Suara.com - TINDAKAN represif dialami tiga mahasiswa anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII Pengurus Cabang Blitar. Peristiwa itu terjadi di Blitar, Jawa Timur pada Rabu, 18 Juni 2025. Saat itu mereka berniat menyampaikan kritik kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang sedang melakukan kunjungan.
Mereka pun berencana membentangkan poster berisi kritik terhadap pemerintah saat rombongan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melintas menuju salah satu rumah makan. Belum sempat poster dibentangkan, sejumlah anggota Paspampres berupaya menghalau aksi mereka dengan tindakan represif.
Dalam video yang beredar terlihat para mahasiswa ditarik secara paksa hingga terjatuh. Selain itu poster yang hendak mereka bentangkan direbut paksa.
Adapun sejumlah poster yang ingin mereka bentangkan berisi; "Dinasti tiada henti", "Omon-omon 19 juta lapangan kerja", "Semangat terus bikin bualan mas Wapres Gibran", dan "Siapa percaya pengangkang konstitusi?"
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus mengecam tindakan represif aparat tersebut. Menurutnya aksi mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi seharusnya diberikan ruang. Karena itu bagian dari hak demokrasi setiap warga negara yang mesti dihargai dan dilindungi.
Andrie menyayangkan peristiwa itu terjadi dalam rangka kunjungan Gibran sebagai wakil presiden ke Blitar. Seharusnya kunjungan itu menjadi ruang bagi Gibran menerima aspirasi atau kritikan secara langsung dari masyarakat di daerah, bukan justru membungkam dengan tindakan represif.
"Harusnya dibuka ruang diskusinya, ruang interaksinya. Kalau misalkan mengacu ke beberapa kunjungan wapres, itu kan ada ruang interaksi. Semestinya itu yang dibuka sebagai pejabat tinggi negara, bukan malah sebaliknya," ujar Andrie saat dihubungi Suara.com, Kamis 19 Juni 2025.
Tindakan represif yang dialami mahasiswa anggota PPMI Blitar dinilai Andrie semakin menguatkan sikap antikritik pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal itu berkaca dari sejumlah upaya pembungkaman yang dialami masyarakat sipil lewat kriminalisasi.
Seperti peristiwa yang dialami pengunjuk rasa pada peringatan Hari Buruh di depan Gedung MPR-DPR, Jakarta pada 1 Mei lalu. Setidaknya 14 pengunjuk rasa termasuk paralegal dan tim medis ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka. Begitu juga aksi unjuk rasa peringatan 27 tahun reformasi yang digelar mahasiswa Trisakti di Balai Kota, Jakarta. Pada aksi itu 16 mahasiswa dijadikan sebagai tersangka.
Andrie menyebut terus berulangnya tindakan represif aparat kepada masyarakat sipil yang menggunakan hak demokrasinya karena adanya pembiaran. Aparat yang terlibat tidak pernah mendapatkan tindakan pendisiplinan dari institusi masing-masing.
Selain itu, Andrie juga menyayangkan narasi kepolisian yang menggunakan kata 'mengamankan' terhadap ketiga mahasiswa itu. Menurutnya upaya paksa yang disebut kepolisian adalah 'mengamankan' tidak dikenal dalam kitab undang-undang hukum acara pidana atau KUHAP. Dalam KUHAP hanya ada upaya paksa berupa penangkapan, bukan mengamankan. Penangkapan juga dilakukan jika ditemukan bukti permulaan yang cukup.
"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.
Sementara itu politisi PDIP, Guntur Romli memandang tindakan represif dialami tiga mahasiswa PMII karena poster yang hendak mereka bentangkan berisi kritikan kepada Gibran. Hal itu menurutnya tidak akan terjadi jika poster tersebut berisi pujian kepada putra sulung mantan Presiden Joko Widodo itu.
"Karena kalau mereka menyambut dengan poster dan spanduk yang memuji dan menjilat Gibran tidak akan pernah ditangkap," kata Romli kepada Suara.com.
Menurutnya para mahasiswa itu hanya menagih janji Gibran, salah satunya soal 19 lapangan pekerjaan yang diutarakannya pada saat kampanye sebagai calon wakil presiden.
Dia pun menyesalkan tindakan represif aparat terhadap tiga mahasiswa PMII. Guntur menyebut hal itu sebagai tindakan yang berlebihan. Apalagi katanya, keberadaan ketiga mahasiswa itu tidak mengancam keselamatan Gibran.
"Kami menyesalkan reaksi berlebihan Pasukan Pengamanan Gibran tersebut yang tidak bisa dibela dengan dalih apapun," tegasnya.
Dia juga sepakat bahwa tindakan represif itu merupakan ancaman serius bagi demokrasi.
Tindakan represif aparat terhadap masyarakat sipil saat menyampaikan kritik kepada pejabat negara di Blitar itu bukan peristiwa tunggal. Pada Agustus 2021, saat Presiden ke-7 Joko Widodo berkunjung ke Blitar, seorang warga sempat ditangkap karena membentangkan poster bertuliskan "Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar."
Sementara pada Januari 2023, enam mahasiswa di Riau diintimidasi dan seditangkap oleh aparat saat Jokowi berkunjung. Tindakan itu mereka alami karena membentangkan poster bertuliskan penolakan kedatangan Jokowi ke Riau.
Wakapolres Blitar Kota Kompol Subiyantana buka suara terkait peristiwa tersebut. Dia menyebut, tindakan Paspampres bagian dari pengamanan. Paspampres disebutnya hanya menghalau ketiga mahasiswa agar tidak mengganggu rombongan wakil presiden. Subiyantana menyebut ketiga mahasiswa tersebut telah dibebaskan.
Suara.com telah menghubungi staf khusus (stafsus) Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka Tina Talisa untuk meminta tanggapan terkait peristiwa tersebut lewat aplikasi perpesanan pada Kamis 19 Juni 2025. Namun, hingga berita ini ditayangkan yang bersangkutan belum memberikan jawaban.
Guntur Romli mengkritik Paspampres Gibran yang ringkus mahasiswa saat demo di Blitar. Tindakan itu dinilai berlebihan, ancam demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Sejumlah tokoh penting di lingkaran parpol koalisi bisa menjadi alternatif pengganti Gibran jika benar dimakzulkan
Video itu disertai narasi yang menyebutkan bahwa Gibran sudah aktif sejak sebelum matahari terbit.
Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.
"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.
Tiga hari sebelum ditemukan tewas, Abral ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat TNI dan tak pernah kembali.
"Bahasa yang diungkapkan Fadli Zon itu bahasa feodalisme paternalistik sekali. Tidak ada sensitif hak asasi manusia," ujar Romo Sandyawan.
"Jadi lebih baik Pemerintah Provinsi Jakarta membuat program yang lebih spesifik dan inovatif, jelas Rakhmat.
UU yang disahkan DPR sering dibatalkan MK. Kritikan muncul, DPR diminta evaluasi proses pembuatan UU yang dinilai kurang akuntabel dan minim partisipasi publik.
Pola militeristik pasti menerapkan sistem komando dan pembungkaman. Mustahil akan ada ruang kritis di dalamnya, ujar Castro.