Manuver Politik atau Solusi Jitu? Bedah Efektivitas Stimulus Ekonomi di Tengah PPN 12 Persen
Home > Detail

Manuver Politik atau Solusi Jitu? Bedah Efektivitas Stimulus Ekonomi di Tengah PPN 12 Persen

Chandra Iswinarno | Muhammad Yasir

Selasa, 17 Desember 2024 | 17:38 WIB

Suara.com - Kebijakan pemerintah memberikan stimulus ekonomi dan insentif pajak di tengah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen dinilai sebatas manuver politik untuk meredam kritik publik. Alih-alih menunjukkan keberpihakan pajak terhadap masyarakat menengah dan bawah, kebijakan itu justru dianggap semakin pro orang kaya. 

SENIN, 12 Desember 2024, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto resmi mengumumkan tarif PPN 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.

Kenaikan tarif PPN dari semula 11 persen menjadi 12 persen, tidak berlaku khusus untuk barang mewah. Tetapi berlaku umum untuk berbagai barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat, meski diklaim dengan tetap memperhatikan asas keadilan. 

Salah satunya, pemerintah menyatakan tetap memberikan fasilitas pembebasan PPN bagi barang dan jasa strategis, seperti bahan makanan pokok, sektor transportasi, pendidikan, kesehatan, pemakaian air, jasa keuangan, dan asuransi.

Selain itu, juga tidak akan menaikkan tarif PPN bagi tiga barang kebutuhan pokok dan penting atau bapokting; seperti tepung terigu, minyak goreng curah atau Minyakita, dan gula industri.

Kenaikan pajak 1 persen dari 11 persen menjadi 12 persen terhadap ketiga bapokting itu akan ditanggung pemerintah melalui skema pajak ditanggung pemerintah atau PPN DTP.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar menyebut, penjelasan pemerintah terkait barang pangan akan tetap dikecualikan dari PPN bukan sebuah kebijakan baru.

Aturan tersebut sudah tertuang dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Artinya, aturan itu sudah ada sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP yang menjadi rujukan pemerintah menaikkan tarif PPN 12 persen. 

"Klaim pemerintah lebih terkesan sebagai manuver politik untuk meredam kritik publik. Kenyataannya, kenaikan tarif PPN tetap akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah," kata Askar kepada Suara.com, Selasa (17/12/2024).

Saat konferensi pers bersama Airlangga di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkap insentif perpajakan pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp 445,5 triliun atau 1,83 persen dari rasio Produk Domestik Bruto (PDB).

Nilai tersebut dua kali lipat lebih besar bila dibandingkan pada 2020 ketika Indonesia menghadapi dampak pandemi Covid-19. 

Sri Mulyani membeberkan, 15 jenis insentif yang akan digelontorkan pemerintah melalui Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan.

Paket kebijakan ekonomi itu diklaim sebagai upaya menjaga daya beli masyarakat kelas menengah-bawah. Selain demi menggerakkan berbagai sektor produktif khususnya industri padat karya dan properti. 

Selain tidak menaikkan tarif PPN 12 terhadap tiga bapokting, kebijakan stimulus ekonomi yang ditujukan untuk masyarakat miskin dan rentan salah satunya berupa bantuan pangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (Instagram/@smindrawati)
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Instagram/@smindrawati)

Turunannya, pemerintah akan menyalurkan bantuan berupa beras masing-masing sebanyak 10 kilogram kepada 16 juta keluarga yang akan diberikan selama dua bulan pada Januari-Februari 2025.

Kemudian, pemerintah juga akan memberikan diskon biaya listrik 50 persen bagi pelanggan dengan daya terpasang 450 VA hingga 2.200 VA yang juga berlaku selama dua bulan sejak Januari-Februari 2025.

Tak hanya itu, pemerintah disebut juga akan menanggung PPN atas penjualan properti dan otomotif. Pada sektor properti, pemerintah akan melanjutkan program PPN DTP untuk rumah dengan harga jual hingga Rp 5 miliar.

Nantinya, PPN yang ditanggung itu berlaku untuk harga maksimal Rp 2 miliar, dengan rincian diskon 100 persen pada Januari-Juni 2025 dan 50 persen pada Juli-Desember 2025.

Sementara di sektor otomotif, pemerintah akan memberlakukan PPN DTP sebesar 10 persen untuk pembelian mobil listrik yang diimpor dalam bentuk utuh atau completly knock down (CKD).

Sedangkan, PPnBM DTP 15 persen juga akan diberikan untuk kendaraan listrik yang diimpor bentuk completely built up (CBU) dan CKD). Bagi pembeli kendaraan bermotor hibrida akan diberi insentif PPnBM DTP sebesar 3 persen. 

Menurut Sri Mulyani, insentif tidak hanya diberikan secara langsung ke masyarakat. Tetapi juga ke sektor riil seperti usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM dan industri padat karya.

Insentif tersebut salah satunya berupa perpanjangan tarif Pajak Penghasilan atau PPh Final khusus UMKM sebesar 0,5 persen bagi UMKM yang omzet usahanya di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. 

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menyebut paket kebijakan stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah cenderung berorientasi jangka pendek.

Selain juga dinilainya tidak ada kebaruan yang berarti alias hanya mengulang insentif yang sudah ada; seperti PPN perumahan DTP, PPN kendaraan listrik dan PPh Final UMKM. 

"Bentuk bantuan juga bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10 kilogram yang hanya berlaku 2 bulan. Sementara efek negatif naiknya tarif PPN 12 persen berdampak jangka panjang," ungkap Bhima kepada Suara.com, Selasa (17/12/2024).

Bhima juga menyoroti pemberian insentif PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan hibrida. Alih-alih berpihak kepada masyarakat menengah dan bawah, kebijakan itu dinilainya sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap orang kaya.

“Harga mobil hibrida pastinya mahal, dan ini cuma membuat konsumen mobil listrik EV yang notabene kelompok menengah atas beralih ke mobil Hybrid yang pakai BBM. Bagaimana bisa ini disebut keberpihakan pajak?” jelas Bhima.

Tak Cukup Atasi Persoalan 

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal memberikan tanggapan yang serupa. Kebijakan stimulus ekonomi dan insentif pajak yang digelontorkan pemerintah menurutnya tidak cukup untuk mengatasi persoalan menurunnya daya beli yang dihadapi masyarakat kelas menengah. 

Faisal menilai pemerintah semestinya menaruh perhatian terhadap kelas menengah yang jumlahnya semakin menurun. Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat kelas menengah tersisa 17,13 persen atau sekitar 47,85 juta orang.

Ilustrasi pekerja 'kerah putih' atau level menengah di kawasan perkantoran SCBD Jakarta Selatan. (Suara.com/Ema)
Ilustrasi pekerja 'kerah putih' atau level menengah di kawasan perkantoran SCBD Jakarta Selatan. (Suara.com/Ema)

Jumlah kelas menengah tersebut menurun drastis bila dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.

Menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kelas menengah rentan atau aspiring middle class

Pada 2024 jumlah kelas menengah rentan mencapai angka 137,50 juta orang atau sekitar 49,22 persen dari total penduduk.

Meningkat sekitar 8,65 juta dari tahun 2019 yang hanya berjumlah 128,85 juta orang. Kelompok kelas menengah rentan adalah mereka yang diketegorikan pengeluarannya sekitar Rp 874,39 ribu sampai Rp 2,04 juta per kapita per bulan.

Faisal mengungkapkan bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat kelas menengah semata-mata juga bukan sekadar meningkatnya beban biaya hidup. Tetapi, turut disebabkan upah riil yang menurun dan hampir semua sektor utama penopang ekonomi mengalami pelemahan upah di Tahun 2024.

"Artinya, pemerintah juga perlu melakukan sesuatu untuk mendorong income mereka, atau setidaknya tidak menambah kenaikan biaya hidup,” tutur Faisal kepada Suara.com, Selasa (17/12/2024).  

Kritik juga dilontarkan Faisal terhadap kebijakan insentif PPN DTP untuk properti dan otomotif. Kebijakan pemerintah itu dinilai tidak relevan dengan kondisi perekonomian masyarakat kelas menengah.

Sebab, data menunjukkan,  banyak masyarakat kelas menengah yang kekinian justru mulai menggunakan tabungannya untuk kebutuhan hidup. 

"Ini kan artinya sudah sangat-sangat kepepet, kalau sudah tidak punya tabungan harus minjam. Jadi boro-boro mau berniat menyicil mobil, menyicil rumah, untuk kebutuhan sehari-hari yang lebih basic saja harus pinjam," ungkapnya. 

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memiliki pendapat berbeda. Ia justru menilai kebijakan stimulus ekonomi yang disiapkan pemerintah efektif untuk memitigasi dampak kenaikan tarif PPN 12 persen. Meski begitu, ia mengaku itu sebatas untuk jangka pendek.

Semisal, bantuan pangan berupa beras masing-masing sebanyak 10 kilogram kepada 16 juta keluarga miskin dan rentan serta diskon biaya listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan dengan daya terpasang 450 VA hingga 2.200 VA yang juga berlaku selama dua bulan sejak Januari-Februari 2025.

Menurutnya, bantuan dan insentif tersebut  dapat memberikan dampak sementara yang signifikan untuk menjaga daya beli di awal tahun 2025.

Namun, kata dia, untuk mengantisipasi dampak jangka panjang, pemerintah perlu mempertimbangkan perpanjangan stimulus atau kebijakan pendukung lainnya. Apalagi, dampak positif dari stimulus terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi negara sangat tergantung pada efektivitas implementasi kebijakan serta respon masyarakat dan dunia usaha terhadap perubahan tarif pajak.

"Stimulus tersebut efektif sebagai mitigasi jangka pendek. Tetapi untuk mempertahankan momentum konsumsi hingga akhir 2025, perlu evaluasi apakah kebijakan serupa perlu diperpanjang atau diimbangi dengan langkah lain seperti subsidi energi atau insentif pajak tambahan,” jelas Josua kepada wartawan, Selasa (17/12/2024).


Terkait

Deadline Relaksasi Pajak dan Pelaporan SPT Semakin Dekat, Dirjen Pajak Tak Terbitkan STP
Minggu, 30 Maret 2025 | 07:03 WIB

Deadline Relaksasi Pajak dan Pelaporan SPT Semakin Dekat, Dirjen Pajak Tak Terbitkan STP

Pemberian relaksasi ini berlaku hingga11 April 2025, di mana DJP tidak akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan kebijakan ini.

Dirjen Pajak Suryo Utomo Rangkap Jabatan Dua BUMN, Gajinya Capai Miliaran?
Jum'at, 28 Maret 2025 | 16:07 WIB

Dirjen Pajak Suryo Utomo Rangkap Jabatan Dua BUMN, Gajinya Capai Miliaran?

Publik menyoroti besaran gaji serta akumulasi harta kekayaan yang dimiliki Suryo dari ketiga jabatannya.

Wapres Gibran: Perbedaan Itu Mendewasakan dan Menyatukan Kita
Jum'at, 28 Maret 2025 | 13:43 WIB

Wapres Gibran: Perbedaan Itu Mendewasakan dan Menyatukan Kita

Wapres juga menyoroti momentum penting tahun ini, di mana Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri jatuh pada tanggal yang berdekatan dalam kalender.

Terbaru
Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba
polemik

Asa Timnas Indonesia ke Piala Dunia 2026: Formasi Jangan Coba-coba

Minggu, 30 Maret 2025 | 21:45 WIB

Harapan untuk Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026 masih ada. Patrick Kluivert diminta untuk tidak coba-coba formasi demi hasil maksimal.

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu polemik

Polemik Royalti Lagu, Upaya VISI dan AKSI Mencari Titik Temu

Sabtu, 29 Maret 2025 | 11:06 WIB

Apa yang menjadi tuntutan VISI dan AKSI untuk segera diselesaikan melalui Revisi UU Hak Cipta?

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL polemik

Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL

Jum'at, 28 Maret 2025 | 22:56 WIB

Wajib hukuman mati. Itu permintaan dari pihak keluarga dan saya pribadi sebagai kakak yang merasa kehilangan, ujar Subpraja.

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers! polemik

RUU KUHAP Usulkan Larangan Liputan Langsung Sidang: Ancaman Bagi Kebebasan Pers!

Jum'at, 28 Maret 2025 | 14:21 WIB

Selain bertentangan dengan kebebasan pers dan prinsip terbuka untuk umum, pelarangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pengadilan.

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi? polemik

Diskriminatif Terhadap Bekas Napi Hingga Jadi Alat Represi: SKCK Perlu Dihapus atau Direformasi?

Jum'at, 28 Maret 2025 | 08:26 WIB

Penghapusan SKCK perlu dipertimbangkan secara proporsional dengan kepentingan publik.

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah polemik

Konflik Kepentingan di Balik Penunjukan Langsung PT LTI Sebagai EO Retret Kepala Daerah

Kamis, 27 Maret 2025 | 17:41 WIB

Patut diduga PT LTI terhubung dengan Partai Gerindra yang menjadikan proses penunjukan PT LTI menimbulkan konflik kepentingan, kata Erma.

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat! polemik

Gelombang Aksi Tolak UU TNI: Korban Demonstran Berjatuhan, Setop Kekerasan Aparat!

Kamis, 27 Maret 2025 | 11:59 WIB

Tindakan kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap peserta demo tolak pengesahan UU TNI adalah sebuah peringatan, sekaligus upaya membungkam masyarakat sipil.