Suara.com - Seusai G30S, perempuan-perempuan pekerja di istana kepresidenan Bung Karno dituduh terlibat pembunuhan para jenderal. Tuduhan itu tak pernah terbukti. Tapi tak sedikit dari mereka akhirnya mendekam di penjara. Salah satunya penari kesukaan Bung Karno: Nani Nurani Affandi.
Nani lelap tertidur di peraduan setelah merayakan Hari Raya Idul Fitri 1388 Hijriah bersama keluarganya di Cianjur, Jawa Barat, Senin malam, 23 Desember 1968.
Namun, tidur gadis 27 tahun tersebut terusik sekitar pukul 21.30 WIB. Empat orang polisi militer menggebrak pintu rumahnya. Mereka menyeruak masuk. Moncong senjata laras panjang telah bersiap. Nani dan kedua orangtuanya menghadapi para serdadu.
”Ini yang namanya Sus Nani?” tanya salah satu dari mereka. ”Sus Nani penari Istana Cipanas? Benar?”
Nani sudah tahu maksud kedatangan mereka, tapi tak pernah menyangka penggerebekan itu tiba saat lebaran. Lagipula, sudah tiga tahun lewat peristiwa itu, tapi perburuan tentara ternyata masih mengganas, pikirnya.
Ia lantas mengambil sepucuk surat sakti kala itu,”Surat Bebas G30S PKI” yang didapatnya saat bekerja di PT Takari—perusahaan yang tadinya milik asing dan dinasionalisasi oleh kaum buruh.
Nani menunjukkan surat itu kepada tim CPM. Tapi, para prajurit tak menggubris surat yang diberikan.
”Mari Sus, ikut kami!” kata salah satu polisi militer itu bernada perintah.
Nani mau tak mau harus ikut, tapi ia sempat menawar. Ia tak mau pergi sendirian. Akhirnya sang ayah menemani Nani untuk dibawa menuju Gedung Ampera.
Sang penari pergi dengan pikiran membuncah, entah bisa kembali atau tidak. Sebulan ia diinterogasi polisi militer di Gedung Ampera.
Setiap hari, Nani diperiksa tepat pada jam 10 pagi hingga jam setengah 3 subuh keesokan hari. Praktis hanya punya 6 jam untuk beristirahat sebelum kembali diperiksa.
Letnan Rudiono adalah polisi militer yang bertugas menangani Nani dalam setiap interogasi. Kalau pak letnan marah, meja ruang interogasi digebrak hingga berbunyi ”jedeeeer!”.
Para CPM ingin Nani maupun tahanan lain mengakui diri sebagai kade PKI, gerakan yang mereka sebut G30S, serta ikut ke Lubang Buaya, tempat ditemukannya mayat 5 jenderal dan 2 perwira TNI AD.
Ayah dan ibu silih berganti membesuk serta menemani Nani di gedung itu. Nani sempat dipindahkan ke Bogor dan Jakarta, juga untuk diinterogasi, karena tak kunjung mau mengakui semua klaim tentara: menari telanjang “Harum Bunga”, dan menyiksa para jenderal di Lubang Buaya.
Suatu ketika, setelah hampir setengah bulan ditahan tanpa proses pengadilan, Nani mendapat berita baik sekaligus buruk dari jaksa militer yang menangani kasusnya.
“Sus, kami ini berdosa kepada Sus Nani. Sebab, setelah kami periksa, Sus Nani tidak terlibat apa pun. Bukan juga anggota Gerwani atau PKI,” tutur si jaksa kepada Nani yang sudah kuyu.
“Tapi, kami lebih berdosa lagi, karena berkas kasus Sus Nani sudah sampai ke Jakarta. Kalau berkas Sus masih di Cianjur, kami masih bisa membebaskan Sus Nani. Jadi, Sus kini sudah tidak dapat ditolong lagi.”
Nani seketika mendengkik tapi juga marah. Ingin bebas, tapi kuasa militer terlampau besar dan masih berada di atas angin.
Seusai jaksa memastikan Nani harus dibawa ke Jakarta untuk dipenjara tanpa lewat pengadilan apa pun, Nani bersimpuh di pangkuan sang ayah di Gedung Ampera.
“Nani, ayah yakin kamu itu anak ayah. Akibat ayah berhubungan dengan ibu, maka lahirlah kamu. Waktu kamu bayi, kamu hanya ingin susu. Semakin tumbuh besar, nafsumu semakin besar. Kamu semakin sempurna dengan nafsumu. Kamu hanya merasa kamu itu adalah milikmu. Tapi ingat, kamu itu milik Tuhan. Sekarang Tuhan memintamu berada di sini, penjara, maka terimalah,” tutur sang ayah, Raden Baia Affandi.
Bak sepotong sajak Amir Hamzah, “mangsa aku ke dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas”, Nani pergi dibawa tentara ke Penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan, berlepasan dengan keluarga, berlepasan dengan cinta, berlepasan dengan cita-cita.
***
Nyi Raden Nani Soemarni terlahir dari rahim RI Hadijah Martadikusumah, dibantu dukun kampung tanggal 23 Februari 1941 di Cianjur. Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan seni. Ayahnya, Raden Baia Affandi, selain sebagai pejuang perintis kemerdekaan RI, juga dikenal menguasai seni klasik Cianjuran.
Saat itu, ketika ada orang yang berani mengaku sebagai orang Cianjur, maka ia harus memenuhi tiga syarat: mengaji, menyanyi Cianjuran, dan pencak silat. Tapi, minat paling besar Nani adalah pada seni.
Persisnya selepas lulus SMP di Jakarta, tahun 1960, ia diminta kembali ke Cianjur oleh sang ayah. Raden Baia tahu Nani sudah terbiasa hidup dengan banyak kegiatan di ibu kota. Karenanya, sepulangnya ke Cianjur, Raden Baia menyetujui Nani belajar tarik klasik di grup seni budaya Sunda pimpinan Ibrahim.
Tak hanya itu, Nani diangkat sebagai pegawai di Kantor Kabupaten Cianjur dengan catatan, dirinya akan ditugaskan di Dinas Kebudayaan yang sedang dipersiapkan.
Januari 1962, Bupati Cianjur MAA Purawidjaja meminta Nani yang masih berusia 21 tahun bernyanyi saat acara peresmian Dinas Kebudayaan. Ia diminta membawakan lagu “Nelengnengkeung” karya Mang Bakang. Sang pencipta lagu kebetulan murid ayah Nani.
Nani cemas, karena kala itu, Cianjur adalah Solo-nya Jawa Barat, sentra kesenian. Karenanya, acara peresmian itu pastilah dihadiri seluruh seniman setempat.
“Mang, saya kan tidak pernah nyanyi,” kata Nani kepada Mang Bakang setelah mendapat permintaan dari bupati. ”Neng kan orang asli Cianjur, tidak apa-apa. Lagipula, sudah jarang orang asli Cianjur yang nyanyi Cianjuran,” jawab Mang Bakang.
Akhirnya, Nani memberanikan diri tampil di acara itu. Ternyata, penampilan Nani mendapat banyak pujian, salah satunya dari tokoh Degung—grup musik tradisional—Nini Anah. Nani akhirnya mendalami seni bernyanyi Cianjuran, dan berguru kepada Bi Eros, artis Seledro yang pernah juara kontes se-Jabar.
Selain dengan Bi Eros, Nani juga berguru kepada Nini Anah. Sang guru saat itu dikenal unik, hanya mau menerima 2 murid: selain Nani, adalah Mimin Rosadi, pemimpin grup Cianjuran di Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.
“Suami Nini Anah itu sangat feodal. Jadi, muridnya sedikit, selain saya, adalah Bi Mimin Rosadi, kepala Cianjuran RRI Jakarta,” tutur Nani.
Bung Karno dan Tetamu Agung
Nani semakin terkenal di Cianjur berkat kemampuannya bernyanyi dan menari Cianjuran. Hal itu pula yang membuat Istri Bupati Cianjur MAA Purwawidjadja kepincut untuk mengajukannya sebagai penghibur di Istana Cipanas, tempat Bung Karno biasa beristirahat.
Istana Cipanas adalah tempat legendaris. Terletak di kaki Gunung Gede yang berhawa sejuk, sejak era kolonial, istana itu sudah dijadikan tempat petirahan para gubernur jenderal Belanda. Pemandian air panas, sumber air mineral, serta udara pegunungan yang bersih, makin menyempurnakan kompleks itu sebagai tempat persinggahan yang digemari para pejabat tinggi.
Presiden Soekarno sendiri sering menggunakan Istana Cipanas sebagai lokasi menggali inspirasi bagi pidato-pidatonya.
Nani tak kepalang girang mendapat tawaran itu. Apalagi, ia diminta menjadi ketua grup tari Istana Cipanas yang beranggotakan 30 orang.
“Siapa tidak bangga bisa berhadapan dengan Bung Karno yang selama ini saya kagumi. Selain itu, saya juga bisa berhadapan dengan para tamu agung. Karena Bung Karno selalu membawa tamu agung ke Istana Cipanas,” tuturnya.
Awalnya, sesudah diterima bekerja di Istana Cipanas, ia ditugaskan sebagai pagar ayu untuk menyambut Bung Karno maupun tetamu agung yang berkunjung.
Terkadang, istri keempat Soekarno, Hartini, meminta Nani untuk menghidangkan makanan dan minuman untuk Bung Karno dan presiden-presiden negara lain yang datang. Belum ada yang mengetahui Nani memiliki suara emas.
Hingga pada suatu waktu, yang datang ke istana bukan Soekarno, melainkan Djoenda Kartawidjadja, eks Perdana Menteri dan saat itu menjadi Menteri Keuangan.
Karena yang hadir bukan Bung Karno, Nani yang biasanya bertugas di dalam istana meminta untuk bertugas di luar.
Kebetulan hari itu hujan turun lebat. Nani dan gadis istana lainnya diberi kesempatan untuk beristirahat di salah satu paviliun Istana Cipanas.
Saat asyik makan sambil mengobrol bersama di paviliun, datanglah Komandan Distrik Militer Cianjur meminta Nani Cs untuk bernyanyi. Sontak kerumunan di paviliun menunjuk Nani untuk bernyanyi.
“Lho, kamu kok bisa bernyanyi Cianjuran?” tanya Kasdim Cianjur. “Iya om,” jawab Nani singkat. Komandan itu lantas meminta Nani masuk ke istana untuk menghibur Menteri Djoeanda.
Dalam istana, Menteri Djoeanda bertanya kepada Nani, ”Kami bisa menari juga nak?” Nani mengiayakan. Maka, bernyanyi dan menarilah si gadis. Tak hanya pada kesempatan itu, tapi juga di hadapan Bung Karno pada hari-hari selanjutnya.
Nani betul-betul paham, menjadi penari Istana Cipanas harus selalu tampil sempurna. Ia hafal, Bung Karno selalu mengajak tamu-tamu agung ke sana sebelum dibawa ke Bandung, Surakarta, Yogyakarta, Bali, dan setelah itu dibawa pulang ke Jakarta.
Setiap tampil, Nani dan 30 orang bawahannya kerap menari tarian kesukaan Bung Karno: Tarian Kupu-Kupu, Tari Perek, hingga Tari Topeng.
Bung Karno memunyai syarat ketat kepada para tamu atau siapa pun yang ingin menonton Nani menari. Pemimpin Besar Revolusi Indonesia—predikat resmi negara untuk Bung Karno—itu mewajibkan semua penonton duduk rapi, tak boleh ada yang berbicara, berjalan, ataupun makan.
“Biarpun tamu itu presiden negara lain, Bung Karno selalu mewajibkan syarat itu kepada mereka saat saya menari. Bung Karno sangat menghormati seniman dan seniwati.”
Menari di HUT PKI
Mendapatkan undangan untuk unjuk kebolehan pada acara resmi Partai Komunis Indonesia (PKI), adalah ajakan prestisius pada era akhir 1960-an. PKI kala itu berada di tengah panggung politik nasional. Apalagi, setelah lepas dari PNI, Bung Karno intim dengan PKI.
Begitu pula bagi Nani, yang kaget mendapat undangan menari serta bernyanyi pada rangkaian acara perayaan Hut ke-45 PKI. Ia diminta menggelar pertunjukan di panggung PKI tanggal 20 Mei 1965.
Perayaan HUT ke-45 PKI di Cianjur kala itu digelar besar-besaran. Sebab, Front Nasional—organisasi yang diinisiasi negara—Cianjur kala itu dikepalai tokoh PKI.
”Ketua Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis; Front nasional) Cianjur kala itu dipegang tokoh komunis. Ketua Nasakom dijabat secara bergiliran antara tokoh Nasionalis, Agamawan, dan Komunis,” tutur Nani.
Nani tampil di Gedung Pertemuan Roxy, Cianjur, membawakan tarian berjudul “Dipatikarna”. Ia juga bernyanyi “Sekar Manis”—lagu klasik Cianjur. Tapi karena tampil untuk acara PKI, maka sejumlah lirik lagu itu diganti dengan lirik berbau PKI.
Selain menari dan menyanyi, Nani juga ikut dalam pertunjukan drama karya Utuy Tatang Sontani—sastrawan besar Angkatan 45—juga dalam acara tersebut.
Perayaan HUT PKI itu juga dihadiri banyak petinggi pemerintahan Cianjur, mulai dari bupati, komandan distrik militer, kepala kejaksaan, dan petinggi PKI.
“Jadi bukan hanya petinggi PKI saja yang hadir, itu acara yang resmi, semua pejabat daerah datang.”
Malam hari seusai tampil dalam perayaan HUT PKI, Nani diboyong sang kakak, Teh Nus, ke Jakarta. Alasannya, sang kakak tak ingin Nani digoda banyak lelaki, setelah namanya kian beken.
”Saya tidak tahan deh kalau Dik Nani diganggu orang,” kata Teh Nus kala itu.
Istana Cipanas akhirnya mengizinkan Nani pindah ke Jakarta. Syaratnya, Nani harus mau ke Istana Cipanas kalau diminta Bung Karno, atau ada tamu agung dari luar negeri datang.
Di Jakarta, Nani tinggal bersama Teh Nus yang sudah bersuami di Jalan Semarang Nomor 3, Menteng, Jakarta Pusat.
Nani sempat ikut grup Bhineka yang terlibat dalam pawai memeringati HUT Kemerdekaan RI. Ia dan anggota Bhineka berpawai tanggal 18 Agustus 1965. Bung Karno kala itu berpesan, agar peringatan HUT RI digunakan untuk mengampanyekan pengganyangan imperialisme dan neokolonialisme.
Dalam pawai tersebut, Nani mengenakan pakaian adat Padang, Sumatera Barat. Bersama tiga rekan, Nani berada di barisan paling depan dalam pawai tersebut, membawa pita pada foto Bung Karno berukuran raksasa.
Karena berada di barisan paling depan, Nani dan tiga rekannya duluan sampai di Istana Kepresidenan. Ia lantas membawa bunga dan naik ke panggung kehormatan Bung Karno.
Namun, gegap gempita pawai 17-an itu, gairah massa untuk berkonfrontasi dengan Malaysia sebagai negara boneka nekolim, serta mempertahankan Revolusi Indonesia yang digaungkan Bung Karno, berpendar kian menghilang persis sebulan kemudian.
Sekelompok prajurit TNI melakukan pergerakan sejak 30 September malam hingga 1 Oktober dini hari. Sebanyak 5 Jenderal dan 2 perwira terbunuh oleh grup tersebut. Mayatnya ditemukan di Lubang Buaya. Pangkostrad Mayjen Soeharto yang selanjutnya ditunjuk sebagai Pangkopkamtib mengklaim PKI adalah dalang semuanya.
Perburuan, penangkapan, serta pembunuhan terhadap kader dan pemimpin PKI, anggota organisasi massa progresif, pendukung Bung Karno, PNI, dimulai. Tak sedikit warga biasa yang tak tahu apa-apa juga ikut diciduk, termasuk Nani.
Teror yang Membuat Gila
Minggu, 3 Oktober 1965, dua hari setelah Gestok, Nani memutuskan pulang ke Cianjur untuk menyetor muka kepada keluarganya.
Nani tak lama di Cianjur. Senin keesokan hari, 4 Oktober, ia kembali ke Jakarta. Sehari setelahnya, tiga polisi militer mendatangi kediaman orangtuanya dan menanyakan keberadaan dirinya.
“Ibu tidak takut ya? Ini kami menemukan alat pencongkel mata, banyak senjata. Jadi tolong, ibu kasih tahu, Sus Nani ada di mana sekarang?” kata Letnan Hamdani, pemimpin polisi militer itu tatkala menginterogasi Hadijah, ibunda Nani.
Hadijah lantas memberikan alamat lengkap Nani di Jakarta. Sang letnan justru menuding, “Ya, saya tahu Sus Nani. Saya tahu. Sus Nani berada di Lubang Buaya dan menggunduli orang-orang segala macam.”
Kabar penyergapan CPM ke rumah ayah Nani tersebar luas. Untuk sementara, Nani dilarang pulang ke Cianjur demi alasan keselamatan. Nani tetap tinggal bersama sang kakak dan iparnya di Jakarta.
Sang kakak, Teh Nus, dan suami juga melarang Nani menonton televisi maupun membaca koran. Sebab, mereka tahu, pemberitaan juga didominasi oleh tuduhan-tuduhan negatif mengenai “gadis-gadis istana”. Perempuan-perempuan pekerja istana kepresidenan kala itu diberitakan ikut terlibat dalam peristiwa Lubang Buaya.
Sebulan setelah peristiwa itu, November 1965, Nani bekerja di PT Takari—perusahaan asing milik pengusaha Hong Kong yang diambilalih kaum buruh pada masa nasionalisasi—atas tawaran Letkol Atmoko. Nani kenal dengan Letkol Atmoko saat yang disebut terakhir menjadi panitia HUT RI, beberapa bulan sebelumnya.
Tak tanggung-tanggung, Nani diberi uang muka gaji sebesar Rp 50 ribu, yang saat itu terbilang besar. Sang kakak meminta Nani menerima tawaran itu. Namun, Teh Nus memberikan syarat kepada Letkol Atmoko untuk menjaga keselamatan Nani.
Syarat pertama, Nani harus diantar dan dijemput saat bekerja. Kedua, Letkol Atmoko harus menjamin diri Nani dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jika ada setetes darah Nani mengalir, sang kakak bersumpah menuntut Letkol Atmoko.
Letkol Atmoko menerima persyaratan, dan Nani akhirnya menjadi staf pribadinya di PT Takari. Nani kala itu merasa aman, tak bakal diciduk, tapi tetap berhati-hati.
Perburuan terhadap Nani ternyata belum berhenti ketika tahun berganti 1966. Pertengahan tahun, polisi militer lagi-lagi menyeruak masuk ke rumah orangtua Nani di Cianjur. Mereka mencari Nani yang dianggap sebagai Gerwani, serta terlibat dalam aksi di Lubang Buaya.
Sang kakak, yang kebetulan saat itu berada di rumah, sempat menghardik para serdadu. “Langkahi mayat saya dulu kalau kalian mau menangkap Nani. Sewaktu malam itu, dia tidur bersama saya, bukan di Lubang Buaya!”
Polisi militer marah karena dibentak Teh Nus. Tak hanya itu, mereka mengancam menyandera ayah mereka kalau Nani tak kembali ke Cianjur.
Kabar insiden di Cianjur sampai ke telinga Nani. Ia lantas melapor ke Letkol Atmoko. Akhirnya Nani dibuatkan “surat resmi bebas dari G30S” atas persetujuan Kodam V Jaya. Surat itu diberikan ke CPM Cianjur, akhirnya sang ayah tak jadi disandera.
Sejak saat itu, rasa takut bergelayut dalam pikiran Nani. Untuk mengatasi ketakutannya, Nani kembali bergelut pada aktivitasnya, yakni bernyanyi. Ia menjadi guru bernyanyi Cianjuran bagi sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Badan Kesenian Sunda Mahasiswa (BKSM), Mei 1967.
Namun, pada periode yang sama, Letkol Atmoko, bos sekaligus pelindung Nani, ditangkap militer. Letkol Atmoko ditangkap karena dituduh menjadi pendukung setia Bung Karno.
Mental Nani semakin labil, tidurnya terganggu. Usai Letkol Atomoko ditangkap, Nani menjadi sekretaris bagi Seorjosoemarno, juga di PT Takari.
Lambat laun, perilaku kegilaan Nani tercium oleh Soerjo. Suatu ketika, Soerjo bertanya pada Nani.
”Tadi tamuku bilang, sekretarismu itu manis ya tapi sayang….” Seketika Nani menjawab,”Sayang apa Pak?” Soerjo menyahut, ““Katanya ada sesuatu di otaknya, ada yang dipendam. Kalau ada apa-apa suruh bilang sama saya”. Rupanya teman Pak Soerjo merupakan pimpinan di Rumah Sakit Jiwa Grogol, yakni Tjan Han Le.
Nani mengakui, tak dapat menyembunyikan kegilaannya. Tuduhan keterlibatan dirinya dalam peristiwa G30S membuatnya merasa perlu untuk datang berkonsultasi kepada Tjan Han Le.
Namun, hari yang begitu ditakutkan Nani akhirnya benar-benar datang pada penghujung tahun berikutnya, 23 Desember 1968. Ia dijemput oleh polisi militer tatkala tengah berlebaran di Cianjur. Sejak saat itu, selama 7 tahun ke depan, Nani meringkuk di dalam penjara.
Khatam Alquran Bareng Mertua Aidit
Kurang lebih sebulan Nani Berada di Gedung Ampera, Cianjur, sejak ditangkap pada 23 Desember 1968. Selanjutnya, Nani dibawa menuju ke markas CPM Bogor dan kemudian dipindahkan ke CPM Guntur. Pada Januari 1969, Nani akhirnya dipindahkan ke Rutan Wanita Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Saat tiba di Rutan Wanita Bukit Duri, Nani dijanjikan hanya dikurung 1 tahun dan selanjutnya dilepas. Namun, janji itu tak pernah ditepati. Nani baru terbebas dari penjara tanpa pengadilan 7 tahun berikutnya, 19 November 1975.
Kala itu, ada 150 orang yang berada di dalam penjara. Selama masa pemenjaraan, Nani mengisi aktivitasnya dengan memperdalam agama seperti mengaji Alquran. Tak hanya itu, ia juga mengisi hari-hari sunyi di dalam tahanan dengan merajut benang-benang dan bernyanyi.
“Saya 7 kali khatam Alquran selama di penjara. Ketika khataman yang kelima, saya bareng dengan mertuanya DN Aidit (Ketua CC PKI). Mertua Aidit jago mengajinya. Tidak pernah salah itu ngajinya,” kata Nani.
Banyak suka dan duka yang membekas bagi Nani selama tujuh tahun masa pemenjaraan. Suatu ketika, Nani bersama rekannya di dalam rutan mengadakan sebuah pertunjukan bertajuk “Purnama Alam”. Pertunjukan tersebut bertepatan dengan perayaan Natal.
Saat itu, Nani mendapat peran sebagai salah satu orang Majusi yang datang dari Timur untuk menyaksikan kelahiran Sang Juru Selamat umat Nasrani, Yesus.
“Karena rambut saya kan panjang, diurai, terus pakaian pinjam dari orang luar. Iya, kami memesan pakaiannya dari luar. Kadangkala, kami malah bikin gendangnya dari ember, dibuat atas usaha semua tahanan,” tambah Nani.
Dalam penjara itu semua tahanan politik berjenis kelamin perempuan. Namun, para sipir tetap lelaki. Tak sedikit tahanan yang menjalin kisah cinta dengan sipir.
Menurut Nani, hal itu wajar. Tapi, jalinan cinta itu menjadi tak wajar tatkala terdapat pengkhianatan dari tahanan yang berpacaran dengan sipir.
”Sering terjadi pengkhianatan terhadap sesama tahanan. Semua rutinitas kami, yang tak dibolehkan, dilaporkan oleh tahanan yang menjadi pacar sipir,” tuturnya.
Nani sempat ditunjuk sebagai kepala blok tahanan. Jabatan itu tak pernah diinginkan oleh Nani.
“Tugas kepala Blok itu mengunci sel. Pintu sel itu berlapis dua, satu berbahan kayu jati, satu lagi besi teralis. Pintu jati itu, kalau salah-salah menutup, bisa menghancurkan jari,” tukasnya.
September 1975, Nani mendapat kabar perihal kebebasannya. Ia dikeluarkan dari Rutan Wanita Bukit Duri, dan dibawa ke Rutan Salemba. Setelahnya, Nani dibawa menuju markas CPM Guntur.
Nani sebenarnya saat itu tidak murni bebas. Meski dikeluarkan dari penjara, ia tetap berstatus tahanan rumah selama lima bulan. Tepat pada tanggal 5 April 1976, barulah Nani mendapat status bebas penuh.
“Saya baru tahu, ternyata ada kawan juga yang sudah bebas tapi tetap berstatus tahanan. Jadi, dia tetap menjadi orang yang terpenjara.”
Setelah bebas, Nani ternyata masih mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam KTP, masih terdapat tanda eks-tapol. Hal itu membuat gerak Nani terbatas.
Apalagi saat terjadi peristiwa pembantaian tentara terhadap warga di Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Sejak saat itu, persisnya mulai bulan Oktober, Nani dikenakan wajib lapor setiap bulan ke kantor Kecamatan Koja.
Akhirnya, tahun 1997, tanda ET (Eks Tapol) di KTP Nani dihilangkan. Saat itulah Nani dapat merasakan kebebasannya. Ia bisa membuat paspor dan untuk kali pertama pergi ke luar negeri, yakni Kuala Lumpur, Malaysia.
Namun, Nani masih dikenakan wajib lapor kembali ke kecamatan dan kelurahan. Pada tahun 2000, Nani bersama LBH Jakarta memperjuangkan penghapusan wajib lapor.
“Nah yang paling kurang ajar itu menteri dalam negeri saat itu. Surat permohonan saya tidak tahu rimbanya. Saya telepon menterinya, malah tak dijawab. Padahal, saya ingin mendapatkan KTP seumur hidup,” jelasnya.
Nani dan LBH membawa persoalan ini ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Tanggal 14 Mei 2005, merupakan sidang pertama Nani di PTUN. Tahun 2006, pemerintah mengeluarkan keputusan baru yang menyatakan semua orang mendapatkan KTP berstatus seumur hidup. Awal 2008, Nani akhirnya mendapatkan KTP seumur hidup.
***
Rumah mungil berdiri di Jalan Cemara Angin Blok 2, Nomor 24, Rawabadak, Koja, Jakarta Utara. Rumah tersebut adalah tempat tinggal Nani, si penari kesayangan Bung Karno. Perempuan berusia 77 tahun itu tinggal bersama saudaranya, Mintarsih, yang juga lansia berumur 90 tahun.
Senin, 24 September 2018, sekitar pukul 10.30 WIB, meja makan rumah Nani telah terisi penuh oleh berbagai macam hidangan, pepes ikan, sayur lodeh, tahu goreng, nasi putih dan nasi merah.
Tidak ketinggalan berbagai macam hidangan seperti kue kering dan kopi juga tersaji di meja ruang tamu. Hari itu, Eyang—begitu Nani ingin disapa—senang bukan kepalang, ketika menerima empat awak Suara.com.
Hari itulah Nani menumpahkan ceritanya mengenai cinta, harapan, perpisahannya dengan orang-orang terkasih. Ia juga menuturkan secara jelas kekerasan rezim yang pernah berkuasa di Indonesia, Orde Baru.
“Saya tidak menyimpan dendam, tapi luka. Entah kenapa saya diperlakukan seperti ini oleh bangsa sendiri. Saya kini hanya berharap, kehormatan saya dikembalikan, sebelum saya mati.” [Yosea Arga Pramudita]
"Karena kan perspektif yang masih mendiskriminasi perempuan itu rata-rata dimiliki oleh laki-laki," ujar Kurnia.
DPR memilih lima dari sepuluh capim yang akan memimpin KPK periode 2024-2029, Kamis, 21 November 2024.
Dukungan Anies terhadap Pramono-Rano jauh lebih berpengaruh jika dibandingkan dukungan Jokowi kepada RK-Suswono.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.