PERDAGANGAN SIRIP DAN DAGING HIU dari Laut Aru Indonesia menuju pasar internasional, khususnya Hong Kong, menjadi sorotan.
Penelusuran terbaru mengungkap praktik ilegal yang terstruktur dalam perdagangan spesies hiu, termasuk jenis yang seharusnya dilindungi oleh aturan internasional seperti Appendix II CITES.
Meski beberapa pelaku memiliki izin, transparansi dan pengawasan yang lemah menciptakan celah besar bagi aktivitas ilegal ini, menimbulkan dampak yang tak hanya merusak ekosistem laut tetapi juga mengancam kesejahteraan masyarakat pesisir.
Peran pelaku lokal dan para nelayan yang sudah lama memburu hiu di perairan Laut Aru dan sekitarnya, menggambarkan sisi kelam perdagangan gelap ini.
Mereka, dengan dukungan modal dari para pemilik usaha, mengeksploitasi spesies hiu secara brutal. Sirip hiu, yang bernilai tinggi di pasar internasional, dipotong langsung di tengah laut, sementara dagingnya disimpan untuk dikirimkan ke daratan. Kapal-kapal mereka telah dimodifikasi khusus untuk mengoptimalkan perburuan ini.
Lebih memprihatinkan, meskipun beberapa perusahaan terdaftar dan memiliki izin ekspor, seperti CV Cahaya Bahari yang mengirimkan sirip hiu ke Hong Kong, data resmi perdagangan ini tidak tercatat di platform perdagangan global seperti Panjiva Inc.
Ini menunjukkan adanya manipulasi data yang kerap terjadi dalam sistem perdagangan hiu. Fakta ini diperkuat dengan tidak adanya catatan dari Hong Kong yang menunjukkan impor sirip hiu dari Indonesia, sementara aktivitas perdagangan tersebut berjalan lancar di lapangan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Badan Karantina Ikan di Indonesia tampak kecolongan dalam mengawasi perdagangan ini. Kapal-kapal yang beroperasi, meskipun dilengkapi izin pelayaran, kerap tidak memiliki izin penangkapan ikan hiu.
Sistem pencatatan tangkapan yang longgar dan tidak adanya pengawasan yang ketat di pelabuhan-pelabuhan kecil menjadi tantangan besar. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi dalam mekanisme pencatatan dan pengawasan di sektor ini, mulai dari hulu hingga hilir.
Keberlangsungan perdagangan gelap hiu di Indonesia tidak hanya berdampak pada populasi hiu yang terus menyusut, tetapi juga memicu kerusakan ekosistem laut secara keseluruhan. Hiu, sebagai predator puncak dalam rantai makanan laut, memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Jika populasi mereka terus menurun akibat eksploitasi berlebihan, efek domino pada ekosistem laut akan sangat merusak, termasuk penurunan populasi ikan lain yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan tradisional.
Laut yang tidak sehat akan berdampak pada kehidupan manusia, terutama masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut.
Selain itu, tindakan perdagangan ilegal ini juga mencoreng citra Indonesia di mata internasional. Sebagai salah satu negara dengan tingkat perdagangan hiu tertinggi di dunia, Indonesia harus menunjukkan komitmen yang kuat dalam melindungi keanekaragaman hayatinya.
Pemerintah perlu segera menindak tegas pelaku perdagangan ilegal hiu dan memperkuat regulasi serta pengawasan di lapangan.
Sistem pencatatan tangkapan dan perdagangan hiu harus transparan, dengan data yang akurat dan dapat diverifikasi oleh pihak internasional seperti CITES.
Pada akhirnya, perdagangan gelap hiu di Laut Aru bukan hanya persoalan ekonomi dan konservasi, tetapi juga masalah moral dan tanggung jawab bersama. Indonesia, sebagai negara maritim dengan kekayaan alam yang melimpah, harus mampu menjaga dan melestarikan kekayaan lautnya demi keberlanjutan generasi mendatang.
Bila tidak ada tindakan nyata, ancaman kehancuran ekosistem laut akan semakin dekat, dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat, terutama mereka yang menggantungkan hidup pada laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, bukan eksploitasi.
------------------------------
Reportase ini hasil kolaborasi tim Suara.com dengan Jaring.id yang dilakukan setahun terakhir, dengan dukungan The Environmental Justice Foundation (EJF).
Pemerintah perlu segera menindak tegas pelaku perdagangan ilegal hiu dan memperkuat regulasi serta pengawasan di lapangan.
Skandal itu terkuak menjadi ramai di media sosial (medsos), pasalnya agenda picik itu menjadi bentuk pembungkaman keluarga korban.
Dari kasus Wensen School, perlahan terkuak fenomena gunung es bagaimana kualitas tempat penitipan anak belum menjadi perhatian dari pemerintah secara umum.
Berbagai skandal pimpinan KPK yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun belakangan turut membuat kepercayaan masyarakat kepada lembaga tersebut turun.