Tersimpan Selamanya, Kotak Kenangan Pegawai KPK Yang Didepak Firli Bahuri

Tersimpan Selamanya, Kotak Kenangan Pegawai KPK Yang Didepak Firli Bahuri


Suara.com - KPK diselimuti kabut gelap saat 57 pegawainya resmi dipecat pada Kamis, 30 September 2021. Puluhan pegawai komisi antirasuah itu disingkirkan melalui seleksi akal-akalan. Mereka dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan /TWK, sehingga tidak bisa menjadi ASN Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pemberhentian mereka ditandai dengan Surat Keputusan Pimpinan Nomor 625 Tahun 2021 yang diteken Firli Bahuri, Ketua KPK pada 11 Mei 2021. Komnas HAM dan Ombudsman RI menyimpulkan proses TWK melanggar HAM dan maladministrasi. Namun surat keputusan dan rekomendasi dari dua lembaga negara tersebut tak dianggap oleh pimpinan KPK. Puluhan pegawai yang dipecat itu ialah penyidik, penyelidik yang menangani sejumlah kasus korupsi besar yang menyeret nama pejabat, tokoh hingga elit politik di lingkaran penguasa republik ini. 

***

SEBUAH MOBIL warna hitam masuk ke area parkiran kantor Suara.com di bilangan Kuningan, Jakarta, Jumat (24/9/2021). Tampak sosok tidak asing turun dari mobil tersebut. Mereka ialah penyidik senior KPK, Novel Baswedan dan Yudi Purnomo. “Saya boleh langsung? (Wawancara) Ada acara lagi nanti soalnya,” ucap Novel.

Tanpa berlama-lama, Novel kemudian diajak ke studio untuk wawancara. Duduk di kursi barstool dengan sorotan cahaya lighting, sorot mata Novel tajam menatap kamera menjadi penanda dirinya siap menjawab pertanyaan demi pertanyaan. “Bagaimana perjalanan awal anda saat menjadi pegawai KPK?,” tanya saya kepada Novel.

Pertanyaan tersebut memantik Novel untuk bercerita. Sebelum menjadi penyidik KPK, ia bertugas di Bareskrim Polri pada 2005-2007. Ia tercatat sebagai lulusan Akademi Kepolisian 1998.

Mendengar KPK tengah membuka seleksi pegawai baru, Novel mencoba untuk mendaftar dan menjalani serangkaian tes pada 2006. Masih tercatat dalam ingatannya, ia resmi menjadi pegawai KPK sebagai penyidik per 2 Januari 2007. “Nyaris 15 tahun. Sebentar ya?,” ujarnya sambal tersenyum.

Novel Baswedan didampingi istrinya Rina Emilda bersama 56 pegawai KPK yang resmi dipecat hari ini meninggalkan gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (30/9/2021). [Suara.com/Arga]
Novel Baswedan didampingi istrinya Rina Emilda bersama 56 pegawai KPK yang resmi dipecat hari ini meninggalkan gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (30/9/2021). [Suara.com/Arga]

Sebagai penyidik dengan segudang pengalaman bukan berarti Novel langsung mendapat fasilitas lengkap dan istimewa di KPK. Masa awal jadi pegawai KPK ia hanya menerima gaji yang terbilang kecil, sekitar Rp 1 hingga Rp 6 juta.

Menurutnya bukan soal gaji yang menjadi alasannya bergabung ke komisi antirasuah itu. Akan tetapi rasa prihatin melihat praktik korupsi marak terjadi di negeri ini.

KPK ketika itu belum memiliki gedung sendiri seperti sekarang. Sebagai pegawai angkatan pertama KPK, Novel dan rekan-rekannya berkantor di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, tepatnya di lingkungan gedung Sekretariat Negara.

Di kantor itu, mereka bekerja dengan meminjam ruangan-ruangan yang tak terpakai. Tak jarang mereka juga harus memindah-mindahkan meja kerjanya menyesuaikan ketersediaan ruangan.

Belum ada fasilitas yang disediakan. Bahkan untuk melakukan penyidikan sebuah perkara, mereka harus berjuang sendiri. Novel mengungkap kalau ia dan teman-temannya harus nyetir mobil tua ketika melakukan operasi menangkap tersangka tindak pidana korupsi. “Kalau pun mau meriksa orang atau menangkap tersangka, ya nyupir sendiri, mobilnya itu mobil lama yang enggak ada power steeringnya,” tuturnya.

Tetapi karena melewati perjuangan seperti itu, kekuatan Novel dan pegawai KPK lainnya semakin melimpah hingga pada akhirnya memiliki kantor sendiri. Dulu mereka bekerja di gedung KPK lama dan akhirnya pindah ke gedung KPK Merah Putih yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Tak hanya bekerja sebagai penyidik, Novel juga menjadi bagian dalam pembangunan KPK. Mulai dari membangun sistem, mengatur kode etik hingga melahirkan operasi tangkap tangan atau OTT. “Ternyata itu sangat efektif untuk membuka kasus-kasus besar walaupun ada saja kemudian yang mencibir,” katanya.

Kerap Dicap Sombong

Memiliki citra yang seram di mata koruptor atau tampak misterius di hadapan publik membuat Novel kerap dicap sombong saat jadi penyidik KPK. Sebagai pegawai lembaga antirasuah, Novel memang dituntut tidak terlalu banyak melakukan komunikasi dengan orang di luar kantor demi menjauhkan potensi konflik kepentingan. “Walaupun dikira sombong ya, padahal memang untuk menghindari itu,” ujarnya.

Kondisi itu juga terjadi ketika Novel bertemu dengan teman-teman lamanya. Karena jadi pegawai KPK, ia tidak bisa menerima ‘traktiran’ temannya ketika sedang makan bareng.

Sempat terasa perang batin, karena merasa serba salah ketika harus menolak traktiran teman lamanya. Tetapi gajinya juga tidak cukup ketika harus membayar makan semua teman-temannya dan merasa aneh pula apabila harus bayar makan masing-masing.

Atas dasar itu kemudian Novel dan pegawai KPK lainnya lebih memilih untuk dekat satu sama lain. Bukan hanya menjadi teman di kantor, mereka juga kerap menjadi lawan di lapangan olahraga.

Olahraga menjadi salah satu pilihan para pegawai KPK melepas penat dari tugas-tugasnya. “Pagi-pagi kami olahraga bersama, main bola, terus main badminton,” katanya.

Dari kebersamaan itu, lahir juga sebuah kedisiplinan yang dipelihara oleh pegawai KPK. Sering membawa fasilitas sendiri seperti air minum dan lainnya ketika harus berkunjung ke kantor lain sudah bukan menjadi hal aneh bagi mereka.

Serupa dengan ucapan Tan Malaka yakni terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Para pegawai KPK itu juga kemudian secara alamiah membentuk diri sebagai pribadi yang memegang komitmen untuk membasmi korupsi mulai dari diri sendiri.

Namun, Novel tidak dapat membendung kesedihannya ketika kerja kerasnya bersama pegawai KPK lainnya kemudian dihancurkan secara perlahan.

“Semua value-value yang tadinya menjadi hal yang benar-benar dibanggakan menjadi percontohan, kemudian kami disuruh mencontoh dari hal-hal yang selama ini kami ingin ubah itu. Jadi bisa dibayangkan prihatinnya seperti itu,” tegasnya.

Keprihatinan Keluarga

Mungkin Rina Emilda tidak akan menyangka kalau sang suami, Novel Baswedan bakal selalu menjadi sasaran teror karena tugasnya sebagai penyidik KPK. Bukan hanya istri, anggota keluarga lain juga merasa kaget betapa beratnya rintangan Novel ketika harus memberantas korupsi.

Bahkan, keluarganya berpendapat Novel sudah harus meninggalkan KPK melihat banyaknya serangan teror yang begitu masif kepada pria kelahiran Semarang, 22 Juni 1977 itu. Apalagi ketika melihat serangan berupa penyiraman air keras yang dialaminya pada Selasa, 11 April 2017. “Tentu sebagai manusia juga sudah deh, enggak usah deh, ngapain di KPK dengan kondisi begitu ya?” ucapnya.

Namun seiring berjalannya waktu, pihak keluarga akhirnya memahami kalau korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menimbulkan dampak buruk bagi negara. Bukannya takut, pihak keluarga Novel justru merasa semakin kuat meski dirinya kerap mendapat serangan.

Secara tidak langsung keteguhan Novel sebagai penyidik KPK juga mengalir kepada anak-anaknya. Anak-anak Novel semakin memahami dan mengimplentasikan ke kehidupan sehari-hari.

Serangan bukan hanya dirasakan oleh Novel, tetapi juga pegawai-pegawai KPK lainnya. Mulai dari dimusuhi bahkan mendapatkan intimidasi oleh para koruptor-koruptor.

Kekinian, Novel bersama puluhan pegawai KPK lainnya dipaksa untuk berhenti dari jabatannya melalui TWK. Mereka tidak lolos TWK karena dianggap masuk ke dalam kelompok ‘merah’ atau sudah tidak dapat dibina.

Sudah sering menerima serangan, teror, hingga akhirnya diusir membuat pihak keluarga Novel lebih tegar menghadapinya. Ia meyakini, yang dilakukannya selama ini di KPK semata-mata untuk menjaga negara dari kerakusan tikus-tikus berdasi.

Sebagai seorang muslim, Novel memilih untuk mendekatkan diri ke Tuhan sebagai jalan perlindungannya.

“Saya kira mau berlindung kepada siapa lagi kalau tidak dengan Yang Maha Kuasa, yang Maha Kuat, ya kurang lebih seperti itu yang membuat hal-hal positifnya dan saya bersyukur dengan itu semua. Saya tidak menyesal,” ujarnya.

Janji Tidak Membedaki Mayat

Tri Artining Putri atau akrab disapa Puput membalas sapaan saya dengan semangat saat menyambangi kantor Suara.com pada Senin (27/9). Ditemui dalam sebuah ruangan, rasa tegar terpancar dari wajah Puput menjelang hari pemberhentiannya sebagai pegawai KPK pada 30 September 2021.

Untuk mempersingkat waktu, saya pun mengajak Puput untuk pindah ruangan tepatnya ke dalam studio untuk wawancara.

Dengan mengenakan hijab cokelat dan kemeja hitam, Puput bersedia untuk meluapkan ceritanya selama 4 tahun 6 bulan menjadi pegawai KPK. Tidak ada sedikit pun kesedihan yang ia perlihatkan, meski sebagian besar orang tahu Puput salah satu pegawai KPK yang dipecat karena tak lolos TWK.

Kala itu, saya sengaja mengubah diksi ‘pertanyaan’ dengan ‘hadiah’ saat hendak mewawancarai Puput supaya mencairkan suasana. “Dengan senang hati saya terima hadiahnya kalau begitu,” kata Puput sembil tertawa.

Perbincangan kami dimulai dengan cerita Puput mengarungi dunia pekerjaan. Dalam perjalanan kariernya, Puput pernah bekerja di Bank Mandiri.

Setelah itu ia banting stir menjadi jurnalis di Tempo selama 5 tahun. Suatu hari, Puput melihat ada poster digital yang menampilkan tulisan Indonesia Memanggil dari gawainya. Indonesia Memanggil adalah proses seleksi untuk pegawai KPK yang diadakan sejak 2005.

Lama menjadi jurnalis, terbiasa berpijak pada kebenaran dan kepentingan rakyat ternyata memancing Puput untuk mencoba mendaftarkan diri pada seleksi itu. Kata Puput, kalau saat itu melihat ada lowongan kerja dari kementerian/lembaga lain mungkin tidak akan sama semangatnya ketika melihat ada panggilan pegawai baru di KPK. “Sebagai orang luar waktu itu saya merasa bisa percaya ke KPK dan sangat ingin bergabung,” ujar Puput.

Setelah melalui proses penyisihan calon pegawai yang panjang, Puput akhirnya menandatangani surat tanda tangan kontrak pada 22 Januari 2017. Puput resmi menjadi pegawai KPK.

Pertama kali masuk, Puput ditempatkan di divisi pemberitaan yang bertugas menganalisis dan monitoring media. Karena pekerjaannya itu, Puput kembali berhubungan dengan wartawan karena tugasnya menangani hubungan dengan media massa.

Bekerja sebagai humas mungkin akan sama dengan lembaga lainnya. Tetapi, Puput dan pegawai di bagian humas memiliki komitmen berbeda dengan kantor lain. “Di humas itu dari dulu bahasanya begini, kami enggak ngebedakin mayat,” ujarnya.

Istilah membedaki mayat itu sudah menjadi janji yang dipegang oleh pegawai-pegawai KPK di divisi humas.

Kata Puput, meskipun bekerja sebagai humas yang notabene menjaga citra lembaga, namun pegawainya tidak bisa menyampaikan sesuatu kebohongan menjadi seolah kebenaran hanya demi mendapatkan kepercayaan dari publik.

57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK akan didepak pada 30 September 2021. Sebagian mereka melakukan aksi depan Kantor Dewas KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, dengan sebutan, 'Kantor Darurat Pemberantasan Korupsi.' (Suara.com/Yaumal)
57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK akan didepak pada 30 September 2021. Sebagian mereka melakukan aksi depan Kantor Dewas KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, dengan sebutan, 'Kantor Darurat Pemberantasan Korupsi.' (Suara.com/Yaumal)

Kalau memang ada kesalahan yang dilakukan oleh lembaganya, maka pegawai humas KPK juga akan menyampaikan kesalahan serta perbaikan yang sudah dilakukan. Apabila ada fitnah yang ditujukan kepada KPK, maka Puput bersama teman satu divisinya juga akan menyampaikan faktanya.

Semisal ada tuduhan yang ternyata benar, tim humas KPK juga bakal menyajikan permintaan maaf dari pihak yang berkaitan.

Janji untuk tidak membedaki mayat tersebut dipegang Puput dan teman-teman divisi Humas KPK lainnya sampai detik-detik dirinya akan diberhentikan. Meski begitu, ia belum tahu apakah nantinya janji tersebut masih teguh tertanam pasca adanya pemecatan.

“Jadi, satu kalimat di humas KPK itu enggak pernah ngebedakin mayat, tapi nggak tahu sekarang,” tuturnya.

Berbicara soal membedaki mayat, Puput dan teman-teman Humas KPK sempat kesal karena janji mereka dilanggar oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Pada April 2021, isu soal Lili berkomunikasi dengan tersangka kasus suap Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial merebak di kalangan wartawan.

Mau tidak mau, pihak KPK pun harus menggelar konferensi pers untuk menjawab pertanyaan dari wartawan. Puput yang kala itu masih aktif menjadi pegawai meminta kepada Lili untuk menyampaikan keterangan apa adanya kepada saat konferensi pers berlangsung.

Puput mewanti-wanti kepada Lili untuk menyampaikan kebenaran karena ia memikirkan dampak buruk kepada citra lembaga KPK. “Waktu mau konpers aku sudah bilang, ini harus benar loh ya. Kalau memang ibu komunikasi, bilang komunikasi,” ujarnya dengan nada agak meninggi. 

Namun, apa yang disampaikan Puput itu ternyata tidak sejalan dengan apa yang disampaikan Lili pada konferensi pers.

"Sya tegas menyatakan bahwa tidak pernah menjalin komunikasi dengan tersangka MS (M. Syahrial) terkait penanganan perkara yang bersangkutan apalagi membantu dalam proses penanganan perkara yang sedang ditangani oleh KPK," kata Lili saat konferensi pers yang disiarkan melalui Youtube KPK, Jumat (30/4).

Kala itu, Puput dan tim Humas KPK masih memegang asas praduga tak bersalah dan menerima keterangan yang disampaikan Lili. Lama berselang pernyataan Lili ternyata terbukti tidak sesuai dengan faktanya.

Hal itu terkuak dalam sidang vonis etik yang digelar oleh Dewan KPK pada 30 Agustus 2021. Ketua Majelis Etik Tumpak H Panggabean menyampaikan kalau Lili selaku terperiksa dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK.

Meski sudah dinyatakan bersalah, hukuman yang diberikan Lili terasa ringan dan jauh dari membuat yang bersangkutan jera. Ia dijatuhi hukuman dengan saksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Tidak berhenti disitu, Puput dan tiga pegawai KPK lainnya turut melaporkan Lili ke Dewas KPK atas dugaan pembohongan publik. Merasa malu menjadi salah satu alasan Puput, Rieswin Rachwell, Benydictus Siumlala Martin Sumarno, dan Ita Khoiriyah melaporkan Lili.

Saat pegawai KPK begitu menyayangi lembaganya yang memiliki marwah sebagai penjaga kejujuran tetiba ditampar dengan pimpinannya yang tidak menjaga etiknya sendiri.

“Kan malu ya, ketika lembaga yang kita percayai bareng-bareng, lembaga yang kita sayang bangat, baik yang di internal, di eksternal, siapapun aku yakin sayang sama KPK. Tapi di pimpinnya sama pembohong dan dengan tidak malunya dia tetap di posisinya, padahal sudah terbukti bersalah dan dia mengakui bahwa dia berkomunikasi,” kata Puput.

Tak Mau Dikasihani

Masih melekat di benak Yudi Purnomo ucapan rekan kerjanya, saat ia membereskan barang-barang dari meja kerjanya di gedung KPK Merah Putih untuk dibawa pulang pada Kamis, 16 Agustus lalu. Saat itu ia mendengar kesedihan dari teman-temannya yang melihat dirinya harus angkat kaki dari KPK.

Ia sengaja datang ke kantor KPK untuk membereskan barang-barang di meja kerjanya supaya tidak kelihatan oleh rekan-rekan kerjanya di sana. Namun upaya Yudi gagal, karena masih ada sejumlah pegawai yang bertemu dengannya di lift.

“Mas begitu, biasanya mas di ruang pemeriksaan meriksa orang tiap hari sampai malam. Biasanya mas, kami kalau mau pulang mas geledah. Papasan bukannya pulang malah geleda,” kata Yudi mengulangi perkataan temannya.

Mendengar kalimat seperti itu, Yudi langsung meminta teman-temannya untuk tidak bersedih. Secara tegas ia meminta kepada teman-temannya agar jangan mengasihani dirinya.

Penyidik senior itu meminta teman-temannya untuk mengasihani orang-orang yang berusaha menyingkirkan puluhan pegawai KPK melalui TWK.

“Enggak, jangan kasihani saya begitu. Justru kita harus kasian dengan orang-orang yang membuat kita ini seperti ini,” ucapnya.

Bukan tanpa sebab, pernyataan Yudi itu mengarah pada masa depan pegawai lainnya yang masih aktif di bawah pimpinan Firli Bahuri cs, pimpinan yang sama saat 56 pegawai KPK disingkirkan.

Meski berusaha tegar, namun hatinya tersentuh juga ketika melihat teman-temannya menunjukkan kepedulian kepadanya. Ada yang menulis surat perpisahan, ada yang mau membantu dirinya membersihkan meja. Ada juga yang berat hati harus berpisah dengan Yudi karena sebagai penyidik senior, sosoknya sangat dibutuhkan untuk membimbing para penyidik lainnya.

Itu juga menjadi pembuktian kalau Yudi dan 56 pegawai lainnya bukan orang-orang yang ‘merah’ karena sulit dibina seperti apa yang disampaikan oleh pimpinan KPK.

“Kalau kami orang jahat, kami datang ke kantor, orang itu ngejauhin begitu kan,” ucapnya.

Surat 57 pegawai KPK tak lulus TWK yang dikirim kepada Presiden Jokowi. (Dok 57 pegawai KPK nonjob)
Surat 57 pegawai KPK tak lulus TWK yang dikirim kepada Presiden Jokowi. (Dok 57 pegawai KPK nonjob)

Buat Saksi Gugup Saat Diperiksa

Sudah 16 tahun, Herbert Nababan menjadi pegawai KPK dan 10 tahun lamanya ia bertugas sebagai penyidik. Sudah tak bisa dihitung dengan jari lagi berapa orang yang keringat dingin saat berhadapan dengan Herbert di dalam ruang penyidikan.

Herbert mengaku kerap bersikap humanis saat melakukan penyidikan. Namun pernyataannya itu sepertinya terpatahkan oleh sikap-sikap dari para saksi maupun terperiksa yang ditunjukkan saat ia interogasi.

Menurutnya ada orang yang ketika diperiksa kerap memberikan keterangan berbelit-belit, padahal Herbert sudah tahu jawabannya. Ada juga orang yang belum ditanya sudah gugup duluan.

“Belum ditanya sudah ada yang merasa tidak nyaman, saya memeriksa belum ditanya dia tidak bisa berbicara,” ujar Herbert.

Herbert memaklumi dengan sikap yang ditunjukkan para saksi atau terperiksa semacam itu. Karena mereka baru pertama kali masuk ke dalam ruang penyidikan. Belum lagi sebelum masuk ke ruang penyidikan, saksi atau terperiksa akan kaget dengan serangan pertanyaan dari awak wartawan yang sudah menanti di teras gedung KPK Merah Putih.

Akibatnya, tidak sedikit saksi atau terperiksa yang akhirnya sulit berbicara di dalam ruang penyidikan. “Begitu dia sampai ke ruang pemeriksaan, saya ajak bicara kayak mulutnya terkunci gitu. Kayak bep, bep, bep, gitu,” ujarnya.

Namun proses penyidikan itu mungkin hanya akan menjadi kenangan bagi Herbert. Sebab, ia masuk ke dalam daftar 57 pegawai KPK yang diberhentikan dengan alasan tidak lolos TWK.

Begitu menerima surat keputusan (SK) pemberhentian, Herbert langsung menyampaikan kepada sang istri yang hanya bisa diam ketika mendengarnya. Ia mengira sang istri tidak percaya dan penuh pertanyaan kalau dirinya juga masuk ke barisan pegawai KPK yang disingkirkan.

Sebab menurutnya, sang istri betul-betul memahami suaminya tidak pernah melanggar aturan selama menjadi pegawai KPK.

Istri Herbert, perlahan mulai percaya setelah ditunjukkan SK pemberhentiannya. Saat itu sang istri menyampaikan bahwa dirinya yang paling tahu soal wawasan kebangsaan Herbert ketimbang para pimpinan KPK yang menganggapnya sudah tidak dapat dibina lagi.

“Kamu sudah melakukan yang terbaik. Yang tahu kamu – apakah kamu berwawasan kebangsaan, apakah kamu berpancasila, itu yang jauh lebih tahu adalah saya, istri kamu daripada seorang Firli Bahuri ataupun Nurul Gufron ataupun Alex Marwata sekalipun Lili Pintauli,” kata Herbert menirukan pernyataan istrinya.

Sang istri pula lah yang memberikan kekuatan bagi dirinya, serta memastikan kalau keadaan akan baik-baik saja meski diusir paksa dari KPK. Sang istri juga menilai hanya waktu yang bisa membuktikan siapa yang sebenarnya tidak berwawasan kebangsaan, apakah ia dan 56 pegawai KPK lainnya atau para pimpinannya.

“Hanya waktu yang menentukan nanti sebenarnya siapa yang tidak berwawasan kebangsaan katanya. Kamu apakah Firli Bahuri cs? Dia saja mengatakan seperti itu. Hanya itu saja,” ucapnya.