara etimologis berasal dari kata “Thermidor”, yakni nama bulan untuk rentang pertengahan Juli sampai pertengahan Agustus dalam kalender Perancis setelah revolusi 1789.

Pada masa itu, istilah thermidorian dipakai untuk menandai masa “moderasi” atau pengkhianatan para politikus terhadap program pembaruan sosial dan politik Perancis setelah Robespierre, kepala pemerintahan de facto Perancis, dieksekusi mati.

Kisah itu terulang ketika ribuan mahasiswa di berbagai daerah Indonesia menggelar aksi menentang beragam RUU serta kebijakan bermasalah.

Banyak aktivis 98 yang menjadi anggota DPR, tapi dianggap mahasiswa justru tak tampil menolak beragam RUU bermasalah, terutama tentang revisi UU KPK serta RKUHP.

Karenanya, para demonstran sempat menantang eks aktivis1998 yang sudah duduk di kursi parlemen agar menemui para pendemo di depan Gedung DPR, Jakarta.

Secara spesifik, mereka menyebut nama politikus Gerindra Desmond J Mahesa dan politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu.

"Desmond Mahesa di sana, Adian di sana. Kalau mereka berani, kami undang di sini," ujar seorang orator dari atas mobil komando di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa 24 September.

Jasmine, turut menyayangkan kiprah eksponen gerakan mahasiswa 98 yang sudah duduk di parlemen maupun pendukung pemerintah.

Padahal, bagi Jasmine, gerakan mahasiswa 2019 ini justru upaya untuk menuntaskan perjuangan reformasi yang dilakukan senior-seniornya tersebut.

“Sayang sekali kalau mereka anggota DPR, yang dulunya menjadi reformis tahun 98, justru menganggap sepele gerakan kami. Seharusnya, mereka itu mendukung, karena kami di sini berusaha menuntaskan apa yang mereka mulai,” tegasnya.

[Suara.com/Ema Rohimah.Oxta]
[Suara.com/Ema Rohimah.Oxta]

Apa yang tersisa?

SABTU 21 SEPTEMBER, dua hari sebelum aksi Gejayan Memanggil I, selebaran berisi ajakan mahasiswa turun aksi telah tersebar di media sosial.

Beberapa mahasiswa tampak berdiskusi di Universitas Gadjah Mada. Kelak, aksi Gejayan Memanggil I itulah yang memantik mahasiswa di daerah lain—termasuk Jakarta—untuk turun ke jalan berdemonstrasi.

Amalinda Savirani, Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM mendengar beberapa koleganya berdiskusi.

Para dosen berdiskusi, memikirkan perlu tidaknya kampus dikosongkan guna mendukung demonstrasi besar-besaran yang dirancang mahasiswa.

Saat aksi ‘Gejayan Memanggil I’, 23 September 2019, Amalinda kebetulan sedang tidak di Jogja. Amalinda hanya melihat beberap unggahan foto dan status mahasiswanya yang turut serta dalam aksi ‘Gejayan Memanggil I’ lewat platform media sosial.

Melihat aksi mahsiswanya, ingatan Amalinda kembali terlempar pada momentum 1998. Ketika itu, Amalinda merupakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, Fisipol UGM.

Amalinda terlibat dalam aksi protes mahasiswa tahun 1998 sebagai simpul koordinasi gerakan di UGM. Ketika itu, mahasiswa di jogja bersama kota-kota lain memiliki tuntutan yang sama: menuntut Soeharto lengser, supremasi sipil, dan mendesak kebebasan demokratis.

Karenanya, sulit bagi Amalinda untuk tidak mendukung gerakan aksi mahasiswa 2019 menolak berbagai regulasi yang mengancam semangat reformasi 98.

Terlebih, isu-isu usungan gerakan aksi mahasiswa kekinian erat terkait materi pembelajaran yang disampaikan Amalinda di dalam kelas.

Misalnya, Amalinda selalu meminta mahasiswanya untuk terus bersikap kritis, serta bersikap pada setiap persoalan bangsa.

 “Saya agak susah untuk posisi tidak mendukung, karena (materi pembelajaran) itu semua kami fasilitasi dan ajarkan di kelas,” tutur Amalinda.

Amalinda lantas berpikir, penting bagi dirinya untuk memberikan pernyataan dukungan terhadap gerakan aksi mahasiswa-mahasiswanya.

Diapun mulai memperhatikan pola, kecepatan, jenis isu, hingga target tuntukan gerakan aksi mahasiswa 2019.

Sampai akhirnya, Amalinda memberikan beberapa catatan untuk gerakan aksi mahsiswa kekinian berdasar pengalaman dirinya tahun 98.

Amalinda menilai, isu yang diusung gerakan aksi mahasiswa kekinian sangat variatif dan sektoral. Berbeda dengan eranya dulu yang hanya memiliki satu tuntutan: lengserkan Soeharto dan kroni.

Pada lain sisi, Amalinda menilai gerakan mahasiswa kekinian mengusung isu variatif disertai dengan beragam aktor politik serta ekonomi.

Sehingga, kata Amalinda, sulit sekali mencari common ground atau kepentingan bersama yang menyatukan semua kelompok, dan selanjutnya menentukan siapa musuh bersama.

Sebab, bagi Amalinda, musuh gerakan aksi mahsiswa kekinian sangat banyak, termasuk para senior mereka sendiri–yakni aktivis 1998–baik yang telah duduk di posisi strategis lembaga negara dan partai politik, atau sekadar menjadi pengamat.

“Jadi menurut saya jauh lebih berat yang dihadapi mahsiswa saat ini ketimbang generasi 98, karena variasi isu dan variasi aktor,” ujarnya.

Setidaknya, kata Amalinda, penting bagi gerakan mahsiswa kekinian untuk terus mencari kesamaan dan merumuskan siapa “musuh bersama” mereka.

Kemudian, terus mengoptimalisasi platform media sosial sebagai alat membangun gerakan guna mendorong gerakan yang lebih inklusif dan luas.

Menurut Amalinda, pemanfaatan teknologi adalah salah satu kunci bagi kelancaran konsolidasi gerakan aksi mahasiswa kekinian yang tidak dimiliki oleh gerakan mahasiswa 1998.

Amalinda mengatakan, sebagaimana sejarah mencatat, gerakan mahasiswa merupakan gerakan alternatif.

Dia berharap, mereka yang turut serta dalam gerakan aksi mahasiswa kekinian pun akan mengingat peristiwa penting itu, apa pun hasilnya.

“Ujung gerakan beberapa pekan lalu belum diketahui. Tapi saya berharap, mahasiswa akan mengingat peristiwa ini sebagai titik penting, di mana mereka terlibat di dalamnya dan akan tertular ke generasi mendatang,” tuturnya.

”Satu hal yang harus diwariskan, masih ada yang berani berpikir di luar kotak-kotak sempit dan ujungnya adalah kebaikan untuk semua di negeri ini.”

Terbaru
Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran
polemik

Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran

Jum'at, 20 September 2024 | 17:35 WIB

"Memang karakter dalam masyarakat kita, dalam politik pemerintahan itu kan karakter patronase, patron klien," kata Indaru.

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis polemik

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis

Jum'at, 20 September 2024 | 14:27 WIB

"Artinya (kami) tetap dibutuhkan, suka-tidak suka," kata Panel.

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu