Jembatan 4 Barelang, Saksi Bisu Kekejaman Aparat Terhadap Warga Rempang

Jembatan 4 Barelang, Saksi Bisu Kekejaman Aparat Terhadap Warga Rempang


Suara.com - TANGAN kosong tanpa atribut, ratusan warga berkumpul di tepi Jembatan 4 Barelang, Batam, Kepuluan Riau, Kamis, 7 September 2023. Mereka bersiap mengadang ribuan pasukan gabungan dan tak akan membiarkan tanah warisan leluhur diobrak-abrik jadi pabrik kaca.

Jembatan Sultan Zainal Abidin itu menjadi saksi bisu perjuangan warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau, menolak penggusuran.

Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana memasang patok tata batas hutan untuk Proyek Strategis Nasional atau PSN Rempang Eco City. Tapi rencana itu mendapat perlawanan dari warga.

Hingga pecah bentrok dan aparat bersenjata tak segan-segan memukuli, menangkap hingga menembaki warga yang melawan menggunakan gas air mata.

***

Satu hari sebelum kericuhan terjadi, Gilang -bukan nama sebenarnya- mendapatkan pesan dari salah satu warga Rempang bahwa BP Batam akan memasang patok esok hari.

Paginya, sekitar pukul 08.00 WIB, Gilang segera memacu sepeda motornya menuju arah Rempang. Tak seperti biasanya, kala itu ratusan warga sudah memadati tepi Jembatan 4 Barelang.

Tak kenal usia, dari muda sampai tua sudah berkumpul di sana. Pria berusia 30 tahun itu kemudian ikut bergabung dengan ratusan warga yang menolak pemasangan patok dari BP Batam. "Warga itu masih terus berdatangan dari daerah lain di Pulau Rempang," ujar Gilang kepada Suara.com pada Selasa, 10 Oktober 2023.

Warga semakin memadati tepi Jembatan 4 Barelang menjelang pukul 09.30 WIB. Beberapa menit kemudian, pukul 09.50 WIB, ribuan aparat gabungan dari TNI, Polisi dan Satpol PP mulai berkumpul di sisi lain Jembatan 4 Barelang, tepatnya di tepi Pulau Setokok.

Kini, warga dan aparat bersenjata hanya berjarak 180 meter. Ribuan personel gabungan sudah bersiaga menggunakan mobil pengurai massa atau raisa hingga mobil water canon.

Tindakan represif aparat kepolisian menambaki warga karena menolak penggusuran di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, 7 September 2023. [Dok. Istimewa]
Tindakan represif aparat kepolisian menambaki warga karena menolak penggusuran di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, 7 September 2023. [Dok. Istimewa]

Di barisan depan, puluhan polisi lengkap dengan perisai bak sudah siap bertempur melawan warga. Salah satu polisi kemudian dengan pengeras suara memperingatkan warga untuk membubarkan diri.

Namun warga tetap menolak. Barisan polisi diiringi kendaraan taktis pelan-pelan mulai mendekat ke arah kerumunan warga.

Sejumlah warga kemudian melempari barisan polisi dengan botol air mineral. Tepat pukul 10.05 WIB, polisi membalas lemparan itu dengan tembakan gas air mata. "Pokoknya mereka bergerak itu dengan formasi," cerita Gilang.

Bentrok pun pecah. Polisi mulai memukuli, menangkap dan terus menembakkan gas air mata. Warga kemudian berlarian kocar kacir, tak terkecuali, Gilang.

Ia lari ke arah Kampung Tanjung Kertang. Bersembunyi di antara rimbun pepohonan dan semak. Sesaat berlalu, Gilang lanjut berlari ke arah sebuah drum air berwarna biru yang berada di sisi kanan Jalan Trans Barelang.

Dengan mata perih dan wajah yang panas kena gas air mata, Gilang membasuh mukanya dengan air yang ada di drum tersebut. "Ya sempat cuci muka," kata Gilang.

Tak sengaja, Gilang melihat seorang pria dengan wajah berdarah-darah sedang duduk di sebuah warung di dekat drum tersebut. Pria itu mengerang kesakitan, sementara di sampingnya tampak beberapa orang mencoba memberikan pertolongan pertama.

Setelah rampung membasuh wajahnya, Gilang berlari masuk ke area pemukiman. Ia lalu mendapati dua anak SD tampak sedang ketakutan. "Teman-teman kalian lain dimana?"

"Masih di sekolah, masih di kelas," jawab bocah itu.

Infografis aksi represif aparat gabungan terhadap warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, pada 7 September 2023. (Suara.com/Ema Rohimah)
Infografis aksi represif aparat gabungan terhadap warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, pada 7 September 2023. (Suara.com/Ema Rohimah)

Buru-buru Gilang menuju arah SDN 24 Galang, lokasi sekolah itu berada tepat di sisi Jalan Trans Barelang dan sangat dekat dengan titik bentrok. Di sepanjang perjalanan, Gilang melihat beberapa warga menangis dan mencuci muka akibat perihnya asap gas air mata.

Anak-anak Jadi Korban

Pintu kelas demi pintu kelas ia buka. Gilang ingin memastikan tidak ada murid dan guru yang terjebak. Berbarengan dengan itu, suara tembakan gas air mata masih terus terdengar.

Guru dan pegawai sekolah saling membantu mengevakuasi murid-murid menjauh dari bangunan sekolah. Hingga pada sebuah ruangan kelas, Gilang mendapati puluhan murid dan dua orang guru dalam keadaan ketakutan sampai menangis. "Pas aku buka pintu, itu anak-anak dan guru pada ketakutan. Ada puluhan murid," ujarnya.

Gilang lekas meminta puluhan murid dan guru-guru lari keluar dari kelas. "Terus aku bergeser agak ke depan, aku nampak beberapa guru bawa anak-anak juga menangis," jelas Gilang.

Tindakan represif aparat kepolisian menambaki warga karena menolak penggusuran di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, 7 September 2023. [Dok. Istimewa]
Tindakan represif aparat kepolisian menambaki warga karena menolak penggusuran di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, 7 September 2023. [Dok. Istimewa]

Para murid SDN 24 Galang itu berlarian ke luar sekolah menuju pemukiman warga. Gilang sempat menyaksikan aksi seorang guru yang memberi isyarat dengan mengangkat kedua tangannya meminta polisi tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolah. "Pak ini sekolah, jangan tembakan gas air mata!"

Suasana di sekitar SDN 24 Galang sudah dipenuhi asap gas air mata. Hal serupa juga terjadi di SMPN 22 Batam. Posisi sekolah berada di seberang SDN 24 Galang.

Tetapi, tidak tepat berada di sisi Jalan Trans Barelang. Perlu jarak beberapa meter untuk sampai ke area bangunan sekolah.

Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rozy Brilian yang sempat berbincang dengan salah satu guru di sana mengatakan, setelah mendengar keriuhan dari arah Jalan Trans Barelang, semua murid SMPN 22 Batam dikumpulkan di area lapangan sekolah.

Namun, ketika asap gas air mata mulai memasuki pekarangan SMPN 22 Batam, para murid dan guru tunggang langgang berlarian ke arah bagian belakang lalu menuruni sebuah bukit untuk menghindari asap gas air mata. "Mereka langsung lari nggak karuan, lari ke arah musala dan berlindung di bukit," kata Rozy ketika diwawancara Suara.com di kawasan Jakarta Pusat pada Selasa (10/10).

Dikutip dari laporan investigasi KontraS di Pulau Rempang, setidaknya ada 10 murid SMPN 22 Batam dan satu orang guru di sekolah itu menjadi korban tembakan gas air mata.

Seorang guru yang menjadi korban dilaporkan pingsan karena menghirup asap gas air mata. Mereka kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. "Jadi mereka adalah orang-orang atau murid yang sebetulnya tidak mampu untuk lari. Jadi mereka stay, akhirnya terpapar gas air mata," ujar Rozy.

Berdasarkan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), murid di SMPN 22 Batam trauma untuk kembali bersekolah pasca kejadian tersebut. Komnas HAM juga menyarankan agar murid yang terdampak diberi pemulihan secara profesional.

Warga rempang temukan selongsong gas air mata milik aparat kepolisian di lokasi bentrokan Rempang, Batam, Kepulauan Riau. [Dok. Istimewa]
Warga rempang temukan selongsong gas air mata milik aparat kepolisian di lokasi bentrokan Rempang, Batam, Kepulauan Riau. [Dok. Istimewa]

Sementara salah satu wali murid SMPN 22 Batam yang ditemui Rozy, mengaku tidak mengizinkan anaknya kembali bersekolah usai terjadinya bentrok pada 7 September 2023. "Saya ngga mau izinin anak saya masuk, saya takut ada kejadian-kejadian ini lagi. Karena itu sangat traumatis buat dia," ucap seorang wali murid SMPN 22 Batam yang ditemui Rozy.

Pasca Kerusuhan

11 September 2023, mobil yang ditumpangi Rozy dan rombongan membelah gelapnya malam menuju arah Pulau Rempang. Jam menunjukkan pukul 23.30 WIB.

Perjalanan malam itu sengaja dipilih untuk meminimalisir terjadinya gesekan dengan aparat yang sedang berjaga. Sebab di hari yang sama, baru saja terjadi aksi besar-besaran di depan kantor BP Batam.

Aksi itu merupakan tindak lanjut dari aksi penolakan pemasangan patok tata batas hutan pada 7 September 2023.

Rozy dan rombongan akhirnya tiba di Rempang sekitar pukul 01.00 WIB. Kondisinya sangat sunyi dan banyak sisa puing bekas bentrokan antara warga dan aparat beberapa hari yang lalu.

Ranting pohon berserakan dan sebuah truk terbakar dibiarkan di jalanan. Rozy dan rombongan sengaja memasuki Rempang secara sembunyi-bunyi.

Lampu-lampu penerangan jalan dipadamkan, membuat situasi semakin mencekam. Rozy mengatakan beberapa warga secara bergiliran berpatroli saat malam hari untuk mencegah terjadinya bentrok susulan yang tidak terduga.

Ia bersama tim melakukan investigasi tertutup usai kerusuhan di tanggal 7 September 2023. Salah satu warga yang hendak diwawancara adalah Ketua RW di Sembulang untuk mendalami peristiwa kericuhan.

Ketika sudah sampai di depan kediaman Ketua RW, Rozy dan rombongan mengurungkan niatnya dan memutarbalik kendaraannya. Sebab, ada sebuah truk berisi beberapa orang prajurit TNI terparkir di depan rumah ketua RW tersebut.

Pencarian narasumber untuk laporan investigasi di Rempang tidak berjalan mudah. Beberapa warga Rempang yang hendak diwawancara, kata Rozy, merasa ketakutan.

Bukti dokumentasi saat kerusuhan milik warga banyak yang sudah dihapus, lantaran ada isu yang sengaja dihembuskan jika aparat akan melakukan sweeping ponsel.

Suasana tegang sedang dialami oleh warga Rempang pasca bentrok 7 September 2023. Aparat kepolisian dari satuan Brimob terlihat mondar-mandir tak henti-henti mengawasi pergerakan warga.

Kehadiran aparat dinilai menanamkan rasa takut kepada warga. Sehingga aktivitas ekonomi di Rempang sempat terkendala. Banyak warga Rempang yang merasa khawatir pergi bekerja karena sewaktu-waktu rumahnya bisa digusur paksa.

Tak sampai di situ, aparat juga mendirikan 5 posko yang tersebar di beberapa kampung di Rempang. Rozy menyebut posko-posko itu berisi sekitar 20 sampai 30 orang dari personel Polri dan TNI.

Bahkan, Rozy dan timnya mendapati salah satu posko yang berada di kawasan Sungai Buluh Simpang Sembulang yang sebelumnya dipakai warga untuk pertemuan dan konsolidasi telah diambil alih oleh aparat.

Kantor Kecamatan Galang juga dijadikan salah satu posko untuk pendaftaran relokasi. "Ibaratnya, warga mau daftar relokasi tapi sambil ditakut-takutin," kata Rozy.

Dari investigasi KontraS yang dilakukan pada 11 September sampai 13 September 2023, aparat setidaknya mengerahkan 1.010 personel ketika berhadapan dengan warga. Jumlah itu dirasa berlebihan.

Belum lagi ditambah dengan sejumlah kendaraan taktis dan persenjataan seperti pelontar gas air mata.

Selain itu, KontraS menemukan satu orang pria berumur 60 tahun bernama Ridwan yang terkena tembakan peluru karet hingga bagian wajahnya berdarah-darah. Pria itu pula yang diduga sempat dilihat oleh Gilang sewaktu bentrokan terjadi.

KontraS mencatat ada 20 orang mengalami luka berat hingga ringan akibat insiden kericuhan di Rempang. Mengenai pengerahan aparat militer di Rempang, KontraS berpandangan adanya prajurit di Rempang telah melanggar Undang-Undang TNI dan menyebutnya sebagai operasi ilegal.

Sebab tidak diiringi dengan keputusan atau kebijakan politik pertahanan negara dari pemerintah.

Selain jatuh korban dari kalangan lansia dan anak-anak, Komnas HAM dalam temuannya mendapati ada seorang balita yang sesak napas akibat menghirup gas air mata. Balita itu kemudian dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Even Sembiring mengatakan ada delapan orang warga Rempang yang ditangkap polisi setelah kericuhan 7 September 2023.

Kedelapan orang itu langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Sewaktu ditangkap lalu ditahan, WALHI, selaku pendamping dan kuasa hukum sempat terkendala untuk menemui kliennya.

Boy mengatakan pihaknya tidak diperkenankan untuk leluasa menemui warga yang ditahan di Polresta Barelang. "Cuma diperbolehkan di Selasa sama Kamis, di jam 10 sampai jam 2, bahkan itu dipersulit prosesnya," ucap Boy saat berbincang dengan Suara.com, Rabu (11/10).

WALHI dan pihak LBH Pekanbaru kemudian mengajukan penangguhan penahanan atas delapan tersangka. Polisi awalnya berjanji untuk menangguhkan penahanan pada 11 September 2023. "Tapi faktanya janji itu nggak dipenuhi seketika," ujar Boy.

Baru beberapa hari setelahnya, delapan orang itu diperbolehkan menghirup udara bebas tapi tetap berstatus sebagai tersangka. Pada Kamis 5 Oktober 2023 lalu, WALHI mengirimkan surat permohonan agar polisi menghentikan proses penyidikan kepada delapan orang tersangka.

Namun sampai saat ini, surat itu tidak digubris. Boy dan timnya sampai sekarang masih setia mendampingi proses hukum warga Rempang.

Dia mengatakan ribuan aparat yang sebelumnya mendiami Rempang sudah berangsur berkurang jumlahnya. Posko-posko yang didirikan aparat juga masih ada.

Namun, setelah pembatalan batas pendaftaran relokasi pada 28 September 2023, situasi di Rempang mulai beranjak normal. Warga sudah kembali menjalani aktivitasnya sehari-hari.

Hingga pada 6 Oktober 2023, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia kembali mengunjungi Rempang dan disambut aksi penolakan warga.

Boy mengatakan warga Rempang sampai saat ini masih setia untuk mempertahankan tanah leluhurnya dari penggusuran. "Penolakan mereka masih eksis," kata Boy.