Senin, 01 Jan 2024
Celamitan SYL dan Keluarga di Balik Institusi yang Kotor Home > Detail

Celamitan SYL dan Keluarga di Balik Institusi yang Kotor

Erick Tanjung | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Rabu, 29 Mei 2024 | 14:10 WIB

Suara.com - Praktik dugaan korupsi Syahrul Yasin Limpo alias SYL selama menjabat Menteri Pertanian, menguak tabir pejabat negara dengan mudahnya memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Dalam persidangan perkara korupsi SYL baru-baru ini terkuak fakta, bahwa politisi partai NasDem meminta uang dari Kementan untuk keperluan keluarganya. Mulai dari biaya renovasi kamar anaknya mencapai Rp200 juta, beli Skincare anak puluhan juta, bulanan istri Rp30 juta, hingga biaya sunatan cucu SYL.

***

KASUS korupsi yang menjerat Syahrul Yasin Limpo alias SYL menunjukkan lemahnya pengawasan di Kementerian Pertanian, selain dari tabiat tamak atau serakah.

Selama menjabat menteri pertanian sejak 2021 hingga 2023,  SYL menggantungkan hidup beserta kelurga dari uang Kementan yang bersumber dari APBN. Berdasarkan dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), SYL melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi senilai Rp44,5 miliar.

Segala kebutuhan  SYL  dan keluarganya, mulai dari gaji dan THR pekerja rumah tangganya berasal dari uang Kementan. Belum lagi perjalanan ke luar negeri, kebutuhan perawatan kecantikan istrinya, kurban, sunatan sang cucu hingga durian puluhan juta, semua bersumber dari uang Kementan. Tak hanya itu, SYL juga menjadikan cucu dan kakaknya sebagai tenaga ahli di Kementan dengan gaji Rp10 juta perbulan.

Pola korupsi SYL, meminta uang kepada para pejabat eselon satu di Kementan. Permintaan uang dilakukan SYL lewat Kasdi Subagyono selaku Sekjen Kementan, melalui ajudannya Panji. Ada juga secara langsung oleh anaknya, Redindo Syahrul Putra Dindo.

Para pejabat Kementan lantas memutar otak demi memenuhi kebutuhan SYL dan keluarga. Berbagai cara mereka lakukan, mulai dari membuat pengeluaran fiktif hingga meminjam utang ke vendor, mitra Kementan dengan menjanjikan proyek. Direktur PT Haka Cipta Loka dan Haka Loka, Hendra Putra, salah satu vendor di Kementan mengaku masih terdapat uangnya Rp1,6 miliar yang belum dibayar.

Temuan-temuan ini terungkap berdasarkan fakta persidangan melalui keterangan para saksi yang dihadirkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta beberapa waktu lalu. 

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman menyebut tabiat SYL itu bentuk ketamakan. Hal itu disampaikannya untuk mendefinisikan perilaku korupsi SYL.

"Ini kalau bahasa Jawanya celamit atau bahasa sundanya celamatin. Mungkin kalau bahasa Indonesia-nya ketamakan, begitu tamaknya SYL dan keluarga. Karena hampir semua kebutuhan pribadi dibebankan kepada kantor, ke tempat institusi dia menjabat," kata Zaenur kepada Suara.com, Selasa (28/5/2024).

Dia menilai perilaku korupsi SYL tidak pada umumnya, seperti memotong anggaran langsung dalam nilai yang besar, melainkan sistem ketengan.

"Biasanya kan orang korupsi meminta feed back, gelondongan, uangnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Kalau ini kan tidak, ini diecer, hampir semua kepentingan pribadi itu dimintakan kepada kantor (Kementan)," ujarnya.

Lemah Pengawasan

Zaenur menilai, ketamakan SYL yang berlangsung bertahun-tahun tak dipisahkan dari lemahnya pengawasan Inspektorat Jenderal di Kementan. Fakta-fakta persidangan adalah bentuk fenomena gunung es korupsi SYL. Perilaku buruk yang berlangsung lama juga menunjukkan kerusakan yang sistematis di Kementan.

"Sehingga hampir semua fungsi pengendalian dan pengawasan itu tidak semua berjalan, termasuk Irjen. Dan Irjen itu juga tidak berjalan fungsinya. Jadi memang ketika sebuah organisasi dipimpin oleh orang yang tidak berintegritas, maka ketika organisasi itu belum punya sistem yang baik, maka organisasi itu akan sangat korup atau sangat kotor," kata Zaenur.

Lemahnya pengawasan di Kementan juga terkonfirmasi lewat fakta persidangan. Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto yang dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, 8 Mei lalu, menyebut, adanya permintaan dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sebesar Rp12 miliar untuk opini wajar tanpa pengecualian atau WTP.  Namun dari permintaan Rp12 miliar, yang dibayarkan hanya Rp5 miliar.

WTP atau unqualified opinion sebagai predikat, 'untuk menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.'

Kemudian lemahnya pengawasan, juga diperkuat dengan adanya permintaan uang Rp50 miliar oleh Firli Bahuri saat menjabat ketua KPK kepada SYL pada 2022. Hal itu terungkap lewat keterangan mantan ajudan SYL, Panji yang dihadirkan sebagai saksi pada persidangan, pada 17 April 2024. Belakangan Filri yang mundur sebagai pimpinan KPK ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka korupsi berupa pemerasan kepada SYL.

"Banalitas korupsi yang dilakukan SYL, dan ini sangat mungkin adalah perilaku yang tumbuh karena bentuk pembiaran selama bertahun-tahun kemudian," tegas Zaenur.

"Tapi akar masalahnya ini adalah tetap tidak bisa membedakan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan kedinasan. Mana yang menjadi urusan kedinasan, mana yang menjadi kedinasan. Kemudian semua itu dicampur aduk, bahkan urusan pribadi yang remeh-temeh dimintakan pembebanannya kepada kantor, kepada keuangan negara," sambungnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melihat korupsi yang dilakukan SYL lazim terjadi di sejumlah pejabat negara.

"Ini sebenarnya bukan praktik yang jarang terjadi, ini adalah praktik yang lumrah," kata Kurnia.

Menurutnya, dugaan korupsi yang dilakukan SYL dengan kekuasaannya sebagai menteri harus dimaknai dengan penguatan pengawasan di semua kementerian dan lembaga.

"Mestinya, perkara SYL dengan memanfaatkan kuasanya sebagai menteri, meminta jajaran pejabat kementerian pertanian memberikan sejumlah uang atau upeti kepada SYL, harus dipahami dan ditindaklanjuti dengan memperkuat aspek pengawasan di setiap pos kementerian," katanya.

Keluarga SYL Bisa Dijerat TPPU

Sementara untuk keluarga SYL, menurut Kurnia dapat dijerat dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Pasal 5 lima berbunyi, ' Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.'

Sebagaimana dalam fakta persidangan, sejumlah anggota keluarga SYL menerima sejumlah uang dan barang yang bersumber dari dana Kementan. Salah satunya pembelian mobil Kijang Inova seharga Rp500 juta untuk Indira Chunda Thita Syahrul Putri, anak SYL.

Hal itu terungkap dari keterangan Koordinator Subtansi Rumah Tangga Kementan, Arief Sopian saat bersaksi di persidangan pada 29 April lalu. Menurutnya pembelian mobil itu berasal dari patungan pejabat eselon satu Kementan. 

Kemudian, putra SYL, Kemal Redindo Syahrul Putra Dindo meminta uang Rp111 juta untuk membeli aksesoris mobil. Keterangan itu disampaikan Kabag Umum Dirjen Perkebunan Kementan Sukim Supandi saat bersaksi pada 13 Mei. Sumber uangnya juga patungan dari para pejabat Kementan.

Kurnia menilai keluarga SYL dapat menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang pasif.

"Sepanjang ada pihak yang mengetahui bahkan membantu proses dari tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, harus ditindaklanjuti. Apalagi segala hal yang terjadi dalam proses persidangan dengan terdakwa Syahrul Yasin Limpo disampaikan melalui keterangan saksi," kata Kurnia.

Sementara Zaenur, meminta KPK mendalami lebih jauh keterlibatan keluarga SYL dengan menelusuri peran mereka.

"Apakah keluarga itu sekedar menikmati, atau keluarga juga turut aktif mengatur para pejabat di Kementan. Kalau seperti itu, aktif mengatur para pejabat, maka yang melakukan itu harus dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi sebagai pelaku penyerta pasal 55," tegasnya.

Terbaru
Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?
polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji? polemik

Menantu Hingga Anak Jokowi di Pusaran Dugaan Gratifikasi: Masihkah KPK Punya Taji?

Jum'at, 13 September 2024 | 09:54 WIB

Pada prosesnya nanti, KPK harus mengusut pihak yang memberikan dan memastikan maksud pemberian dugaan gratifikasi itu.

Babak Baru Seteru PKB-PBNU: Cak Imin dan Gus Yahya Semakin Jauh dari Titik Temu polemik

Babak Baru Seteru PKB-PBNU: Cak Imin dan Gus Yahya Semakin Jauh dari Titik Temu

Kamis, 12 September 2024 | 17:32 WIB

Dinamika ini mengundang pertanyaan besar: benarkah tidak ada konflik di balik layar?