Sakau Bikin Kacau: Ratusan Anak Idap Gangguan Jiwa Akibat Candu Game Online
Home > Detail

Sakau Bikin Kacau: Ratusan Anak Idap Gangguan Jiwa Akibat Candu Game Online

Risna Halidi | Tim Liputan Khusus

Selasa, 23 Maret 2021 | 07:55 WIB

Suara.com - Ratusan anak di Provinsi Jawa Barat harus menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa. Penyebab umumnya sama, adiksi gawai termasuk main internet dan bermain game atau permainan di ponsel.

Dikutip dari SuaraJabar ---jaringan Suara.com, sepanjang 2020 ada 98 orang anak yang menjalani rawat jalan dan pada 2021, bertambah 14 anak lain.

Direktur Utama RSJ Cisarua, di Bogor, Jawa Barat, Elly Marliyani menjelaskan, belasan pasien tersebut merupakan anak berusia mulai dari 11 sampai 15 tahun.

Jadi Urusan Rumah Sakit Jiwa
Pada 18 Juni 2018 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia WHO menerbitkan dokumen ICD-11, di mana tertulis bahwa kecanduan game masuk dalam kategori gangguan mental.

Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum berdiskusi dengan anak yang kecanduan game online di Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]
Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum berdiskusi dengan anak yang kecanduan game online di Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat. [Suara.com/Ferrye Bangkit Rizki]

Sub Spesialis Psikiater Anak dan Remaja RSJ Cisarua, Lina Budiyanti menambahkan, mayoritas orangtua yang membawa anaknya untuk diberikan rawat jalan RSJ beralasan anak mudah tersulut emosi saat dilarang menggunakan ponsel.

"Ketika dilarang langsung ekspresi emosinya sangat tinggi. Bisa melempar barang, bahkan bisa mengancam dengan senjata tajam kalau tidak dituruti permintaannya, seperti ponsel dan kuota," jelasnya.

Menurut  Dokter Spesialis Kejiwaan Rumah Sakit Jiwa Grogol Suzy Yusna Dewi, perilaku agresif tersebut merupakan tanda awal anak mengalami sakau karena gadget atau gawai seperti ponsel.

"Tidak seperti narkoba yang sampai merintih-rintih, tapi sakau game online bisa sama agresifnya, Bisa memukul kalau tidak dapat bermain game itu," kata Suzy kepada Suara.com, Kamis (18/3/2021).

Psikiater Anak dan Remaja itu mengatakan, sifat agresif bisa menyebabkan anak jadi cepat marah, selalu melawan, hingga cenderung bersikap kasar hingga sudi memukul. "Secara fisik, sakau game online juga bisa menyebabkannya berkeringat dingin," tambahnya.

Sakau tersebut bisa dialami anak ketika tengah menjalani rehabilitasi di RSJ. Sebab selama masa rehabilitasi, anak sama sekali tidak diizinkan untuk memegang ponsel.

Suzy mengatakan, untuk mengatasi sakau, anak akan diberikan obat tertentu untuk menstabilkan emosinya. "Kebanyakan diberi obat untuk mengurangi emosionalnya. Jika tidak, mereka tidak stabil secara emosi, minta pulang, sampai nangis-nangis," ucapnya.

Selain diberi obat, anak juga akan menjalani psikoterasi agar perilakunya kembali normal dan kembali bisa diarahkan. Menurut Suzy, rata-rata dalam waktu dua sampai tiga minggu masa rehabilitasi tingkat adiktif anak akan perlahan berkurang.

Kecanduan Gadget, Melanggengkan Kekerasan Rumah Tangga

Kebanyakan main gadget bisa bikin anak alami kerusakan saraf? (Shutterstock)
Ilustrasi anak main gadget (Shutterstock)

Di sisi lain, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyanti mengatakan tingginya kasus kecanduan gadget pada anak selaras dengan meningkatnya kegiatan belajar dari rumah yang mensyaratkan adanya perangkat digital untuk proses belajar jarak jauh dengan metode daring.

Retno menuturkan, jumlah anak usia SD hingga SMA yang mengalami kecanduan game online dan konten pornografi juga terus meningkat.

"Bahkan ada data yang diperoleh KPAI di salah satu kecamatan di Jakarta Pusat, ada 98 anak yang kecanduan game online, di mana 15 anak harus menjalani rawat jalan pemulihan psikologis dengan terapi dari psikiater Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Pengawasan KPAI di kota Cimahi juga menemukan dua anak mengalami kecanduan game online sampai harus berhenti sekolah sementara, untuk menjalani perawatan dan terapi psikologis," kata Retno kepada Suara.com.

Lain KPAI, lain pula catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas PA. Menurut Ketua Komnas PA Arist Sirait Merdeka, ia baru saja mendapat laporan anak usia dua tahun di Tangerang, yang mengalami patah tulang setelah mendapatkan kekerasan dari keluarganya akibat mengamuk saat dilarang bermain ponsel.

"Baru saja terjadi di Tangerang dua atau tiga hari lalu. Saya akan mengunjungi anak korban," terang Arist.

Memang dari temuan kasus yang didapati Komnas PA, kasus kecanduan game online telepon seluler tidak hanya berdampak pada masalah mental anak, tapi juga berujung kekerasan dalam rumah tangga, hingga menjadikan anak sebagai korban.

"Dari tiga tahun ini kita bisa peningkatan dari bentuk kekerasan karena gadget itu mencapai 28 persen, itu termasuk tinggi," papar Arist.

Di sisi lain, Arist sadar pemerintah tidak bisa membuat larangan penggunaan gadget untuk anak karena masuk ranah pribadi. "Ini sudah masuk ke wilayah privasi atau rumah," terang Arist saat dihubungi Suara.com beberapa waktu lalu.

Selain ranah pribadi, arus globalisasi informasi saat ini sangat sulit dibendung mengingat internet dan teknologi sudah menjadi gaya hidup sehari-hari masyarakat dunia, termasuk Indonesia.

Apabila dibatasi atau dibentuk larangan, kata Arist, dikhawatirkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia tertinggal, dan sulit bersaing hingga berisiko menjadi negara terbelakang.

Orangtua Wajib Hadir
Untuk melindungi anak dari gangguan mental akibat paparan game online atau penggunaan gadget, Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengingatkan pentingnya peran orangtua dan keluarga yang harus jadi benteng utama pertahanan dalam melindungi anak.

Ilustrasi orangtua dan anaknya. (Shutterstock)
Ilustrasi orangtua dan anaknya. (Shutterstock)

"Perlu pemberdayaan orangtua, walaupun sekarang ini banyak gunakan handphone karena pandemi virus corona Covid-19. Itu kembali kepada rumah dan orangtua, bagaimana mendidik anak untuk gunakan gadget secara cerdas dan cermat," sambungnya.

Orangtua berperan besar membatasi akses internet anak, mengatur waktu pemakaian gadget, hingga memantau konten yang ditonton dan didengar anak saat di rumah.

Termasuk juga orangtua perlu menyediakan waktu luang untuk berkegiatan bersama anak, sehingga anak bisa menemukan kegiatan lain atau pengalih aktivitas sehingga ia tidak terus-terusan bermain gadget.

Aktivitas fisik seperti berolahraga, bermain di luar ruangan, atau melakukan permainan fisik yang mengasah otak dan saraf motorik anak, sehingga tidak terus berdiam diri terpaku pada gadget.

"Bukan larangan tapi membangun kesadaran, dampaknya seperti apa, handphone bagaimana, itu dikuatkan, jadi penguatan keluarga," pungkas Arist.

Setali tiga uang dengan Komnas PA, KPAI juga mengimbau agar orangtua melakukan pendampingan, pengawasan dan edukasi kepada anak-anak guna mencegah kecanduan game online maupun pornografi.

"Buat aturan main antara orangtua dengan anak terkait penggunaan gadget dan durasi anak boleh bermain game online, misalnya 1-2 jam. Namun orangtua harus menyiapkan aktivitas pengganti agar anak bisa mengalihkan dari gangdet. Lemahnya pengawasan orangtua menjadi pintu masuk anak-anak kecanduan game online dan pornografi."


Terkait

Ciri Fisik Polisi Asep Dekati Kemiripan, Keluarga Bersyukur Penuh Haru
Jum'at, 19 Maret 2021 | 18:17 WIB

Ciri Fisik Polisi Asep Dekati Kemiripan, Keluarga Bersyukur Penuh Haru

Ciri-ciri tersebut yakni adanya luka di pelipis, ada tanda khusus di telinga kanan, sampai lesung pipit.

Puluhan ODGJ Asal Garut Sembuh, Usai Rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Bogor
Jum'at, 19 Maret 2021 | 14:45 WIB

Puluhan ODGJ Asal Garut Sembuh, Usai Rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Bogor

Puluhan ODGJ asal Garut sembuh setelah menjalani perawatan program rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi, Kota Bogor, Jawa Barat.

Ratusan Anak Masuk RSJ Kecanduan Game Online, Haruskah Batasi Gadget?
Jum'at, 19 Maret 2021 | 09:30 WIB

Ratusan Anak Masuk RSJ Kecanduan Game Online, Haruskah Batasi Gadget?

Orangtua dan keluarga harus jadi benteng utama untuk melindungi anak dari gangguan mental akibat paparan game online atau penggunaan gadget.

Terbaru
Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan
nonfiksi

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan

Selasa, 09 September 2025 | 20:27 WIB

Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring nonfiksi

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring

Sabtu, 06 September 2025 | 08:00 WIB

Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat nonfiksi

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob polemik

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob

Jum'at, 29 Agustus 2025 | 13:04 WIB

Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita nonfiksi

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita

Sabtu, 23 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror polemik

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror

Minggu, 17 Agustus 2025 | 15:38 WIB

Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.

Review Jujur Merah Putih One for All: Film yang Seharusnya Tidak Dibuat polemik

Review Jujur Merah Putih One for All: Film yang Seharusnya Tidak Dibuat

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 11:46 WIB

Efek suaranya minim, mixing audionya berantakan, dan dubbing-nya seperti orang membaca teks sambil menunggu pesanan makanan datang.