Kisah Mereka yang Bertahan dari Penggusuran dan Melawan PT KAI

Kisah Mereka yang Bertahan dari Penggusuran dan Melawan PT KAI


SuaraJabar.id - Lebih dari separuh abad, Eti (59), menjajal hidup di kawasan Jalan Anyer Dalam, Kebonwaru, Kota Bandung. Pertama kali tiba pada 1970 silam, usianya masih delapan tahun. Sekarang sudah jadi seorang nenek, cucunya yang semata wayang lahir sebulan lalu.

Saat ditemui, Eti mencoba mengulang riwayat masa lalu. Matanya gagal menahan tangis. Bukan cuma terkenang haru, melainkan takut dan bingung lantaran rumahnya, bagian dari masa lalu itu, kini terancam digusur karena proyek Laswi City Heritage.

Proyek itu digarap PT Wijaya Karya (Wika) di atas lahan yang disewakan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Kabarnya, bakal jadi kawasan ikonik baru di Kota Kembang mencakup pusat kawasan bisnis, area publik, olahraga, hingga hiburan.

Rumah Eti terancam dibongkar. Berkali-kali ia mendapat surat peringatan agar mengosongkan rumah. Surat itu awalnya dikirim lewat pos. Belakangan, dikirim lewat ojek online.

Klaimnya, rumah itu dibangun di atas lahan milik PT KAI. Sepengetahuan Eti, tempat tinggalnya akan diratakan untuk jalur masuk ke lokasi inti proyek Laswi City Heritage.

Eti tinggal bersama dua anaknya, satu menantu, satu cucu, juga beberapa saudara lainnya. Ruangan di rumahnya tersekat-sekat, dibagi setidaknya untuk tiga kepala keluarga. Total, ada 14 orang yang hidup seatap bersama.

 Warga Jalan Anyer Dalam, Kebonwaru, Kota Bandung, tengah berjuang dari ancaman penggusuran. [Suara.com/ Muh Dikdik RA]
Warga Jalan Anyer Dalam, Kebonwaru, Kota Bandung, tengah berjuang dari ancaman penggusuran. [Suara.com/ Muh Dikdik RA]

"Harus kemana kalau digusur?," tanyanya saat ditemui suara.com, di sebuah rumah yang jadi posko protes penggusuran, Selasa (12/10/2021) lalu.

Sejauh ingatannya, rumah itu dibeli orang tua Eti dari seseorang yang ia sebut sebagai Wedana. Ia masih menyimpan catatan pembelian rumah, tapi huruf-hurut yang ditulis-tangan di atas kertas itu seluruhnya hampir lamur.

Saat kecil dulu, kata Eti, kawasan itu tak sepadat sekarang. Sebagian besar hanya tanah kosong bantaran sungai.

"Satu-satu datang warga yang lain, saya gak tahu ceritanya, mungkin juga sama pada beli. Saya tidak tahu," katanya.

Ia ingat di dekat rumahnya dulu memang ada rel kereta api, tapi sudah tidak aktif. Bahkan rel itu kini tertimbun aspal jalan. Eti mengaku tak pernah tahu apakah itu lahan milik PT KAI atau bukan. Kejelasan status lahan inilah yang dipertanyakan Eti saat ini.

Seluruhnya ada 25 Rumah

Rumah Eti bukan satu-satunya yang terdesak proyek, ada 24 rumah warga lainnya yang juga terancam digusur. Terpencar di RT 05 dan 06. Tiga rumah sudah dibongkar, sang pemilik disebut telah sepakat dengan PT KAI yang hanya memberikan ongkos pembongkaran.

PT KAI memang tidak berniat memberikan ongkos ganti bangunan apalagi lahan. Hanya meminta para penghuni pergi dengan bekal ongkos bongkar. Nilainya, Rp 200 ribu permeter persegi untuk bangunan semi-permanen dan Rp 250 ribu permeter persegi untuk bangunan permanen.

"Kalau diitung-itung artinya saya hanya dapat Rp 15 juta. Rp 15 juta dibagi tiga keluarga, cuma Rp 5 juta dapatnya. Saya membangun rumah bertahap, harganya lebih jauh dari itu. Kalau kami terima (ongkos pengganti), lalu tinggal di mana?," tanya Eti.

Selain itu, ada tiga rumah lainnya yang sudah dikosongkan. Mereka juga dikabarkan telah sepakat dengan PT KAI. Sekarang hanya menunggu waktu pembongkaran. Akhirnya, tersisa 18 rumah saja. Para penghuni memilih bertahan, bersolidaritas untuk mengetuk pintu keadilan.

Selain 25 rumah yang terletak di Jalan Anyer Dalam, terdapat satu rumah terdampak di Jalan Sukabumi. Pada tanggal 4 Oktober 2021 lalu, rumah itu dieksekusi, dibongkar paksa. Sang penghuni adalah seorang perempuan yang hidup sendiri, guru di sebuah sekolah menengah pertama di Kota Bandung.

"Setelah penggusuran, ibu itu sempat di sini bersama kami. Bahkan dia datang hanya berpakaian daster selutut. Padahal sehari-hari selalu memakai kerudung kalau ke luar rumah. Dia bahkan tidak sempat ganti pakaian," ungkap Dindin, warga Anyer Dalam, yang juga dipercaya sebagai koordinator warga setempat.

"Ibu itu mempertahankan diri dan rumahnya. Mendapat luka di tangan dan kaki. Tangannya biru-biru, kakinya berdarah. Waktu di posko, dia cuma diam melamun sedih," imbuhnya.

 Warga Jalan Anyer Dalam, Kebonwaru, Kota Bandung, tengah berjuang dari ancaman penggusuran. [Suara.com/ Muh Dikdik RA]
Warga Jalan Anyer Dalam, Kebonwaru, Kota Bandung, tengah berjuang dari ancaman penggusuran. [Suara.com/ Muh Dikdik RA]

Penghuni rumah itu, kata Dindin, kini kerap terlihat takut ketika melihat orang yang memakai seragam yang sama dengan orang yang ia lihat saat penggusuran terjadi.

Kejadian itu membuka mata Dindin, bahwa penggusuran itu tak hanya memakan kerugian harta. Lebih dalam lagi, menyisakan luka batin dan merusak kehidupan sosial. Meski di sisi lain, ternyata turut memupuk rasa solidaritas senasib-sepenanggungan.

Setiap Malam Bergilir Jaga Kampung

Di depan rumah yang dijadikan posko itu terdapat spanduk putih. Selebar kira-kira tiga meter, terpampang menutup pagar. Spanduk itu seperti bertugas mencuri mata siapapun yang lewat.

"Rapatkan barisan, tetap berpegang tangan," begitu nukilan yang tercantum di sana.

Selasa (12/10/2021) lalu, selepas waktu Isya, di posko itu Eti dan Dindin tidak hanya berdua. Ada sekitar lima warga lainnya. Sambil main kartu, sesekali mereka turut dalam percakapan.

Di luar, suara anak-anak muda berebut telinga dengan suara hujan. Mereka berkumpul di sebuah pos penjagaan di muka posko. Udara perlahan dingin, seperti berusaha menusuk-nusuk ke dalam pakaian.

Kejadian di Jalan Sukabumi itu membuat warga Jalan Anyer Dalam merasa resah. Warga takut sewaktu-waktu ada orang-orang yang datang lalu melakukan penggusuran. Karenanya, kini mereka sepakat bergiliran ronda setiap malam. Dalam kecemasan itu, mereka berupaya waspada, bahkan tak jarang jadi jatuh pada rasa curiga.

"Saya takut. Kepikiran, bingung tidak bisa tidur," suara Eti bergetar.

"Anak di rumah juga jadi takut. Suka bilang 'bapak, ayo pergi, ayo pergi'," timpal warga lain.

Warga Menggugat

Kepada Suara.com, kuasa hukum warga, Tarid Febriana, mengurai kronologis sengketa yang terjadi di Jalan Anyer Dalam. Awalnya, pada 2018 lalu, perwakilan pihak PT Wika disebut mendatangi warga menyampaikan sosialisasi pembangunan Laswi City Heritage.

Tarid menyebut, pihak PT Wika saat itu memberikan uang senilai Rp 500 ribu kepada warga sebagai "uang bising". Maksudnya, kata Tarid, uang itu diberikan karena pembangunan proyek mungkin akan membuat suara yang berisik. Selain itu, pihak PT Wika pun menyodorkan uang seniali Rp 1 juta.

Pada saat itu, sama sekali tak ada pembicaraan soal penggusuran rumah.

"Pertemuan kedua, warga dikasih uang sejuta. Cuma yang jadi masalah, waktu itu warga disuruh tandatangan tapi warga tidak dikasih tahu tanda tangan itu untuk apa. Tidak diperlihatkan isi (surat) itu apa," ungkapnya.

Pada tanggal 21 Juni 2021 lalu, pihak PT KAI mengantarkan surat. Kembali menegaskan bahwa pihaknya telah berkerjasama dengan PT Wika untuk pembangunan tersebut. Pada kesempatan itu, warga diperlihatkan sertifikat hak pengelolaan.

"Tiba-tiba Juni 2021, pihak PT KAI datang dan memberikan sosialisasi bahwa nantinya akan ada 25 rumah yang bakal digusur karena terkait proyek itu, mereka butuh akses jalan. Itu yang jadi persoalan. Tapi mereka tidak pernah menunjukkan bukti kepemilikan lahan tempat 25 rumah itu," tutur Tarid.

Masalah kian kisruh setelah pihak PT KAI menyampaikan bahwa mereka tidak akan memberikan uang ganti bangunan atau lahan, tetapi hanya ongkos bongkar yang ditentukan secara sepihak. Warga menilai, ongkos bongkar jauh dari layak. Setelah mediasi gagal, warga pun lalu mengajukan gugatan.

"Kita mengajukan gugatan tanggal 30 Agustus 2021 ke Pengadilan Negeri Bandung. Isi gugatan intinya yang dituntut warga, pertama, meminta agar PT KAI menunjukkan bukti kepemilikan tanah. Kalau pun memang ini terbukti tanah milik PT KAI, warga minta ganti rugi yang sesuai, layak dan adil," katanya.

Pada tanggal 24 September 2021 lalu, telah dilakukan sidang perdana dengan agenda pemanggilan pihak-pihak. Namun, kata Farid, pihak PT KAI tidak hadir di persidangan. Selanjutnya, sidang direncanakan bakal kembali digelar pada tanggal 24 Oktober ini masih dengan agenda yang sama.

Oleh karena proses gugatan itu tengah berlangsung, maka warga sangat kecewa dengan adanya kejadian penggusuran paksa pada tanggal 4 Oktober lalu. PT KAI dinilai tidak menghargai proses hukum yang sedang berjalan.

"Itu yang jadi bikin warga panik. Karena yang kita tahu kan kalau itu sudah masuk gugatan sudah kewenangan pengadilan. Tapi pada 4 Oktober lalu telah terjadi penggusuran paksa terhadap salah satu penggugat," tegasnya.

Proyek Jalan Terus

Sementara, Manager Humasda PT KAI Daop 2 Bandung, Kuswardoyo menyatakan, pihaknya telah memiliki sertifikat sejak tahun 1988 yang menyatakan lahan tersebut adalah aset PT KAI.

Dengan alasan itu, PT KAI disebut tidak memiliki kewajiban membayar uang pengganti, merasa cukup hanya dengan penyedian uang bongkar senilai Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu permeter persegi. Ditanya terkait dasar penentuan besaran ongkos tersebut, Kuswardoyo hanya menegaskan bahwa itu sudah sesuai dengan keputusan manajemen.

"Tidak ada kewajiban kami untuk memberikan (ganti rugi), tapi kami hanya memberikan bantuan agar paling tidak mereka bisa menyewa kendaraan untuk mengangkut barang," katanya.

Adapun, perihal penggusuran pada 4 Oktober 2021 itu dilakukan dengan lantaran belum adanya penetapan status quo dari pengadilan. Dengan begitu, PT KAI disebut berhak untuk tetap melakukan pengosongan dan pembongkaran.

"Meski ada gugatan hingga kini status dari tanah dan aset tersebut tidak berubah. Tidak ada keputusan dari pengadilan yang menyatakan bahwa lahan tersebut status quo," katanya.

"Bukti kepemilikan (PT KAI) nanti kita tunjukkan di pengadilan," katanya.

Kuswardoyo membenarkan bahwa lahan tersebut disewakan kepada PT Wijaya Karya (WIKA) untuk dibangun proyek Laswi City Heritage. Keterangan Kuswardoyo, pernjanjian di antara dua BUMN disepakati sejak 2017 lalu.

"Jadi, PT KAI harus ikut serta melakukan penertiban area tersebut karena si penyewa juga ingin lahan tersebut siap digunakan," katanya.

"PT KAI akan tetap menjelankan apa yang menjadi rencana awal untuk melakukan penertiban, dan lainnya," tandasnya. [Muh Dikdik RA/Suara.com]