Suara.com - “1. Kami ingin mengetahui hak kami atas claim A.N (Alm) IBU KARMILAH yang dicover oleh BPJS, dikarenakan karena claim dari BPJS yang dicover hanya sebesar Rp. 8.917.600. Sedangkan total biaya rumah sakit sebesar Rp 104.040.200.
2. Kami menggunakan fasilitas BPJS sesuai dengan kelasnya yaitu kelas I. Demikian, kami mohon tanggapan dan penjelasannya.
Bandung, 16 - 2 - 2017
Peserta
Nina Agustiana”
SURAT itu dituliskan Nina Agustiana dalam formulir keluhan peserta BPJS Kesehatan menggunakan tulisan tangan. Tercantum nama peserta R. Karmilah (almarhumah) dilengkapi nomor kepesertaan, yang tak lain adalah ibunya. Nina kecewa, dari total biaya perawatan ibunya, yang dibayar BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung cuma Rp8,9 juta.
Dua bulan kemudian, Harry Mulyana kuasa dari keluarga, melayangkan kembali surat yang ditujukan untuk dr. Herman Dinata Mihardja selaku Kepala BPJS Kesehatan Cabang Bandung. Inti surat mempertanyakan klaim yang dibayarkan BPJS Kesehatan kepada RS Borromeus hanya senilai Rp8,9 Juta atau sekitar 10,42 persen dari total biaya rumah sakit. Pihak keluarga meminta perincian serta biaya lain yang tidak dibayarkan.
Surat itu sekaligus menanggapi jawaban BPJS Kesehatan Bandung atas surat keluhan mereka sebelumnya yang dianggap tidak memuaskan. Surat tertanggal 27 April 2017 itu pun ditembuskan ke Direktur BPJS Kesehatan, Ketua Badan Pengawasan BPJS Kesehatan Pusat, dan Direktur Rumah Sakit Boromeus.
Nina Agustiana mengonfirmasi surat keluhan tersebut. Sesuai dengan isinya, dia mempertanyakan ada selisih yang sangat besar yang lantas menjadi tanggungan keluarga.
Ibu dari Nina, R. Karmilah merupakan peserta mandiri kelas I. Peserta ini masuk RS Borromeus tanggal 26 Januari dan keluar dinyatakan meninggal pada 14 Februari 2017. Sedari awal Karmilah masuk ke RS Borromeus sudah diterbitkan Surat Eligibilitas Peserta.
Kemudian jumlah total biaya perawatan dan honor dokter dari RSB yang ditagihkan ke keluarga Peserta Rp104.040.200. Jumlah iur biaya yang dibayar keluarga peserta ke RS Borromeus Rp95.052.600.
Nina menegaskan komplainnya tidak diarahkan pada manajemen RS Borromeus. Malahan dia mengapresiasi layanan yang diberikan rumah sakit swasta tersebut.
Nina cuma ingin pada pernyataan semula bahwa ibunya tidak naik kelas atau tetap di kelas I. Jika faktanya selama tiga hari Ibunya dipindahkan ke Unit Stroke, sehingga berkonsekuensi menimbulkan biaya, itu lantaran tindakan medis dokter yang mengharuskan demikian. Bagi Nina, itu patut dihormati.
“Saya tidak komplain ke rumah sakit tapi kenapa BPJS Kesehatan hanya membayar segitu. Ini kan memberatkan,” katanya. Belakangan RS Borromeus, kata Nina, mendiskon selisih yang dibayarkan pihak keluarga.
Buntut dari surat komplain tadi, pada 23 Mei lalu, tim Dewan Pengawas BPJS Kesehatan melakukan kunjungan spesifik ke Rumah Sakit Borromeus. Dari pagi hingga sore, tim Dewas menggali kronologis serta mengumpulkan segala dokumen terkait pasien Karmilah.
Menurut sumber Independen.id dan Suara.com, kunjungan itu diterima oleh sekretaris RS Borromeus, komite risiko ,tim JKN internal dan komite medis rumah sakit, termasuk juga salah seorang dari tim legal RS Borromeus.
“Dari pihak BPJS juga ikut mendampingi BPJS center RS Borromeus, pajabat struktural BPJS Bandung, dan sekretaris Bandung,” ungkap sumber yang mengetahui pertemuan ini. Dia mengatakan tim Dewas meminta sejumlah data lalu dikonfrontir kepada semua pihak.
Tim independen.id dan Suara.com memperoleh salinan dokumen hasil pemeriksaan Dewas pada kasus ini. Berdasarkan dokumen itu,, pada nota NTA-20492746 atas nama pasien Ny. Karmila, tertanggal 15 Februari 2017, terdapat komponen iur biaya yang ditagihkan oleh RSB ke Pasien untuk ruang Stroke Unit selama 3 hari (@ Rp880.000) sebesar Rp2.400.000 dan ruang kelas 1B selama 16 hari (@ Rp550.000) sebesar Rp8.800.000. Total biaya ruang perawatan yang ditagihkan oleh RSB ke peserta sebesar Rp11.200.000.
Ketentuan dalam Perjanjian Kerja Sama antara RS Borromeus dan BPJS Kesehatan menyebutkan peserta tidak dikenakan iur biaya atas ruang perawatan, terlebih ketika peserta tidak naik kelas perawatan.
“Jumlah hari perawatan seharusnya tidak menimbulkan iur biaya kepada pasien karena tarif INA-CBGs berbeda dengan fee for service,” demikian kutipan isi dokumen.
Sesuai Permenkes 4/2017 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, pasal 1 ayat (2), bila pasien bermaksud naik kelas perawatan akan dikenakan selisih dari kelas yang seharusnya. HND, ICU, NICU/ PICU, maupun unit stroke adalah ruang yang tidak dibedakan berdasarkan kelas. Dengan demikian setiap pasien mulai dari kelas 3 hingga VVIP yang masuk ke ruang Stroke Unit tidak dikenakan biaya tambahan.
Dokumen hasil pemeriksaan juga memaparkan rekam medis yang menyebutkan diagnosa utama pasien adalah Broncho Pneumonia dan tambahan; Congestif Heart Failure + ulkus decubitus + AUI + sepsis. Komplikasi: Gangren. Sementara berdasarkan Permenkes 64/2016 tentang tarif INA- CBG’s, untuk Regional I RS kelas B Swasta, rawat inap dengan kode J-4-16-III adalah Simple Penumonia & Whooping Couch (Berat).
Tarif INA-CBG’s code J-4-16- III hanya sebesar Rp8.987.600. Biaya inilah yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke RS Borromeus dan sesuai dengan tariff INA-CBG’s seperti yang diatur dalam Permenkes 64/2016 tentang tarif INA-CBG’s.
“Dalam kuitansi tagihan dari RSB ke keluarga peserta terdapat beberapa komponen lain yang dicantumkan sebagai iur biaya, sehingga total yang ditagihkan RS Borromeus ke pasien menjadi sebesar Rp104.040.200 sebelum dikurangi pembayaran BPJS,” demikian kutipan isi dokumen.
Untuk diketahui, tarif INA-CBG’s telah mencakup farmasi yang digunakan dalam pelayanan menjadi satu paket. Pada kasus ini, di kuitansi terdapat iur biaya untuk farmasi senilai Rp53 juta lebih. Toh pun bila dibutuhkan obat tambahan yang tak tercover dalam jangkauan kode INA-CBG’s J-4-16-III, penggunaannya mesti melalui keputusan Tim Medik RS Borromeus dan diminta persetujuan dari pihak keluarga.
Merujuk Permenkes 36/2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Peraturan BPJS No 7/2016 tentang Sistem Pencegahan Kecurangan (fraud), dari 20 hal kecurangan JKN yang dapat dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan, dokumen pemeriksaan Dewas menyimpulkan setidaknya ada tiga indikasi dalam kasus ini.
Pertama, aspek tagihan obat dan alat kesehatan dimana terdapat indikasi penggunaan obat dan alat kesehatan yang tidak semestinya. Lab dan Medicine yang sudah termasuk bagian dari manage care ditagihkan secara nominal. Kedua, manipulasi kelas perawatan. Peserta dirawat sesuai dengan kelasnya. Berdasarkan PKB antara perjanjian kerjasama PKS dengan BPJS Kesehatan, peserta tidak dikenakan iur biaya untuk ruang perawatan.
“Terakhir, ada tindakan yang tidak perlu, no medical value. Berdasarkan catatan resume medis dan dokumentasi, Ny. Karmilah tidak terindikasi menderita stroke namun dirawat di Unit Stroke selama 3 hari,” sebut dokumen itu.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Chairul Radjab Nasution ketika dikonfirmasi Independen.id dan Suara.com tak berkenan menjelaskan perihal indikasi fraud. Dia mengaku tidak ingat dan menyarankan untuk bertanya langsung ke BPJS Kesehatan Cabang Bandung. Namun dia membenarkan tim dewas memang melakukan kunjungan ke RS Borromeus pada 23 Mei lalu.
“Saya nggak ingat. Semuanya bisa ditanyakan ke Kantor Cabang Bandung. Untuk selebihnya tentang pelaksanaan BPJS silahkan tanyakan ke direksi ya,” katanya saat dihubungi.
Pun demikian Sekretaris RSB Kornelius Rukmana mengakui ada kunjungan Dewas BPJS ke rumah sakitnya pada 23 Mei lalu. Dia menganggap itu kunjungan rutin, tidak saja ke RS Borromeus tapi ke beberapa rumah sakit di Kota Bandung.
“Sebagai fungsi pengawasan, biasa kan memberi bimbingan. Itu kan normatif,” ujar dia.
Kornelius membantah Dewas BPJS datang terkait komplain keluarga pasien Karmilah yang dapat tagihan pembayaran lebih dari RS Borromeus.
“Secara khusus gak tapi lebih mengingatkan banyak hal kejadian dan mencontohkan juga beberapa kasus di rumah sakit lain. Lebih memberi pengarahan kami” katanya.
Kornelius juga menolak bahwa kunjungan itu juga membahas dugaan fraud. “Nggak ada… beliau datang ke kami lebih mengarahkan jika ada hal-hal yang terkait dengan pasien sebaiknya diatasi segera lebih dini, saya kira normatif semua,” katanya.
Terlepas dari semua bantahan itu, Nina putri dari (alm) Karmila, sampai kini terus menanti solusi dari BPJS Kesehatan. Dia mengaku belum dihubungi sama sekali oleh BPJS Bandung.
***
Fraud pada pelaksanaan JKN kini menjadi polemik dan perdebatan. Pada satu sisi BPJS Kesehatan terus berusaha menggenjot kepesertaan hingga 2019 mengcover semua penduduk Indonesia. Jika semua penduduk tercover, pemasukan iuran otomatis juga meningkat. Di sisi lain, di tengah usaha itu, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit anggaran setiap tahun.
Koordinator Divisi Hukum BPJS Watch Timboel Siregar mengaitkan defisit dengan aspek pengendalian biaya manfaat selain aspek kepesertaan. Bukan tidak mungkin katanya, kurang tegasnya menilai dan menindak suatu fraud, turut menjadi andil penyebab defisit.
“Kita sering mendengar banyak kasus terkait layanan yang bermuatan fraud. Tapi pihak BPJS Kesehatan sendiri belum clear betul soal fraud ini,” katanya. Itu dapat dilihat dari realisasi pengeluaran biaya manfaat selalu lebih besar.
Tim Independen.id dan Suara.com beroleh data klaim yang terdeteksi (potensi) fraud. Data tersebut merupakan data yang ditelaah SPI BPJS Kesehatan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari kajian KPK, akumulasi dari 2014 sampai dengan Juni 2015 terdeteksi sebanyak 175.774 klaim pada FKRTL (Faskes rujukan tingkat lanjut) dengan nilai sebesar Rp 440 miliar yang terduga fraud. Setahun kemudian, akumulasi 2014 – Juni 2016 data klaim terdeteksi berpotensi fraud sebanyak 1.062.416 kasus di 17 jenis kasus.
Lima besar dugaan fraud itu berupa tindakan upcoding sebanyak 528. 285 kasus, service unbundling or fragmentation sebanyak 265.572 kasus, Readmisi 63.980 kasus, No medical Value 45.262 kasus, dan Type of room cange 37.714 kasus. (Lihat: Data Grafis).
“Silahkan klik gambar diatas untuk lebih jelas”
“Silahkan klik gambar diatas untuk lebih jelas”
“Silahkan klik gambar diatas untuk lebih jelas”
Berdasarkan data dari Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi 2016, potensi fraud tersebut terjadi pada 1,8 juta peserta BPJS Kesehatan. Nilai dari potensi fraud tersebut pun mencapai Rp3,1 triliun karena merupakan akumulasi sejak 2014 hingga tahun ini.
Namun kepada tim Independen.id dan Suara.com, Kepala Biro Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengatakan saat ini satu juta klaim yang disebut terdeteksi fraud tersebut, masih dicatat sebagai potensi untuk diselamatkan. BPJS Kesehatan menyebutnya sebagai dana-dana yang tidak atau belum dilakukan pembayaran. Sederhananya, tidak ada potensi kecurangan jika itu belum dibayarkan.
“Jadi memang verifikasi kami melakukan identifikasi kemungkinan, jadi belum bisa dikatakan terindikasi fraud. Karena tidak ada pedoman yang ditetapkan secara mendasarkan, bagaimana pengidentifikasian itu sebuah fraud. masih dalam proses pencatatan,” ungkapnya.
Apapun, muara dari sejumlah fraud ialah lalu lintas pembayaran melalui skema INA CBG’s. Di sini muncul pro kontra. Menurut Nopi, ada perbedaaan dalam memahami serta melihat kaidah koding antara BPJS Kesehatan dengan pihak provider (Faskes Tingkat Lanjut). Kedua, bisa jadi ada ketidaksamaan melihat indikasi medis suatu diagnosa.
“Dan itu bisa diselesaikan dengan mekanisme komite medis rumah sakit, kita minta dikonfirmasi. Ada juga mekanisme dewan pertimbangan medis, dan tim pengendali mutu dan biaya. Kita minta second opinion mereka. Di situlah fungsi BPJS sebagai verifikator,” katanya.
Penyelesaian juga dapat ajukan ke kemenkes yaitu ke tim penyusun tarif. “Jadi jika ada hal-hal yang tidak disepakti dieskalasi lalu disesuaikan,” katanya.
Menteri Kesehatan Nilla F. Moeloek ditemui tim independen.id dan Suara.com di kompleks Istana Kepresidenan, 28 Agustus lalu, menanggapi soal fraud dan defisit BPJS Kesehatan ini. Menurutnya dengan diluncurkan JKN sejak 2014, dia mengamati ada pola dimana masih banyak orang yang keburu sakit. Langkah preventif masih jalan di tempat.
“Kita harapkan nanti orang akan sadar akan kesehatan, lebih banyak orang sehat dari pada sakit. Ini adalah transisi, jadi kita perlu waktu. Jadi nanti mudah-mudahan banyak orang sadar, ini sudah mulai,” katanya.
Dia mengamati antusiasme peserta BPJS ini dari sistem rujukan. Menurutnya pengobatan sebaiknya memaksimalkan puskesmas terlebih duhulu atau tidak semua harus langsung ke rumah sakit. “Biar diatur keuangan gitulah,” katanya.
Lalu terkait klaim CBGs yang terindikasi fraud? Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, “Nggak, itu kan diverifikasi, verifikasi oleh BPJS dan oleh pelayanan kesehatan. Jadi artinya ada badan pengawas dan lain sebagainya. Saya kira itu kadang-kadang ada kesalahan diagnosis, atau salah interprestasi dan lain sebagainya. itu bisa diselesaikan kok ya.”
Aspirasi Kalangan Dokter
PERHIMPUNAN Dokter Indonesia Bersatu termasuk yang paling lantang bersuara akhir-akhir ini. Juru bicara sekaligus Bendahara Umum PDIB dokter Reno Yonora kepada tim Independen.id dan Suara.com mengatakan kasus dispute claim atau terlambatnya pembayaran membuat rumah sakit terutama swasta ikut menanggung kerugian.
“Jangan dikira kita itu untung loh mas. BPJS ini kan menuntut semua terlayani dengan gratis tapi kami juga tidak mau menurunkan standar kualitas pelayanan meski dibayarkan dengan sistem paket INA CBG’s itu. Bukan kami ini matre loh ya,” kata dia.
Menurutnya setiap rumah sakit punya standar pelayanan berbeda-beda. Itu juga berlaku untuk tenaga medis (dokter) yang tidak bisa disamaratakan tarifnya. Dokter Eno tak menolak ada kebijakan pemerintah menetapkan biaya tarif dalam skema INA SBG’s, namun jangan berlakukan untuk semuanya.
Menurut hematnya beberapa provider BPJS, diberi keleluasan mengatur tarifnya sendiri. Secara implisit seperti skema fee for service, yaitu metode pembayaran rumah sakit berjenis retrospektif, dimana pembayaran ditetapkan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Dengan sistem tarif ini, pihak provider, atau penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit, dapat memperoleh income yang tidak terbatas.
Dia berpendapat sengkarut pelaksanaan JKN bisa dievaluasi dengan beberapa cara. Pertama, melihat kondisi saat ini pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mempersempit kepesertaan BPJS, baik untuk provider (faskes) maupun peserta.
“Cakupannya dibatasi dulu untuk rumah sakit pemerintah dengan sistem tarif INA CBG’s tadi, biar sekalian itu pilot project. Swasta biarkan berjalan sendiri, tapi masyarakat atau perusahaan jangan diwajibkan loh ya jadi peserta,” katanya.
Mungkin maksud dokter ini ialah karena amanat undang-undang mewajibkan penduduk menjadi peserta, sehingga mau tidak mau pihak rumah sakit atau klinik swasta terpaksa berduyun-duyun menjadi provider.
Kedua, lanjutnya, pemerintah jangan bikin tarif baru yang diberlakukan secara nasional. Sebab, setiap rumah sakit punya kualitas dan standar pelayanan berbeda-beda.
“Terakhir, berikan provider yang mengelola dana BPJS. Toh jika nanti ada selisih bayar akan dikembalikan juga pada negara,” katanya.
Disinggung banyak klaim faskes terindikasi fraud, Eno tak menampik hal itu terjadi. Beberapa kasus, katanya, karena rumah sakit dan tenaga kesehatan yang tetap mejaga standarnya meski berkonsekuensi tarif tambahan. Namun pada saat diajukan banyak yang dispute klaim.
“Atau sebaliknya, terpaksa mengurangi standar mutu demi menyesuaikan taruf INA CBG’s,” katanya.
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia dokter Moh. Adib Khumaidi berpendapat tentang fraud harus didudukkan bersama antara BPJS, PERSI, IDI untuk menyamakan persepsi. Ini terkait apakah fraud terjadi lantaran masalah administrasi atau masalah tindakan medis yang dokter lakukan.
“Jelas beda pemahaman fraudnya,” katanya.
Bila ada kasus dispute claim perlu selesaikan dan diidentifikasi kembali. Sebab, katanya, ada banyak macam fraud seperti tercantum pada permenkes yang bisa terjadi pada rumah sakit, dokter,peserta,BPJS dan faskes.
Untuk saat ini, kata Adib, banyaknya klaim yang dipandang bermasalah pada sisi kelangkapan, bisa diselesaikan oleh Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya yang melibatkan profesi. Atau memang terbukti fraud, maka diperlukan pedoman yang jelas menetapkannnya.
“Dan BPJS tidak bisa memutuskan fraud karena klinis teknis medis secara sepihak dan tidak melibatkan organisasi profesi yang mempunyai kompetensi untuk menilainya,” ungkapnya.
Kepala Biro Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengatakan kini sudah ada Satgas Fraud BPJS yang berisi tiga lembaga; KPK, BPJS Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan. Satgas inilah yang tengah mengkaji potensi atau klaim yang terdeteksi fraud.
“Nantinya dari Satgas akan menerbitkan tiga pedoman; Pedoman pencegahan , pedoman deteksi, dan pedoman penanganan,” katanya.
Ketua Pokja Satgas Fraud Niken Ariati mengatakan satgas dibentuk Juli lalu dan akan menargetkan tiga pedoman; pencegahan, pendeteksian, dan penanganan. Dia menuturkan, dua draft masing-masing untuk pencegahan dan pendeteksian sudah rampung. “Tinggal dibahas dan disepakati,” katanya.
Memang agak meleset dari target yang diinginkan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa akhir September salah satu pedoman itu sudah bisa diluncurkan. Niken menyebutkan ada dinamika yang sangat alot sehingga membuatnya molor.
“Tapi semuanya kita targetkan akhir 2018 sudah terbit. Untuk pedoman penindakan, belum bisa diputuskan apakah nanti akan memasukkan klausul pidana atau hanya administratif atau juga pelibatan aparat penegak hukum lanny,” kata Niken menanggapi unsur penegakan hokum yang akan dilibatkan serta apa-apa saja jenis sanksinya.
Terhadap sejuta lebih klaim bermasalah yang kini masih ditelaah, KPK kata Niken, menyilahkan upaya penyelesaiannya merujuk pada regulasi yang saat ini sudah ada. Meski demikian, internal KPK punya tim kajian sendiri menilai sejumlah klaim bermasalah itu.
“Kita tetap ya, yang nyata-nyata itu terdeteksi Phantom (palsu) KPK akan tindak,” katanya.
Niken menyebut Permenkes Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Fraud bisa dibawa ke ranah pidana. Ditambah lagi Peraturan BPJS Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Sistem Pencegahan Kecurangan (Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Peraturan itu kata Niken, memungkinkan bisa dibawa ke pidana kalau ada persetujuan direksi.
“Bisa kita uji dengan undang-undang keuangan negara karena BPJS Kesehatan itu kan Badan Hukum Publik,” katanya. (Joni Aswira Putra dan Erick Tanjung)
Liputan berbasis data yang menguraikan masalah fraud atau kecurangan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Liputan ini merupakan joint investigative Suara.com dan Independen.id yang didukung oleh AJI Indonesia.
Luna secara terbuka menceritakan pengalamannya memanfaatkan fasilitas jaminan kesehatan pemerintah tersebut untuk pengobatan sang ibunda.
BPJS Kesehatan disebut akan memberlakukan tiga aturan baru mulai tahun ini.
Besaran yang harus dibayar peserta juga dibatasi maksimal Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap dalam satu kali klaim.
Selain melindungi kesehatan, asuransi kesehatan swasta juga akan menyelamatkanmu dari masalah finansial di masa depan.
Rasanya seperti berwisata ke taman safari dengan koleksi dinosaurus kerennya. Seru, tapi mudah terlupakan.
"Dalam catatan sejarah itu tercantum Blang Padang (milik Masjid Raya), kata Cek Midi.
M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.
"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple," ujar Zaenur.
Setiap tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban serta kompensasi yang adil, jelas Anis.
Kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Angka ini sangat ambisius apabila dilihat dari track record koperasi kita, kata Jaya.