'Bis Kota', Melawan Kopi Saset dari Utara Jakarta
Home > Detail

'Bis Kota', Melawan Kopi Saset dari Utara Jakarta

Reza Gunadha | Dian Kusumo Hapsari

Senin, 26 Maret 2018 | 07:27 WIB

Suara.com - Sebelum kopi saset beraneka merek menyesaki etalase gerai maupun warung kaki lima, bungkusan kopi cap ”Bis Kota” adalah label nomor wahid bagi warga ibu kota. Kini, perbawanya telah meredup. Tapi, gerigi mesin penggiling Toko Wong Hin masih bersetia melahirkan kopi itu, di utara Jakarta.

Dua mesin penggiling kopi yang tampak kusam, ketinggalan zaman, dan berdebu, masih berputar menggiling biji-biji kopi dan mengeluarkan suara bergemuruh dari dalam Toko Sedap Djaja Wong Hin, dua pekan lalu.

“Mesin ini sudah dipakai sejak masa Jepang,” tutur Wong Fiefie Widjaja, pemilik toko tersebut.

Fiefie adalah generasi ketiga yang mengelola Toko Sedap Djaja, satu-satunya toko tempat penggilingan, peracikan, sekaligus pengemasan kopi cap “Bis Kota”.

Ia mewarisi usaha itu dari sang ayah, Martono Widjaja, yang merupakan generasi kedua pemilik toko yang persisnya berada di Jalan Pintu Pasar Timur Nomor 40 Pasar Jatinegara tersebut.

Dulu, ketika kakek Fiefie kali pertama merintis usaha pada tahun 1939, kopi yang diproduksi toko tersebut bernama “Kopi Terompet”.

“Tapi, sejak 1943, namanya menjadi ‘Kopi Bis Kota’. Sejak saat itu, kami juga tak pernah mengganti gambar dan tulisan yang tertera pada bungkusnya,” tutur Dede—sapaan akrab Fiefie.

Pada bungkus setiap kopi di toko itu, memang masih tertera tulisan dalam ejaan lama: “Toko Sedap Djaja d/h Wong Hin. Kopi Wahid No 1 Bis Kota. Kopi pilihan dari Djawa jang paling baik. Terdjual di mana-mana warung. Tergiling dan terbungkus di Djl. Pintu Pasar Timur 40.“

Lambang yang terdapat dalam bungkus kopi itu juga terbilang sederhana, yakni gambar bus kota bernomor polisi B 1943, yang menandai tahun kelahirannya.

Arab Saudi dan AS

Sejak dulu, Dede mengakui jenis kopi produksi tokonya yang paling banyak diburu pembeli adalah robusta. Biji kopinya didatangkan langsung dari Sumatera.

“Kopi jenis robusta paling banyak dibeli, sejak dulu sampai sekarang. Kami menjual paling kecil ukuran 250 gram, seharga Rp9.000,” terangnya.

Selain robusta, kopi “Bis Kota“ jenis arabika juga banyak diminati pelanggan. Berbeda dengan robusta, kopi jenis arabika dijual lebih mahal, Rp72 ribu per kilogram.

Pelanggan kopi ”Bis Kota” kekinian tak lagi hanya dari pedagang kopi eceran di Jakarta dan sejumlah daerah penyangganya.

“Ada penggemar setia kopi kami yang berdomisili di Arab Saudi. Kami juga mengirimkan kopi ini ke Amerika Serikat, karena saya pernah bersekolah di sana,” terangnya.

Bahkan, sejumlah kedai kopi “milenial” atau kafe juga menjadi pelanggan setianya.

Toko Sedap Djaja Wong Jin, tempat penggilingan, peracikan, dan pengemasan kopi "Bis Kota", di Jalan Pintu Pasar Timur Nomor 40 Pasar Jatinegara, Jakarta. [YouTube]

Pertahankan Tradisi

Meski dulunya dikenal kopi nomor wahid di Jakarta, Dede mengakui usaha kopinya kekinian mulai mengalami penurunan dalam jumlah penjualan.

Grafik penurunan penjualan itu, diakuinya terjadi sejak satu dasawarsa lalu, tahun 2008. Persisnya, sejak kopi instan dalam kemasan saset produksi perusahaan besar dalam maupun luar negeri menyerbu pasar.

Tatkala masih menguasai pasar ibu kota tahun 1970-an sampai 1980-an, Toko Sedap Djaja mampu menjual 3 sampai 5 ton kopi per hari.

“Tapi sejak 2008 sampai sekarang, paling per hari menjual tidak sampai satu ton. Dulu juga mesin kopi jalan terus dari pagi sampai sore. Tapi karena sudah banyak kopi saset, orang lebih pilih kopi saset itu.”

Walau masa-masa keemasan penjualan kopi “Bis Kota” telah terlampaui dan memasuki era senjakalanya, Dede mengakui bakal tetap bertahan pada sistem pemasaran yang sama.

Ia tak mau mengubah cara tokonya menjual kopi. Dia meyakini, ketika banyak yang telah beralih ke kopi saset, kopi “Bis Kota” telah memunyai pasar dan konsumennya sendiri, yakni warga dari kalangan perekonomian bawah.

“Istilahnya, kami membantu konsumen kalangan ke bawah lah. Karena, ini kopi sangat bersejarah, jadi saya sebisa mungkin mencoba mempertahankan ciri khas kami,” tuturnya.

Sedikit berpromosi, Dede mengklaim kopinya lebih aman dikonsumsi ketimbang kopi saset. “Tidak bikin maag, karena ini pure kopi. Tidak pakai pengawet atau tambahan rasa lain.”

Dede bercerita, saat tokonya dikelola sang kakak, Wong Kieky Widjaja—meninggal dunia pada 10 Januari 2018—pernah mendapat tawaran menggiurkan dari perusahaan besar kopi.

Saat itu, perusahaan tersebut menawarkan mereka untuk membuat dan memasarkan kopi “Bis Kota” dalam kemasan saset.

Tapi, tawaran itu ditampik mendiang Kieky, karena tak mau menghilangkan ciri khas kopi buatan keluarganya.

Dede juga mengakui tidak berniat membuka cabang di daerah lain atau memasarkannya secara daring (online). Sebab, tanpa membuka cabang pun ia menuturkan masih kewalahan untuk menjalankan bisnisnya tersebut.

“Kami tetap mempertahankan apa yang diwariskan saja. Sebisa mungkin kami tetap bertahan, ini sudah masuk generasi ketiga, jadi sebisa mungkin ciri khas ini dipertahankan,” tekatnya.

Kopi Bis Kota yang diproduksi di Toko Sedap Djaja Wong Jin, Jalan Pintu Pasar Timur Nomor 40 Pasar Jatinegara, Jakarta. [YouTube]

Gaya Hidup

Kekukuhan Dede untuk tetap memertahankan tradisi lama dan tua dalam penjualan kopi “Bis Kota” masih perlu diuji.

Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, dunia perkopian di Indonesia justru terbilang semakin “muda”.

Dulu, kopi kerap diidentifikasi sebagai minuman untuk kalangan berusia 40 tahun ke atas.  Tapi kekinian, penikmat kopi justru banyak dari kalangan muda.

“Peremajaan” itu tidak terlepas dari menjamurnya kedai-kedai kopi bergaya modern, yang membuat kopi menjadi lebih dekat kepada konsumen.

Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian pada 2016, perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dan pertumbuhan kelas menengah mendorong kinerja industri pengolahan kopi di dalam negeri hingga mengalami peningkatan yang signifikan.

Pertumbuhan konsumsi produk kopi olahan di dalam negeri, meningkat rata-rata lebih dari 7 persen per tahun.

Sedangkan penjualan ke pasar luar negeri, ekspor produk kopi olahan tahun 2015 lebih manis lagi.

Pada tahun itu, ekspor kopi olahan tercatat mencapai USD356,79 juta alias meningkat 8 persen dibanding tahun sebelumnya.

Ekspor produk kopi olahan didominasi produk kopi instan, ekstrak, esens dan konsentrat kopi yang tersebar ke negara tujuan ekspor seperti Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura, RRC, dan Uni Emirat Arab.

Erwin Halim, pengamat usaha dari Proverb Consulting menilai, potensi perdagangan kopi di Indonesia masih sangat besar.

Apalagi, di Indonesia sudah banyak jenis kopi jenis kopi bernilai tinggi, sekelas kopi internasional. Plus, kebiasaan masyarakat yang banyak melakukan pertemuan di kedai kopi.

“Wajar saja kalau banyak kedai dan pemasok kopi yang menjamur untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang rata-rata kaum milenial ini. Banyak kan kita temui yang meeting di kafe atau menunggu seseorang di kafe begitu,” kata Erwin.

Namun, Erwin juga mengingatkan kepada para pelaku usaha untuk terus berinovasi kalau tak mau tergerus oleh pesaing.

Sebab, ia memprediksi pelaku usaha di bidang penjualan kopi akan semakin banyak dalam jangka waktu ke depan.

“Inovasi itu kan tetap berjalan, harus diingat usaha kopi ini banyak di Indonesia, jadi harus terus berinovasi agar tidak kalah bersaing. Ada juga kopi saset yang terus berkembang. Jadi inovasi itu sangat penting untuk menarik perhatian,” ujarnya.


Terkait

Tiba di Tanah Air, Jokowi Tekankan Pentingnya Diplomasi Kopi
Selasa, 20 Maret 2018 | 08:02 WIB

Tiba di Tanah Air, Jokowi Tekankan Pentingnya Diplomasi Kopi

Di Selandia Baru, Presiden mempromosikan kopi Indonesia kepada PM Selandia Baru.

Ada Kopi Rasa Bajigur, Mau Coba?
Rabu, 14 Maret 2018 | 20:00 WIB

Ada Kopi Rasa Bajigur, Mau Coba?

Perpaduan antara kopi, santan, aroma daun pandan, serta cita rasa gula merah.

Kementerian BUMN Ingin Kopi Produk BUMN Bisa Tandingi Starbucks
Senin, 12 Maret 2018 | 18:09 WIB

Kementerian BUMN Ingin Kopi Produk BUMN Bisa Tandingi Starbucks

Kedai kopi garapan perusahaan BUMN diharapkan bisa menyaingi peeusahaan kedai kopi terbesar dunia

Terbaru
Review A Normal Woman, Saat Kecantikan Tak Mampu Bikin Hidup jadi Sempurna
nonfiksi

Review A Normal Woman, Saat Kecantikan Tak Mampu Bikin Hidup jadi Sempurna

Sabtu, 26 Juli 2025 | 09:05 WIB

Film A Normal Woman ketolong akting Marissa Anita yang ciamik!

Review Film I Know What You Did Last Summer, Nostalgia Berdarah yang Gagal Menyala nonfiksi

Review Film I Know What You Did Last Summer, Nostalgia Berdarah yang Gagal Menyala

Minggu, 20 Juli 2025 | 14:14 WIB

Awalnya film ini menjanjikan. Opening scene cukup solid dengan karakter yang tampaknya menarik.

Review Film Sore: Istri dari Masa Depan, Nggak Kalah Bucinnya sama Romeo dan Juliet! nonfiksi

Review Film Sore: Istri dari Masa Depan, Nggak Kalah Bucinnya sama Romeo dan Juliet!

Sabtu, 12 Juli 2025 | 09:00 WIB

Haruskan nonton web series-nya dulu sebelum nonton film Sore: Istri dari Masa Depan? Jawabannya ada di sini.

Review Jurassic World: Rebirth, Visual Spektakuler, Cerita Tak Bernyawa nonfiksi

Review Jurassic World: Rebirth, Visual Spektakuler, Cerita Tak Bernyawa

Sabtu, 05 Juli 2025 | 07:12 WIB

Rasanya seperti berwisata ke taman safari dengan koleksi dinosaurus kerennya. Seru, tapi mudah terlupakan.

Sengketa Blang Padang: Tanah Wakaf Sultan Aceh untuk Masjid Raya polemik

Sengketa Blang Padang: Tanah Wakaf Sultan Aceh untuk Masjid Raya

Selasa, 01 Juli 2025 | 18:32 WIB

"Dalam catatan sejarah itu tercantum Blang Padang (milik Masjid Raya), kata Cek Midi.

Review M3GAN 2.0: Kembalinya Cegil dalam Tubuh Robot yang jadi Makin Dewasa! nonfiksi

Review M3GAN 2.0: Kembalinya Cegil dalam Tubuh Robot yang jadi Makin Dewasa!

Sabtu, 28 Juni 2025 | 09:05 WIB

M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.

Logika 'Nyeleneh': Ketika UU Tipikor Dianggap Bisa Jerat Pedagang Pecel Lele di Trotoar polemik

Logika 'Nyeleneh': Ketika UU Tipikor Dianggap Bisa Jerat Pedagang Pecel Lele di Trotoar

Kamis, 26 Juni 2025 | 19:08 WIB

"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple," ujar Zaenur.