Jalan Buntu Kasus Pelecehan Pegawai KPI: Suami Simpan 'Luka' hingga Istri Keguguran

Jalan Buntu Kasus Pelecehan Pegawai KPI: Suami Simpan 'Luka' hingga Istri Keguguran


Suara.com - Penderitaan itu datang bertubi-tubi kepada MS. Di tengah proses hukum yang jalan di tempat, sang istri mengalami keguguran karena depresi mendengar kisah kelam suaminya yang dirisak dan dilecehkan oleh teman sekantornya di KPI selama bertahun-tahun.

SENIN, 22 November 2021 menjadi hari berkabung bagi MS dan istrinya Lia--bukan nama sebenarnya. Peristiwa keguguran yang dialami istrinya itu membuat hati MS semakin terkoyak. Penantian mereka atas kehadiran calon anak kedua itu telah pupus.

“Istri saya baru keguguran. Karena kepikiran saya yang depresi seperti ini.”

Usia kandungan Lia baru delapan minggu saat mengalami keguguran. Sejak memasuki usia enam minggu, janin bayi yang di dalam perutnya tidak berkembang lagi.

Beban itu tak ditanggung sendiri oleh MS. Sebagai pasangan hidupnya, sang istri ternyata turut memikul kepedihan, meski Lia berusaha tegar menghadapi cobaan yang didera suaminya.

“Bagaimana aku enggak kepikiran, kamu seperti ini depresi,” ujar Lia kepada MS.

Pada Rabu, 1 September 2021, MS membuat geger publik. Dia menulis surat terbuka karena mengaku sudah tidak kuat lagi mengalami perundungan dan pelecehan seksual di KPI. Surat terbuka yang ditulis oleh MS ditujukan kepada Presiden Jokowi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Sejumlah upaya telah dilakukan MS untuk mendapat keadilan, namun hingga kini, kasusnya masih gelap.

Iri soal Gaji hingga Disuruh-suruh

FEBRUARI 2011 menjadi babak baru dalam hidup MS. Dia diterima di KPI sebagai karyawan kontrak, yang bertugas di Divisi Analisis Pemantauan. Laiknya karyawan baru, kebahagiaan menyertai MS yang kala itu baru berusia 23 tahun. Di tahun pertamanya bekerja di KPI, dirasakan berjalan dengan baik.

Memasuki 2012, seperti anak muda yang haus dengan tantangan dan pengalaman, MS mengajukan lamaran dan menjalani tes untuk bergabung ke Divisi Visual Data KPI.

Di Divisi Visual Data, MS satu ruangan dengan  RM, SG, TS, dan  DW. Mereka seharusnya menjadi rekan yang baik bagi MS, tapi ternyata tidak.

Bermula karena MS dianggap anak baru di lingkungan kerja. Mereka iri karena merasa gajinya disamakan dengan diterima MS yang notabene baru tiga bulan bergabung ke divisi itu. Umumnya untuk kenaikan gaji, harus melewati enam bulan pertama masa kerja.

“Enak ya kalau kontrak yang disamakan,” kata mereka meledek MS.

“KW,” begitu mereka memanggil MS, karena nama panggilannya sama dengan SG.

Kata-kata kasar dan cabul menjadi bahasa sehari-hari yang kerap didengar MS. Bertolak belakang dengan tugas KPI yang sigap menegur siaran televisi yang mengandung konten kekerasan hingga pornografi.

MS juga diperlakukan bak pesuruh, dia hampir tiap hari diminta untuk membeli makanan atau keperluan lainnya.

“KW beliin gua makan dong,” perintah mereka.

***

TAHUN 2013, semakin berat bagi MS, sang ayah yang merupakan pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) terkena stroke. Sakit yang diderita ayahnya menjadi beban pikirannya, karena tak terbendung lagi, MS mencurahkan isi hatinya kepada RM,  SG, TS, dan  DW.

“Ayah saya stroke,” ujar MS.

Bukannya menaruh simpatik dan memberikan semangat, RM malah melontarkan tudingan yang membuat MS tercengang.   

“Biasanya sih orang kayak gitu, sakit stroke gitu, kerjanya makan uang haram, korupsi.”

Dia hanya terdiam, hatinya hancur. Sosok ayah yang sedang menderita stroke malah dituding karena memakan duit haram. Andai waktu beberapa detik itu bisa diulang, rasanya lebih baik tidak bercerita.

Mendapat perlakuan yang tidak baik, MS beberapa kali berusaha untuk dapat diterima.

Jika ada rezeki lebih, MS membelikan mereka makanan seperti donat atau sekedar mentraktir. Namun usaha itu tidak berhasil, MS tetap saja mejadi sasaran perundungan.

Selama dari 2012 hingga 2014, MS terus mengalami perundungan dan diperalat. Dia tak berdaya, dia tak terbiasa dengan kekerasan.

Dia selalu ingat pesan ibunya untuk selalu mengalah dan menganggap kekerasan bukan cara untuk menyelesaikan permasalahan.  

****

KAMIS 22 Oktober 2015, di lantai enam Gedung Bapetan, Kantor KPI (lama), Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, jam menunjukkan sekitar pukul 13.00 WIB.

RM sedang memainkan kamera profesional yang ditopang dengan tripod. Dia sedang berpose. MS yang saat itu melintas ditegur RM.

“Enggak usah ikut-ikutan!”

“Siapa juga yang mau ikut-ikutan,” ujar MS tak menghiraukan RM.

MS berlalu menuju ruang visual data dan duduk di kursinya menghadap komputer.

Tak berselang lama, RM menyusul. Di ruangan telah ada RT, FP, EO, dan CL. Tanpa diketahui sebabnya, RM memukul bagian belakang kepala MS cukup keras.

“Ngent*t,” teriak MS, karena kaget.

RM yang mendengarnya, tak terima. 

Dia berbalik arah dan langsung memiting leher RM. Tubuh MS yang jauh lebih kecil dari RM membuatnya tak bisa melepas diri. Bahkan untuk berteriak pun dia tidak bisa.   

MS meringis kesakitan, dia meronta-meronta agar bisa terlepas.

RT yang melihat, langsung memegang tangan dan kaki kiri MS. Tak ketinggalan FP memegang tangan dan kaki sebelah kanan, semakin membuat MS tak berdaya untuk melawan.

Keduanya langsung menurunkan celana MS, hingga alat kelaminnya terlihat. MS tetap berusaha melepas diri. Dia kalah jumlah.

EO ikut bergabung dia mengambil spidol, mencoret buah zakar MS. Sementara CL mengambil gambar untuk mengabadikan momen itu. Seolah puas melecehkan MS, mereka tertawa. Sementara, MS harga dirinya hancur, martabatnya diinjak-injak, dia merasa tak berdaya.

Peristiwa itu menjadi mimpi buruk bagi MS, dia selalu ketakutan saat mengingatnya.

Ingin dia kubur peristiwa itu, tapi selalu datang menghantuinya. Bahkan dia sempat ingin mencoba untuk bunuh diri.

“Saya merasa tidak dihargai, terus di-bully (diperundung), sudah merasa diinjak-injak harga diri saya.”

Namun niatan itu dia urungkan, MS berusaha untuk tetap tegar.

***

PADA 2017, MS kembali mengalami perlakukan buruk dari rekan-rekannya. Peristiwa itu terjadi ketika KPI menggelar Bimbingan Teknis di Resort Prima Cipayung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

MS, korban pelecehan di KPI didampingi pengacara saat memenuhi pemeriksaan kesehatan di RS Polri. (Suara.com/Yaumal)
MS, korban pelecehan di KPI didampingi pengacara saat memenuhi pemeriksaan kesehatan di RS Polri. (Suara.com/Yaumal)

Di tengah dinginnya malam, waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB. MS sedang tertidur pulas di salah satu kamar. Dia terusik, tubuhnya tiba-tiba terangkat.

MS membuka mata, melihat ternyata IP bersekongkol dengan RT dan DS membopongnya.

MS berusaha untuk melawan. Dia meronta-ronta agar terlepas. Namun, cengkeraman tangan ketiganya sangat kuat di tubuhnya. Mereka membawa MS hingga mengempaskan tubuhnya ke dalam kolam renang.

Suara riak air akibat tubuh MS memecah hening pada malam itu.

Di dalam kolam renang, MS kedinginan. Dia kalut, hatinya sakit. Dia berusaha untuk keluar. Tubuhnya basah kuyup. Sementara IP, RT, dan DS tertawa terbahak-bahak. Misi mereka menjahili MS berhasil.

Diolok-olok karena Belum Ada Anak

TEPAT di usia 28 tahun, MS menikahi kekasihnya, Lia pada 2016 silam. Namun, MS tetap menjadi bahan olok-olok di lingkungan kantor karena belum mendapatkan momongan.

Beberapa tahun setelah menikah, MS dan Lia memang tidak langsung dikaruniai anak.

Di tengah situasi kantor yang sedang ramai, TS, salah satu pegawai KPI mempertanyakan mengapa MS tidak bisa membuat sang istri hamil.

Gedung Komisi Penyiaran Indonesia. (Suara.com/Yaumal)
Gedung Komisi Penyiaran Indonesia. (Suara.com/Yaumal)

“Lu bisa enggak sih sebenarnya?”

“Jangan-jangan lu enggak tahu lagi (cara berhubungan badan)?”

“Sini gua gantiin!”

Ucapan-ucapan itu membuat MS sakit hati bagai disambar petir di siang bolong. Sebab, perisakan secara verbal itu juga dianggap telah melecehkan istrinya.

Namun, MS memilih diam. Baginya, merespons perkataan itu bagaikan menyiram bensin ke tengah api yang berkobar. Sebab, rekan kerja yang lain akan ikut-ikutan merisaknya, karena dianggap menjadi lelucon yang biasa dilontarkan laki-laki.

Setelah penantian panjang, hari Pada Februari 2019, pasangan suami istri itu dikaruniai bayi perempuan.

Tak disangka oleh MS, kehadiran putri pertamanya tampak tidak disukai oleh rekan kerjannya. Seperti tidak ada habis-habisnya, MS tetap menjadi sasaran perundungan oleh SG.

“Jangan-jangan itu bukan anak lu?”

Sebut Nama Istri saat Salat

MESKI sudah menikah, peristiwa pelecehan seksual sempat disimpan rapat-rapat oleh MS. Dia tidak ingin istrinya tahu.

Namun dampak pelecehan seksual dan perundungan yang dia alami mempengaruhi keharmonisan rumah tangganya. Sesekali Lia dan MS terlibat pertengkaran kecil. Bahkan, dia sempat bertanya kepada MS.

“Kamu cinta enggak sih sama aku?”

Mendapat pertanyaan itu membuat MS, terdiam membisu. Jujur saja dia sangat mencintai Lia, istrinya.

Beberapa kali Lia menemukan gelagat aneh dari suaminya. Pernah suatu waktu MS sedang salat, bukannya melantunkan ayat-ayat suci, dia malah menyebut nama sang istri.

“Lia.. Lia... Lia!”

“Kamu kenapa?”

“Enggak, enggak, kok”

Lia juga pernah dibuat kaget karena tingkah aneh suaminya.

Di tengah kesunyian, MS tiba-tiba tersentak bangun, memukul kasur dengan kedua tangannya.

“Kamu kenapa?”

MS seperti orang ketakutan, dia memimpikan peristiwa kelam itu.

Dia berusaha menenangkan diri, untuk menghindari kecurigaan Lia. Pada saat makan bersama Lia, MS kembali menunjukkan perilaku aneh.

Dia tiba-tiba memukul meja seperti orang yang sedang marah. Lia pun kebingungan. Gebrakan meja yang dilakukan suaminya mengagetkannya.

***

Penderitaan yang dialami MS tak berhenti begitu saja. Dia mengalami insomnia, merasa gelisah hingga ketakutan. Sepanjang malam, dia bahkan mengalami mual hingga pagi hari.

Kondisi suaminya itu membuat Lia khawatir.

“Mual gitu, kita ke dokter saja!” 

Beberapa kali menjalani pengobatan, rasa mual suaminya tak kunjung sembuh. Lia semakin curiga dengan suaminya.

Hingga pada 8 Juli 2017, mereka mendatangi Rumah Sakit Pelni untuk menjalani endoskopi. Hasilnya MS dinyatakan mengalami hipersekresi cairan lambung, akibat trauma dan stres yang dialaminya.

Kehidupan yang dirasakannya MS semakin berat, dia suka menyendiri. Hubungannya dengan sang istri membuatnya tidak betah di rumah. Sementara di kantor MS tetap menjadi korban bullying.

***

AKHIRNYA, MS memberanikan diri untuk menceritakan semuanya kepada sang istri. Awalnya, MS ragu untuk mengungkapkan hal itu kepada Lia. Alasannya berbicara dengan sang istri, karena MS ingin Lia tahu, mengapa sikapnya tidak stabil.

Sebelum mengutarakan kisah kelamnya kepada istri, sejumlah pertanyaan sempat berputar-putar di kepala MS. Sebab, dia khawatir Lia bakal malu jika tahu suamiya menjadi korban pelecehan seksual.

“Dia punya suami seperti saya, malu enggak saya sebagai laki-laki?”

Karena sudah tidak tahan lagi dengan penderitaannya, terlebih Lia sudah mulai curiga dengan sikapnya, MS akhirnya membuka diri.

“Aku dilecehkan dan diperundung oleh rekan-rekan kerjaku.”

“Astagfirullah, kok bisa sih seperti itu?”

“Kenapa itu bisa terjadi?” 

Prasangka Lia bahwa MS tidak mencintainya, ternyata salah. Sikap suaminya dan pertengkaran yang sering terjadi antara mereka, dampak peristiwa dua tahun silam.

Sementara MS terdiam mematung melihat Lia. Dia menunggu reaksi Lia selanjutnya.

“Salah satunya jalan, ya udah salat, mengadu ke Allah,” ujar Lia.  

“Minta sama Allah, sabar.”

Syukur bagi MS karena memiliki istri seperti Lia. Dia tetap menerima kondisi suaminya dengan segala penderitaannya. Dia berusaha selalu mendampingi MS.

***

Pada Jumat, 11 Agustus 2017, MS mengirim surat elektronik (surel) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dia menuliskan penderitaan yang dialaminya selama bekerja di KPI.

Surel yang ditulisnya baru mendapat jawaban dari Komnas HAM pada Sabtu, 19 Agustus, namun tidak sesuai dengan harapannya. Komnas HAM meminta MS untuk melaporkan ke kepolisian, karena sudah mengarah ke unsur pidana.

MS pun melapor ke Polsek Gambir pada 2019, dua tahun setelah Komnas HAM membalas surelnya. Di samping itu pada 2020, MS juga kembali melapor, namun hasilnya juga tidak memuaskannya.

Seolah dipingpong, polisi memintanya untuk sebaiknya mengadu ke atasannya. Kepolisian menganggap persoalannya masalah internal KPI.

Mengikuti arahan dari kepolisian, MS melapor ke atasannya kepala sub bagian divisi visual data, berinisial IM.

Sambil menangis, MS menceritakan secara detail pengalaman kelamnya.

“Saya dirundung dan dilecehkan pak,” ujar MS di tengah isaknya.

“Kenapa kamu lama melaporkannya, coba bilang pas kejadian itu bisa ditanggapi. Ini sudah lama banget,” jawab IM tak memberikan solusi.

MS tetap berusaha mencari keadilan, MS lalu memberanikan diri menemui kepala bagian, berinisial BL. Dia kembali menceritakan peristiwa yang dilaluinya.

BL memberikan solusi, dia memindahkan kursi MS dari ruang visual data yang tertutup ke ruang yang lebih terbuka.  Aduan MS ke BL, tidak  membuat rekan kerjanya jera. Mereka juga tidak diberikan sanksi. 

Tindakan perisakan dan pelecehan yang dialami MS semakin menjadi-jadi.

Untuk menghindari perudungan, MS memilih menghabiskan waktunya di musala. Dia secepat mungkin berusaha menyelesaikan pekerjaannya agar bisa menghindari komplotan RM.

Kondisi kesehatan mental dan fisik MS pun semakin parah. Atas saran istrinya dan sejumlah orang terdekatnya, dia akhirnya berkonsultasi dengan psikolog di Puskesmas Taman Sari Jakarta Barat.

Dari hasil pemeriksaan, dia dinyatakan menderita Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) atau gangguan kejiwaan akibat trauma. Sejumlah upaya juga dilakukan MS untuk memulihkan diri. Termasuk menjalani rukiyah.  

Intimidasi hingga Sebut KSP

TELEPON genggam MS berdering pada Selasa 7 September 2021. Dari ujung telepon, terdengar suara Staf Legal KPI, MC, meminta MS untuk datang ke Kantor KPI, di Jalan Ir H Juanda, Gambir, Jakarta Pusat pada Rabu (8/9/2021).

Dalam percakapan itu, MS diminta datang pukul 10.00 WIB, namun tidak diperbolehkan untuk membawa kuasa hukumnya.

Dia sebenarnya tidak ingin memenuhi panggilan itu, karena pertemuan itu bentrok dengan agenda pemeriksaan MS di Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). MS pun masih merahasiakannya dari tim kuasa hukumnya.

Hari pun berganti, sesuai jadwal, MS dengan didampingi pengacaranya terlebih dahulu mendatangi Komnas HAM. Setelahnya, mereka lalu menuju kantor LPKS. Setelah dari sana, MS akhirnya bercerita kepada pengacaranya di dalam mobil.

Ketua Tim Kuasa Hukumnya, Mehbob kaget dengan kabar itu. Dia memberi berpesan kepada MS.

“Kalau ada apa-apa rekam dan foto!”

Kantor KPI Pusat. [Istimewa]
Kantor KPI Pusat. [Istimewa]

Setelah menuntaskan salat Asar, MS tiba di Kantor KPI. Dia ditemui M dan langsung diarahkan menuju ruang Pengaduan Penyiaran, belum sampai, RM menyusul dari belakang.

RM bersama empat orang terlapor lainya, telah sejak pagi menunggu MS.

Sikap RM terhadap MS berubah, dia lebih sopan. Dia pun sudah tidak memanggil MS dengan sebutan KW.

“Bang mau makan apa?” tanya RM berbasa-basi.

MS tak menjawab. RM  lalu memanggil OB.

“Tolong buatkan teh.”

Di ruangan itu, ada mereka bertiga Staf Legal KPI, MC, MS dan RM.

Sebelum agenda pertemuan itu, tiba-tiba RM meminta MS untuk membuat skenario, menyuruhnya untuk berdusta.

“Nanti kita konferensi pers, bilang saja PTSD kamu kambuh!”

Tak cuma itu, RM juga mendesak MS untuk mencabut laporannya di Polres Metro Jakarta Pusat. MS bahkan diminta untuk memberikan keterangan resmi seolah surat terbukanya yang sempat viral di media sosial adalah fiktif, karena penyakit PTSD yang kambuh.

“Gara gara tulisan kamu itu si SG itu depresi loh, kamu enggak kasihan?”

“Online shop istri gua hancur tuh, karena gua dituduh sebagai predator seksual.”

“Kamu enggak kasihan sama gua?” tanya MS kembali sambil menangis.

RM kemudian menyodorkan surat perjanjian damai yang bersisi poin tuntutan mereka terhadap MS.

“Kalau misalnya mau damai, ada syaratnya bikin tulisan ulang, memulihkan nama baik (kami), kalau enggak keluarga EO, dia besok melapor pencemaran nama baik.”

RM juga mengklaim memiliki kenalan di KSP.

“Gua punya orang KSP.”

MS ketakutan setengah mati, PTSD-nya kambuh. Namun, dia menolak surat perjanjian damai itu.  

Pertemuan itu bubar, mereka berpindah ke ruang humas yang bersebelahan dengan ruang pengaduan penyiaran.

“Lu pengen ngalahin gua? Emang gua bisa dikalahkan? Gua enggak bisa dikalahkan,” ujar RM kesal.

Lantaran skenarionya digagalkan, mereka sempat melaporkan MS ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik. Namun laporan itu ditolak, karena proses hukum kasus perundungan dan pelecehan seksual masih berproses.

****

ADA hal besar lainnya yang dikhawatirkan MS, yaitu hubungan dia dengan sang putri kecilnya. Dia mengaku ada jarak antara dia dengan sang anak.

“Jadi itu hubungan, relasi dengan anak, agak renggang."

Diakui MS, akibat pengalaman traumatisnya membuatnya tak bisa berlama-lama bermain dengan putri kecilnya. Dia lebih memilih menyendiri di kamar.

“Kadang-kadang  cuma sekali main. Jadi main itu enggak sampai satu jam, palingan lima menit”

“Saya bilang enggak mau berhubungan dengan orang. Menyendiri gitu saja”

Di samping itu, rasa percaya dirinya sebagai ayah juga menjadi faktor utama. Dia khawatir putri kecilnya ketika besar mengetahui masala lalunya.

“Kalau dia nanti melihat rekam jejaknya digital pastinya masih ada, takutnya kalau dia melihat. Kok bapak saya PTSD, masih mudah, masih umur 32 tahun sudah stres, dilecehkan”

“Makanya saya bilang, jangan sampai anak saya nanti mengalami hal yang seperti saya alami ini”

Harapan MS, atas peristiwa kelam yang dialaminya bertahun-tahun, para pelaku yang telah melecehkannya itu segera ditetapkan sebagai tersangka dan mendapat hukuman yang setimpal.

“Kedua, adalah KPI memecat mereka para pelaku, karena sudah melukai saya, istri saya dan keluarga saya juga.” 

MS juga berharap bisa bertemu dengan Presiden Jokowi. Dia ingin meminta pertolongan kepada orang nomor satu di negeri ini.

“Saya ingin ketemu pak Jokowi, karena proses ini semakin rumit dan bikin saya depresi. Apalagi istri saya keguguran.”

***

Terkait peristiwa yang dialaminya itu selama bertahun-tahun, MS pun kembali mengingat ucapan yang sempat disampaikan oleh salah satu pegawai senior di KPI, saat dirinya baru bergabung di divisi visual data pada 2012 lalu.

Dia baru mulai sadar apa istilah welcome to the jungle yang diutarakan seniornya saat itu untuk menggambarkan aksi kekerasan hingga perundungan yang terjadi di KPI merupakan hal lumrah karena sudah dianggap menjadi budaya oleh sejumlah pegawai di sana. 

 “Welcome to The Jungle.”