Senin, 01 Jan 2024
Terbunuh Sepi di Tengah Keramaian Jakarta Home > Detail

Terbunuh Sepi di Tengah Keramaian Jakarta

Reza Gunadha | Erick Tanjung

Kamis, 20 Desember 2018 | 20:01 WIB

Suara.com - Apa kebahagiaan bagi warga Jakarta selepas pulang bekerja di kantor? Pulang ke rumah disambut istri? Menggila di sebuah pesta? Mencecap sebotol bir ditemani musik jazz atau blues di pub? Membaca buku puisi atau novel sembari minum kopi di kafe? Berduaan dengan pacar? Tidur?

SUKA tidak suka, setuju atau tidak, Jakarta selama 24 jam menyediakan kesemua itu. Sebab, Jakarta tak pernah sekejap pun menjadi kota mati. Kalaupun tak riuh, paling tidak Jakarta selalu ramai.

Kesemua daya tarik itu, bisa jadi, merupakan sekian dari sedikit pilihan kelas menengah ibu kota agar tak melulu berkutat dalam rutinitas yang nyaris sama setiap hari.

Rutinitas membosankan seperti yang diperingatkan, persis satu dekade lalu, oleh Seno Gumira Ajidarma—sastrawan kekinian menjadi Rektor Institut Kesenian Jakarta—tentang bagaimana “Menjadi Tua di Jakarta” bisa sangat mengerikan.

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa,” tulis Seno dalam sekumpulan esai berjudul “Kentut Kosmopolitan” (2008; hlm 39-42).

Namun, beragam pilihan untuk mendapatkan kebahagiaan selepas menjalani rutinitas mekanis itu, ternyata belum menjamin para penghuni bebas dari penyakit akut yang juga bersemayam di jantung kota metropolis seperti Jakarta: terbunuh oleh rasa kesepian.

Sepi di Belantara Gedung Tinggi

Suhu udara Jakarta sedang panas-panasnya saat Adriana berjalan memasuki restoran masakan China di Mal Epiwalk, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (19/12/2018). Waktu tepat menunjukkan pukul 12.00 WIB, saatnya jam makan siang.

Raut mukanya tampak lelah, layaknya orang yang baru menyelesaikan bertumpuk-tumpuk berkas pekerjaan. Ia lantas memesan sup jagung kepiting dan teh hangat untuk menu makan siang.

Perempuan 30 tahun asal Bandung ini adalah tulang punggung bagi keluarganya. Sibuk berkarier, hingga kekinian Adriana masih melajang.

"Kerja kantoran dan punya gaji gede di Jakarta itu tidak bisa membeli kebahagiaan, apalagi menebus rasa sepi,” keluh Adriana.

“Oh ya, aku minta kamu menulis namaku sebagai Adriana. Aku tak enak dengan kantorku kalau pakai nama sebenarnya,” pintanya.

Adriana adalah perempuan yang memunyai karier di sebuah lembaga asing tapi berbasis di Jakarta. Dia lulusan Fakultas Ilmu Komunitas Universitas Padjajaran Bandung tahun 2012.

Semasa kuliah, Adriana memang sudah berniat mengejar impiannya di Jakarta: bekerja di perusahaan swasta, bergaji besar, dan merengkuh segala yang diinginkan.

Cita-citanya terkabul pada 2013. Ia diterima bekerja pada sebuah perusahaan media massa di Jakarta. Dia sempat cuti dari perusahaan tempatnya bekerja karena melanjutkan studi ke luar negeri.

Selepas bekerja di majalah bergenre gaya hidup, tahun 2017, ia berkarier di lembaga asing tempatnya bekerja sekarang dengan gaji hampir mencapai Rp 20 juta per bulan. Di lembaga asing yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat ini, ia dipercaya sebagai humas.

Meski memunyai penghasilan tergolong besar ketimbang tempat kerja sebelumnya, ternyata juga tidak bisa melepaskan dirinya dari stres bekerja di kota metropolis.

“Aku masuk kantor pukul 8.00 pagi hingga jam 17.00 sore, bahkan tak jarang harus bertahan di kantor hingga pukul 21.00 malam jika ada pekerjaan tambahan yang harus diselesaikan.”

Begitulah rutinitas yang ia lalui setiap hari dari Senin sampai Jumat. Terkadang, ia juga terpaksa harus bekerja pada akhir pekan bila ada perintah dari bos. Kompensasinya hanya diberi pengganti hari libur.

Semua rutinitas membosankan itu terbayar, tatkala anak sulung dari dua bersaudara ini tidak lagi perlu menabung uang untuk liburan.

Gaji besar yang didapatnya, membuat Adriana bisa pergi ke mana pun, bahkan kalau ide berlibur itu mendadak muncul di benaknya. 

Namun Adriana merasa, setelah piknik ke luar kota dan kembali ke Jakarta, stres itu lagi-lagi datang bergelayut.

"Liburan bagiku untuk menghilangkan stres akibat pekerjaan di Jakarta. Tetapi sekembalinya dari liburan, rasa senang seketika lenyap dan kembali stres karena rutinitas. Jadi gaji besar itu belum bisa membeli kebahagiaan. Meski duit bisa membuat kenyamanan, karena saya bisa liburan domestik kapan pun saya mau.”

Rutinitas pekerjaan yang sangat padat, di tambah hiruk pikuk kehidupan serta kemacetan jalanan Jakarta semakin membuatnya stres. Kondisi itu menyebabkan Adriana merasa hidupnya kesepian.

"Kadang saya merasa kesepian hidup bekerja di Jakarta ini. Kesepian bukan karena jauh dari keluarga atau teman dekat saya yang lebih banyak di Bandung. Tetapi saya merasa sepi karena bingung mencari orang yang bisa dipercaya untuk berkeluh kesah," ujarnya.

Adriana tipikal orang yang tidak bisa curhat, berkeluh kesah kepada sembarangan orang. Termasuk kepada keluarga, orangtua, tidak semua masalah bisa ia ceritakan.

Ia merasa kalau berkeluh kesah kepada keluarga atau teman, biasanya masukkan yang didapat adalah diceramahi agar bersyukur, berdoa dan banyak beribadah.

"Tetapi masalahnya bukan itu, saya cuma mau bercerita, menyampaikan keluh kesah dan didengar, itu saja," harapnya.

Balas dendam Adriana terhadap rasa stres akibat rutinitas hidup di Jakarta, disalurkannya pada hobi berolah raga tiap tiga atau lima kali sepekan.

Biasanya, sepulang kerja, Adriana ke klub untuk latihan pilates dan beladiri Muay Thai.

"Untuk mengatasi tingkat stres pekerjaan, saya berolah raga. Saya tak suka ngegosip ya, jadi kadang ketimbang emosi di kantor, mending saya Muay Thai saja.”

Selain berolah raga, untuk mengontrol tingkat stres, dia mengatur pola jam kerja supaya taat deadline dengan menggunakan aplikasi Podomoro Timer.

"Misalnya  saya bekerja 40 menit, kemudian beberapa saat saya main media sosial atau gim untuk penyegaran otak lagi. Sekarang saya tidak mau dihantui pekerjaan.”

***

Air muka Firman menampakkan kelelahan saat tiba di Kafe Anomali Senopati, Jakarta Selatan, Rabu malam. Bujang berusia 28 tahun itu baru saja menembus kemacetan lalu lintas dari kantornya di kawasan Semanggi.

Firman bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang jasa peti kemas ekspor impor. Ia sudah hampir 6 tahun bekerja perusahaan itu.

Dengan status lajang, penghasilan Rp 12 juta tergolong cukup besar. Sebagai ganjarannya, pagi-pagi buta, pukul 5.30 WIB, ia sudah harus berangkat dari rumahnya di Tangerang, agar bisa tiba tepat waktu di kantor pukul 7.30 WIB.

Firman baru selesai bekerja pukul 17.00 WIB. Tapi, karena kondisi macet di tol, ia biasanya baru jalan dari kantor sekitar pukul 19.00 WIB, untuk tiba di rumah pukul 21.00 WIB. Begitu rutinitas yang ia jalani setiap hari kerja, Senin hingga Jumat.

Tak jarang pula bosnya memberikan pekerjaan mendadak atau kerja tambahan, sehingga harus bertahan di kantor hingga pukul 20.00 malam. Selain itu, tuntutan pekerjaannya cukup berat, sebab dalam sepekan, ia harus bertemu pelanggan sebanyak delapan kali.

Sebagai sales, ia tak hanya berjualan produk, tetapi juga diperintahkan menagih utang dan sebagainya. Belum lagi tekanan bos yang membuatnya harus mengejar target agar penilaian kerjanya selalu bagus setiap pekan.

Bahkan untuk mengejar target, ia harus bersaing dengan rekan-rekannya sekantor sesama sales.

"Ada juga teman-teman sesama sales yang berkelahi, karena persaingan pekerjaan untuk memenuhi target bos. Sementara 'kue' yang dipersaingkan dalam mencapai target, terbatas," tuturnya.

Kondisi itu membuatnya stres. Untuk mengatasinya, Firman melampiaskan dengan nongkrong sembari menikmati minuman keras di klub-klub malam. Karaoke, diskotik, spa yang dilengkapi layanan seks menjadi hiburan baginya.

"Biasanya aku nongkrong dengan teman-teman di klub untuk minum-minum, mabuk sampai pagi. Kadang di klub malam kawasan BSD Tangerang, kawasan Kota dan beberapa klub lain di Jakarta. Biasanya di hari Jumat, karena besoknya libur, jadi bebas mau mabuk sampai pagi," ungkapnya.

Rutinitas pekerjaan begitu membuatnya lupa untuk mencari pasangan. Kekinian, Firman masih lajang.

"Sampai sekarang saya masih jomblo, soalnya sibuk bekerja. Bahkan kadang untuk membalas chat gebetan tak bisa. Terus terang, saya kesepian.”

Ilustrasi. Foto dijepret Suara.com hari Rabu (19/12/2018). [Suara.com/Fakhri Hermansyah]
Ilustrasi. Foto dijepret Suara.com hari Rabu (19/12/2018). [Suara.com/Fakhri Hermansyah]

Terasing di Kotanya Sendiri

Adriana, Firman, dan banyak warga Jakarta yang merasa kesepian meski cenderung memunyai segalanya, sebenarnya bukanlah hal baru di dunia.

“Kamu bisa merasa kesepian di mana pun,” tutur Olivia Laing dalam buku The Lonely City: Adventures in the Art of Being Alone (2006). “Tapi ada perasaan lain yang khas saat rasa kesepian itu terasa tatkala berada dalam kota yang dikelilingi jutaan orang.”

Jauh sebelum era industrial yang melahirkan kota-kota metropolis semaju zaman kiwari, filsuf Jerman Georg Simmel sudah menubuatkan, bahwa daerah-daerah seperti itu bisa menjadi tempat yang luar biasa karena disesaki orang-orang asing tanpa nama.

“Satu tempat di mana orang-orang akan merasa tercengang karena tersesat serta kesepian adalah di kerumunan kota metropolitan,” kata Simmel dalam buku Die Großstädte und das Geistesleben alias The Metropolis and Mental Life (1903).

Seabad kemudian, ramalan Simmel benar-benar terjadi. Survei yang dilakukan ComRes tahun 2013 menunjukkan, 52 persen warga metropolitan London, merasa kesepian. Itu membuat London menjadi tempat paling sepi di Inggris.

Alhasil, tahun 2015, jaringan yayasan sosial Acevo menginisiasi The Loneliness Project untuk membantu para penghuni London agar tak lagi merasa kesepian.

Henry Miller, novelis kelahiran Brooklyn, New York, Amerika Serikat, pun merasakan hal yang sama sekembali ke kotanya sendiri setelah satu dekade tinggal di Paris, Prancis.

"New York yang tak pernah berhenti beraktivitas, bisa membuat anda gila dan penuh kegelisahan kalau tak memiliki keseimbangan batiniah,” kata Henry kepada The Guardian, 7 April 2016.

Rasa stres dalam rutinitas keseharian di metropolis semaju New York, membuat Henry terpaksa melakukan segala hal agar tak bunuh diri.

"Di New York saya selalu merasa kesepian. Rasa kesepian bak hewan terkurung, yang bisa membuat saya melakukan kejahatan, seks, alkohol, serta kegilaan lainnya,” tuturnya lagi.

Tak hanya di New York, The Guardian juga menyebutkan rasa sepi menggelayuti penghuni kota metropolis di AS lainnya seperti Los Angeles, dan San Francisco.

Ilustrasi. Foto dijepret Suara.com hari Rabu (19/12/2018). [Suara.com/Fakhri Hermansyah]
Ilustrasi. Foto dijepret Suara.com hari Rabu (19/12/2018). [Suara.com/Fakhri Hermansyah]

Penyakit Kota Metropolis

Kesepian yang dirasakan pekerja kantoran di kota-kota metropolis, bukan sekadar perasaan biasa yang mengikuti suasana hati seseorang. Kesepian itu adalah patologis atau kondisi yang tak normal dalam lingkup kehidupan sosial kota metropolis.

Psikolog Bimo Wikantiyoso menuturkan, rasa kesepian tersebut secara keilmuan merupakan gejala alienasi alias keterasingan di lingkungan sendiri.

”Pada dasarnya, orang yang bekerja itu pengin merasakan apa yang ia kerjakan itu milik dia. Seperti anak-anak yang menunjukkan ke orangtuanya, ini lho bu hasil kerjaku, ini lho hasil karyaku. Tetapi di dunia kerja, hasil kerjanya itu menjadi angka-angka. Jadi mereka tidak merasakan dan memiliki hasil kerjanya, tidak memiliki hasil karyanya,” kata Bimo.

Gejala seperti itu terjadi di setiap level pekerja, baik buruh pabrik maupun kantoran. Khusus pekerja kantoran, banyak yang mengatasi rasa kesepian dengan mengerjakan banyak hobi.

Misalnya, memodifikasi motor atau mobil balap, lantas dipamerkan ke media-media sosial.  “Tapi masalahnya tidak semua orang, tak semua pekerja, mampu melakukan seperi itu.”

Bagi yang tak mampu, pelariannya adalah minuman keras, nongkrong di klub-klub malam seperti di Jakarta.

“Rutinitas pekerjaan yang padat, kemacetan jalan, membuat para pekerja kehilangan koneksi sosial mereka. Jakarta sudah terlalu kacau untuk bisa melakukan kehidupan sosial yang tanpa berorientasi duit. Kalau tak kuat, putus asa, bisa bunuh diri.”

Sementara bagi yang kuat menahan stres seperti itu, bukan berarti mereka lulus ujian. ”Karena bisa saja mereka tetap bertahan hidup demi membiayai anak-anak, orangtua, sebagainya.”

Lantas, apa tak ada jalan keluar dari sengkarut persoalan kesepian di kota metropolis? Satu-satunya jalan adalah membangun dan menjaga hubungan sosial tanpa berpatokan pada uang.

”Sekarang di Jakarta sangat minim ada orang yang berkumpul sekedar jagongan tanpa membicarakan pekerjaan, membahas proyek dan orientasi uang,” kata Bimo.

Ilustrasi. Foto dijepret Suara.com hari Rabu (19/12/2018). [Suara.com/Fakhri Hermansyah]
Ilustrasi. Foto dijepret Suara.com hari Rabu (19/12/2018). [Suara.com/Fakhri Hermansyah]

Dampak Kesepian

Dokter kejiwaan, dr Dharmawan A Purnama SpKJ, mengatakan terdapat banyak faktor yang membuat mayoritas para pekerja kantoran di Jakarta stres. Menurutnya, kekinian, beban pekerjaan dari manajemen perusahaan cenderung meningkat.

Dulu, seorang karyawan fokus pada keahliannya mengerjakan satu bidang pekerjaan. Kini, banyak perusahaan menuntut pekerjanya multitasking.

Selain itu, faktor kondisi macet di jalanan untuk berangkat dan pulang kantor juga menyebabkan stres.

"Belum lagi ada politik kantor, hal-hal itu membuat orang kelelahan. Sementara mau minta cuti mendadak enggak bisa. Misalnya cuti seminggu, setelahnya pasti diuber pekerajaan lagi," katanya.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Utara ini menuturkan, tingkat stres serupa banyak dialami oleh pasiennya dari kalangan pekerja kelas menengah.

Stres karena pekerjaan, mengakibatkan banyak orang terserang penyakit, seperti maag, nyeri punggung, nyeri otot dan lainnya.

Bahkan yang lebih ekstrem adalah, ada pekerja kelas menengah setingkat manajer atau kepala cabang putus asa hingga mencoba bunuh diri.

"Ada yang sampai mau bunuh diri, seperti kepala cabang yang stres tidak mencapai target, dia harus dipindah ke daerah, jadi memikirkan keluarganya bagaimana. Akhirnya dia berhalusinasi, jadi dia buntu, dan frustrasi.”

Menurutnya, tren pekerja kelas menengah yang stres berat karena pekerjaan di Jakarta meningkat. Kebanyakan adalah eksekutif muda.

"Kebanyakan eksmud, usia 20-an, karena kariernya baru menanjak. Sementara dunianya senang-senang, dan belum siap dengan kenyataan hidup," tuturnya.

"Kompensasi stres ada yang ke hiburan tidak sehat, misalnya main cewek, konsumsi  narkoba, akhirnya kena penyakit kelamin.”

Solusinya, kata dia, harus memahami situasi sosial masyarakat. Kemudian tidak mudah terpengaruh oleh media sosial yang mendorong gaya hidup hedonis.

"Padahal orang hidup itu tidak harus jadi direktur dan kaya harta. Harus belajar dari nilai-nilai adiluhung nenek moyang kita,” tutur mahasiswa doktoral Sekolah Tinggi Filsafat Diryarkara ini.

Terbaru
Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran
polemik

Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran

Jum'at, 20 September 2024 | 17:35 WIB

"Memang karakter dalam masyarakat kita, dalam politik pemerintahan itu kan karakter patronase, patron klien," kata Indaru.

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis polemik

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis

Jum'at, 20 September 2024 | 14:27 WIB

"Artinya (kami) tetap dibutuhkan, suka-tidak suka," kata Panel.

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu