Suara.com - Sejumlah intelektual menilai kerusuhan 22 Mei adalah contoh terbaik dari ‘rich people power’, atau gerakan rakyat yang sebenarnya menguntungkan segelintir orang. Sementara si jelata, justru menanggung derita. Tak hanya dewasa, tapi juga bayi.
“ASHOLATU khairum minannaum…. Asholatu khairum minannaum…” azan masih berkumandang melalui pelantang suara masjid di Jalan Slipi Jaya, Jakarta Barat, membangunkan warga untuk salat.
Subuh itu, Rabu 22 Mei 2019, langit Jakarta masih gelita, tapi tak lengang. Azan tampak seperti bersahut-sahutan dengan teriakan orang banyak di sekitar.
“Tar… tar… tar…” bunyi tembakan memecah syahdu suara azan.
Sekelompok orang tengah bertarung dengan aparat kepolisian di jalanan kawasan Slipi, suasana mencekam, kerusuhan pecah setelah KPU sehari sebelumnya, Selasa (21/5), mengumumkan Capres Cawapres nomor urut 1 Jokowi – Maruf Amin memenangkan Pilpres 2019—sedangkan Prabowo dan Sandiaga, kalah.
Rahmat Delvian sedang berada di dalam rumah tokonya yang terletak di pinggiran Jalan Slipi Jaya, arah Tanah Abang.
Ia hanya bertiga di dalam ruko, bersama sang istri, dan buah hati mereka yang masih berusia batita, umur 1 tahun.
Ruko itu adalah satu-satunya sumber penghasilan sekaligus atap untuk berteduh lelaki berusia 35 tahun tersebut.
Delvian membuka usaha bengkel sepeda motor di ruko tersebut. Ia mahir membetulkan beragam jenis sepeda motor yang rusak. Dari kemahirannya itu, ia mendapatkan uang demi sang istri dan si buah hati.
Namun, Subuh itu menjadi celaka untuk Delvian. Ketika bentrokan massa dan polisi pecah, tiba-tiba asap masuk dari sela-sela pentilasi ke dalam ruko.
Delvian dan istrinya mulai sesak bernafas, matanya perih. Bayi mereka yang tengah tertidur lelap, menangis.
Tak kuat menahan perihnya gas air mata, Delvian membuka pintu besi rukonya, berharap mendapat udara lebih lapang dari luar.
Namun, saat pintu terbuka, asap gas air mata justru kian menggumpal dan membuatnya napasnya semakin sesak dan mata perih.
Delvian memutuskan kembali rapat-rapat menutup pintu. Semua sirat-sirat yang membuat gas air mata masuk ke dalam ruko, ia tutup menggunakan kain dan kertas, seadanya.
Si jabang bayi pun ia bawa masuk ke kamar. Delvian dan istrinya terus mengipas, agar udara yang bercampur gas air mata tersibak, demi melindungi bayi mereka.
Di depan rukonya, aparat kepolisian terus merangsek maju, menembakkan gas air mata ke kerumuman massa di hadapan.
Massa pendemo juga tak mau kalah. Mereka terus melempar batu, petasan dan bom molotov yang dibuat dari botol ke arah barisan aparat.
Suasana kacau itu berlangsung hingga pukul 08.00 WIB. Delvian terus berjaga di dalam rumah. Ia khawatir, rukonya turut menjadi sasaran ketika amuk massa semakin memanas.
Ketika ketegangan mulai mereda, Delvian terburu-buru memerintahkan istrinya untuk bersiap. Dia mengungsikan istri dan bayinya ke rumah saudara.
“Asap gas air mata itu masuk ke dalam bengkel ini. Waktu saya buka pintu, mata saya malah jadi tambah perih, napas sesak. Situasi Subuh itu sangat kacau. Suara tembakan bertubi-tubi, dan massa terus melempar molotov dan batu ke polisi,” kata dia kepada Suara.com, Selasa (28/5/2019).
Rabu siang, Devian masih menggerutu, sebab bentrokan tak kunjung selesai. Massa pendemo masih bertahan di sepanjang Jalan Slipi Jaya dan Petamburan.
Beberapa jam sebelumnya, satu kilometer dari Slipi Jaya, persisnya di depan markas Brimob Petamburan, sejumlah kendaraan roda empat di bakar massa aksi.
Delvian berani bersumpah, bukan dirinya ataupun warga sekitar yang membuat kerusuhan tersebut. Menurutnya, massa itu dari luar daerah Jakarta.
“Rabu siang, massa ramai duduk di depan ini (bengkel di Jalan Slipi Jaya). Sepertinya mereka bukan orang sini, mereka massa dari luar kayaknya, tetapi saya enggak tahu dari mana.”
Sore hari, helikopter berputar-putar di langit kawasan Tanah Abang, Slipi, dan Petamburan. Helikopter itu menyemprotkan air di sejumlah titik kerumunan massa.
Namun, lagi-lagi, Delvian harus terkena imbasnya. Rumahnya juga terkena air yang disiram dengan kekuatan kencang dari helikopter.
Bahkan, atap dapur rukonya roboh terkena semprotan air dari helikopter. Air semprotan itu juga sempat menggenang di dapurnya.
“Dapur saya roboh, kayu-kayunya patah. Airnya bau, sepertinya air kali Kanal Banjir Barat Tanah Abang yang diambil. Bahkan, pohon-pohon di pinggiran jalan patah akibat semprotan air dari helikopter itu,” ujarnya.
Warkop Ismail Dibakar Massa
Ismail duduk-duduk bersantai, rehat di dalam pos polisi di Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu dini hari, sekitar pukul 00.30 WIB.
Ia tahu, kawasan itu tak aman, karena massa pendemo di depan gedung Bawaslu menjadikan kawasan di Jalan KH Wahid Hasyim sebagai tempat pertahanan mereka ketika polisi memukul mundur.
Tapi, apa boleh buat pikir Ismail, dirinya harus tetap bertahan di kawasan itu untuk menjaga warungnya yang menjual kopi, bubur ayam, dan mi instan.
Sebab, hanya warung yang berada di samping pos polisi itulah tempat Ismail bisa mendapatkan uang, menyambung hidup di Jakarta.
Waktu rehat Ismail berakhir cepat, ketika massa tiba-tiba datang dan masuk ke dalam pos polisi itu.
“Bakar… bakar… bakar pospol, hancurkan, pecahin kacanya,” teriak massa yang datang.
Ismail terkesiap, tak sempat ia berhambur keluar, massa secara bringas memecahkan kaca pos polisi memakai kayu dan batu.
Isi dalam pos polisi itu terbilang lengkap. Ada televisi, komputer, juga kipas angin. Makanya, Ismail kerap beristirahat di dalamnya saat menjaga warung pada malam hari. Polisi juga membolehkannya.
Tapi tengah malam yang jahanam itu, semua barang-barang dalam pos polisi diangkut oleh massa. Sedangkan bangku-bangku di lemparkan keluar.
Usia Ismail tak lagi muda, sudah memasuki senjakala, 68 tahun, sehingga tak lagi sigap menyelamatkan diri saat massa semakin mengamuk di pos polisi.
Akibatnya, ketika massa memecahkan kaca-kaca pada pos polisi, Ismail yang tak sempat kabur, terkena pecahannya. Lehernya terluka.
“Baju saya berlumur darah karena luka di leher,” kenangnya.
Ismail tak lagi sempat mengerang kesakitan akibat luka, karena massa mulai menjurus untuk ikut membakar warung kopi miliknya.
Warung dan seisinya dibakar massa. Ismail hanya bisa tertekun, bengong, tak percaya, tidak pula sempat melarang.
“Mereka yang membakar pos polisi dan warung saya masih muda-muda. Kayaknya, kalau dilihat dari mukanya, mereka itu berusia 18 tahun, pokoknya di bawah 20 tahun semua,” kata Ismail.
Ismail yakin hakulyakin, massa aksi yang membakar pos polisi dan warungnya bukan orang kampung sekitar, tapi luar Jakarta.
Sebab, Ismail sudah melihat tampang-tampang mereka ramai berkumpul di sekitar Jalan Wahid Hasyim, sejak sehari sebelumnya, Selasa (21/5).
“Saya melihat orang-orang itu sudah ramai sejak Selasa siang. Sepertinya mereka bukan orang sini, tapi orang luar Jakarta,” ucapnya.
Ismail tak menyangka massa bakal seberingas itu. Seingatnya, sejak Selasa siang hingga Rabu malam pukul 20.00 WIB, massa yang menggelar aksi di depan kantor Bawaslu dan depan Mal Sarinah cenderung damai.
Massa sempat salat berbuka puasa, salat Magrib, lantas dilanjutkan Isya serta Tarawih berjemaah di jalanan.
Sempat terpikir oleh Ismail, ini malam keberuntungan buatnya, sebab dagangannya bisa jadi lebih laku saat banyak massa datang.
Tebakan Ismail benar, semakin malam, massa yang menggelar aksi di depan gedung Bawaslu dan sekitarnya kian banyak.
Tapi, kenyataannya tak seindah bayangan Ismail. Bentrokan pecah, dan warungnya ludes terbakar.
“Awalnya sih mereka biasa-biasa saja. Tapi sewaktu ada tembakan gas air mata di depan Bawaslu, masa mengamuk. Mereka membabi buta, mereka berlarian ke pos polisi ini, memecahkan kaca, bangku-bangku di lempar ke luar, semua barang yang ada di dalam dijarah,” tuturnya.
Tadinya, ada sejumlah orang dari perusuh yang melerai rekan-rekannya agar pos polisi dan warung Ismail tak dibakar.
“Tapi ada juga yang manas-manasin, bilang: bakar saja.”
Massa merobohkan atap pos tersebut yang berbahan kayu tripleks. Setelah mereka mengumpulkan tripleks, mereka melumeri baju pakai bensin lalu membakarnya.
Sedangkan di aspal dan trotoar depan pos polisi, tampak banyak batu-batu dan botol-botol berserakan. Namun belum diketahui pasti siapa yang membawa batu-batu dan botol-botol tersebut kala itu.
“Kayaknya mereka sudah menyediakan batu-batu di jalanan. Ya tahu-tahu sudah ada saja bensin dan botol-botol kaca (molotov) buat bakar,” jelasnya.
Karena warungnya hangus terbakar, Ismail sempat mendapat perhatian pemerintah. Ia diundang bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta beberapa waktu lalu. Bantuanpun ia peroleh dari Jokowi berupa uang.
“Beliau ngasih amplop berisi uang Rp 7,5 juta, alhamdulillah. Bangganya itu bisa bertemu bapak Presiden, kalau uangnya sih biasalah,” kata dia.
Segendang sepenarian, Muhammad Taufik juga mengalami nasib serupa Ismail. Warung masakan Manado miliknya juga hangus dibakar massa.
Warung tenda milik Taufik juga terletak di pinggiran jalan KH Wahid Hasim. “Warung saya hangus dibakar massa. Saya jualan nasi masakan Manado,” ujar dia.
Lelaki 57 tahun ini mengakui sudah 25 tahun berjualan di tempat itu. Kekinian, ia hanya bisa pasrah dan berharap dapat bantuan cukup agar bisa kembali berjualan seperti semula.
Taufik mengakui, pada 22 Mei malam, banyak batu dan botol-botol terserak di trotoar dan jalanan depan warungnya. Namun, ia tidak tahu siapa yang membawa batu-batu dan botol itu ke sana.
“Saya enggak tahu mereka bawa batu dan botol-botol kaca itu dari mana. Batu-batu dan botol itu mereka lempar ke barisan polisi waktu itu.”
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.