Rabu, 2 Apr 2025
Pembunuhan Berbalas Remisi Presiden, Bagaimana Jurnalis Prabangsa Dibantai
Home > Detail

Pembunuhan Berbalas Remisi Presiden, Bagaimana Jurnalis Prabangsa Dibantai

Reza Gunadha | Erick Tanjung

Senin, 28 Januari 2019 | 08:05 WIB

Suara.com - Remisi terhadap narapidana I Nyoman Susrama, pembunuh jurnalis Radar Bali Anak Agung Bagus Narendra Prabangsa pada tahun 2009, membuat keluarga korban kecewa. Remisi yang diteken presiden, membuat luka lama mereka kembali terkoyak.

DI BAWAH terik panas Matahari, Jumat (25/1) pekan lalu, perempuan berkacamata yang tak lagi muda itu khusyuk mengikuti aksi massa di Denpasar, Bali.

Berbalut kemeja berwarna gelap berlengan panjang, sembari menggendong tas ransel merah, AA Sagung Mas Prihatini berada dalam barisan para aktivis maupun jurnalis yang menuntut Presiden Jokowi agar mencabut remisi terhadap I Nyoman Susrama—pembunuh Prabangsa.

Prihatini sendiri adalah istri mendiang Prabangsa. Ia mengikuti aksi itu di tengah pikiran yang membuncah. Remisi sang presiden membuat luka hatinya kembali menganga perih.

"Ini membuat luka lama saya muncul kembali. Sejatinya, saya sejak awal, setelah kasusnya terungkap sampai pembunuhnya divonis, sudah berusaha untuk mengikhlaskan. Saya berusaha menerima semuanya lapang dada," tutur Prihatini.

Prihatini berupaya terus hidup untuk anak-anaknya, dengan sejumput kenangan manis getir tatkala Prabangsa masih berada di sisinya setiap hari.

Namun, upaya Prihatini untuk mengubur kenangan pahitnya di palung paling dalam pikirannya, terinterupsi pada akhir tahun lalu.

Pada 7 Desember 2018, Presiden Jokowi meneken Kepres Nomor 29 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara. Melalui kepres itu, Susrama yang membunuh suaminya, dihukum 20 tahun penjara dari vonis bui seumur hidup.

Prihatini mengakui, setelah mendapat pemberitaan mengenai remisi itu, perasaannya campur aduk antara kaget, sedih dan marah.

Ia butuh waktu bertahun-tahun untuk menerima kenyataan suaminya meninggal dibunuh secara sadis. Meski telah memaafkan pelaku pembunuh suaminya, Prihartini berharap hukuman seumur hidup yang telah dijatuhkan majelis hakim terhadap Susrama tidak diubah.

"Saya kecewa terhadap keputusan remisi ini. Kasus ini susah sekali diungkap. Remisi ini seakan menghilangkan kerja keras kejaksaan, jurnalis, dan juga kepolisian.”

Prihatini tak habis pikir, mengapa sang presiden dan pemerintah mau memberikan remisi terhadap Susrama.

“Intinya saya kecewa. Karena peristiwa itu, bagi saya, adalah luka seumur hidup, yang mungkin akan berbekas seterusnya," ujarnya.

Prihatini berharap, remisi dikaji ulang karena menurutnya hal tersebut juga untuk menjaga kebebasan pers di republik ini.

"Mengenai remisi bisa dikaji ulang, karena ini juga untuk melindungi teman pers yang menjalankan tugasnya sebagai pilar demokrasi itu. Saya berharap, kejadian yang menimpa suami saya tidak terulang.”

AA Sagung Mas Prihatini (tengah, berjaket dan tas merah), saat mengikuti aksi menolak remisi pembunuh suamianya, di Kantor Kemenkumham Provinsi Bali, Jumat (25/1/2019). [Khadafi/TIMES Indonesia]
AA Sagung Mas Prihatini (tengah, berjaket dan tas merah), saat mengikuti aksi menolak remisi pembunuh suamianya, di Kantor Kemenkumham Provinsi Bali, Jumat (25/1/2019). [Khadafi/TIMES Indonesia]

Dibunuh karena Berita

Sebelum ditemukan tewas pada 15 Februari 2009, Prabangsa lebih dulu dilaporkan hilang oleh keluarganya ke Poltabes Denpasar, lima hari sebelumnya.

Beberapa hari setelah keluarga melaporkan kehilangan Prabangsa, sepeda motor milik mendiang ditemukan di kampung kelahirannya, Taman Bali, Kabupaten Bangli.

Belakangan diketahui, Prabangsa sempat pulang ke rumahnya sebentar, sebelum pergi ke tempat yang tidak diketahui siapa pun.

Kematian Prabangsa menyebar luas setelah petugas Polres Karangasem yang mengevakuasi jenazah korban dari perairan Padang Bai, menemukan kartu pers Radar Bali dan SIM atas nama korban. Saat ditemukan, jenazah Prabangsa sudah rusak seperti bekas dianiaya.

Polisi lalu menyimpulkan Prabangsa tewas dibunuh, namun bukan disebabkan oleh pemberitaan. Polisi sempat kehilangan akal untuk mengungkap kematian Prabangsa.

Kesimpulan awal polisi itu langsung mendapat tantangan, ketika rekan-rekan korban menyampaikan bahwa Prabangsa pernah beberapa kali mengakui diancam orang tak dikenal.

Polisi juga didorong untuk mengungkap motif pembunuhan Prabangsa yang erat terkait kerja jurnalistiknya.

Sebab, di antara berita yang pernah ditulis Prabangsa, terdapat tiga artikel mengenai dugaan korupsi pembangunan fasilitas pendidikan di lingkungan Dinas Pendidikan Bangli senilai Rp 4 Miliar.

Berkat dukungan publik yang meliputi komunitas pers, masyarakat adat, politikus dan parpol, sampai warganet di Facebook, kasus Prabangsa pelan-pelan terungkap. 

Tatkala pengungkapan kasus ini berjalan lamban, AJI Denpasar membentuk tim mengungkap tuntas kasus pembunuhan Prabangsa.

Sejumlah tokoh yang berpengaruh di Bali dirangkul untuk menunjang kerja tim. AJI Indonesia, sebagai organisasi payung AJI Denpasar, langsung memberikan dukungan penuh. Secara cepat, keanggotaan tim membengkak. Advokat, aktivis LSM, politikus, pemuka agama, bahkan preman, bersedia masuk ke dalam tim.

Hasil penelusuran tim menemukan setidaknya ada tiga berita yang berpotensi memancing konflik dengan narasumber. Kebetulan, ketiga berita itu ditulis sendiri oleh Prabangsa dan ketiganya berkaitan dengan Bangli, daerah kelahiran Prabangsa.

Semuanya ditulis pada Desember 2008, sekitar dua bulan sebelum Prabangsa hilang dan kemudian tewas.

Berita pertama muncul pada 3 Desember 2008, berjudul “Pengawas Dibentuk setelah Proyek Jalan.” Isinya tentang kejanggalan dalam proyek pembuatan jalan di Kabupaten Bangli.

Lalu ada lagi berita berjudul “Bagi-bagi Proyek PL Dinas Pendidikan Bangli” yang ditulis sepekan kemudian, 8 Desember 2008.

Keesokan harinya, Prabangsa menulis berita lanjutan soal dugaan korupsi di Dinas Pendidikan Bangli dengan judul “SK Kadis Dinilai Cacat”.

Ketiga berita itu menunjukkan Prabangsa sebenarnya tengah mengendus jejaring permainan manipulasi anggaran negara di Pemerintahan Kabupatan Bangli.

Dia dimungkinkan mengetahui tokoh utama di balik sekelumit dugaan korupsi tersebut. Anehnya, ketiga berita itu hanya muncul sekelebat pada Desember 2008, lalu mereda.

Penemuan ketiga berita yang berpotensi menjadi sumber masalah bagi Prabangsa ini, menguatkan dugaan awal Tim Advokasi bahwa kematian wartawan itu terkait karya jurnalistik. Namun, informasi yang sangat berharga ini tetap tak mempan memacu polisi bekerja lebih cepat.

Penemuan tiga berita yang ditulis Prabangsa pada Desember 2008 dijadikan petunjuk awal buat para jurnalis. Mereka mulai menghubungi sumber-sumber di lingkungan pegawai negeri dan pejabat di Bangli yang dianggap mengetahui persoalan itu.

Awal April 2009, sejumlah wartawan mulai mengetahui peran besar Nyoman Susrama, adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa, dalam berbagai proyek pembangunan di kabupaten itu.

Susrama adalah seorang kontraktor, yang sering memenangkan tender pembangunan dan pengadaan di dinas-dinas maupun instansi pemerintah lain di Bangli.

Sementara salah satu berita korupsi yang ditulis Prabangsa adalah, soal proyek Susrama di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli.

Titik terang mulai muncul. Wartawan mulai menelisik latar belakang Susrama dan mencari tahu apa saja kegiatan dan keseharian tokoh ini.

Karena maraknya pemberitaan yang mendesak polisi mengusut tuntas kasus ini, akhirnya Polda Bali membentuk Tim khusus.

Tim ini menemukan sejumlah bukti—berupa pesan pendek maupun isi percakapan telepon—antara Prabangsa dengan sejumlah orang yang belakangan ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ini.

“Intinya mereka minta agar Prabangsa tidak lagi menulis soal kasus-kasus korupsi di Bangli. Mereka minta agar pemberitaan soal kasus tersebut dihentikan,” kata AKBP Akhmad Nur Wahid, komandan Tim Lima, kala itu.

Sejak bukti percakapan dan pesan pendek itu ditemukan, penyidikan polisi mulai mengarah pada orang-orang tertentu di Bangli.

Mereka adalah Kepala Dinas Pendidikan Bangli Anak Agung Ngurah Samba, dan keponakannya Anak Agung Sastrawan.

Polisi juga mulai mencari kaitan pembunuhan ini dengan Nyoman Susrama, adik Bupati Bangli, dan kawan dekat sekaligus pengawalnya, Nyoman Wiradnyana alias Rencana.

Sastrawan adalah kontraktor yang mengerjakan proyek pembangunan sekolah di Dinas Pendidikan Bangli. Sedangkan Susrama dikenal sebagai penguasa tak resmi yang kerap menentukan siapa pemenang tender-tender di Bangli.

Kronologis kasus ini tertuang dalam buku berjudul “Jejak Darah Setelah Berita” yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Buku ini menceritakan hasil investigasi AJI Denpasar mengungkap kasus pembunuhan terencana terhadap jurnalis Prabangsa oleh I Nyoman Susrama.

I Nyoman Susrama, pembunuh jurnalis Radar Bali Anak Agung Bagus Narendra Prabangsa pada tahun 2009. [Antara Foto]
I Nyoman Susrama, pembunuh jurnalis Radar Bali Anak Agung Bagus Narendra Prabangsa pada tahun 2009. [Antara Foto]

Dibuang ke Laut Hidup-hidup

Semua bukti dan kesaksian yang dihimpun polisi, memastikan pembunuhan Prabangsa terjadi pada 11 Februari 2009.

Pada tanggal itu, sekitar pukul 14.00 waktu setempat, Susrama menghubungi anak buahnya, yakni Komang Gede, untuk menjemput Prabangsa di rumah orangtuanya di Taman Bali, Bangli.

Saat itu Prabangsa ada di Bangli untuk menghadiri Upacara Nelubulanin (upacara bayi berusia tiga bulan) anak salah satu kerabatnya.

Satu jam kemudian, sekitar pukul 15.00 WITA, Komang Gede, Nyoman Rencana dan Komang Gede Wardana alias Mangde, sampai di Taman Bali.

Mereka mengendai mobil Honda Civic LX warna hijau muda metalik. Prabangsa sudah menunggu. Mereka berempat lalu bergerak rumah Susrama yang tak terpakai di Banjar Petak, Bebalang, Bangli.

Dalam perjalanan, tangan Prabangsa sudah diikat ke belakang. Tak sampai setengah jam, mereka tiba di Banjar Petak.

Prabangsa dikeluarkan dari mobil dan digiring ke halaman belakang. Tangannya masih erat diikat. Tak lama kemudian, sebuah mobil Kijang Krista warna hitam juga merapat ke rumah itu.

Dari dalam mobil, keluarlah Susrama dan satu anak buahnya, Dewa Sumbawa. Tanpa banyak cakap, Susrama memberi perintah pada anak buahnya untuk mulai memukuli Prabangsa.

Kala itu waktu menunjukkan pukul 16.10 WITA. Dikeroyok seperti itu, Prabangsa tak berkutik. Badannya babak belur. Susrama bahkan sempat turun tangan, memukul kepala Prabangsa.

Pada satu kesempatan, Prabangsa melompat dan berlari keluar rumah. Tapi pelariannya gagal. Mangde, Rencana dan Sumbawa berhasil menangkap dan menyeretnya kembali ke halaman belakang rumah Susrama.

Ketika itulah, Susrama memberi perintah untuk menghabisi nyawa Prabangsa. Rencana dan Mangde lalu mengambil balok kayu besar yang banyak berserakan di pekarangan dan mendekati Prabangsa.

Rumah itu memang belum selesai dibangun. Tumpukan batu bata dan kayu teronggok di sana sini. Prabangsa memohon ampun, tapi tak digubris.

Buk… buk… wajah wartawan itu dihajar keras. Darah muncrat. Tubuh Prabangsa lemas dan terkulai ke tanah.

Susrama yang berencana memberi pukulan terakhir, melepaskan balok kayu di tangannya. Prabangsa terkapar.

Susrama lalu memerintahkan dua anak buahnya yang lain, Endi Mashuri dan Darianto, untuk membersihkan darah Prabangsa yang tergenang. Mereka menyiramnya memakai air, dan menimbunnya dengan tanah dan pasir.

Sementara itu, Prabangsa yang pingsan tapi masih bernafas, digotong ke dalam rumah dan disekap di sebuah kamar di sana. Luka di kepalanya menganga dan berdarah.

Malam bertambah kelam. Sekitar pukul 21.00, sesuai instruksi Susrama, Mangde dan Rencana menaikkan tubuh Prabangsa yang masih lunglai ke dalam mobil Kijang Rover warna merah milik bos mereka.

Mobil itu lalu dikebut menuju Pantai Goa Lawah. Ketika diperiksa polisi karena kasus ini, Dewa Sumbawa yang menjadi sopir malam itu, bercerita bagaimana tubuh Prabangsa dibuang ke laut.

Mendekati Pantai Goa Lawah, tepatnya di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung, Susrama menelepon seseorang yang diduga pemilik perahu.

Ketika mobil merapat ke pantai, si pemilik perahu sudah menunggu. Gus Oblong dan Maong mengusung Prabangsa yang masih hidup ke dalam perahu. Tak lama, perahu beringsut berlayar ke tengah laut. Mereka kembali tanpa Prabangsa.

“Ini adalah kasus pembunuhan berencana. Motifnya sakit hati pelaku terkait berita yang pernah dibikin korban soal penyimpangan proyek Dinas Pendidikan di Bangli,” kata Kapolda Bali Irjen Ashikin Husein ketika mengumumkan para tersangka kasus ini, 25 Mei 2009.

Menurut Ashikin, polisi akan menjerat para tersangka dengan Pasal 338 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) karena melakukan pembunuhan. Ancaman hukumannya paling lama lima belas tahun penjara.

Polisi juga menjerat mereka dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Ancaman hukumannya lebih berat: pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

[Buku Jejak Darah Setelah Berita/AJI]
[Buku Jejak Darah Setelah Berita/AJI]

Satu-satunya Kasus yang Terungkap

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen, kasus pembunuhan Prabangsa adalah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia.

Kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang sudah diusut. Sementara 8 kasus lainnya belum tersentuh hukum dan mandek hingga kekinian. Delapan kasus itu, antara lain pembunuhan Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan Harian Bernas (1996).

Selain itu, kasus pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006); kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010); dan, kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).

Berbeda dengan lainnya, kasus Prabangsa ini bisa diproses hukum dan pelakunya divonis penjara. Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susarama dengan divonis penjara seumur hidup.

Sebanyak delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum dari 5 tahun sampai 20 tahun. Upaya mereka untuk banding tak membuahkan hasil.

Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya kesembilan terdakwa, April 2010. Keputusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010.

Bagi kalangan jurnalis, kasus Prabangsa ini menjadi tonggak penegakkan hukum dalam perkara pembunuhan serta kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.

Pengungkapan pembunuhan Prabangsa ini seharusnya menjadi contoh bagi pemerintah dan penegak hukum dalam menjaga dan menegakkan kebebasan pers. Karenanya, para jurnalis dan aktivis mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut remisi bagi Susrama, si pembunuh wartawan.


Terkait

Tim Kuasa Hukum Juwita Minta Penyidik Lakukan Tes DNA Guna Mengetahui Sperma di Rahim Jenazah
Rabu, 02 April 2025 | 21:56 WIB

Tim Kuasa Hukum Juwita Minta Penyidik Lakukan Tes DNA Guna Mengetahui Sperma di Rahim Jenazah

Kasus dugaan pembunuhan jurnalis Juwita: Keluarga meminta penyidikan komprehensif, termasuk pemeriksaan CCTV dan tes DNA sperma korban di luar Kalsel.

Oknum TNI AL Diduga Bunuh Jurnalis di Kalsel, Legislator PKS Desak PTDH
Kamis, 27 Maret 2025 | 20:46 WIB

Oknum TNI AL Diduga Bunuh Jurnalis di Kalsel, Legislator PKS Desak PTDH

"Proses dan tegakkan hukum secara tegas hingga PTDH jika terbukti karena jelas pelanggaran berat sumpah prajurit,"

Jurnalis Perempuan Diduga Dibunuh Oknum TNI AL, Menteri PPPA: Hukum Seberat-beratnya
Kamis, 27 Maret 2025 | 17:16 WIB

Jurnalis Perempuan Diduga Dibunuh Oknum TNI AL, Menteri PPPA: Hukum Seberat-beratnya

"Jadi, terhadap siapa pun tidak boleh terjadi. Oleh karena itu, mudah-mudahan segera diusut tuntas,"

Mabes TNI Buka Suara, Kasus Pembunuhan Jurnalis Juwita akan Dibongkar Tuntas
Kamis, 27 Maret 2025 | 14:11 WIB

Mabes TNI Buka Suara, Kasus Pembunuhan Jurnalis Juwita akan Dibongkar Tuntas

"Kalau memang terbukti dia, memang dia pelakunya, ya nggak ada ampun. Hukum seberat-beratnya,"

Terbaru
Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba
polemik

Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba

Minggu, 30 Maret 2025 | 21:45 WIB

Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu polemik

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu

Sabtu, 29 Maret 2025 | 11:06 WIB

Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL polemik

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL

Jum'at, 28 Maret 2025 | 22:56 WIB

Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers! polemik

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers!

Jum'at, 28 Maret 2025 | 14:21 WIB

Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi? polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.