Hujan Dorlop di Pancoran, Ada Perewa di Tengah Sengketa Lahan

Hujan Dorlop di Pancoran, Ada Perewa di Tengah Sengketa Lahan


Suara.com - Bentrok terjadi antara warga Pancoran dengan sekelompok perewa yang mereka yakini berasal dari salah satu ormas. Korban berjatuhan. Warga yakin perewa itu terkait PT PTC yang menjadi lawan mereka dalam sengketa lahan.

KLOSET duduk berwarna biru masih tegak berdiri di antara reruntuhan bangunan sekitar Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. Sementara, orang-orang masih belum bisa duduk tenang dan harus tetap berjaga.

Sebab, 'orang-orang ormas' kerap datang, atau menjadi momok yang acap menyelinap dalam mimpi warga, mencoba meringkus setiap harapan yang hendak mekar di balik reruntuhan.

Ada lukisan Mona Lisa memakai baju batik—meski tetap melayangkan senyum misteriusnya—terpajang di seng usang dekat reruntuhan bangunan.

Pigura repro itu—bersama lukisan anak-anak setempat yang juga tertempel di seng—tak ikut koyak-moyak seperti penghuni daerah tersebut, ketika hujan batu dan molotov menggempur, Rabu (17/3/2021).

Warga menyinyalir, kelompok penyerang itu dikerahkan PT Pertamina untuk mengintimidasi mereka yang tak mau menyerah dalam sengketa lahan.

Di samping Mona Lisa, ada pigura paras Barack Obama—mantan Presiden Amerika Serikat—seolah membalas senyum.

Terdapat guratan kalimat pada lukisan Obama yang bernada mengece: 'pulang kampung nih'.

Kloset di antara reruntuhan bangunan di area sengketa lahan di Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Kloset di antara reruntuhan bangunan di area sengketa lahan di Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

"Mau pulang ke kampung mana jika warga sekitar terusir dari lahan sengketa ini?" kata Sayuti balik bertanya kepada Yosea Arga Pramudita, jurnalis Suara.com, Kamis (18/3) sore.

Kepala pemuda usia 25 itu bocor terkena dorlop menjelang bubarnya serangan yang dilakukan gerombolan orang, Rabu malam.

Dalam gelanggang pertempuran jalanan di Jakarta, dorlop adalah senjata rakitan yang berisi paku hingga pecahan kaca.

Alhasil, perban harus melilit di kepala mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Forum Pancoran Bersatu itu.

"Nah jelang bubar, pas polisi tembak gas air mata, kepala saya kena dorlop, isinya pecahan beling," ungkap Sayuti.

Sayuti bukan satu-satunya korban dalam penyerangan pada Rabu malam. Ada banyak korban, baik warga setempat maupun mahasiswa yang bersolidaritas.

Wakil Paguyuban Warga Pancoran Buntu (Gapartu) Lilik Sulistyo betul-betul yakin, kelompok penyerang pada Rabu malam nahas itu ada kaitannya dengan ormas Pemuda Pancasila.

Ia juga menambahkan, penyerangan gerombolan massa juga ada kaitannya dengan sengketa lahan antara warga dengan PT Pertamina.

Lilik bersaksi, puluhan orang yang melakukan penyerangan itu, sejak pukul 21.00 WIB datang memblokade akses masuk pemukiman warga.

Meski tidak berseragam, dia memastikan gerombolan yang menyerang warga dan mahasiswa berasal dari ormas.

"Jadi disinyalir itu orang-orang bayaran. Entah itu ormas atau apalah. Sebab mereka tidak berseragam. Tapi menurut info yang kami terima, ya dari ormas," kata Lilik.

Melihat kedatangan gerombolan preman, warga yang berada di lokasi melakukan penjagaan. Memasuki pukul 22.00 WIB, pecah bentrokan.

Bentrokan terjadi di depan pintu masuk Jalan Pancoran Buntu II. Dari luar, gerombolan yang jumlah banyak itu mulai melempari warga memakai batu hingga bom molotov.

***

SATU mobil berwarna hitam hendak meluncur pergi dari Jalan Pancoran Buntu II, Kamis sore. Warga sekitar mengatakan, mobil itu menuju ke Balai Pengobatan Patah Tulang Haji Naim.

Ada satu mahasiswa yang mengalami patah pada bagian belikat akibat terkena lemparan batu konblok saat bentrok.

"Tuh mobil mau ke Haji Naim, ada mahasiswa belikatnya patah," kata Ustaz Muhammad Chandra.

Ustaz Chandra masih muda, 39 tahun. Dia adalah tokoh masyarakat yang sudah bermukim di daerah sengketa Pancoran selama 30 tahun terakhir.

Pemuka agama itu secara gamblang menyebutkan ormas PP yang melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap warga pada Rabu malam.

"Ya mereka melakukan lemparan, mereka kan mabuk. PP kan begitu berantemnya, biar mereka berani, mabuk dulu," kata Chandra, menceletuk.

Syahdan, menurut Ustaz Chandra, penyerangan terhadap warga dan aktivis mahasiswa setempat, disebabkan eksekusi lahan yang dilakukan PT Pertamina.

Salah satu ruas area sengketa lahan di Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Salah satu ruas area sengketa lahan di Jalan Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Menurutnya, penggusuran itu prematur. Sebab, sengkarut sengketa lahan masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Rabu sore, sekitar pukul 15.00 WIB—jauh sebelum terjadi bentrok—alat berat beko sudah berada di permukiman warga.

Pada saat bersamaan, sekelompok orang telah memblokade akses masuk bagian depan dan belakang permukiman.

Selang satu jam, warga serta aktivis meminta agar bangunan PAUD yang sebelumnya dijadikan kantor PT Pertamina Training and Consulting (PTC)—anak perusahaan PT Pertamina—agar dikembalikan sebagaimana mestinya: tempat belajar dan mengajar anak-anak.

Terjadi negosisasi antara warga bersama kolektif solidaritas, perwakilan PT Pertamina, Polsek Pancoran, dan Polres Metro Jakarta Selatan.

Dalam negosiasi, warga dan kolektif solidaritas mengajukan sejumlah tuntutan. Mulai dari pembukaan blokade akses masuk permukiman, pengembalian PAUD, hingga menarik keluar alat berat yang ada di lokasi.

“Dan itu akhirnya mahasiswa bisa menduduki portal dan mengambil alih PAUD. Selain itu, atas instruksi pak kapolsek dan kapolres, beko itu bisa keluar,” ungkap Chandra.

Chandra menduga, hasil-hasil negosiasi itulah yang memicu penyerangan pada malam harinya.

Puluhan orang yang Rabu sore memblokade jalan akses masuk permukiman, kembali datang. Mereka hendak merangsek masuk, namun benteng pertahanan langsung disiagakan oleh warga bersama kolektif solidaritas.

Berbekal tameng dari sisa-sisa barang seperti tripleks dan potongan fiber, warga dan kolektif solidaritas berupaya menghalau serangan.

“Tapi ada provokasi dari pihak ormas, dengan pelemparan batu, terjadilah kaos,” tutur Chandra.

Penyerangan itu berlangsung kurang lebih selama dua jam. Batu-batu berterbangan, bom molotov meluncur mulus ke arah permukiman warga.

Akhirnya, aparat Polres Metro Jakarta Selatan membubarkan penyerangan menggunakan gas air mata. Di lokasi, situasi menjadi tidak karuan.

Hal tersebut turut diungkapkan oleh Lilik dan Sayuti yang menyaksikan pertistiwa tersebut. Kata Lilik, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Azis Andriansyah sempat meminta maaf lantaran polisi harus melepaskan tembakan gas air mata.

“Pukul 02.30 WIB, pak kapolres datang pakai pakaian bebas bersama jajarannya yang juga tidak berseragam. Dia minta maaf karena polisi terpaksa melepaskan tembakan gas air mata karena terpaksa, untuk melerai,” kata Lilik.

Namun, pilihan polisi untuk melepaskan tembakan gas air mata malah membikin keadaan di permukiman warga, seperti posko medis menjadi panik dan berantakan.

Sayuti yang kepalanya bocor terkena serpihan beling dorlop menyatakan, asap gas air mata masuk sampai posko medis.

Sebab, di posko sedang berlangsung penanganan terhadap warga dan aktivis yang mengalami luka akibat serangan preman.

“Gas air mata sampai masuk ke posko medis. Itu pedih sekali,” kata Sayuti.

Ujung pangkal konflik

MASIH segar dalam ingatan Chandra, ujung pangkal konflik lahan itu terjadi pada 1973. Awalnya, yang bersengketa adalah ahli waris Sanjoto yang mengklaim pemilik sah lahan itu, dengan PT Pertamina.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 1981, memutuskan lahan eks Wisma Intirup adalah milik Sanjoto Mangunsasmito.

Tak hanya itu, terdapat pula sejumlah bukti hasil putusan pengadilan. Mulai dari berita acara serta surat pernyataan penyitaan yang diambil pengadilan dari PT Pertamina sebagai pihak korporasi.

"Nah dalam perjalanannya, ada saja pihak yang mengatasnamakan PT Pertamina mau kembali menguasai lahan ini, termasuk PT PTC," kata Chandra.

Berdasarkan data Solidaritas Forum Pancoran Bersatu, awal Juni 2020, PT PTC mendatangi permukiman dengan dalih tugas pemulihan aset.

Kepada warga, mereka mengaku hanya sosialisasi dan melakukan pendataan tanpa ada penggusuran. Tapi sejak saat itu, Ustaz Chandra mengakui banyak intimidasi terhadap warga.

“Orang-orang itu mendatangi warga dari pintu ke pintu. Mereka bilang lahan ini harus segera dikosongkan pada Desember 2020. Padahal, belum jelas akan digunakan untuk apa lahan itu oleh PT Pertamina.”

Pada 14 Juli 2020, pengacara ahli waris Sanjoto Mangkusasmito, bertemu perwakilan PT Pertamina dan melahirkan sejumlah kesepakatan.

Kesepakatan itu antara lain, terbukanya komunikasi antara ahli waris dengan PT Pertamina; saling konfirmasi data tentang keabsahan legal standing; dan, Pertamina sepakat tidak akan melakukan tindakan apa pun tanpa ada persetujuan ahli waris.

Tapi, 11 Agustus 2020, PT PTC melayangkan surat pemberitahuan kepada warga. Dalam surat dengan bernomor 591/PTC-12010/2020-SO.4, mereka meminta warga menyiapkan dokumen kepemilikan tanah kalau memang menyewa lahan dari ahli waris.

“Karena ada intimidasi terus menerus, ada warga rela menerima uang ‘kerohiman’ agar cabut dari rumahnya,” sebut Ustaz Chandra.

Uang kerohiman yang ditawarkan oleh pihak PT PTC jumlahnya beragam, namun angkanya masih tidak layak untuk disebut sebagai uang pembebasan lahan.

Ustaz Chandra menyebut, untuk rumah dengan kategori besar, hanya diberikan uang kerohiman kurang lebih Rp 60 juta. Untuk rumah dengan kategori sedang sebesar 38 juta, dan rumah berkategori kecil hanya berkisar Rp 18 juta.

“Sebagai catatan, ini (lahan) kan dulunya rawa. Terus mereka mau kasih uang kerohiman dengan nominal segitu? Ini kan dulunya rawa, buat nguruknya saja abis berapa duit. Apakah ini tindakan yang bagus?” kata Ustaz Chandra.

Alhasil, pihak ahli waris Sanjoto Mangkusasmito melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1 Desember 2020. Gugatan tersebut teregister dalam nomor perkara 1013/Pdt. G/2020/PN.JKT.SEL.

Materi gugatannya adalah dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT Pertamina dan PT PTC. Hingga kekinian, perkara itu belum mendapat putusan pengadilan.

Namun, pada 14 Desember 2020, Polres Pancoran menyambangi permukiman, menuju rumah dari pintu ke pintu untuk meminta identitas warga. Kepolisian juga disebut meminta agar para warga mendatangi kantor polisi dengan tuduhan penyerobotan lahan.

“Padahal mereka sudah bermukim lebih dari 20 tahun,” demikian pernyataan resmi Solidaritas Forum Pancoran Bersatu.

Tanggal 26 Desember 2020, masih dalam pernyataan resmi Solidaritas Forum Pancoran Bersatu, anggota ormas dan polisi datang mencabut plang milik ahli waris Sanjoto Mangkusasmito.

Tak hanya itu, 8 Januari 2021, kelompok yang sama datang untuk menguruk kolam pemancingan milik salah satu warga yang ogah menerima uang kerohiman.

Namun, setelah negosiasi, pengurukan tak jadi dilakukan. Sang pemilik kolam pemancingan meminta waktu tiga hari untuk pikir-pikir apakah mau menerima atau tidak uang tersebut.

Pada hari yang sama, PT PTC melayangkan surat peringatan terakhir yang menyatakan warga harus segera mengosongkan rumah paling lambat tanggal 10 Januari 2021.

Namun, sampai tenggat waktu, tak ada warga yang mau mengosongkan rumah. Selang lima hari setelah tenggat waktu, persisnya 15 Januari 2021, sejumlah orang datang membawa palu penghancur. Ada pula eskavator.

Saat orang-orang itu hendak memotong pohon yang menghalangi eskavator masuk, warga melakukan perlawanan. Bentrokan tak terjadi setelah apparat Polsek Pancoran datang.

“Semua ini kan jelas, proses pengadilan masih berlangsung, tapi mereka tak menghormati. Mereka tetap melakukan aksi di lapangan. Bahkan ada orang yang tidak mendapatkan uang kerohiman, dihajar juga,” kata Chandra.

PTC Punya HGB

MANAGER Legal PT PTC Achmad Suyudi menegaskan, tanah yang disengketakan itu adalah milik lembaganya. Itu bila merujuk Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu.

Suyudi menyatakan, kepemilikan tanah juga diperkuat melalui sertifikat hak guna bangunan yang dimiliki PT PTC. Ada 24 sertifikat HGB lahan itu yang terverifikasi dari nomor 630 sampai 653.

Ahmad menambahkan, aset tanah tersebut tercatat sebagai objek pajak PBB dengan nomor objek pajak 31.71.041.006.005-0106.0.

Ia juga mengklaim, lembaganya sebagai subjek pajak selalu melakukan pembayaran tepat waktu. Atas dasar itu, PT PTC sebagai anak perusahaan dari PT Pertamina mengupayakan proses pemulihan aset.

Caranya, dengan melakukan pengamanan dan penertiban aset dari penghuni tanpa hak di lokasi tanah tersebut.

“Berdasarkan PK yang dikabulkan MA, dinyatakan Pertamina adalah pemilik satu-satunya yang sah dari tanah-tanah dan bangunan beserta segala sesuatu yang terdapat di atasnya,” kata Suyudi.

Suyudi mengatakan, upaya pemulihan asset itu sudah dilkukan lebih dari 10 bulan. Itupun dilakukan melalui cara persuasif.

"Kami tetap membangun komunikasi melalui tokoh masyarakat, aparat muspika dan ASN setempat.”

Bantah pakai ormas

ACHMAD Suyudi juga membantah lembaganya menggunakan jasa salah satu ormas untuk mengamankan aset tanah yang disengketakan.

Dia malah memastikan seluruh proses pemulihan aset PT Pertamina di Pancoran dilakukan dengan pendampingan aparat kepolisian.

“Sampai saat ini, sudah lebih dari 75 persen lahan telah dikembalikan kepada Pertamina. Semua kami lakukan sesuai prosedur dan tidak menggunakan cara-cara menggunakan ormas tertentu pada proses pemulihan aset."

Ombdusman Jakarta Raya mengecam penyerangan preman-preman terhadap warga. Mereka juga menyayangkan sikap kepolisian, yang tak bisa mengantisipasi penyerangan.

Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, Jumat (19/3), menilai Polda Metro Jaya dan Polres Metro Jakarta Selatan lambat mengantisipasi sehingga banyak warga menjadi korban akibat penyerangan.

“Polda Metro Jaya seharusnya sejak awal mampu melakukan deteksi potensi gangguan keamanan,” kata dia.

Teguh juga menyoroti Pertamina yang menggandeng ormas PP dalam sengketa lahan di Pancoran.

Ia mengatakan, Pertamina seharusnya hanya melibatkan polisi yang bertugas memelihara keamanaan dan ketertiban masyarakat.

"Kalau tujuannya adalah pengamanan, Pertamina seharusnya tidak menggunakan tenaga ormas. Mereka sama sekali tak memunyai diskresmi melakukan pengamanan, apalagi kekerasan," kata Teguh.

Secara legal, kata dia, Pertamina bisa bekerja sama dengan polisi guna mengamankan aset vital. itu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2020 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kepolisian Negara RI.