KIM, Koalisi Permanen yang Semu?

KIM, Koalisi Permanen yang Semu?


Konsolidasi politik yang terbangun pada musim Pilpres 2024, terutama oleh partai-pertai pendukung Prabowo-Gibran—Koalisi Indonesia Maju—tampaknya tak bakal bertahan lama.

Sebagai kampiun pertarungan kontes politik nasional, delapan partai yang menjadi anggota awal KIM—Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, Garuda, PSI—mempunyai kekuatan mumpuni untuk menyusun platform bersama setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Apalagi, setelah Prabowo-Gibran dinyatakan sebagai pemenang pilpres, sejumlah partai yang tadinya menjadi lawan justru berbalik arah bergabung dengan KIM.

Tentunya, bila partai-partai itu terus berkoalisi untuk menghadapi agenda politik besar lainnya, yakni Pilkada 2024, bakal menjadi momok menakutkan bagi blok politik di luar KIM.

Selain itu, format koalisi pilpres dan pilkada yang sebangun ini tentunya menguntungkan rezim, karena bisa membangun harmonisasi kekuasaan pusat-daerah.

Sebenarnya, slogan membangun "koalisi permanen" sudah ada sejak lama di pentas politik nasional. Misalnya, istilah tersebut sudah digunakan ketika Megawati - Hasyim Muzadi melaju ke putaran kedua Pilpres 2024 melawan SBY - Jusuf Kalla.

Ketika itu, keduanya didukung Koalisi Kebangsaan yang dibangun oleh PDIP, Golkar, PPP, serta PDS. Tapi, ketika jagonya kalah, koalisi permanen itu malah bubar.

Lalu, ketika SBY berkuasa, dia sempat menggagas Sekretariat Gabungan atau Setgab. Model koalisi permanen ini sanggup bertahan hingga sang presiden meletakkan jabatan.

Prabowo juga melontarkan istilah yang sama pada November 2023. Berpidato di hadapan massa Partai Demokrat, Madiun, Jatim, dia mengatakan "Kita sekarang sudah membicarakan sebaiknya koalisi ini menjadi koalisi permanen, koalisi untuk jangka panjang."

Namun, menjelang Pilkada 2024, barisan KIM justru cenderung jalan sendiri-sendiri. Terutama dua partai besar yang menjadi motor koalisi, yakni Golkar dan Gerindra.

Untuk Pilkada Jakarta contohnya, Gerindra menginginkan Ridwan Kamil yang notabene kader anyar Golkar, untuk maju sebagai calon gubernur. Sementara di lain pihak, Golkar justru mau Kang Emil berlaga kembali di Jabar. Masalahnya, Gerindra mempunyai jago sendiri untuk Jabar, yakni Dedi Mulyadi—yang tadinya adalah kader Golkar.

Cenap ÇaKmaK, profesor politik Eskisehir Osmangazi University dalam makalahnya berjudul "Coalition Building in World Politics: Definitions, Conceptions, and Examples" (2007), mengartikan koalisi sebagai kerja bersama organisasi-organisasi untuk mencapai kehendak bersama. Dengan demikian, dasar dari sebuah koalisi sebenarnya adalah pragmatisme.

Sementara menurut Sidney G Tarrow dalam Strangers at the Gates: Movements and States in Contentious Politics  (2012), terdapat empat faktor yang menjadi dasar koalisi. Faktor pertama, sejumlah organisasi mempunyai satu kepentingan bersama. Kedua, setiap anggota koalisi mempunyai komitmen serta kredibilitas yang sama untuk mencapai tujuannya. Ketiga, harus terdapat mekanisme manajemen konflik, perbedaan orientasi, ideologi hingga taktik koalisi. Keempat, harus bersandar pada prinsip ‘bagi rata’ antarsesama anggota koalisi.

Front Populer Baru (New Popular Front), koalisi partai-partai kiri dan tengah di Prancis pada pemilu tahun ini, menjadi model paling ideal dari pembentukan koalisi permanen menurut Tarrow.

Koalisi itu terbentuk untuk membendung kekuatan partai kanan (National Rally) pimpinan Marine Le Pen, dan benar-benar mampu mengonsolidasikan pemilih. Padahal, dalam setiap seri survei politik,  National Rally selalu unggul dalam jumlah pemilih.

Laporan Guardian Weekly, edisi 12 Juli, menyebutkan banyak barisan pendukung Presiden Emmanuel Macron, yang berhaluan tengah, mengarahkan massa untuk memilih satu dari sekian banyak partai kiri di Prancis untuk mengungguli National Rally.

Tak hanya itu, para pemimpin Islam juga mengerahkan massa—terutama imigran—untuk mencoblos partai sosialis, sosialis demokrat, atau komunis dengan tujuan yang sama: mengadang kaum neo-fasis. Sebagai catatan, tak ada satu pun partai-partai dalam New Popular Front yang bisa dipersatukan secara ideologi.

Namun, gambaran koalisi permanen seperti itu tampaknya sulit terjadi di pentas politik Indonesia. Pembentukan koalisi tampaknya masih berada di level vote seeking, yakni untuk menggaet sebanyak-banyaknya suara pemilih yang dilakukan menjelang kontestasi politik.