Suara.com - Cuaca masih nampak cerah di siang itu. Rosela, bukan nama sebenarnya karena demi keamanan dan keselamatan, masih mengingat jelas peristiwa kelam yang dialaminya pada Kamis 18 Juli 2019. Kala itu, ia bersama ibu-ibu lainnya sedang memasak di dapur Sekretariat Serikat Mandiri Batanghari (SMB) di Kecamatan Mersam, Batanghari, Jambi.
MEREKA memotong dua ekor kambing yang akan digulai untuk acara Yasinan memperingati tujuh hari meninggalnya seorang bayi warga SMB.
Tiba-tiba, hiruk pikuk itu berubah menakutkan. Saat belasan mobil aparat kepolisian masuk ke perkarangan sekretariat SMB. Puluhan Polisi dari kesatuan Brimob mengenakan helm, rompi anti peluru dan bersenjata laras panjang turun dari mobil, merangsek masuk ke dalam rumah.
Suasana makin mencekam, ketika polisi melepaskan tembakan ke atas berkali-kali, seperti layaknya hendak menangkap kelompok teroris. Sambil berteriak, aparat itu menyuruh semua orang yang ada di sana untuk diam di tempat.
Para petani yang berada di sekretariat itu ketakutan. Semua petani dari berbagai kalangan usia, mulai bapak-bapak dan anak muda dikumpulkan di luar rumah. Mereka dipukul mengggunakan gagang senjata laras panjang dan ditendang. Ibu-ibu diseret keluar rumah, termasuk anak-anak.
Aparat polisi itu mencari Muslim, sosok pimpinan SMB yang saat kejadian tengah pergi ke pasar berbelanja untuk kebutuhan masak persiapan acara Yasinan pada Kamis malam. Tak menemukan orang yang dicari, semua laki-laki pun disiksa dihadapan kaum ibu dan anak mereka.
Rosela mengungkapkan, di lokasi saat itu, ada empat perempuan ada, yakni dirinya; Ibu Dewi, istri Muslim pimpinan SMB yang tengah hamil tiga bulan; Ibu Deli dan anak perempuannya berusia 5 tahun serta, Ibu Kasmidar.
“Saya dengan ibu-ibu dan anak-anak melihat semua penyiksaan itu,” katanya kepada Suara.com, beberapa waktu lalu.
Rosela menceritakan, pada saat itu suaminya ditugaskan oleh pengurus SMB untuk berkeliling memberitahukan kepada masyarakat acara yasinan pada malam hari di Sekretariat. Setiba sang suami di Sekretariat SMB pukulan dan hantaman sejumlah anggota Brimob langsung menghantamnya bergantian, giginya di bagian depan sampai rontok semua.
Beberapa jam kemudian Muslim tiba, ia langsung menjadi sasaran hantaman oleh polisi yang ada di sana. Istrinya yang mengandung tiga bulan juga dipaksa untuk menyaksikan penyiksaan itu.
Semua warga yang ada di sana ditangkap dan dimasukan ke dalam bus-bus polda yang telah berjajar di kawasan itu. Mereka kemudian langsung dibawa ke kantor PT WKS di Distrik VIII dengan menempuh waktu sekitar 3 jam perjalanan.
Dalam perjalanan dari Sekretariat SMB kendaraan Polisi itu sempat dicegat oleh sejumlah warga SMB lainnya yang meminta agar warga yang ditangkap untuk dilepas. Namun, aparat Polisi dibantu TNI justru menangkap semuanya dan mengangkut paksa.
Mereka tiba di kantor PT WKS di Distrik VIII saat saat azan magrib berkumandang. Di sana sejumlah personel TNI sudah menunggu, begitu turun dari bus, para petani itu langsung disambut pemukulan. Mereka disiksa, semua laki-laki ditelanjangi dan hanya tersisa celana dalam. Mereka ditendang, bahkan dipukul dengan gagang cangkul, balok, bangku. Aksi penganiayaan TNI itu dilakukan bersama anggota Brimob.
“Anak saya sampai sekarang ingat bapaknya disiksa di hadapan dia. Kami yang Ibu-ibu diseret-seret, kata brimobnya kamu juga harus lihat bagaimana suamimu disiksa,” katanya.
Ibu-ibu pada saat ditangkap juga tidak boleh mengganti baju, sehingga yang mereka bawa hanya baju di badan. Bahkan yang lebih tidak manusiawi, ibu-ibu dan anak-anak tidak boleh ke toilet untuk buang air kecil, sehingga mereka kencing di celana.
“Selama tiga hari kami tidak salinan, tidak ganti baju,” ujarnya.
Selepas Magrib, dari kantor PT WKS para petani itu dibawa ke Mako Bromob Polda Jambi. Di tempat ini, mereka kembali menghadapi penyiksaan oleh polisi yang tak kalah hebat. Selama tiga hari dari kantor WKS hingga ditahan di Mako Brimob mereka tidak dikasih makan, termasuk anak-anak.
“Anak-anak kami dikasih makan sisa Pak Brimob itu, tetapi anak-anak kami tidak mau makan. Nasi yang dikasih sudah dingin, sudah basi,” kata dia.
Setelah dua malam ditahan di Mako Brimob, para petani dipindahkan ke sel polda. Pun ibu-ibu juga dibawa oleh polisi ke Polda Jambi sekitar pukul 22.00 WIB. Setiba di Mapolda Jambi, ibu-ibu dan anak-anak di lepas begitu saja tanpa dikasih makan dan tempat tinggal. Mengingat setelah mereka ditangkap, rumah-rumah mereka ludes dibakar oleh aparat. Dan lahan-lahan pertanian mereka diambil alih dan ditanami oleh PT WKS.
“Sampai di Polda Jambi, kami tidak ketemu sama suami, kami dibiarkan di parkiran tengah malam tanpa dikasih makan. Bingung mau ke mana lagi, kami juga tidak dikasih ongkos pulang,” kata Rosela.
Dia menambahkan, suaminya pun menjalani proses persidangan dan berakhir dengan vonis 2 tahun penjara. Sedangkan adiknya, yang tidak bisa disebutkan namanya demi keamanan, divonis 1 tahun penjara namun sampai sekarang belum bebas. Padahal, masa hukumannya sudah berakhir awal Maret lalu.
Rosela menjelaskan, adiknya ditangkap bersama petani lainnya pada 19 Juli, sehari setelah penggerebekan sekretariat SMB. Sang adik ditangkap setelah mendapat kabar dirinya bersama anak dan suami ditangkap. Sang adik ditangkap saat hendak mencari dirinya di Sekretariat SMB.
Menurut pengakuan adiknya, ia bersama puluhan warga SMB lainnya ditangkap dan dimasukan di sebuah ruangan gelar di kantor PT WKS oleh aparat Kepolisian dan TNI.
“Kata adik saya dia disiksa di kantor WKS dalam kamar gelap. Sekarang kupingnya jadi kurang mendengar,” ucapnya.
Padahal, lanjut Rosela dan keluarganya tak tahu apa-apa. Ia di sana hanya bertani, sama dengan warga lainnya.
“Padahal kami tidak tahu apa-apa, kami cuma bertani di situ, tiba-tiba kayak begini. Saya dan suami sebelumnya berladang menanam ubi kayu, kacang tanah, padi, jagung,” tuturnya.
Setelah kejadian itu, Rosela bersama anak dan ibunya kini tinggal menyewa sebuah kamar kecil di Kota Jambi. Mereka mau pulang ke kampungnya tetapi tidak bisa, karena rumahnya sudah hangus dibakar.
Kini, ia menjadi pemulung mencari barang-barang rongsokan dan mengupas kelapa untuk biaya kebutuhan hidup bersama anak dan ibunya. Pun uang yang didapatnya, selain untuk kebutuhan sehari-hari, juga untuk ongkos membesuk suami dan adiknya di Lapas Jambi.
Rosela mengakui sudah tak memiliki barang-barang rumah tangga lagi. Semua barang-barangnya termasuk pakaian hangus dibakar bersama rumahnya.
“Sekarang kami kos di Jambi, sambil jadi kuli, sambil nyekolahin anak. Soalnya, buku-buku anak saya sudah hangus dibakar semua. Surat-surat seperti KK, surat nikah sudah hangus terbakar di rumah. Tidak ada lagi surat-surat kami,” katanya.
Pakaian yang mereka punya sekarang adalah pemberian dari warga yang peduli di Jambi. Setiap bulan ia harus memiliki uang Rp 400 ribu untuk membayar tempat tinggal.
“Sejak dibebasin, kami belum pernah pulang ke Belanti lagi, kami takut, pak,” ucapnya.
Hal yang sama diutarakan oleh Sumarni, bukan nama sebenarnya dengan alasan keamanan dan keselamatan. Ia juga sempat ditangkap bersama warga lainnya pada 19 Juli 2019 di Sekretariat SMB, Jambi. Ketika itu ia mendapatkan kabar para petani ditangkap Polisi.
Ia pun khawatir dan datang ke Sekretariat SMB untuk membersihkan sekretariat yang kotor pasca penggerebekan sehari sebelumnya, sekaligus mencari anak, menantu dan cucunya. Namun setiba di sana, ia malah ditangkap oleh polisi bersama petani lainnya.
Dia bersama petani lainnya diangkut Polisi ke kantor PT WKS di Distrik VIII. Di sana para petani laki-laki juga mengalami hal serupa dengan kejadian sehari sebelumnya. Mereka disiksa, ditelanjangi, digebuki dengan balok kayu.
“Jadi di hari kedua, pada 19 Juli saya ke sekretariat mau bersih-bersih. Kata warga, kantor kotor, berantakan, banyak bekas selongsong peluru gas air mata. Sekitar pukul 15.00 WIB datang lagi aparat, saya nggak mau lari, saya mau ketemu anak dan cucu saya. Kemudian saya dibawa ke kantor WKS,” kata dia.
Sumarni mengaku, bersama warga SMB lainnya ditahan di kantor PT WKS selama tiga hari tanpa dikasih makan dan minum. Ada nasi sisa makanan Polisi dikasih tapi sudah basi. Dari puluhan warga yang ditangkap, terdapat 16 Ibu-ibu dan 8 anak-anak.
“Ada bayi umur 11 bulan, anak-anak tidak dikasih nasi, tidak dikasih roti juga,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, sejak pagi hingga sore menyaksikan penyiksaan terhadap warga laki-laki oleh aparat Polisi dan TNI. Mereka dipukul menggunakan gagang cangkul hingga berdarah-darah sampai disetrum.
“Dari pertama kali sampai di kantor WKS sore sampai pagi besok hari, tidak ada yang tidur. Mulai turun mobil di kantor PT WKS langsung disambut tendangan dan pukulan. Semua laki-laki ditelanjangin,” katanya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jambi Kombes Pol Kuswahyudi Tresnadi membantah terjadi kekerasan dan penyiksaan terhadap para petani SMB baik itu di kantor PT WKS maupun di Mako Bromob Jambi.
“Sudah nggak ada itu. Itu kasus nya sudah sidang semua dan sudah vonis. Jadi Komnas HAM sudah datang ke sini, LBH sudah ke sini dan Ombudsman RI juga sudah ke sini,” kata Tresnadi saat dikonfirmasi Suara.com beberapa waktu lalu.
Humas PT WKS Taufik, hingga berita ini diturunkan belum bisa dikonfirmasi mengenai kasus penganiayaan petani SMB di kantor WKS Distrik VIII. Suara.com telah mencoba mengonfirmasi melalui sambungan telpon tidak diangkat, chat via WhatsApp tak dibalas dan surat yang telah dikirim juga belum mendapatkan respon.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.