Suara.com - Gelombang tsunami Selat Sunda menghantam Banten dan Lampung, Sabtu akhir pekan lalu. Bangunan luluh lantak. Ratusan orang tewas. Tapi, lelaki tua itu tak mau lari. Baginya, kalau sudah waktunya ombak raksasa itu melepas rindu pada daratan, tak ada yang mampu menghalangi.
SEMUA orang kampungnya sudah mengungsi ke wilayah dataran tinggi, sejak Desa Sumber Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandegelang, yang berada di tubir pantai Banten, ikut tersapu gelombang tsunami Selat Sunda, Sabtu (22/12).
Tapi Kakek Emed memutuskan untuk tidak ikut mengungsi. Bahkan pada malam tragedi itu, ia hanya berusaha menggapai apa pun yang terbilang lebih tinggi dari gelombang tsunami, seperti pohon atau atap rumah di kampungnya.
Setelah ombak raksasa itu kembali pulang ke samudera, lelaki tua itu turut pulang ke rumahnya. Tak ada niatan dirinya untuk pergi dari bibir pantai itu, yang sudah menghidupinya selama 72 tahun bernapas.
Saat pulang, Kakek Emed mendapati rumahnya sudah hancur berantakan. Tapi baginya yang sehari-hari hidup di tengah lautan sebagai nelayan, hal itu lumrah. Tak ada yang mampu menahan amarah ombak.
Selasa (25/12/2018), dua hari setelah jeritan manusia yang tergulung tsunami maupun yang berlari menyelamatkan diri tak lagi terdengar di kampung itu, Emed sibuk bersih-bersih di dalam maupun halaman rumahnya.
”Semua orang sudah mengungsi. Saya tidak. Kalaupun ada tsunami susulan, saya tak kemana-mana. Kalau mati, saya akan mati di sini,” tuturnya kepada Erick Tanjung—jurnalis Suara.com—yang menghampirinya.
Sembari beberes dan memberikan makanan untuk kambingnya yang juga selamat diterjang tsunami, Kakek Emed bercerita tentang keberadaan dirinya saat malam tsunami menghantam.
”Malam itu saya di rumah. Biasanya melaut, tapi entah, malam itu saya memutuskan untuk di rumah.”
Keputusan Kakek Emed ternyata tepat. Tsunami datang menerjang. Ia berupaya menyelamatkan diri. Sebagai orang yang terbiasa melawan ombak di tengah laut, Kakek Emed selamat saat didatangi air itu di daratan.
Setelah tsunami pergi, orang-orang di kampungnya yang masih selamat, enggan pulang ke rumah. Mereka memilih tinggal di kamp-kamp pengungsian di dataran tinggi.
Kakek Emed akhirnya sendirian di Desa Sumber Jaya. Ia bertahan untuk menjaga rumah dan kampungnya.
”Saya sejak Senin malam di rumah saja, walau sudah rusak parah. Listrik masih padam. Saya pakai lampu petromak.”
Sang kakek tak memercayai isu yang beredar bahwa tsunami bakal kembali datang. Begitu pula terhadap pengumuman pemerintah melalui BMKG, yang menetapkan status wilayah Selat Sunda, kawasan Pandegelang dan Lampung Selatan rawan gelombang tinggi hingga Rabu 26 Desember kemarin.
Sebagai nelayan, ia berkukuh memegang kearifan lokal dalam memprediksi kondisi alam dan gelombang di lautan.
Menurutnya, sebelum terjadi bencana tsunami, air laut pasti lebih dulu surut hingga ke tengah. Keyakinan Emed tak sepenuhnya benar. Pada Sabtu akhir pekan lalu, tsunami datang tanpa lebih dulu air laut surut. Tak pula ada gempa.
Sebab, tsunami akhir pekan lalu itu merupakan dampak dari Gunung Anak Krakatau yang bergeliat, sejak “sang ibu”—Gunung Krakatau—melahirkannya pada kekelaman malam 135 tahun silam.
Namun, Emed meyakini tak ada tsunami susulan. Ia percaya, langit cerah dan air laut yang tenang setelah tsunami, menjadi pertanda ombak Selat Sunda sudah membayar lunas kerinduannya pada daratan.
"Saya mah enggak takut. Orang-orang pada ngungsi saya mah enggak. Orang kemarin pada bilang bakal ada gelombang susulan, saya mah enggak percaya kalau manusia yang ngomong. Kalau gusti Allah, baru tah saya percaya,” tuturnya.
Bagi nelayan tua seperti dirinya, ombak setinggi apa pun harus dihadapi, hidup atau mati. Mereka sudah terbiasa ada di antara gelombang-gelombang air yang tinggi.
Kakek Emed memberikan bukti klaim, bahwa nelayan-nelayan yang berada di tengah laut saat tsunami datang justru aman dan semuanya selamat.
"Nih ya, anak saya juga pas kejadian itu lagi di laut, tapi enggak apa-apa. Kalau yang di tengah laut mah enggak ada apa-apa, selamat semua.”
Selasa belum begitu sore kala itu. Waktu masih pukul 15.00 WIB, saat dari bibir pantai tampak perahu Basarnas melaju ke daratan.
Perahu karet yang mengangkut sekitar 15 orang itu baru saja menyusuri pulau Oar yang masuk wilayah administratif Desa Sumber Jaya.
Relawan dari arah kampung berlarian mendekati belasan petugas Basarnas berpakaian oranye yang baru melabuhkan perahu.
Beberapa saat setelah mereka berkerumun terlihat ngobrol, terdenga tempik sorak "Air laut naik… air laut naik … gelombang naik… Ayo semuanya, semuanya lari ke bukit!"
Sontak, para pengungsi yang kembali ke desa untuk mengambil barang-barang mereka yang masih selamat, lari lintang pukang. Mereka tunggang langgang ke atas bukit.
Namun, Kakek Emed tetap santai. Ia tak ikut berlari. Kakek Emed benar-benar membuktikan pernyataanya untuk tak lari.
“Saya enggak mau lari. Kalian saja sana. Kalau takdirnya mati mah, di pengungsian juga bisa mati. Kalau belum takdirnya, saya di sini saja bakal selamat.”
***
Bupati Pandeglang Irna Narulita Dimyati menyebutkan, dari 10 kecamatan yang ada di pesisir Kabupaten Pandeglang, ada 4 kecamatan yang hancur porak-poranda. Keempat kecamatan itu ialah Carita, Labuan, Panimbang, dan Sumur.
“Daerah pesisir yang terdampak parah yakni Carita, Labuan, Panimbang, dan Sumur,” ujarnya, Rabu (26/12/2018).
Khusus di Kecamatan Sumur, penanganan tsunami Selat Sunda sempat terhambat, karena sulitnya akses ke lokasi.
“Ke sumur sulit masuk. Hari pertama dan kedua alat berat sulit masuk. Hari ketiga mulai bisa masuk dan banyak bantuan,” ujarnya.
Bupati mengatakan, tim gabungan masih fokus melakukan penyisiran evakuasi korban tsunami Selat Sunda, membersihkan puing-puing, dan mendistribusikan bantuan untuk para pengungsi.
“Di wilayah Pandeglang saja ada sekitar 17.000 jiwa pengungsi,” ujarnya.
Sementara di pengungsian, korban tsunami Selat Sunda di Kecamatan Sumur, masih kekurangan selimut dan tikar. Sejak tsunami Selat Sunda menerjang, mereka kedinginan dan tidur di tempat seadanya.
Hingga kekinian, masih banyak masyarakat yang datang ke posko meminta bantuan. Untuk logistik bahan makanan, air mineral dan lainnya bisa dipenuhi, hanya selimut dan tikar yang tidak bisa diberikan, karena kehabisan.
"Kalau logistik lain cukup banyak, untuk selimut dan tikar kehabisan. Banyak masyarakat dapat minta selimut dan tikar tapi gak bisa dipenuhi," kata Edi Santoso, relawan di posko tsunami di Kecamatan Sumur.
Ia mengharapkan pemerintah dan pihak lainnya bisa memberikan bantuan selimut dan tikar bagi korban tsunami di daerah ini.
"Jenis bantuan lainnya masih diperlukan, namun kami harapkan utamakan selimut dan tikar," ujarnya.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.