Suara.com - Pemerintahan Presiden Prabowo berencana menghidupkan kembali program transmigrasi di Tanah Papua. Rencana itu menuai pro dan kontra. Pemerintah menganggap program ini bisa mendorong pertukaran teknologi pertanian, tetapi ada kekhawatiran program ini justru memicu konflik baru dan merusak kepercayaan masyarakat Papua.
Pemerintahan Presiden Prabowo berencana menghidupkan kembali program transmigrasi di Papua, meskipun menuai pro dan kontra. Program ini, menurut Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanegara, bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua melalui pertukaran teknologi pertanian.
Pada 29 Oktober 2024, Suryanegara menyatakan bahwa para transmigran akan dilibatkan dalam program ketahanan pangan atau food estate yang sedang dikembangkan pemerintah di Papua, dengan harapan menuju swasembada pangan.
Namun, yang justru terjadi justru kerap sebaliknya. Transmigrasi dalam rentetan sejarahnya justru meminggirkan dan mendepopulasi Orang Asli Papua.
Depopulasi Orang Asli Papua
Program transmigrasi ke Papua sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Pemerintah Orde Baru memulainya pertama kali pada tahun 1966. Kala itu Sorong menjadi salah satu tujuan awal. Pada 1976-1977, sekitar 60 keluarga dari Jawa Timur ditempatkan di distrik Klasaman.
Dalam dokumen yang diterbitkan oleh Imparsial, pada 1971, tercatat 5.000 orang bertransmigrasi, meningkat menjadi 10.000 orang pada 1972. Hingga 1979, total transmigran mencapai 560.000 orang. Program transmigrasi berlanjut hingga tahun 2000, bersamaan dengan semakin lantangnya seruan kemerdekaan Papua di ruang publik. Selain transmigrasi resmi, terjadi pula migrasi spontan, khususnya dari penduduk BBM.
Baik transmigrasi maupun migrasi spontan ini mengubah komposisi penduduk. Pada 1971, pendatang mencakup 4 persen dari populasi, tetapi pada 2000 jumlah ini melonjak menjadi 35 persen. Di wilayah perkotaan Papua, pendatang sudah mencapai 30 persen pada 1980 dan naik menjadi 66 persen pada 2000.
Menurut peneliti sekaligus pendiri West Papua Project di Centre for Peace and Conflict Studies, University of Sydney, Jim Elmslie, penduduk asli Papua yang berjumlah 887.000 jiwa pada 1971, tumbuh menjadi 1.505.405 pada 2000 dengan rata-rata pertumbuhan 1,84 persen per tahun. Sebaliknya, pendatang bertambah dari 36.000 jiwa pada 1971 menjadi 708.425 pada 2000 dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 10,82 persen.
Pada 2000, penduduk asli menjadi minoritas di kota besar seperti Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Biak Numfor, dengan sebagian besar (86 persen) tinggal di pedesaan dan pegunungan. Michael Rumbiak, peneliti asal Papua di Australia, menyebut kebijakan transmigrasi Orde Baru bertujuan "depopulasi" penduduk asli.
Bahkan, Elmslie memprediksi bahwa pada 2050, 60 persen populasi Tanah Papua akan didominasi oleh pendatang, mengungguli jumlah penduduk asli. Dalam artikel lain, Elmslie dan Webb-Ganon menyebut fenomena depopulasi ini sebagai bentuk slow genocide "genosida perlahan" terhadap orang asli Papua (OAP).
Dosen Universitas Cenderawasih La Pona, dalam jurnal berjudul “Transmigrasi Era Otonomi Khusus di Provinsi Papua” (2009), menyebutkan bahwa program transmigrasi ke Papua dihentikan karena penolakan dari berbagai kalangan, terutama sejak euforia reformasi dan tuntutan kemerdekaan Papua pada 1999/2000. Program ini dianggap kurang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat asli Papua. Tidak hanya itu program ini juga tidak memberikan dampak signifikan pada pembangunan lokal.
La Pona menyoroti masalah utama dalam program transmigrasi di Papua, seperti pendekatan kebijakan yang tidak tepat, strategi interaksi sosial yang kurang efektif, dan hambatan jaringan sosial lintas ras. Akibatnya, terjadi kegagalan dalam transfer inovasi pertanian dari transmigran kepada penduduk asli. Alhasil dampak ekonomi dan pengembangan budaya pertanian tidak dirasakan oleh masyarakat lokal.
Bukan Tanah Tak Bertuan
Guru Besar Sosiologi Pedesaan Universitas Cenderawasih, Profesor Avelinus Lefaan, memberikan pandangan kritis terhadap rencana transmigrasi kembali ke Papua. Menurutnya, masyarakat Papua saat ini tengah membangun wilayah mereka sendiri, terutama setelah terbentuknya empat provinsi baru.
Salah satu persoalan mendasar adalah batas-batas wilayah: di Papua, lahan yang tampak kosong sebenarnya memiliki pemilik. Tanah-tanah itu dimiliki oleh masyarakat adat dan terbagi berdasarkan suku-suku yang ada.
"Kalau batasnya tidak jelas, bisa terjadi bentrok. Itu yang pertama," kata Avelinus kepada Suara.com, Selasa (5/11/2024).
Rencana transmigrasi ke Papua, menurut Profesor Avelinus, dapat memperburuk masalah yang ada, terutama terkait pembagian lahan. Program ini akan memberikan lahan kepada transmigran, sementara masalah lahan di Papua sendiri hingga kini masih belum terselesaikan.
Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mengambil pendekatan sosial yang lebih sensitif, dengan menyerap aspirasi masyarakat di tingkat provinsi hingga kecamatan, khususnya masyarakat adat sebagai pemilik lahan. Terkait pelibatan transmigran dalam proyek food estate, Avelinus juga mengingatkan bahwa upaya ketahanan pangan serupa di Kalimantan sebelumnya gagal.
"Bagaimana bisa meyakinkan orang-orang Papua untuk harus bisa menerima dengan catatan kegagalan? Itu harus dikaji secara mendalam," tegasnya.
Avelinus tidak menolak rencana transmigrasi ke Papua, karena menurutnya program ini dapat membawa transformasi teknologi pertanian bagi masyarakat lokal. Di Manokwari dan Merauke, misalnya, ada persawahan padi yang dikelola oleh transmigran.
Namun, dia mempertanyakan seberapa luas lahan pertanian padi yang dimiliki penduduk setempat. Avelinus mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru menjalankan program transmigrasi tanpa kajian matang, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik lahan baru.
"Karena Papua ini lagi sedang membenahi dirinya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bingkai otonomi khusus," ujarnya.
Transmigrasi Berpotensi Rusak Kepercayaan Otsus?
Pakar hukum tata negara dari Universitas Cenderawasih, Yusak Elisa Reba, menilai wacana transmigrasi ke Papua berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap Otonomi Khusus (Otsus) yang diberikan pemerintah pusat.
Dia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus memberikan hak khusus bagi masyarakat Papua untuk membangun daerah mereka sendiri.
"Kebijakan transmigrasi adalah taruhan kepercayaan orang Papua terhadap Otsus. Itu kata kunci penting. Otsus itu kan instrumen untuk memberi keyakinan kepada orang Papua terhadap negara. Jadi, kalau tidak mau orang Papua percaya negara, silahkan bikin rusak Otsus," tegas Yusak kepada Suara.com.
Undang-Undang Otsus memang mengatur soal kependudukan di Papua. Dalam Pasal 61, yang terdiri dari empat ayat mengamanatkan pemerintah provinsi untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Tidak hanya itu, regulasi tersebut juga mengutamakan orang asli Papua dalam sektor pembangunan.
Masalahnya, menurut data Indonesia Family Life Survey (IFLS) East 2012, tingkat kemiskinan orang asli Papua (OAP) tiga hingga tujuh kali lebih tinggi dibandingkan non-OAP di Papua. Akses OAP terhadap pendidikan dan pekerjaan juga lebih terbatas. Selain itu, konflik bersenjata antara aparat dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) semakin meningkatkan kerentanannya.
Yusak Elisa Reba menjelaskan bahwa meskipun Pasal 61 tidak melarang transmigrasi, ayat 1 memberikan kewenangan khusus terkait kependudukan Papua, mengingat jumlah penduduknya yang sedikit. Ayat 2 bertujuan meningkatkan kualitas hidup orang asli Papua.
Ia menjelaskan, bahwa persetujuan gubernur dalam Ayat 3 tidak mutlak, harus melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP). Ayat 4 mengatur bahwa transmigrasi harus sesuai Perdasi, yang dalam Perdasi Papua Nomor 15 Tahun 2008 hanya bisa dilaksanakan jika jumlah OAP mencapai 20 juta, namun data valid tentang jumlah OAP belum ada.
Yusak juga menegaskan bahwa pemekaran provinsi baru tidak dapat dijadikan dasar transmigrasi karena persetujuan harus datang dari gubernur, dan provinsi baru belum memiliki Perdasi.
Yusak menegaskan bahwa kekurangan Perdasi bukan alasan hukum untuk melaksanakan transmigrasi. Ia juga mempertanyakan apakah transmigrasi dibutuhkan oleh masyarakat Papua dalam kerangka Otsus.
"Apakah Otsus sudah mensejahterakan orang Papua? Kalau belum, kenapa menambah masalah?" tegasnya.
Menurutnya, pilihan ada di tangan pemerintah pusat: apakah ingin membangun kepercayaan orang Papua atau justru merusaknya dengan program transmigrasi.
Papua Butuh Keadilan, Bukan Transmigrasi
Sementara itu, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, menilai program transmigrasi yang direncanakan Kementerian Transmigrasi untuk meningkatkan kesejahteraan adalah kesalahan dan tidak berdasar.
Ia mengatakan Papua sudah lama menjadi bagian Indonesia, namun pemerintah pusat tidak serius dalam pembangunan. Menurutnya, yang lebih mendesak adalah penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, karena masalah ini telah menarik perhatian internasional, termasuk di forum-forum PBB.
"Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus mengetahui bahwa di Papua sedang terjadi krisis kemanusiaan yang sulit diatasi, seperti pembunuhan, penyiksaan, penangkapan ilegal, dan penahanan sewenang-wenang oleh TNI/POLRI terhadap orang asli Papua, yang diduga merupakan pelanggaran HAM," ujar Theo kepada Suara.com.
Oleh karena itu, transmigrasi, lanjut Theo, bukan prioritas kebutuhan masyarakat Papua. Theo menyebut yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah keadilan, penyelesaian pelanggaran HAM melalui dialog yang bermartabat dengan difasilitasi pihak ketiga yang netral.
"Selama ini pemerintah Jakarta, sangat sibuk membahas masalah yang sebenarnya tidak berpihak, menyentuh dan menguntungkan orang asli Papua. Mereka memaksakan kehendak, supaya orang Papua menerima apa yang diinginkan orang Jakarta," tegasnya.
Ia juga menilai pemerintah pusat juga tidak memperhatikan faktor keamanan dalam program transmigrasi yang direncanakan. Theo mempertanyakan, bagaimana jaminan keamanan bagi transmigran di tengah konflik yang masih berlangsung di Papua. Menurutnya, Presiden Prabowo mungkin akan merespons dengan mengirimkan kekuatan militer.
"Sedangkan saya ketahui bahwa, selama ini, masyarakat Warga Non Papua, sebagai pengusaha, abang ojek, guru, petugas kesehatan banyak yang dibunuh dan ditembak oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Sekalipun pemerintah mengirim ribuan pasukan non organik di Tanah Papua," ujarnya.
Dia pun meminta Presiden Prabowo dan Kementerian Transmigrasi untuk mempertimbangkan kembali rencana transmigrasi di Papua.
Dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR RI pada Selasa (5/11/2024), Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara menjelaskan bahwa program transmigrasi di Papua hanya akan dilakukan dalam skala lokal, dengan memindahkan masyarakat yang berasal dari Papua. Ia menegaskan bahwa tidak akan ada transmigran dari luar Papua, karena hal tersebut sudah terhalang oleh berbagai peraturan, baik undang-undang maupun peraturan daerah.
"Jadi ibu kotanya (negara) sekarang itu ada di Daerah Khusus Jakarta," kata Manunggal.
Gerindra tidak mungkin memberikan ruang kepada Jokowi untuk bergabung setelah dipecat PDIP.
Dualisme terjadi antara Jusuf Kalla (JK) dan Agung Laksono.
Sejumlah polisi yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dapat promosi jabatan, bahkan ada yang naik pangkat jadi jenderal.
Ketua PPDI NTB, Asim Barnas, miris atas kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan Agus Buntung, penyandang disabilitas.
"Efek domino dari kenaikan harga barang mewah akan merembet ke berbagai sektor, melemahkan daya beli, dan memperbesar kesenjangan ekonomi," ujar Achmad.
Lorong Tsunami, dengan suasana gelap dan percikan air, membawa mereka seolah-olah merasakan kembali momen mencekam dua dekade silam.