Suara.com - Seorang bocah berumur enam belas tahun, bertubuh pendek yang beberapa tahun lalu masih melayani tamu-tamu VSTP Semarang dengan kelebihannya karena telah membaca buku berbahasa Belanda dan berbakat pandai bicara, telah memperlihatkan diri sebagai calon agitator yang tangguh.
Bocah itu bernama Semaoen.
NUKILAN Novel Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan kuatnya kharisma Semaun sebagai sosok sentral pergerakan di Hindia Belanda.
Muncul dan besar dalam Serikat Islam (SI), Semaoen kemudian menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap Belanda dengan serangkaian aksi mogok kerja bersama serikat buruh kereta api, tempatnya mengabdi menjadi klerk alias juru tulis pada jawatan kereta api milik Belanda, Staatsspor (SS).
****
Berbicara asal usul Semaoen, dalam beberapa sumber literatur sejarah, kerap menyebutkan nama Desa Curahmalang di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur sebagai tempatnya lahir pada Tahun 1898.
Tahun tersebut merujuk pada nisan kuburan Semaoen yang berada di Gununggangsir, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan.
Sementara menurut sejarawan yang meneliti tokoh pergerakan zaman kebangkitan nasional ini, Semaoen diperkirakan lahir pada tahun 1899.
Desa Curahmalang yang berjarak sekitar 24 kilometer dari Pusat Kota Jombang, atau 10 kilometer dari pusat Kota Mojokerto tersebut disebut-sebut menjadi awal tempaan hidup Semaun di masa kanak-kanak.
Saat jurnalis Suara.com mengunjungi wilayah tersebut, salah seorang Warga Desa Curahmalang, Piadi, mengamini jika di wilayah tersebut merupakan tanah kelahiran Semaoen.
Menurut pria berusia 79 tahun tersebut, kediaman Semaun berada di samping gedung balai desa atau berjarak kurang lebih sekitar 500 meter dari Stasiun Curahmalang.
"Iya, Semaoen aslinya Curahmalang, dulu rumahnya di situ dekat Balai Desa. Sekarang tidak ada keluarganya, sudah habis. Rumahnya ditempati orang lain," tutur Piyadi yang saat ini kondisinya tengah sakit dan terganggung pendengarannya karena faktor usia yang sudah lanjut.
Namun hingga kini, cerita tentang Semaoen di desa tersebut nyaris tak tersisa. Hampir tidak ada bukti ataupun peninggalan di Desa Curahmalang yang menunjukan masa kecil tokoh Sarekat Islam (SI) itu pernah tinggal di sana. Rumah yang konon merupakan tempat tinggal Semaoen juga sudah milik orang lain.
Meski begitu, Sekretaris Desa Curahmalang Akhmad Kholil meyakini, Ketua Umum pertama PKI itu memang lahir dan besar di desa tersebut. Keyakinannya merujuk pada kabar yang menyebut, jika orang tua Semaoen merupakan pekerja di jawatan kereta api.
"Mungkin memang benar dia lahir dan pernah tinggal di sini. Karena bapaknya pekerja di stasiun kan kabarnya. Di dekat stasiun itu dulu ada perumahan pegawai tapi sudah dibongkar, mungkin juga tinggal di sana. Ya semoga saja kami bisa menemukan informasi detail tentang Pak Semaoen," katanya.
Untuk diketahui, nama Curahmalang menjelang abad 20, kerap disejajarkan dengan wilayah Tebuireng dan Denanyar yang dikenal banyak orang.
Bahkan di Curahmalang, ada stasiun kereta api yang disebut-sebut terbesar di Kota Jombang. Tak heran, jika beberapa literatur juga menyebut, jika Semaoen merupakan anak dari Prawiroatmodjo, yang bekerja pegawai rendahan di jawatan kereta api.
Semaoen sendiri disebut-sebut memulai sekolah dengan mengenyam pendidikan di Tweede Klas pada Tahun 1906.
Selain itu, pada sore hari mengikuti kursus Bahasa Belanda dengan mengikuti kursus yang diselenggarakan Eerste las Inlandsche School atau yang kemudian dikenal dengan Holland Inlandsche School (HIS).
Setamatnya dari sekolah tersebut, dia berhasil lulus dalam ujian pengetahuan umum atau Algemeene Ontwikkeling dan ujian stations commies di tahun 1912 dan akhirnya menjadi klerk kecil di jawatan kereta api SS Surabaya.
Jejak di Surabaya
Jalan politik Semaoen mulai terbuka pada tahun 1914 saat bergabung dengan SI. Pun pada tahun yang sama, dia terpilih menjadi sekretaris.
Pada masa itu, menurut peneliti Ruth McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia, Semaoen terlibat dalam sejumlah aktivitas serikat buruh kereta api hingga dikenal sebagai agitator buruh pertama di Indonesia.
Semaoen sendiri disebut-sebut tinggal di Rumah Peneleh yang kini lokasinya tidak jauh dari kawasan Niaga Tunjungan, Surabaya.
Dulu, kawasan itu cukup tenang bagi para pedagang. Lokasinya juga berada di tengah-tengah Kota Surabaya. Sejak 1907-an, Tjokroaminoto tinggal di Peneleh, saat masih bekerja di perusahaan dagang, sebelum akhirnya terjun ke dunia politik melalui SI.
Sejak 1912, Tjokro dan istrinya, Suharsikin, membuka sebagian rumah mereka untuk disewakan sebagai kos-kosan anak sekolah. Mereka umumnya merupakan para siswa sekolah menengah elite seperti Hogare Burger School (HBS), Meer Uitgebrid Lager Onderwijz (MULO), juga Middelbare Technish School (MTS).
Banyak pemuda yang indekos di rumah tersebut, termasuk Semaoen yang bertemu Soekarno pada 1915 di indekos tersebut.
Selain Semaoen dan Soekarno, beberapa pemuda pergerakan lain yang juga mondok di sana adalah Munawar Musso dan Sukarmaji Marijan Kartosuwiryo. Kelak orang-orang ini menjadi elite pergerakan oragnisasi besar.
Selama di Surabaya, Semaoen mulai menjalin komunikasi dengan Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau dikenal Henk Sneevliet, seorang aktivis buruh dari Belanda yang kala itu aktif di Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) dan memrakarsai pendirian Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya pada 9 Mei 1914. Berselang setahun kemudian, Semaoen pun bergabung dengan VSTP dan ISDV.
Menurut Soewarsono, dalam buku Berbareng Bergerak; Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen, ketertarikan Semaoen bergabung dengan organisasi tersebut disebabkan adanya suatu pertemuan yang melahirkan rasa kagumnya terhadap rasa ketulusan dan sikap manusiawi Sneevliet, dan karena itu menerima tawaran tersebut dengan VSTP dan ISDV afdeling Surabaya.
Memasuki usianya yang ke-17, Semaoen diangkat menjadi Wakil Ketua SI cabang Surabaya. Jejaknya meniti dunia pergerakan politik pun mulai diasah.
Pada tahun yang sama, 1916, Semaoen mulai tampil ke muka saat Kongres Nasional SI kali pertama digelar di Surabaya. Kala itu, Semaoen berpidato sebelum akhirnya dipotong pimpinan sidang.
Tak berselang lama, Semaoen pun berpindah ke Semarang, kota yang kemudian membesarkan namanya dalam gerakan sosial bersama VSTP dan Sneevliet, sekaligus aktivitas politiknya bersama SI.
Hijrah ke Semarang
Jejak Semaoen di Kota Semarang hingga kini masih bisa dilihat di sebuah bangunan SI yang berada di Kampung Gendong Selatan Sarirejo kawasan Semarang Timur. Gedung tersebut menjadi saksi bisu pergerakan Semaoen di Ibu Kota Jawa Tengah.
Gedung tersebut sudah mengalami perubahan, yang paling mencolok adalah lantainya. Gedung tersebut pernah satu kali ditinggikan. Namun di tengah lantai bangunan, ada lubang dengan ukuran 2x2 meter yang di dalamnya bertuliskan SI sekaligus menandakan gedung tersebut benar-benar markas SI Merah di Semarang.
Berdasarkan arsip Kemdikbud Jawa Tengah, bangunan yang berlokasi di Kampung Gendong Semarang ini dibangun oleh Semaun dan kawan-kawannya pada tahun beriringan, yaitu tahun 1919 dan selesai pada tahun 1920.
Gedung SI atau Gedung Rakyat Indonesia dibangun di atas tanah wakaf salah seorang keturunan Taspirin yang menjadi anggota SI. Pembangunan bangunan gedung didapatkan dari swadaya masyarakat berupa uang dan bahan bangunan. Tujuan didirikannya bangunan ini untuk sekolah pada siang hari dan pada malam hari digunakan untuk rapat umum Sarekat Islam.
Keberadaan Sekolah SI secara nasional diumumkan oleh Tan Malaka pada bulan Oktober dan November 1921 dalam majalah Soeara Rakjat. Selanjutnya, pada Desember 1921, dikeluarkan lagi buku kecil (brosur) tentang keberadaan sekolah tersebut.
Tujuan Tan Malaka mendirikan SI School karena dia ingin menciptakan sekolah tandingan yang menurutnya pada saat itu Politik Etis tidak etis untuk kaum kromo dan proletar.
Namun, kondisi bangunan bersejarah itu kini kurang terawat. Bahkan, beberapa warga sekitar tak mengetahui jika bangunan tersebut merupakan gedung bekas SI Merah di Semarang.
Ketua RW Gendong, Joko mengatakan, gedung tersebut memang pernah disinggahi beberapa tokoh nasional berhaluan kiri seperti Soekarno, DN Aidit, Tan Malaka dan Semaun.
"Kalau informasi yang pernah saya dapatkan tokoh-tokoh nasional pada datang ke sini," jelasnya saat ditemui di lokasi beberapa waktu yang lalu.
Meski demikian, dia tak tahu pasti seperti apa sejarah lengkapnya soal sejarah gedung tersebut. Pasalnya, banyak sesepuh kampung yang sudah meninggal sehingga sejarahnya terpotong.
"Kalau lengkapnya seperti apa saya tak tahu," ucapnya saat ditanya gedung tersebut hampir dibakar oleh tentara.
Hal itulah yang membuat mayoritas anak muda di kampung tersebut tak mengetahui, jika gedung tersebut memiliki sejarah yang panjang.
"Kalau yang orang-orang sepuh pada tahu, tapi kalau anak-anak muda sekarang banyak yang tak tahu," keluhnya.
Gedung tersebut, pernah dipugar pada Tahun 2018 karena atap bangunan tersebut sempat bocor. Bahkan, bisa dibilang gedung tersebut juga sempat tak terawat beberapa saat.
"Memang gedung ini tak ada yang menjaga, tapi kuncinya yang bawa kita," ucapnya.
Sebelum direnovasi, gedung bersejarah itu pernah dijadikan untuk tempat sekolah dasar dan juga pernah menjadi lokasi untuk Salat Jumat.
"Di sini kan jauh masjidnya, akhirnya warga Salat Jumatnya di gedung tersebut," katanya.
Dia menyebut, beberapa bangunan di gedung tersebut masih asli seperti tembok, jendela serta beberapa pintu dan jendela yang masih terpasang sampai saat ini.
"Kalau tiangnya beberapa ada yang baru, jendelanya juga tapi bentuknya masih sama semua," ucapya.
Mengenai aktivitas Semaoen selama di Semarang, perjalanan politiknya terbilang moncer. Pada tahun 1917, Semaoen terpilih menjadi Ketua SI Semarang menggantikan Mohammad Joesoef.
"SI yang dipimpin Semaoen itulah yang kelak akan menjadi SI Merah," jelas Dosen Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tsabit Azinar Ahmad kepada SuaraJawatengah.id pada Selasa (14/9/2021).
Selain menjadi Ketua SI Semarang, Semaun juga aktif dalam bidang kepenulisan. Di waktu yang sama, dia juga memimpin Sinar Djawa yang merupakan media yang dibentuk oleh SI Semarang. Sinar Djawa yang kelak berubah nama menjadi Sinar Hindia, diisi tokoh-tokoh kiri yang cukup mentereng seperti Mas Macro Kartodikromo dan juga Darsono.
Keuletan dan pengaruh Semaoen pula membawa SI Semarang sebagai basis massa yang besar di kota pelabuhan tersebut. Dalam tempo setahun, Semaoen berhasil meningkatkan jumlah anggota SI Semarang dan acapkali bersinggungan dengan SI pusat.
Salah satu yang menarik dalam persinggungan tersebut, yakni perdebatan mengenai Indie Werbaar atau barisan pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia yang merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi.
Sementara itu, Soe Hok Gie dalam buku Di Bawah Lentera Merah, menggambarkan beberapa usaha mengubah SI Semarang menjadi dominan merah, usai Semaoen memegang tampuk pimpinan tertinggi organisasi cabang tersebut.
Tak sampai situ, salah satu titik sentralnya kemudian terjadi pada Kongres Nasional Central SI (CSI) ke-2 di Jakarta pada Tahun 1918. Dalam kongres tersebut sejumlah isu mulai tanah partikelir, perkebunan tebu, Volksraad (atau setara dengan dewan perwakilan rakyat) dan nasib buruh.
Pun terselip sejumlah agenda untuk menyebarluaskan pengaruh yang sedang berkembang di SI Semarang.
Pertentangan antara Semaoen dengan salah satu pimpinan CSI, Abdoel Moeis tak terelakan. Meski begitu, Semaoen, menurut Soe Hok Gie, merasa puas karena pengaruhnya mulai mengakar karena menurut klaimnya, setengah dari peserta kongres berpihak kepada SI Semarang.
Usai Kongres CSI, SI Semarang pun memulai serangkaian aksi mogok kerja hingga melawan tuan tanah yang memeras penduduk di tanah partikelir.
Pun pada Kongres CSI ke-3 pendulum pun berpihak kepada SI Semarang. Hingga kemudian pada gelaran Kongres CSI ke-4, pergeseran arah organisasi dari perdagangan berubah ke pergerakan.
Tak butuh waktu lama, elite di SI Semarang mendeklarasikan Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920 dengan mengangkat Semaoen sebagai ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembentukan PKI tersebut tak bisa dilepaskan dari keterlibatan Sneevliet yang telah diusir Pemerintah Belanda dari Indonesia dan kemudian berdiam di China.
Menurut Harry Poeze dalam buku Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, pada tahun 1921, tepatnya di Oktober, Semaoen bertolak ke Rusia mengikuti Kongres Bangsa-Bangsa Timur Jauh yang kali pertama digelar di Irkustk dan kemudian pada Januari 1922 di Moskow. Saat itu, kepemimpinan Semaoen di PKI ditinggalakn untuk sementara waktu.
Meski begitu, pada pertemuan internasional tersebut, Semaoen menyampaikan pidato dalam Bahasa Jerman yang intinya menyebut, organisasi di Hindia (Indonesia), yakni SI dan PKI, telah mendirikan sekolah yang mengajarkan murid-murid untuk bekerja demi kepentingan kelas mereka sendiri. Namun hal tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda kala itu.
Kembali dan Dibuang
Usai menghadiri pertemuan di Rusia, Semaoen kembali ke Indonesia pada Mei 1922 dengan berstatus Ketua PKI. Namun pada Mei 1923, Semaoen ditahan pemerintah kolonial sebagai imbas terjadinya pemogokan besar-besaran yang dilakukan serikat buruh.
Tak lama kemudian, dia dibuang ke Belanda. Dalam artikel Historia, Semaun dan Sneevliet Kisah Persahabatan Dua Orang Revolusioner, Sejarawan Bonnie Triyana mengemukakan, sebelum dibuang dan tiba di Amsterdam pada 20 September 1923, Semaoen ditunjuk oleh PKI menjadi wakil partai di Eropa.
Di Negeri Kincir Angin, dia bersama Iwa Kusuma Sumantri diutus Perhimpunan Indonesia untuk pergi ke Moskow meminta penjelasan tentang politik front rakyat yang diusung Komunis Internasional.
Politik di Hindia Belanda kemudian memanas dengan pecahnya pemberontakan oleh PKI terhadap Pemerintah Belanda pada Tahun 1926 dan Januari 1927 di Jawa dan Sumatera. Alhasil ribuan orang Komunis dibuang ke Boven Digul, sedangkan beberapa pimpinan PKI lari ke Uni Soviet.
Semaoen sendiri kemudian memilih menetap dan kemudian bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia serta penyiar berbahasa Indonesia pada radio Moskow.
Dia bahkan menikah dengan perempuan Rusia yang juga tercatat sebagai adik dari istri Iwa Kusuma. Hingga akhirnya, Semaoen kembali ke Indonesia dengan meminta bantuan Soekarno saat Sang Putra Fajar tersebut berkunjung ke Moskow.
Permintaan tersebut diluluskan Soekarno dengan meneruskannya ke pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet dan akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 1957.
Sekembalinya ke Indonesia, dia sempat dipasrahkan jabatan penting, yakni Wakil Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) pada tahun 1959 yang kemudian dibubarkan pada tahun 1962.
Sedangkan pada Tahun 1961, dia mendapat gelar doktor honoris causa (HC) dalam ilmu ekonomi dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung dan mengajar sebagai dosen di tempat tersebut.
Menurut mantan salah satu mahasiswa yang pernah mengikuti Semaoen di Unpad, Darman, sosok pendiri PKI tersebut tidak begitu mencolok.
"Ya, ada Semaoen. Dulu ada bukunya juga, saya lupa judulnya apa," katanya sempat tertawa ketika Suara.com menjelaskan tujuan mewawancarai dirinya adalah untuk mengetahui jejak Semaun ketika menjadi dosen luar biasa di Unpad pada Rabu (29/9/2021),
Semaoen sendiri sempat menulis buku berjudul Pengantar Ekonomi Terpimpin selama mengajar di Unpad. Dia mengaku sempat mendengar cerita dari kawannya, jika Semaun merupakan pendiri PKI.
Kala itu, PKI memenangkan Pemilu tahun 1957 untuk pemilihan DPRD Tingkat I dan II untuk Kotapraja Bandung.
Cerita itu didapat dari kawan satu kelasnya yang merupakan simpatisan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).
"Tapi yang saya ingat, dibilangnya sudah dipecat sama PKI. Toh saat itu, kami mahasiswa tak peduli juga. Mungkin ya, PKI belum genjleung (geger) juga. Karena saya tahu Pak Semaoen itu kan sebelum G30SPKI," kata Darman.
Darman juga sempat bertanya pada beberapa kawannya yang berhaluan kiri saat itu. 'Jika Semaoen memiliki bagian penting dalam sejarah PKI, mengapa mereka tak pernah mengajak Semaoen untuk berdiskusi di luar kelas?'
"Ya itu, bilangnya sudah dibuang. Sudah tak sejalan lagi," kata dia.
Mengenai afiliasi politik Semaoen sekembalinya dari Uni Soviet, sejumlah sejarawan mengemukakan, pandangannya berbeda jauh dengan PKI. Bahkan, Semaoen sempat disebut bergabung dengan Partai Murba besutan koleganya Tan Malaka.
Selain iru, dari sejumlah literasi yang ada, Semaoen dikabarkan sempat menjadi dosen luar biasa di Fakultas Ekonomi Unpad.
Dia diajak mengajar di Unpad oleh Iwa Kusuma Sumantri yang merupakan rektor pertama kampus tersebut. Iwa juga yang mengajak Semaoen pulang ke Indonesia.
Menurut Darman, rekan satu angkatannya baru kembali membicarakan Semaoen ketika G30S pecah. Namun, mereka juga tak berani membicarakan Semaoen secara terang-terangan, mengingat segala sesuatu yang berbau PKI menjadi sensitif setelah 30 September 1965.
"Apalagi saat itu saya juga bekerja untuk negara lah. Kalau kata orang sekarang wait and see juga, walau pun penasaran tapi ya gak di warung kopi juga kalau ngomongin Semaoen," ungkap Darman.
Riwayat Semaoen pun berakhir saat dia mangkat pada 7 April 1971. Dia dikuburkan di area makam keluarga R Prawiroadmodjo di Gununggangsir, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Dia dimakamkan berdampingan dengan pusara sang istri, Valentina Semaun, pun letaknya juga berada di sebelah makam ayah dan ibunya.
=============================================================
Artikel ini adalah hasil peliputan bersama Ari Syahril (Bandung); Dafi Yusuf (Semarang); Amin Alamsyah (Gresik); dan Zen Arifin (Jombang).
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.