Hijrah Anak Punk Jalanan: Jalan Menuju Pulang

Hijrah Anak Punk Jalanan: Jalan Menuju Pulang


Suara.com - "Innamal A'malu Binniyat. Wa innama likullimri'in maa nawaaa”. Segala sesuatu tergantung dari niat, setiap orang akan mendapat dari apa yang diniatkan.

Kalimat itu masih terngiang-ngiang. Pasalnya, hadis riwayat bukhari dan muslim tersebut bukan disampaikan oleh seorang ulama atau mubaligh terkemuka. Hadis itu keluar dari mulut seorang anak Punk yang sedang menuju “jalan pulang”, perjalanan spiritual menghadap Tuhan.

ADALAH Bima Abdul Soleh, anak punk yang berpetualang mencari jati diri di jalanan. Sebagai pria yang merdeka Bima melangkah keluar rumah, meninggalkan hangatnya dekapan orang tua.

Di usia 17 tahun, Bima mulai mencari arti kehidupan di jalanan. Menjadi seorang punk jalanan dilakoni Bima karena dari situ ia merasa mendapatkan kebebasan.

Solidaritas yang tinggi dan tanpa diskriminasi suku, ras dan agama membuat Bima nyaman di skena punk jalanan.

"Gue bilang asik nih karena punya sifat solidaritas meski di jalan kehidupannya lebih gimana-gimana," kata Bima ditemui Suara.com di kawasan Jakarta Selatan, Kamis 13 April 2023.

Selama menjalani hidup di jalanan yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, Bima kerab menghabiskan waktu bersama kawan-kawan skena. Bahkan tak jarang mabuk-mabukan bersama.

Sekelompok anak Punk menghitung uang hasil mengamen di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Indonesia pada 5 September 2020.[Foto/Anadolu Agency]
Sekelompok anak Punk menghitung uang hasil mengamen di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Indonesia pada 5 September 2020.[Foto/Anadolu Agency]

Banyak tempat yang sudah dilewati, langkah kaki Bima bahkan sudah sampai pulau Sumatera di Pekanbaru, Riau. Banyak kisah yang ia petik dari setiap perjalanan. Sedikit demi sedikit pertanyaan tentang jati diri te rjawab.

Bertemu sosok misterius

Saat sedang mengamen di Stasiun Senen, Jakarta Pusat, Bima bertemu dengan seorang laki-laki tua. Sosok lelaki tua berjenggot itu kemudian mengajak Bima untuk salat berjamaah.

Mendapat ajakan tersebut, Bima berupaya menolaknya dengan berbagai alasan, mulai dari pakaiannya yang penuh najis karena sudah lama tidak dicuci hingga tidak hafal bacaan salat. Namun, kata Bima, pria tersebut malah tersenyum.

“Di sana ada sarung kalau mau,” kata Bima menirukan ucapan lelaki itu.

Tak hanya sekali. Ajakan lelaki itu datang setiap hari. Tak hanya mengajak salat, juga tawaran untuk ngopi sembari ngobrol santai.

Bima tidak pernah menolak ajakan untuk ngopi dan ngobrol. Saat itu, bukan hanya Bima, rekannya sesama pengamen juga penasaran.

“Pas lagi ngopi itu dia mulai tuh ngobrolin soal kebaikan-kebaikan. Kaya misalnya salat itu gak boleh ditinggalin.”

Namun saat ngobrol degan pria yang baru dikenalnya itu, Bima tak pernah merasa bosan. Bima justru mulai memiliki ketertarikan dengan obrolan tentang teologi.

“Orang itu ngasih masukannya pelan, gak merintah. Jadi kami kayak ngobrol sama teman aja.”

Perlahan tapi pasti. Bima mulai menjalankan salat, meski tidak lima waktu. Kebiasaan minum-minuman beralkohol mulai ia tinggalkan. Bima belajar menjadi sosok lebih baik, minimal untuk dirinya sendiri.

Halang rintang hijrah

Hijrah ke jalan yang lebih baik tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak halangan dan rintangan yang harus dilewati. Namun semua bisa dilalui, kembali lagi karena ada niat.

"Innamal a'malu binniyat. Wa innama likullimri'in maa nawaaa. Artinya segala sesuatu tergantung dari niat dan setiap orang akan mendapat apa yang diniatkannya,” ujar Bima.

Bima sering mendapatkan tatapan sinis ketika melangkah ke dalam masjid. Hampir separuh wajahnya ditato menjadi stigma negatif bagi hampir sebagian orang di sana.

Ia bahkan pernah dilarang saat hendak memanggunakan kamar mandi musala untuk mensucikan diri sebelum salat.

Sejumlah anak Punk yang tergabung dalam Seniman Terminal (Senter) melakukan kegiatan ngaji bersama di Kampung Lio, Depok, Rabu (15/5). [Suara.com/Arief Hermawan P]
Sejumlah anak Punk yang tergabung dalam Seniman Terminal (Senter) melakukan kegiatan ngaji bersama di di Kampung Lio, Depok. [Suara.com/Arief Hermawan P]

“Kadang masjid atau musala yang merupakan tempat bernaung untuk hamba Allah, malah di sana kami gak diterima. Mending pom bensin atau mini market,” ucap dia.

Namun hal itu tidak membuat Bima patah arang dalam menunaikan ibadah. Ia tetap giat salat berjemaah di setiap masjid yang ia singgahi tiap kota.

"Udah biasa gue kalau mereka kayak gitu. Yang penting niat kita buat ibadah. Lagian juga surga bukan punya bapak moyangnya," katanya.

Bagi Bima setiap manusia terlahir suci, semua bagi terlahir dengan kebaikan. Namun perjalanan hidup bisa membuatnya keliru dan terjerembat dalam lubang hitam.

Meski demikian, selalu ada cara untuk pulang atau kembali ke jalan kebaikan,seburuk apapun perbuatan yang pernah dilakukan.

Sebagai muslim, Bima ingin meninggal nanti dalam keadaan muslim meski telah banyak melakukan kesalahan.

"Hijrah buat saya mungkin sebuah jalan untuk pulang."

Dakwah lewat musik

Sebagai orang yang biasa hidup di jalanan, musik jadi sumber penghidupan Bima. Sehari-hari ia mengamen untuk menyambung hidup.

Setelah berhijrahpun, Bima masih kerab bermain musik. Terlebih saat ia tergabung dalam komunitas Tasawuf Underground.

Saat itu Bima sempat membuat sebuah band yang dinamainya Fly Over. Mengingat pusat kegiatan Tasawuf Underground berada di bawah kolong jembatan layang Tebet.

“Kami udah pernah main di (program TV) Hitam Putih dulu.”

Dalam penampilannya, band Fly Over memainkan musik-musik religi. Mungkin bagi sebagian orang merasa aneh melihat sekelompok orang bertato dan berpenampilan punk namun memainkan musik religi. Namun itu fase perubahan seorang yang menuju jalan kebaikan.

“Mungkin itu cara saya dan kawan-kawan lainnya untuk berdakwah.”

Sosiolog Agama Universitas Negeri Jakarta, Abdi Rahmat menilai maraknya fenomena punk hijrah tidak terlepas dari gejala meningkatnya gairah keberagamaan dan keberislaman masyarakat di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Khususnya dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir.

Masifnya penyebaran dakwah lewat sosial media seperti facebook, Instagram, twitter, youtube, dan twitter membuat dakwah lebih mudah ditangkap oleh banyak lapisan.

“Komunitas punk adalah anggota masyarakat yang juga sangat dekat dengan penggunaan media sosial tersebut,” kata Rahmat.

Anak punk itu bisa saja secara tidak sengaja menjadi penonton setia dakwah, karena memiliki ketertarikan dengan penyampaian para dai.

Sejumlah anak Punk yang tergabung dalam Seniman Terminal (Senter) melakukan kegiatan ngaji bersama di Kampung Lio, Depok, Rabu (15/5). [Suara.com/Arief Hermawan P]
Ilustrasi anak Punk mengaji. [Suara.com/Arief Hermawan P]

“Respon dari anggota punk yang hijrah bisa dijelaskan sebagai respon terhadap makna baru dalam beragama yang mungkin saja selama ini hilang atau tidak lagi mereka rasakan,” jelasnya.

“Pencarian dan penemuan makna beragama secara teori searching for meaning and belonging dalam beragama mendorong mereka untuk berhijrah,” lanjutnya.

Hanya saja, kata Rahmat, banyak dari anak punk yang hijrah belum dapat menghapus tatto mereka. Sehingga masih ada stigma negatif yang melekat bagi anak-anak punk.

“Karena tato di masyarakat kita masih dipandang sebagai perilaku menyimpang. Tapi lambat laun seiring masyarakat mengenal mereka lebih jauh, tentu mereka juga harus menampilkan perubahan perilaku yang semakin Islami, maka stigma masyarakat kepada mereka lambat laun akan hilang juga.”