I'm Not a Monkey, UU ITE dan Makar Mengancam Kebebasan Sipil di Papua

I'm Not a Monkey, UU ITE dan Makar Mengancam Kebebasan Sipil di Papua


Tanah bangsa Papua masih jauh dari suasana aman. Setidaknya, hal itu dibuktikan dengan masih maraknya kasus-kasus terkait pelanggaran hak asasi, terutama terhadap ativis yang getol menolak pemekaran Papua maupun menyuarakan hak menentukan nasib sendiri (The Rigth of Self Determination).

Kalangan aktivis maupun pemerhati penegakan HAM di Papua menyebutkan, represifitas itu juga bisa berwujud pada dugaan kriminalisasi melalui penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

UU ITE sudah sering dikritik banyak pihak karena dinilai mengandung ‘pasal-pasal karet’ yang justru berkebalikan dari semangat demokrasi serta reformasi di Indonesia.

Tapi khusus di Papua, UU ITE kerap berkelindan dengan tuduhan makar terutama terhadap aktivis maupun tokoh masyarakat yang memprotes militerisme.

Misalnya, seperti yang dialami oleh Assa Asso. Ia divonis penjara 10 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA, Abepura, Jayapura, Papua. Ia dituduh makar dan menghasut orang lain melalui akun pribadi di sosial media Facebook.

Mulanya, Assa Asso dijerat memakai pasal UU ITE. Tapi penyidik memutuskan untuk menyeretnya ke ranah makar. Padahal, Asso berkukuh dirinya tak melakukan makar, melainkan mengajak masyarakat memprotes perlakuan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 lalu.

Hal yang sama juga menimpa Juru Bicara Petisi Rakyat Papua (PRP), Jefry Wenda. Ia ditangkap dengan alasan melanggar UU ITE karena menyampaikan aspirasi penolakan pemekaran daerah otonomi baru di Papua.

Jefry ditangkap saat minum kopi bersama kawan-kawannya Kantor KontraS Papua, Kota Jayapura. Sejumlah lainnya di kantor KontraS juga ikut dibawa polisi tanpa alasan jelas.

Dalam proses hukumnya, Jefry dituduh melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur pencemar nama baik. Itu karena dirinya mengunggah status di Facebook pada 7 Mei 2022.

Tentu saja, kasus-kasus tersebut semakin memperkeruh suasana dan mengaburkan persoalan yang sebenarnya terjadi di tanah Papua.

Belum lagi adanya konflik bersenjata antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan militer Indonesia. Ada kekhawatiran aktivis HAM bahwa setiap masyarakat sipil yang menyampaikan aspirasi mengenai Papua, secara mudah dijerat memakai pasal UU ITE maupun makar.

Lantas, bagaimana sebenarnya duduk perkara persoalan ini? Untuk itu, Suara.com bersama Jaring.id yang didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) membuat peliputan kolaborasi yang menyoroti penerapan UU ITE serta pasal makar terhadap banyak aktivis Papua.