Senin, 01 Jan 2024
Menjadi ESKA di Negeri Jiran saat Anak-anak, Pergulatan Batin Fitri Home > Detail

Menjadi ESKA di Negeri Jiran saat Anak-anak, Pergulatan Batin Fitri

Reza Gunadha | Erick Tanjung

Kamis, 31 Januari 2019 | 07:15 WIB

Suara.com - Masa depan ada di tangan anak-anak. Tapi tak jarang, seperti di Indonesia, anak-anak menjadi sasaran sindikat perdagangan orang dan dieksploitasi secara seksual. Karena trauma, banyak dari mereka bunuh diri. Bagi mereka yang bertahan, hidup perlahan-lahan berubah menjadi keindahan.

AKU merasa tubuhku sangat kotor. Setiap kali ingat rentetan peristiwa itu, aku selalu berusaha bunuh diri.

Aku sangat takut setiap kali episode kejadian itu muncul dalam benak. Aku tidak mau peristiwa-peristiwa memilukan itu hinggap lagi dipikiranku. Rasa trauma berat itu kulalui selama 3 tahun di shelter Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur.

Orang biasa memanggilku Fitri. Nama lengkapku Fitri Noviana. Saat usia 13 tahun, aku diperdagangkan oleh seorang om-om dari Malaysia.

Aku anak bungsu dari dua orang bersaudara, kakakku laki-laki. Bapakku beretnis China dan Ibuku beretnis Sunda yang dulu tinggal di Sumedang, Jawa Barat.

Bapak meninggal saat aku masih kecil. Selepas bapak pergi, ibu sendirian menafkahi keluarga kami dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan.  

Hingga akhirnya peristiwa kelam itu bermula 16 tahun lalu, persisnya tahun 2003, ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMP di Sumedang.

Kala itu, seorang calo dari Malaysia datang ke rumah. Panggilannya uncle—paman, dia membujuk Ibu untuk mau melepasku bekerja di luar negeri dengan iming-iming uang. Ketika itu, kondisi Ibu sakit-sakitan, ia sudah pasrah dan tak mampu lagi menafkahi kami berdua.

Si Om itu juga ikut membujukku. Dia bilang tak usah takut, nanti bekerja kantoran di Malaysia dan tidak harus bisa berbahasa Inggris. Dia menjanjikan aku tetap bisa berkomunikasi via telpon dengan Ibu selama di luar negeri.  

Ketika itu, kami berangkat naik kapal laut dari pelabuhan Tanjung Priok menuju Pontianak, Kalimantan Barat.

Dari Pontianak jalan darat ke Singkawan hingga akhirnya tiba di Malaysia. Namun, aku tidak tahu nama daerahnya. Di kapal itu sudah ada 4 anak perempuan sebayaku.

Singkat cerita, setiba di Malaysia, kami dibawa ke sebuah penginapan, seperti hotel kelas melati begitu. Dalam satu kamar kami berenam, dan kamar mandinya terletak di luar.

Kami selalu diawasi, bahkan untuk ke kamar mandi saja kami didampingi. Hari ketiga di sana, kami diberi baju seragam dan disuruh bekerja mencuci piring di restoran Mama Jerman.

Bangunannya tiga lantai, paling dasar retoran, lantai 2 tempat karaoke dan lantai 3 ruangan yang aku tidak tahu tempat apa.

Kami mulai bekerja mencuci piring di restoran jam 7 pagi hingga petang. Waktu istirahat makan pukul 14.00, kadang jam 15.00 siang. Makanan yang diberikan ke kami juga tidak layak, kalau pagi cuma dikasih segelas susu.

Selepas mencuci piring, pukul 17.00 sore kami disuruh naik ke lantai atas retoran itu. Saat malam tiba, sekitar pukul 20.00, semua anak-anak dikenakan baju yang sangat seksi. Satu per satu dari kami dipanggil secara bergiliran untuk dibawa ke suatu tempat.

Uncle itu bilang, “Kau tunggu di sini, nanti kalau kau dipanggil kau ikut aku.”  Malam itu dia panggil kami satu per satu, dan aku anak terakhir yang dipanggil. 

Malam itu, kami dibawa naik mobil ke suatu tempat yang menempuh perjalanan 10 menit dari restoran. Anak-anak yang lain berbahasa derah. Kalau diingat sekarang, mereka ternyata berbahasa daerah Nusa Tenggara Timur.

Teman-temanku itu perawakannya hitam-hitam manis. Kemudian satu per satu kami didrop ke tempat-tempat terpisah.

Tiba giliranku didrop di suatu tempat, seperti hotel. Malam itu aku dicekoki minuman. Tidak tahu dikasih minuman apa, tapi setelah itu, aku pusing dan tak sadarkan diri.

Pagi-pagi bangun tidur aku lihat bagian sensitif tubuhku berdarah. Kulihat di sekeliling tidak ada siapa-siapa, kamarnya sudah berantakan dan aku sudah tidak berbusana saat itu.

Aku tak tahu harus bagaimana. Tiba-tiba omnya datang dan bilang, “Cepat pakai baju kau.”

Kemudian kami pergi dan langsung bekerja lagi di restoran seperti biasa. Hari kedua begitu lagi, hingga hari ke delapan.

Aku ingat semuanya, karena menuliskan garis di telapak tangan: satu garis setiap hari. Soalnya aku sudah tidak tahu ketika itu hari apa, tangggal berapa, bulan berapa.

Goresan garis pada telapak tangan itu selalu kujaga suapaya tak hilang, untungnya mencuci piring pakai sarung tangan.

Ditolong Sopir Pejabat Kedubes RI di Malaysia

Hari ke-9, tiba-tiba ada orang Indonesia makan di restoran. Ia mengakui diri sopir pejabat KBRI. Ketika itu, ia sedang merokok di luar bagian sisi samping restoran, persis di tempat kami istirahat siang.

 Fitri Noviana. Dia adalah penyintas sekaligus Project Manager Program ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) Plan Internasional Indonesia. [Suara.com/Erick Tanjung]
Fitri Noviana. Dia adalah penyintas sekaligus Project Manager Program ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) Plan Internasional Indonesia. [Suara.com/Erick Tanjung]

Lalu dia bertanya, “Kamu dari mana, kenapa bisa berada di sini?”

Akhirnya aku berbincang dan menceritakan kepada om itu. Tetapi teman-teman yang lain tidak ada yang berani bicara, mereka hanya diam.

Aku bilang ke dia, “Aku ingin pulang….”

Dia kaget mendengar ceritaku. Dia mengakui orang pemerintah, dan berjanji membantuku untuk pulang.

Namun, ia mengatakan tidak bisa bantu semua teman-temanku. Tapi paling tidak, aku seorang bisa dia bawa keluar dari tempat itu.

Entah bagaimana caranya, dia pada malam-malam datang menyewaku kepada mucikari untuk menemaninya karaoke di Pub lantai dua.

Saat aku di kamar karaoke, aku disuruh berganti baju dan diminta untuk menemani pak sopir tersebut karaoke. Om itu bilang, “Kamu temani menyanyi saja, tak usah takut.”

Selang beberapa saat setelah itu, dia bilang ke mucikari mau membawaku jalan-jalan saja, tak mau karaoke.

Kemudian aku dibawa turun ke bawah. Setelah itu dia bilang, “Saya hanya bisa bawa kamu ke kantor kedutaan, setelahnya kamu bilang sendiri, ceritakan di sana”.

Awalnya aku merasa kenapa om ini jahat sekali, aku tidak tahu harus bagaimana di Kedutaan itu. Mungkin begitu cara dia untuk mengamankan diri dari mucikari tersebut. Soalnya di sering makan direstoran itu.

Tiba di kantor KBRI aku diterima oleh satpam. Ketika itu, aku mengenakan baju yang sangat minim dan seksi. Di KBRI aku diberi selimut, dikasih pakaian dan sebagainya.

Saat itu ada organisasi IOM di sana, mereka yang membantuku. Aku ceritakan kepada mereka, kemudian aku dibawa ke penampungan IOM.

Keesokan harinya, Polisi Diraja Malaysia bersama IOM menggerebek restoran Mama Jerman. Aku tidak ingat alamatnya di mana, tetapi setelah ditelusuri dan digrebek, anak-anak—temanku—sudah tidak ada di sana.

Menurut mereka, teman-temanku sudah tidak ada di sana, sudah dipindahkan. Mungkin karena aku menghilang, jadi mereka mengamankan anak-anak yang lain supaya tidak ketahuan.

Tak lama di sana, aku di bawa pulang oleh IOM ke Jakarta. Aku dibawa ke Rumah Pelayanan Sosial Perlindungan Anak Bambu Apus di Jakarta Timur.

Ketika itu, RPSA Bambu Apus baru terbentuk, belum ada layanan apa pun, pasiennya baru aku sendiri. Namun, yang aku sedihkan, saat itu cuma aku sendiri yang bisa pulang, tapi teman-temanku yang lain bagaimana? Karena masih banyak anak-anak yang lain korban perdagangan perempuan di sana.

***

Selama setahun di RSPA, aku masih trauma berat, tidak mau berbicara dengan orang lain, apalagi dengan laki-laki.

Aku terpaksa tinggal di penampungan, karena aku tak tahu harus pulang ke mana. Aku tidak tahu di mana ibu dan kakak tinggal. Itulah yang membuat kondisiku berat rasanya selama 6 bulan pertama.

Akhirnya, aku lebih banyak di kamar. Bahkan aku beberapa kali mencoba untuk bunuh diri, bila tiba-tiba teringat kejadian saat di Malaysia.

Barang apa pun yang ada di sekitar kupecahkan. Setahun berlalu adalah proses yang sangat berat buatku. Aku tidak mau sekolah, tidak mau makan, tidak mau apa-apa. Sejumlah psikolog didatangkan untuk membantuku terapi.

Tiba-tiba, ada satu anak yang satu shelter denganku. Dia bercerita menjadi korban kekerasan seksual. Dia dari Sukabumi, Jawa Barat.

Dia bilang, “Kamu beruntung banyak orang yang memperhatikan kamu. Kalau aku tidak ada yang memerhatikan.”

Penggeladahan di sebuah bangunan rumah yang diduga tempat penampungan sementara Tenaga Kerja Indonesia  (TKI) Ilegal di kawasan Percetakan Negara, Jakarta, Rabu (31/5).
Ilustrasi - Tempat penampungan ilegal korban perdagangan orang.

Kami berdua saling bercerita. Kami berdua sampai sekarang berteman dekat. Dia sekarang bekerja di LSM.

Dia yang membantu memotivasiku, dia bilang “Ayo, sudahlah, jalan kita masih panjang.” Dia yang membantuku keluar dan mau berbicara sama orang lain.

Aku tinggal di shelter itu lebih lama dari pada anak-anak yang lain. Aku tinggal di sana selama 3 tahun. Biasanya shelter itu hanya untuk 6 bulan, tapi aku di shelter itu sampai usia 16 tahun.

Selepas keluar penampungan, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah. Karena sudah ketinggalan jauh, aku mengikuti program kejar paket untuk masuk SMA.

Usahaku berhasil, dan bisa diterima menjadi siswi di SMA Cipasung, Tasikmalaya, Jabar.

Aku  berangkat ke Tasikmalaya ia selalu dibantu oleh orang-orang IOM. Setiap libur sekolah pun, aku selalu kembali ke shelter RPSA Bambu Apus. Sebab, aku belum sanggup bertemu keluarga.

Setelah SMA, aku ditawari mantan Kepala RSPA Bambu Apus, Pak Untung—kini almarhum—untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Tawaran itu kuterima dan menempuh studi Ilmu Psikologi di Universitas Islam Bandung. Semua biaya ditanggung Pak Untung. Sedangkan untuk biaya indekos dan kebutuhan hidupnya sehari-hari, aku dibantu seorang pengurus IOM.

Sama seperti saat SMA, sewaktu kuliah, aku  tetap membantu adik-adik di penampungan. Aku yang mengasuh anak-anak korban pedagangan manusia. Sebab, aku bisa memahami perasaan mereka, sesama korban.

***

Tujuh tahun setelah diriku dijual ke Malaysia, 2010, kondisi kejiwaanku sudah tenang. Aku berpikir, harus melanjutkan hidupku secara baik-baik, melupakan masa lalu, mengubur semua kenangan buruk di palung paling dalam pikiranku.

Tapi, tahun itu justru menjadi bagian terberat dalam episode kehidupanku. Sebab, saat itulah aku kali pertama kembali bertemu ibu. Aku kala itu masih tak tahu, apakah harus memaafkan ibuku sendiri.

Usiaku saat itu sudah 20 tahun. Aku masih memendam pemikiran bahwa ibukulah yang menjualku ke calo dari Malaysia itu, dan merusak hidupku.

Selain bertemu ibu, aku juga bertemu kakak lelakiku. Persamuhan itu terjadi di kantor Dinas Sosial Kota Bandung.

Saat itulah aku baru mengetahui, ternyata kakakku juga dijual, menjadi korban perdagangan manusia. Dia dipaksa bekerja sebagai anak buah kapal berbendera asing.

Awal pertemuan, aku merasa ibu tak merasa bersalah dan tak sepatah kata pun permintaan maaf darinya mengalir untukku.

 Fitri Noviana. Dia adalah penyintas sekaligus Project Manager Program ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) Plan Internasional Indonesia. [Suara.com/Erick Tanjung]
Sketsa Fitri Noviana. [Suara.com/Erick Tanjung]

Ada amarah di dalam diriku. Ada perasaan aku tak mau lagi bertemu ibu. Tapi di lain sisi, ada keinginan keras dalam diriku untuk menatap wajah ibu. Aku kangen.

Setelah persamuhan itu, kondisi psikologisku yang sudah stabil justru kembali menurun. Peristiwa-peristiwa kelam di Malaysia kembali datang, menghantuiku.

Tak mudah, sejak pertemuan itu, aku terus mencoba menerima kembali ibuku. Aku baru bisa benar-benar memaafkannya tujuh tahun kemudian,  saat berusia 27 tahun.

Aku berpikir, memaafkan adalah bagian dari pengobatan traumatis. Karena selama ini aku terus marah. Kalau bertemu orang, aku selalu bilang sebatang kara, tak punya keluarga.

Lama kelamaan aku berpikir, ibuku dulu pasti memunyai pertimbangan lain dan mendapat desakan dari kondisi perekonomian sehingga mau melepasku menjadi korban perdagangan orang.

Apalagi, belakangan, aku baru mengetahui ibu mencariku ke mana-mana setelahnya.

Dari Penyintas Jadi Aktivis

Fitri tampak lepas saat menceritakan pengalaman pahit hidupnya sebagai korban perdagangan orang kepada Erick Tanjung—jurnalis Suara.com—saat berbincang di sebuah hotel di Kota Lombok, Nusa Tenggara Barat, pekan lalu.

Kekinian ia bekerja sebagai Project Manager Program ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) pada Plan Internasional Indonesia—LSM internasional yang khusus mendampingi anak-anak ESKA, korban maupun pernikahan dini.

“Prinsip yang harus dipegang saat menangani isu ini adalah, eksploitasi seksual komersial terhadap anak, pernikahan dini, dan perdagangan orang, bermotif ekonomis. Sekelompok orang mendapat keuntungan dari semua praktik kotor itu,” tuturnya.

Ia menjelaskan, mayoritas anak-anak korban ESKA dan perkawinan anak itu dari keluarga miskin dan pola asuh yang tidak baik.

Misalnya, ada yang ibunya bekerja di luar negeri menjadi TKW, sementara sang anak tinggal bersama nenek atau kakeknya, sehingga tumbuh kembangnya tidak terkendali secara baik. Ada juga yang orangtuanya miskin, kemudian korban perceraian orangtua.

Bagi korban, semua hal itu membuat trauma berkepanjangan. Seperti dirinya, yang dalam setahun pertama setelah diselamatkan dan tinggal di penampungan, harus ditempatkan di ruang isolasi karena kerap mencoba bunuh diri.

Ilustrasi Human Trafficking [shutterstock]
Ilustrasi Human Trafficking [shutterstock]

“Ketika itu, setiap bertemu orang lain, aku takut. Apalagi melihat laki-laki dewasa. Bahkan aku tidak mau ada petugas laki-laki. Tak hanya itu, selama 10 tahun, aku selalu insomnia, hanya bisa tidur 2 jam sehari. Itulah penderitaan korban ESKA,” jelasnya.

Menurutnya, selain memerangi praktik pedagangan anak dan eksplotasi seksual terhadap anak, setiap pihak harus memosisikan korban bukan sebagai “pesakitan” melainkan teman. Dengan begitu, korban bisa pulih lebih cepat.

Kepada setiap orang yang menjadi korban perdagangan anak atau eksploitasi seksual, Fitri mewanti-wanti hidup harus terus dilanjutkan.

“Aku mulai terbuka berbicara dengan laki-laki di usia 24 tahun, waktu kuliah aku sudah mulai dekat dengan laki-laki. Dunia tak semenakutkan dalam bayanganku. Kini, akku sudah menikah. Suamiku orang Korea Selatan yang tinggal di Jakarta.”

Terbaru
Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran
polemik

Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran

Jum'at, 20 September 2024 | 17:35 WIB

"Memang karakter dalam masyarakat kita, dalam politik pemerintahan itu kan karakter patronase, patron klien," kata Indaru.

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis polemik

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis

Jum'at, 20 September 2024 | 14:27 WIB

"Artinya (kami) tetap dibutuhkan, suka-tidak suka," kata Panel.

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu