Suara.com - Toleransi antarumat beragama kekinian tampak seperti barang mahal. Untuk mendapatkannya, harus ditebus dengan perdebatan bahkan tak jarang harus lebih dulu melewati tragedi. Tapi warga di sebuah gang sempit di Jakarta, mampu mengajarkan cara mudah untuk merayakan perbedaan.
Raut wajah Neng Herti meredup saat bernostalgia, mengenang Pilkada DKI Jakarta 2017. Kontestasi politik itu sempat menjadi momok yang menakutkan bagi kehidupannya.
Sebagian orang, dan juga politikus, menyebut pilkada itu sebagai pesta demokrasi. Tapi bagi Neng Herti, pilkada setahun silam tak ubahnya petaka yang nyaris menghancurkan warga yang dipimpinnya.
Politik identitas yang menjurus pada dikotomi berdasarkan identitas suku, agama, ras, serta golongan yang dipraktikkan sejumlah politik pada Pilkada DKI, sempat menjalar ke warganya.
Neng Herti, nama perempuan itu, adalah Ketua RT1/RW8 Kelurahan Tengah, Kramat Jati, Jakarta Timur. Perempuan berusia 49 tahun itu mengetuai 100 keluarga di gang sempit bernama Eka Dharma.
Gang sempit yang hanya bisa dilewati sepeda motor itu, sejak lama dikenal sebagai kampung toleransi karena warganya bisa hidup berdampingan serta saling tolong menolong meski berbeda agama.
“Sebagai simbol toleransi, walau di gang sempit ini, kami memiliki Musala Al Mukhlashiin dan Gereja Kristen Pasundan Kampung Tengah,” tuturnya kepada jurnalis Suara.com yang bertandang ke kediamannya, Sabtu (22/12) akhir pekan lalu.
Jarak antara musala dan gereja itu hanya terpaut 50 meter. Gereja lebih dulu dibangun, tahun 1970. Sementara musala baru dibangun tahun 2000.
Neng Herti betul-betul masih mengingat, ketika warga Muslim membangun musala, tetangganya yang Kristen ikut membantu dalam banyak hal: pembiayaan, tenaga, hingga menyediakan makanan bagi para pekerja.
Namun, toleransi antarumat beragama dalam gangnya itu yang sudah terjalin sejak puluhan tahun silam, sempat terancam tatkala muncul pro-kontra Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada pilkada setahun lalu.
“Sempat ada ketegangan di antara warga yang berbeda pilihan politik dan menjalar ke isu SARA. Tapi alhamdulillah, kami bisa mengatasi dan warga tetap rukun.”
Kala itu, sempat ada sejumlah orang yang menyebar pesan kampanye berlatar SARA melalui grup WhatsApp warga kampungnya.
Awalnya, Neng Herti menanggap pesan-pesan kampanye tersebut tak bakal menggoyahkan keteguhan warganya menjaga toleransi. Tapi lambat laut, ada pula warga yang terpengaruh.
Sebagai Ketua RT, Neng Herti bergerak cepat menghubungi warga yang menyebar pesan hoaks itu. Ia meminta agar si warga menyetop penyebaran hoaks SARA.
“Waktu itu saya kontak dia dan minta jangan disebarkan lagi info-info itu, kita harus menjaga toleransi dan keberagaman," ujar dia.
Selain merebaknya ujaran kebencian, ada warga yang memasang spanduk di depan gang berisi tawaran menjadi tim sukses salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Herti lantas menasehati warganya tersebut, dan spanduknya dicabut.
Resah dengan kondisi itu, Neng Herti gencar memberikan imbauan kepada warganya, baik itu saat acara keagamaan di gereja, pengajian atau arisan di musala.
Dia mengimbau warganya untuk tidak terprovokasi isu-isu SARA dan ujaran kebencian yang beredar luas di media sosial.
"Kami selalu menyampaikan, bahwa beda pilihan itu hal biasa, pilihlah salah satu calon sesuai hati nurani masing-masing, janganlah mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Karena yang akan merugi kita sendiri, walau bagaimanapun tetangga adalah saudara kita sendiri.”
Hidup berdampingan dengan penuh rasa persaudaraan antara warga muslim dan nasrani sudah berlangsung puluhan tahun di Kampung Tengah ini. Sebagai Ketua RT, Herti menjaga kerukunan itu dengan merangkul semua warganya.
Ia mengedepankan nilai-nilai demokrasi dalam hubungan sosial masyarakatnya. Setiap kebijakan diambil secara musyawarah untuk mencapai mufakat dengan melibatkan warga. Hingga sekarang, warga Kampung Tengah hidup rukun dan guyub.
"Alhamdulillah warga kami mengerti, kami bahagia sekali punya warga yang baik dan mengerti apa arti kerukunan.”
Tradisi Jam 2 Malam
Setiap hari-hari besar keagamaan, warga yang berbeda keyakinan di Kampung Tengah saling berkunjung sebagai bentuk kerukunan umat.
Saat hari raya Idul Fitri, warga Kristiani bersilaturahmi ke rumah-rumah warga Muslim. Begitu pula sebaliknya, saat Natal, warga Muslim bersilaturahmi ke rumah tetangga yang Kristiani.
Setelah merayakan pergantian tahun, sekitar pukul 02.00 dini hari, warga Muslim biasanya berkeliling ke rumah-rumah warga Nasrani untuk mengucapkan selamat Natal dan tahun baru.
"Jadi jam 2 pagi, seusai perayaan tahun baru, kami masih berada di gang-gang. Kami datang ke rumah ibu pendeta, ke rumah saudara kami yang Kristiani untuk bersilaturahmi mengucapkan natal dan selamat tahun baru," ucapnya.
Selain itu, ada pula 'Sabtu Ceria', kegiatan mendongeng bersama anak-anak kampung di aula Musala Al Muklashiin.
Sang pendongeng bergantian, antara Pendeta Gereja Kristen Pasundan Magyolin Carolina Tuasuun, atau ustaz musala. Apabila di Musala ada acara, mendongeng untuk anak-anak dilaksanakan di aula gereja. Sabtu Ceria itu tanpa agenda keagamaan.
Begitu pula kegiatan arisan Ibu-ibu, jika aula musala terpakai, acara dipindah ke aula gereja.
"Karena kami di sini tidak membedakan agama, kami seperti keluarga. Jadi semua ditanggung bersama-sama.”
Sementara itu, orang luar yang datang menetap untuk indekos di kampung itu juga diwajibkan menjaga toleransi. Seperti biasa, setiap warga baru dicek identitasnya.
Neng Herti sudah 18 tahun dipercayai warganya menjadi Ketua RT. Dalam pemilihan Ketua RT pada Oktober lalu, ia kembali dipilih oleh warga secara aklamasi, tanpa ada saingan. Perempuan itu menjadi sosok yang didengar arahan dan imbauannya oleh warga.
Perempuan asal Pelabuhan Ratu, Sukabumi ini menetap di Kampung Tengah sejak 1989 karena menikah dengan M Rivai (61), warga setempat. Dia ialah figur pemimpin yang dekat dengan warganya.
"Kami memang pendatang, tapi kami seperti saudara.”
Kekinian, Neng Herti tengah harap-harap cemas. Menjelang Pilpres 2019, ia mengkhawatirkan kembali merebak isu-isu hoaks dan diskriminasi SARA.
"Yang lebih susah itu mempertahankan kerukunan. Kadang khawatirkan saya itu mucul, karena dengan adanya orang-orang baru, zaman sudah modern, teknologi sudah canggih.”
Pendeta Mendongeng di Musala
Pengurus Mushala Al Mukhlasiin, Khairullah mengutarakan bahwa toleransi dan kerukunan warga Gang Eka Dharma sudah sejak lama terjalin. Menurutnya, silaturahmi antarwarga tanpa membedakan agama merupakan ajaran Islam.
"Islam itu kan hablum minannas, ajaran saling menolong antarsesama makhluk Tuhan tanpa memandang ras, suku, dan agama.”
Meski sempat terjadi ketegangan saat Pilkada DKI tahun lalu karena maraknya menyebar isu SARA, warga akhirnya tetap rukun. Warga saling menjaga dan mengingatkan supaya tak mudah terprovokasi isu-isu SARA sarat politik.
"Memang pilkada tahun lalu sempat tegang, tapi kita warga di sini aman-aman saja, tidak terlalu terpengaruh isu konflik SARA dari luar. Setiap acara warga, Ibu RT selalu memberitahu, meski berbeda pilihan kita harus tetap jaga kerukunan,” tuturnya.
Dia menambahkan, nilai-nilai toleransi dan kerukunan ditanamkan kepada anak-anak sejak dini di kampung itu. Seperti kegiatan mendongeng untuk anak-anak di aula musala. Anak-anak Kristiani diperbolehkan untuk masuk mushala, begitu juga sebaliknya.
"Kegiatan Sabtu Ceria di musala, anak-anak Kristiani boleh masuk. Sabtu Ceria yang menyampaikan materinya Ibu pendeta di aula musala.”
Hal senada juga diuatarakan oleh Pendeta Gereja Kristen Pasundan Magyolin Carolina Tuasuun. Menurutnya, warga Gang Eka Dharma yang berbeda agama bisa hidup rukun.
Buktinya, dirinya sebulan sekali mendongeng di aula musala bersama anak-anak kampung tanpa rasa canggung.
Begitu juga dengan gereja yang sering digunakan oleh anak-anak muda untuk latihan paduan suara. Bahkan, beberapa dari anak muda-mudi yang latihan paduan suara di gereja mengenakan kerudung.
"Warga kampung sini sudah seperti kayak saudara semua. Kami tidak memandang ras, suku dan agama," kata Magyolin.
Rohana (54), warga Gang Eka Dharma menuturkan, sudah puluhan tahun warga hidup tentram tanpa ada konflik agama. Ia menegaskan, meski Pilkada DKI 2017 lalu marak merebak isu SARA, warga di kampung Tengah tak terpengaruh.
"Walaupun saat Pilkada DKI tahun lalu ada konflik di luar sana, warga di sini biasa-biasa saja. Tidak ada yang sampai diam-diaman atau marah-marahan antarwarga. Buat apa marah-marahan, enggak ada untungnya buat kami, yang ada masalah nanti sama tetangga jadi jelek hubungannya," kata dia.
Nenek empat cucu ini sudah menetap di Gang Eka Dharma sejak 1978. Selama 40 tahun tinggal di sana, warga muslim dan kristen hidup berdampingan tanpa pernah ada konflik agama.
"Sampai sekarang warga di sini rukun, tentram, baik-baik saja. Enggak pernah ada pertikaian karena soal agama.”
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.