'Mendadak Guru', Melacak Lembaga Kursus Dadakan pada Proyek Kartu Prakerja

'Mendadak Guru', Melacak Lembaga Kursus Dadakan pada Proyek Kartu Prakerja


Suara.com - Kartu Prakerja muncul bak juru selamat, persis saat banyak pekerja terkena PHK akibat wabah virus corona. Tapi belakangan, program itu disoal, dianggap tak menjawab kebutuhan angkatan kerja. Latar belakang lembaga pemberi kursus berbayar justru dipertanyakan.

SEJAK diluncurkan pertengahan Maret 2020, Kartu Prakerja panen kritik. Program yang dananya membengkak dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun tersebut, memicu polemik.

Persoalan yang menjadi perdebatan itu mulai dari kebijakan, pemilihan mitra platform, hingga termutakhir adalah adanya lembaga pelatihan dadakan yang ikut tergabung dalam program tersebut.

Jurnalis Suara.com yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI), berkolaborasi dengan jurnalis Tempo, Jaring.id dan Alinea.id, menelusuri sejumlah permasalahan mengenai proyek Kartu Prakerja.

Ada sebilangan kejanggalan terkait program Kartu Prakerja. Salah satunya, kualitas lembaga pelatihan yang menjadi pengampu kursus berbayar.

Made with Flourish

Kursus berbayar yang sia-sia

SUDAH tiga bulan Ass Hasbiyah menganggur karena diputus hubungan kerjanya oleh PT Greentex Indonesia Utama.

Pabrik garmen tempatnya bekerja di Cakung, Bekasi, Jawa Barat berhenti beroperasi akibat pandemi virus corona covid-19.

Untuk menyambung hidup, Ibu tiga anak ini menjual jasanya sebagai tukang bersih-bersih rumah melalui aplikasi Go-Clean.

Namun itu juga tak membantu, sebab dalam sepekan, ia hanya dapat satu kali orderan untuk bersih-bersih rumah. Permintaan jasa bersih rumah via Go-Clean juga sepi di tengah situasi wabah corona.  

Pikiran Hasbiyah yang membuncah, terobati ketika dia mengetahui ada pengumuman gelombang pertama peserta program Kartu Prakerja. Dia langsung mendaftar.

Hasbiyah tak langsung diterima, dia tak lolos pendaftaran gelombang pertama, karena kuota sudah penuh. Barulah pada gelombang kedua penerimaan peserta Kartu Prakerja, Hasbiyah dinyatakan lolos. Beberapa hari kemudian, ia mendapat kiriman saldo Rp 1 juta.

Uang virtual itu wajib ia belanjakan membeli paket kelas memasak ala Chef Juna dari Lembaga pelatihan Kelas.com di Tokopedia.com senilai Rp 250 ribu.   

“Sisa saldo saya masih ada Rp750 ribu,” kata Hasbiyah kepada tim Klub Jurnalis Investigasi (KJI), Rabu (6/5/2020).

Hasbiyah serius menyimak video pemaparan Chef Juna melalui telepon pintarnya. Dalam video, lelaki juru masak bernama lengkap Juna Rorimpandey itu justru lebih banyak menceritakan pengalaman hidup hingga menjadi juru masak kondang.

Kemudian, masih dalam video yang disaksikan Hasbiyah, Chef Juna juga turut menjelaskan berbagai macam peralatan yang digunakan, hingga cara memasak macam-macam jenis makanan.

Terdapat 30 cuplikan video yang berdurasi cukup Panjang, sekitar satu jam.

“Saya percepat saja menonton tayangan itu,” kata Hasbiyah.

Namun, ia merasa kecewa, tak ada yang istimewa dalam pelatihan secara daring tersebut. Sebab, banyak video cara memasak yang lebih lengkap dan bisa didapat secara gratis pada laman-laman daring.

Menurutnya, anggaran Rp 1 juta buat satu orang peserta Kartu Prakerja yang diharuskan sebagai biaya pelatihan daring di tengah kesulitan ekonomi rakyat akibat pandemi wabah covid-19, menjadi sia-sia.     

Ilustrasi Kartu Prakerja. (Antaranews.com)
Ilustrasi Kartu Prakerja. (Antaranews.com)

“Saya lebih butuh bantuan tunai untuk kebutuhan sehari-hari. Karena saat situasi saat ini, kami  serba kekurangan. Mendingan diberikan saja uang pelatihan itu untuk kebutuhan sehari-hari.”

Perempuan ini berharap, insentif senilai Rp 600 ribu dari Kartu Prakerja segera cair. Tujuan utama Hasbiyah mengikuti program Kartu Prakerja sebenarnya adalah uang insentif itu, untuk penyambung hidup setelah tiga bulan di PHK di tempat kerja yang lama.

“Setelah dapat sertifikat dari pelatihan itu, saya juga bingung buat apa. Karena untuk mencari kerja sekarang susah. Pada situasi sekarang ini, kami butuhnya uang buat beli sembako,” ucap Hasbiyah.

Lain lagi Gerry Lutfiansyah, mantan karyawan hotel korban PHK ini kesulitan mengakses program Kartu Prakerja.

Gerry mengakui sudah tiga bulan menganggur karena diberhentikan dari tempat kerjanya, Savero Hotel, yang terdampak pandemi corona.

Sejak gelombang pertama pada 14 April 2020, ia telah mendaftar program Kartu Prakerja, namun gagal. Pada gelombang kedua dan ketiga pendaftaran, dia juga tetap tidak lolos.

“Pengalaman saya sudah banyak untuk mendaftar jadi peserta. Saya tiga kali mendaftar, tetap tidak berhasil, keterangannya karena sudah melebihi kuota,” kata Gerry.

Gerry menuturkan, orientasinya ikut program Kartu Prakerja adalah berharap dapat uang insentif Rp 600 ribu.

Menurutnya, buruh korban PHK seperti dia tidak terlalu membutuhkan pelatihan prakerja di tengah situasi pandemi.

“Saat ini yang kami butuhkan adalah bantuan tunai buat kebutuhan sehari-hari. Karena untuk mencari pekerjaan sekarang juga susah. Percuma pelatihan tapi lapangan pekerjaan tidak ada, buat apa sertifikat pelatihan itu, tidak ada gunanya,” kata Gerry, mencibir.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tatik Suharti, eks buruh pabrik garmen di Jakarta Timur. Ibu tiga anak ini terkena PHK dari PT Greentex Indonesia Utama pada tiga bulan lalu.

Tatik mengakui sudah kali ketiga mendaftar program Kartu Prakerja, tapi tetap gagal diterima.

Padahal, Tatik sangat berharap bisa ikut pelatihan prakerja, agar mendapat wawasan dan uang insentif guna membiayai kebutuhan keseharian.

 “Tadinya besar harapan saya bisa ikut program Kartu Prakerja dan dapat insentif. Karena saya sudah tidak punya penghasilan lagi setelah PHK dari tempat kerja yang lama,” kata dia.

Untuk diketahui, program Kartu Prakerja ini realisasi janji kampanye Joko Widodo – Maruf Amin saat masa Pemilihan Presiden 2019.

Diluncurkan pada 11 April 2020—saat kondisi ekonomi melemah akibat pandemi virus corona—program ini beralih menjadi semi-bantuan sosial, dengan porsi nilai insentif yang besarnya hampir tiga per empat nilai total proyek.

Lembaga pelatihan dadakan

MENGIKUTI kursus berbayar adalah kewajiban bagi peserta Kartu Prakerja. Menjadi anak didik dalam kursus daring adalah syarat mutlak guna mendapat insentif Rp 600 ribu.

Bahkan, Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari menegaskan, dana insentif akan otomatis hangus bila peserta tak mengikuti pelatihan dalam tempo sebulan setelah mendapat dana tersebut.

Artinya, peserta program Kartu Prakerja harus mengikuti kelas pelatihan pertama maksimal satu bulan setelah pemerintah mentransfer dana insentif ke rekening peserta.

"Jadi kebijakan dari Pak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Airlangga Hartarto) adalah jika bantuan tidak digunakan dalam waktu satu bulan maka akan hangus, ditarik negara," ungkap Denni dalam konferensi video, Rabu (22/4/2020).

Terdapat 147 lembaga pelatihan yang menyediakan kursus daring berbayar dalam program Kartu Prakerja.

Rinciannya, 111 penyelenggara berbentuk lembaga, dan 36 lain berbentuk individu yang tersebar dalam 8 platform digital mitra Kartu Prakerja: Tokopedia, Bukalapak, Pijar Mahir, Sekolah.mu, Pintaria, Skill Academy, MauBelajarApa dan Kemnaker.

Made with Flourish

Namun, hasil penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW)—mitra Klub Jurnalis Investigasi—ditemukan sejumlah lembaga pelatihan dadakan, yang latar belakang serta kualitas pengajarannya masih diragukan.

Disebut lembaga pelatihan dadakan, karena institusi-institusi tersebut baru didirikan menjelang peluncuran program Kartu Prakerja. 

Misalnya, Boleh Dicoba Digital, mereka memberikan layanan e-commerce web development; digital marketing and digital campaign optimizing; digital marketing and digital campaign strategy; dan, digital advertisement.

Boleh Dicoba Digital, dalam fasilitas kursus daring Kartu Prakerja, menjual kelas pelatihan “Memasang Iklan di Facebook dan Instagram Secara Baik dan Benar”, yang dibandrol seharga Rp 300 ribu.

Ketika ditelusuri melalui laman daring bolehdicoba.com dan akun instagram @bolehdicobadigital, lembaga tersebut tidak memiliki pengalaman menyelenggarakan pelatihan secara online maupun offline.

Ada pula lembaga pelatihan BLK Komunitas Ponpes Al-Aitaam, yang menjual pelatihan “Junior Desain Grafis” sebesar Rp 1 juta melalui Kartu Prakerja.

Namun, BLK Komunitas Ponpes Al-Aitaam patut dipertanyakan pengalamannya menggelar pelatihan daring dengan materi “Junior Desain Grafis”.

Sebab, setelah diperiksa tim KJI, Yayasan Al-Aitaam merupakan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan dari tingkat taman kanak–kanak hingga politeknik, tapi tak memiliki pengalaman melakukan pelatihan secara online.

Begitu pula lembaga pelatihan Vokraf, yang ternyata laman daring resminya baru terbentuk pada 28 Agustus 2019, atau 8 bulan sebelum program Kartu Prakerja diluncurkan.

Sedangkan grand launching Vokraf sebagai platform edukasi online dilakukan pada 21 Februari 2020, atau tepat 7 hari sebelum munculnya Perpres 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Melalui Program Kartu Prakerja.

Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah lembaga ini memiliki pengalaman dalam melakukan pelatihan, sehingga lolos seleksi kurasi oleh manajemen pelaksana kurus Kartu Prakerja?

Vokraf menawarkan lima pelatihan, seperti digital strategist, 3D animator, copywriter, YouTube content creator, dan graphic designer.

Masing-masing kelas pelatihan itu dibandrol harga Rp  300 ribu di mitra platform Sisnaker—layanan yang dikelola oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Setelah ditelusuri, lembaga ini didirikan oleh Fani Silmi Febriyani, bekas Tim Direktorat Tim Kampanye Jokowi – Maruf Amin.

Fina, CEO Vokraf, saat dikonfirmasi tim KJI mengenai kompetensi lembaganya yang diragukan, enggan berkomentar.

“Saya lagi enggak open untuk diwawancarai. Mungkin lain waktu, maaf dan terima kasih ya,” kata Fina melalui pesan WhatsApp, Kamis (14/5/2020).

Hal yang sama juga dilakukan Amithya Institute, lembaga ini merupakan bagian dari Amithya Hotels and Resort.

Mereka mengaku sebagai lembaga pelatihan yang memberikan keterampilan dan pendidikan bidang perhotelan atau hotelier dan jasa boga alias food and beverage.

Belakangan diketahui, CEO Amithya Institute adalah Rucita Permatasari, yang merupakan Wakil Bendahara Partai Golkar Jawa Timur.

Peresmian lembaga ini baru dilakukan pada 9 Maret 2020, atau 11 hari sebelum peluncuran program Kartu Prakerja. Peresmian lembaga ini dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Prawansa.

Tim KJI telah menghubungi CEO Amithya Institute Rucita Permatasari untuk mengkonfirmasi mengenai keberadaan lembaganya tersebut melalui telepon, WhatsApp, hingga mengirimkan surat permohonan wawancara. Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.

Selain itu, kejanggalan lain adalah 36 lembaga pelatihan dari individu, yang belakangan diketahui seluruhnya terdaftar pada platform digital Skill Academy.

Sebanyak 10 di antaranya merupakan individu yang masih terkait Ruang Guru dan Skill Academy. Misalnya, Iman Usman, pendiri dan Direktur Produk dan Kerjasama Ruangguru.

Ada pula pelatihan dari Arman Wiratmoko, Vice President of Corporate Strategy and Finance Ruang Guru; dan, Adilla Inda Diningsih, SVP Sales & Marketing Ruangguru.

Sementara dalam Peraturan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020, tidak pernah dijelaskan mengenai lembaga pelatihan yang penyelenggaranya bersifat individu.

Pasal 26 Permenko Perekonomian No 3/2020 mengatur serangkaian kriteria yang harus dipenuhi lembaga pelatihan, misalnya memiliki kerja sama dengan platform digital.

Lembaga pelatihan pada Kartu Prakerja juga wajib memunyai perizinan berusaha atau nomor induk berusaha (NIB), yang diterbitkan oleh sistem online single submission (OSS).

Kriteria tersebut, tentu akan sulit terpenuhi bila lembaga pelatihan yang menyelenggarakan kursus adalah individu.

Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, kualitas sejumlah lembaga pelatihan dadakan tersebut patut diragukan. Pasalnya, lembaga-lembaga tersebut belum teruji dan berpengalaman dalam menyelenggarakan pelatihan daring.

Dia mengatakan, keberadaan lembaga pelatihan dadakan sebagai mitra pelatihan Kartu Prakerja dinilai bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja.

Pasal 2 perpres itu menyebutkan, tujuan program Kartu Prakerja adalah mengembangkan kompetensi angkatan kerja, dan meningkatkan produktivitas serta daya saing angkatan kerja.

“Bagaimana pemerintah dapat mencapai tujuan tersebut, kalau lembaga pelatihan yang menyelenggarakan kursusnya pun masih dipertanyakan pengalaman dan kemampuannya,” kata Wanna.

Sesuai persyaratan

Eka TP Simanjuntak, Direktur Esekutif Yayasan Nusantara Sejati sekaligus peneliti kebijakan pelatihan ketenagakerjaan, meminta pemerintah menghentikan dan menunda program Kartu Prakerja.

Sebab, program ini menimbulkan banyak kejanggalan dan sejumlah permasalahan, seperti kompetensi sejumlah lembaga pelatihan yang belum terakreditasi. 

Persoalan itu, kata Eka, pelaksana managemen Kartu Prakerja dan mitra swasta tak memunyai sistem guna mengukur kualitas pelatihan, apakah mampu meningkatkan kompetensi peserta atau tidak.

Ia mengatakan, pemerintah harus mengacu Pasal 23 Peraturan Menteri Ketengakerjaan RI Nomor 34 Tahun 2016 tentang Akreditasi Lembaga Pelatihan, untuk memilih lembaga pelatihan atau mitra dalam program Kartu Prakerja.

Aturan itu, kata dia, menjelaskan lembaga pelatihan harus terakreditasi Kementerian Ketenagakerjaan melalui Kerangka Mutu Pelatihan Indonesia (KMPI).

Ada delapan pedoman yang dinilai, seperti kompetensi kerja, kurikulum dan silabus, materi pelatihan kerja, penilaian pelatihan kerja, tenaga pelatihan, sarana prasarana pelatihan kerja, tata kelola LPK, dan Keuangan.

“Kalau ada orang yang tidak punya pengalaman pelatihan, lalu dijual, ini yang bahaya,” kata Eka.

Eka menilai, regulasi yang dibuat untuk program Kartu Prakerja sejak awal sudah janggal, khususnya terkait izin lembaga pelatihan yang menjadi mitra pelatihan.

Pasal 6 ayat 2 Perpres 36/2020 menyebutkan, lembaga pelatihan memenuhi persyaratan paling sedikit, pertama memiliki platform digital, pelatihan dilakukan oleh lembaga pendidikan atau lembaga pelatihan yang bekerja sama dengan penyedia platform.

Kedua, memiliki kompetensi sesuai dengan pasar kerja. Ketiga, medapat persetujuan dari Manajamen Pelaksana Kartu Prakerja.

“Ini aneh, kalau pelatihan yang memberikan izin kan Kemanaker dan Kemenidikbud, sedangkan manajemen pelaksana kan bukan sekaliber menteri, kenapa bisa memberikan izin,” kata dia.

Dia menambahkan, mitra pemerintah dan manajamen pelaksana yang bertugas sebagai kurator dan pengawas menyeleksi lembaga pelatihan secara asal-asalan. Karenanya, muncul lembaga pelatihan abal-abal.

“Saya menduga orang-orang di program Kartu Prakerja selain buru-buru, mereka tidak paham bagaimana bisa kompeten,” ujar Eka.

Direktur Biro Komunikasi Program Kartu Prakerja, Panji Winanteya Ruky, mengklaim semua lembaga pelatihan sudah memenuhi aturan yang ditetapkan dan telah melalui kurasi.

“Kurasinya sesuai permenko, jadi setiap lembaga pelatihan sudah memenuhi syarat,” katanya.